Bab 2 Tidak Bisa Menolak
by Afifah Maulida
09:55,Sep 07,2023
"Apakah kamu memiliki keberanian yang cukup besar untuk menolak perintah Sang Raja? Jika kamu menolak, maka dipastikan penjara atau guillotine akan menjadi pilihan terakhir bagimu." Perdana mentri berparas sangat menawan itu melemparkan senyumnya ke arahku. Senyum licik ... itu yang tertangkap oleh netra coklat mudaku yang disebut orang dengan bila mata amber. Ibuku yang bertubuh subur itu selalu memuji bola mataku yang katanya indah seperti bola mata para ratu.
Pertanyaan Sang Perdana Mentri bernama Anka itu mengusik pikiranku. Apakah aku memiliki cukup keberanian untuk menolak perintah Sang Raja? Tentu saja tidak! Kedudukanku dengan Sang Raja bagaikan bumi dan bulan. Sungguh jauh tingkatannya.
Sesungguhnya bukan karena aku tak berani secara pribadi. Namun, lebih karena aku menguatirkan nasib ibu dan adik-adikku jika aku bersikeras menolak.
Tapi yang masih ada hal yang sangat mengganggu rasa ingin tahuku. Yaitu mengapa aku yang dipilih menjadi selir Sang Raja? Bukanksh masih banyak gadis lain di seantero negri ini yang jauh lebih pantas untuk dijadikan selir?
Sepanjang yang kuketahui, ke-99 selir Sang Raja itu memiliki status sosial yang cukup bagus. Gadis-gadis dari kalangan kerabat petinggi istana dan para gadis yang memiliki isu sebagai wanita tercantik di desanya. Sedangkan aku? Apa yang aku miliki? Apa yang menjadi alasan hingga aku dianggap pantas menginjakkan kaki di istana?
"Bagaimana, Sheina? Apakah kamu lebih memilih guillotine sebagai pilihan terbaikmu?" tanya Perdana Mentri Anka. Tentu saja aku menggeleng kuat. Dan pada akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Sang Raja. Titahnya adalah hukum di negri ini. Sebuah negri kecil yang tak pernah tercatat dalam sejarah dan peta bumi.
Ibu menangis meraung-raung melepas kepergianku. Berlomba dengan kerasnya tangisan Beyza, adik bungsuku yang selalu rewel jika digendong. Dan aku hanya bisa membalas tatapan sedihnya itu dengan helaan nafas panjang. "Ma'afkan aku, Ibu. Aku tak lagi memiliki pilihan yang layak untuk kuputuskan," gumamku lirih padanya, sembari mencium pipi bulatnya yang dihiasi bintik-bintik jerawat kecil.
"Hati-hatilah kamu berada di sana, anakku. Jaga diri baik-baik. Jika memungkinkan untuk berkabar, berilah kabar pada Ibu meski hanya sekelumit. Ibu akan selalu merindukanmu." Ibuku berujar lirih dengab kalimat terputus-putus. Memaksakan diri untuk berbicara di sela-sela isak tangisnya yang dalam.
Sebuah kuda putih yang telah disiapkan untukku, meringkik ketika aku berdiri di sampingnya dan mengelus surainya. Surainya keemasan. Kuda yang sangat cantik.
Lantas aku menaiki kuda putih itu dengan cekatan. Sebelum menghentakkan kakiku pada pant*tnya, aku berbisik pelan di dekat telinga kuda putih itu, "Namamu Aurora. Ingat-ingat ya." Sedetik kemudian aku menghentakkan kakiku di pantat kuda putih yang kuberi nama Aurora itu.
Aurora sigap membalas perintahku. Dia berlari kencang meninggalkan desa yang selama ini telah menjadi nafasku. Lamat-lamat masih kudengar suara tangisan Ibu yang seakan ingin membelah langit. Menawar taqdir yang telah ditetapkan untukku.
Hatiku sakit. Terluka. Harus meninggalkan wanita yang sangat kucintai itu. Harus meningglkan desa yang sangat kusayangi. Dan ... aku harus meninggalkan Zidane, lelaki desa yang selama ini banyak membantuku di ladang dan berjanji akan menjadi pengayom seumur hidupku hingga ke langit.
Aku harus meninggalkan Zidane. Meninggalkan sepotong hati yang telah menanam harapan besar pada diriku. Kalung berliontin namaku dan nama Zidane, bergoyang-goyang menghentak dadaku. Semakin lama Aurora kupacu, semakin keras pula hentakan kalung itu. Sakit, memang, dan bahkan telah menggores luka di dada penuhku. Tapi aku puas. Dar*h itu akan menjadi penguat dan penyemangatku.
Aku harus kembali lagi ke desa. Suatu saat nanti.
Aku, Sheina, harus terus berlari.
***
Pertanyaan Sang Perdana Mentri bernama Anka itu mengusik pikiranku. Apakah aku memiliki cukup keberanian untuk menolak perintah Sang Raja? Tentu saja tidak! Kedudukanku dengan Sang Raja bagaikan bumi dan bulan. Sungguh jauh tingkatannya.
Sesungguhnya bukan karena aku tak berani secara pribadi. Namun, lebih karena aku menguatirkan nasib ibu dan adik-adikku jika aku bersikeras menolak.
Tapi yang masih ada hal yang sangat mengganggu rasa ingin tahuku. Yaitu mengapa aku yang dipilih menjadi selir Sang Raja? Bukanksh masih banyak gadis lain di seantero negri ini yang jauh lebih pantas untuk dijadikan selir?
Sepanjang yang kuketahui, ke-99 selir Sang Raja itu memiliki status sosial yang cukup bagus. Gadis-gadis dari kalangan kerabat petinggi istana dan para gadis yang memiliki isu sebagai wanita tercantik di desanya. Sedangkan aku? Apa yang aku miliki? Apa yang menjadi alasan hingga aku dianggap pantas menginjakkan kaki di istana?
"Bagaimana, Sheina? Apakah kamu lebih memilih guillotine sebagai pilihan terbaikmu?" tanya Perdana Mentri Anka. Tentu saja aku menggeleng kuat. Dan pada akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Sang Raja. Titahnya adalah hukum di negri ini. Sebuah negri kecil yang tak pernah tercatat dalam sejarah dan peta bumi.
Ibu menangis meraung-raung melepas kepergianku. Berlomba dengan kerasnya tangisan Beyza, adik bungsuku yang selalu rewel jika digendong. Dan aku hanya bisa membalas tatapan sedihnya itu dengan helaan nafas panjang. "Ma'afkan aku, Ibu. Aku tak lagi memiliki pilihan yang layak untuk kuputuskan," gumamku lirih padanya, sembari mencium pipi bulatnya yang dihiasi bintik-bintik jerawat kecil.
"Hati-hatilah kamu berada di sana, anakku. Jaga diri baik-baik. Jika memungkinkan untuk berkabar, berilah kabar pada Ibu meski hanya sekelumit. Ibu akan selalu merindukanmu." Ibuku berujar lirih dengab kalimat terputus-putus. Memaksakan diri untuk berbicara di sela-sela isak tangisnya yang dalam.
Sebuah kuda putih yang telah disiapkan untukku, meringkik ketika aku berdiri di sampingnya dan mengelus surainya. Surainya keemasan. Kuda yang sangat cantik.
Lantas aku menaiki kuda putih itu dengan cekatan. Sebelum menghentakkan kakiku pada pant*tnya, aku berbisik pelan di dekat telinga kuda putih itu, "Namamu Aurora. Ingat-ingat ya." Sedetik kemudian aku menghentakkan kakiku di pantat kuda putih yang kuberi nama Aurora itu.
Aurora sigap membalas perintahku. Dia berlari kencang meninggalkan desa yang selama ini telah menjadi nafasku. Lamat-lamat masih kudengar suara tangisan Ibu yang seakan ingin membelah langit. Menawar taqdir yang telah ditetapkan untukku.
Hatiku sakit. Terluka. Harus meninggalkan wanita yang sangat kucintai itu. Harus meningglkan desa yang sangat kusayangi. Dan ... aku harus meninggalkan Zidane, lelaki desa yang selama ini banyak membantuku di ladang dan berjanji akan menjadi pengayom seumur hidupku hingga ke langit.
Aku harus meninggalkan Zidane. Meninggalkan sepotong hati yang telah menanam harapan besar pada diriku. Kalung berliontin namaku dan nama Zidane, bergoyang-goyang menghentak dadaku. Semakin lama Aurora kupacu, semakin keras pula hentakan kalung itu. Sakit, memang, dan bahkan telah menggores luka di dada penuhku. Tapi aku puas. Dar*h itu akan menjadi penguat dan penyemangatku.
Aku harus kembali lagi ke desa. Suatu saat nanti.
Aku, Sheina, harus terus berlari.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved