Chapter 1: Di Atas Awan

by Yohan Andre 15:23,Jan 24,2024
Di atas puncak gunung Wuliang yang berkabut, kilatan cahaya sedang berkelebat. Tersembunyi di balik kabut yang tebal, cahaya putih tiba-tiba muncul disusul tujuh sosok yang muncul silih berganti di dekat tebing-tebing terjal. Mereka adalah tujuh kakek dan seorang pemuda.
“Ada apa, Walter?” Seorang kakek berjubah hitam memandang pemuda berbaju putih itu dengan bingung dan bertanya.
Dengan pakaian putih yang menutupi tubuhnya, seorang pemuda menundukkan kepala dan memandangi bunga azalea yang sedang mekar di tebing dekatnya. Ia terpesona oleh keindahan bunga tersebut dan terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata. “Ratapan sedih burung kukuk dan kera yang menangis darah… kini saatnya bunga azalea mekar kembali.”
“Guru, saya ingin turun gunung.”
Mendengar kata-kata itu, raut wajah ketujuh kakek itu seketika berubah. Mereka terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh pemuda di depannya. Sementara kakek yang mengenakan jubah hitam langsung tertawa dengan keras.
“Baguslah! Sudah sepuluh tahun, akhirnya kau memutuskan untuk turun gunung. Ini sungguh menggembirakan!”
“Kami sudah mengajarkan berbagai hal, kini, tak ada lagi yang bisa kami ajarkan kepadamu. Mulai sekarang, kau bisa menjelajahi dunia sendiri untuk mencari pengalaman yang lain.”
“Jika kau suka pedang Xuanyuan ini, ambillah. Tapi jangan mengusikku lagi di masa depan!”
Sambil berbicara, kakek itu melemparkan pedang panjang yang ada di tangannya, dengan sigap pemuda itu langsung menangkap pedang tersebut. Kakek yang mengenakan pakaian berwarna kuning mengangguk seraya setuju dengan ucapan kakek berjubah hitam tadi.
“Cincin Dewa Kekayaan ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan memilikinya, kau akan mampu memiliki semua kekayaan di dunia ini. Jangan ragu untuk mengambilnya dan jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke sini!”
“Jangan pernah kembali, meskipun kau ingin kembali lagi ke sini!”
Kakek berbaju hijau ikut memberikan pesan, sambil meniup janggutnya lelaki itu berkata, “Raja Huaguo adalah seniormu, jika ada masalah, pergilah menemuinya. Jangan mengganggu kami lagi! Ini adalah tanda pengenal untuk mengakui hubungan antara kalian sebagai saudara, ambillah!”
“Oh, iya!”
Kakek dengan jubah satin berwarna biru menambahkan dengan nada tegas, “Jika terjadi kesulitan di timur, kau bisa meminta bantuan pada seniormu yang ada di sana. Kalau ada masalah di barat, temuilah paus. Dengan memegang medali perisai suci ini, kau akan menjadi sosok yang dihormati di wilayah barat.”
Kemudian, kakek dengan jubah berwarna abu-abu yang sedari tadi memerhatikan mereka berbicara, ikut menambahkan dengan tersenyum, “Aku akan memberimu cangkang kura-kura serbaguna ini… Namun, kau perlu mengingat kalau benda ini dapat menimbulkan masalah di mana pun kau berada. Sebaiknya jangan mengeluarkannya jika kau tak benar-benar membutuhkannya. Kalau tidak, orang-orang akan memintamu meramal, membacakan takdir, hingga meminta untuk menjadikan mereka muridmu. Itu akan membuat kehebohan di Laut Timur. Jangan abaikan peringatan gurumu ini!”
Dengan sikap yang tenang, kakek berkerah ungu melemparkan bungkusan yang telah ia simpan di dekatnya. “Buku 'Kitab Saku HIjau' ini juga kuberikan padamu. Meskipun kau telah mempelajari semua isinya, kalau kau tiba-tiba lupa, jangan datang mencariku ke gunung. Kau cari saja di buku ini!”
“Kalian tak perlu repot-repot begini…”
Sebelum Walter menyelesaikan ucapannya, seorang wanita cantik nan anggun yang mengenakan gaun mewah berwarna merah, dengan rambut perak menandakan usianya sudah tidak muda lagi, melontarkan kata-kata penuh kemarahan.
“Walter hanya ingin turun gunung, bukan diusir dari sini. Kenapa kalian bicara seperti itu padanya?”
Usai mengatakan itu, dia berbalik dan melihat pemuda berpakaian putih sambil tersenyum, “Walter, tak usah diambil hati. Tujuh kakek tua ini hanya memberi jaminan untuk keselamatanmu. Begitu kau pergi, mereka pasti akan segera merindukanmu.”
“Setelah turun dari sini, jika kau merasa jenuh, ingatlah untuk mencari sembilan seniormu. Mereka semua cantik-cantik, kalau kau tak keberatan, sebaiknya kau memperistri saja mereka semua…”
“Uhuk, uhuk!”
Belum selesai berbicara, kakek berjubah hitam terbatuk ringan setelah mendengar ucapan wanita itu, lantas segera memotong ucapannya. “Hannah, kenapa kau mengatakan hal tak senonoh itu pada Walter?!”
“Apa kau tak berpikir kalau itu akan merugikan dia nantinya?”
“Jika sampai Walter mengalami hal buruk, memangnya kau mau bertanggungjawab?”
Mendengar ucapan kakek itu, Hannah langsung terkekeh dan menatap keenam kakek itu satu per satu, sambil berkata dengan nada menantang. “Baiklah! Kalian akan maju bersama… atau satu per satu?”
“Kau!” Kakek berjubah hitam itu langsung menyatukan alisnya.
“Guru, berhentilah berdebat…” Di saat itu, pemuda yang berpakaian putih dan berdiri di tepi tebing akhirnya mengeluarkan kata-kata dengan suara yang halus.
“Guru… kalian semua telah menyelamatkanku hidupku. Setelah sepuluh tahun belajar, aku tak akan pernah melupakan jasa-jasa kalian. Aku pasti akan membalas kebaikan kalian lebih dari yang telah kalian berikan padaku! Setelah aku meninggalkan tempat ini, aku harap kalian bisa menjaga diri dengan baik.”
Setelah mengatakan itu Walter membungkuk sembilan kali kepada tujuh tetua sebelum menghilang di balik awan dan kabut di pegunungan. Kakek yang berpakaian ala konfusianisme menghela nafas ringan, menghitung jari-jarinya sambil merenungkan.
“Kesialan dan keberuntungan memang saling bersinggungan!”
“Walter membawa dendam mendalam di dalam darahnya… Kali ini dia turun gunung dengan berbagai perubahan, sulit untuk memprediksi keberuntungan dan kesialan.”
Di Kota Zhonghai, terdapat sebuah lingkungan yang dikenal sebagai Taman Anhe Yuan. Di dalam kompleks tersebut, terletak sebuah rumah bernomor 4. Di sinilah dulu keluarga Ye tinggal, di mana keceriaan dan kebahagiaan mereka kini hanya tersisa menjadi puing-puing yang terlihat jelas.
Setelah berkelana ribuan mil jauhnya, Walter akhirnya kembali ke tanah kelahirannya. Ia berdiri di depan reruntuhan rumahnya dengan mata yang sedikit memerah, seraya berbicara pelan, “Sudah sepuluh tahun lamanya… akhirnya aku kembali!”
Sepuluh tahun yang lalu, di sebuah jamuan makan keluarga, Sekelompok orang bertopeng hitam tiba-tiba masuk ke dalam kediaman keluarga Ye. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, mereka langsung membantai habis semua orang yang ada di sana.
Orangtua Walter mengambil langkah berani dengan melarikan diri demi menjaga keselamatan anak-anaknya, namun sayangnya mereka juga harus meninggal di tempat kejadian. Malangnya lagi, kakak perempuan Walter yang berusaha kabur bersamanya, juga mati saat berusaha menghentikan para penjahat yang mengejar mereka.
Walter berusaha melarikan diri dengan sekuat tenaga, namun sialnya ia tetap tertangkap oleh orang-orang bertopeng hitam itu. Saat ia hampir menyusul keluarganya ke alam lain, Guru Kelima, putra ahli aritmetika yang ajaib, Logan Lu lewat dan menyelamatkannya, serta membawanya ke gunung Wuliang.
Guru Kelima berkata bahwa dia adalah seorang kultivator yang sangat kuat dan tak tertandingi. Ia berhasil meyakinkan enam guru kuat di Gunung Wuliang untuk mengajarkan kepadanya keterampilan mereka. Namun, tak seorang pun dari mereka yang menyangka bahwa dalam kurun waktu hanya sepuluh tahun, pemuda itu telah mencapai tingkat kultivasi yang sempurna dan menguasai semua keterampilan khusus dari ketujuh guru hebat, termasuk Logan.
Saat Walter melangkah ke dalam rumah lamanya yang penuh kenangan, ia terhanyut dalam kerinduan yang telah lama terlupakan.
“Sudah sepuluh tahun berlalu! Tak ada yang bisa menghentikan niatku untuk membalaskan dendam, siapapun pembunuhnya akan kuhabisi tanpa ampun!” Walter bersumpah di dalam batinnya.
Pada saat Walter sibuk dengan pikirannya akan balas dendam, seseorang dengan gaun putih nan bersih menarik perhatiannya. Dia melangkah maju, masuk ke dalam ruangan yang seharusnya digunakan sebagai tempat persembahan bagi roh keluarganya. Di atas meja persegi tampak jelas persembahan untuk mendiang orangtua dan kakak perempuannya, bersama sebuah karangan bunga krisan putih.
Siapa yang menyiapkan semua persembahan itu untuk mendiang keluarganya? Dengan perlahan, Walter berjalan mendekati meja itu dan membaca secarik kertas yang tulisannya sudah sedikit memudar terkena air hujan, ‘Turut berduka cita dari Rachell Su’.
“Rachell?” Mata Walter berbinar, dan tiba-tiba bayangan senyum seorang gadis muncul dalam benaknya.
Gadis itu adalah tunangannya, mereka berjanji untuk menikah setelah keduanya menyelesaikan pendidikan mereka sesuai dengan keinginan kedua keluarga saat itu. Namun, takdir berkata lain ketika keluarga Ye menghadapi masalah besar yang tak terduga, sehingga perjanjian pernikahan mereka terpaksa dibatalkan begitu saja.
“Kakak Walter? Apakah itu kau?” Suara panggilan gadis muda yang penuh ketakutan tiba-tiba terdengar memecah keheningan dari belakang.
Saat Walter menolehkan kepalanya, ia melihat sosok yang anggun di belakangnya. Sontak tubuhnya terkejut oleh kehadiran yang misterius itu. Seorang gadis yang baru berusia dua puluh tahun, memiliki lekuk tubuh yang ramping telah tumbuh dengan sangat menawan. Fitur wajahnya yang anggun dan cantik menyatu sempurna seperti telur angsa. Gaun panjang yang dihiasi dengan bunga-bunga biru dan putih, menyembunyikan keindahan tubuhnya. Hanya sepotong kecil kaki putihnya yang terlihat di atas sepatu kanvas putih, menawan dan memikat hati siapa pun yang melihatnya.
“Aku tidak percaya! Kakak Walter! Kau benar-benar masih hidup!”
Gadis itu melihat wajah Walter dengan pandangan tajam, kegirangan terpancar di raut wajahnya. Meski bibirnya masih bergerak, tetesan air mata sudah mengalir seperti mutiara yang terlepas dari kalungnya. Rachell lantas memeluk Walter dengan erat, bahunya yang lemah tanpa sadar bergetar hebat karena merasa sangat bahagia akan kehadiran sosok Walter di rumah itu.
Perasaan Walter ikut terguncang olehnya, ia tak bisa menahan diri untuk mengusap lembut rambut milik gadis itu yang tergerai indah di depannya, seraya berkata, “Rachell, terima kasih telah menyiapkan tempat persembahan untuk mendiang keluargaku dan datang untuk memberi penghormatan kepada mereka.”
Rachell mengangkat wajah cantiknya yang basah oleh air mata, ia hendak bicara. Namun, tiba-tiba terdengar suara langkah dari luar pintu, membuat raut wajahnya berubah seketika.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

409