Bab 3 Perpisahan

by AM.assekop 16:27,Aug 07,2023
“Aku tidak mengerti. System apa?” tanya Henzo menyelidik. Alon-alon dia kembali mendekat ke bak sampah. Sebentar dia menoleh kiri kanan, sepi, tidak ada orang. Lalu dilihatnya layar hologram berwarna biru langit. Tampilan seketika berubah 3D. Canggih sekali.
[Tuan akan masuk ke dalam sebuah game online PUBG Mobile dan menjadi salah satu di antara seratus player. Jika berhasil menyelesaikan misi, Tuan akan mendapatkan hadiah, bonus, dan reward]
“Uang maksudmu?”
[Betul. Tidak hanya uang milyaran dollar, tapi akan ada banyak hadiah seru. Bukankah Tuan sedang membutuhkan banyak uang sekarang?]
“Jelas.” Henzo mengangguk pelan dua kali.
Dia tiba-tiba teringat dengan ayah dan ibunya di rumah. Jelas, dia butuh banyak uang untuk biaya berobat kedua orang tuanya. Dia juga butuh uang untuk biaya sekolah dirinya dan adiknya.
Ya, dia harus segera melunasi utang-utang, kemudian membeli sebuah tempat tinggal layak. Tentu dia ingin kaya raya dan membahagiakan keluarga kecilnya.
[Setelah masuk ke dalam dunia game, Tuan akan dibantu oleh System untuk menyelesaikan permainan. System akan memberikan arahan, bantuan, dan perlindungan.]
“Bagaimana kalau aku mati dibunuh musuh?”
[Tuan akan mendapatkan sepuluh Koin Game untuk mencapai rank atau tier conqueror. Jika gagal, misal Koin habis sebelum mencapai target, nyawa Tuan di dunia nyata akan turut hilang, dalam artian Tuan juga akan mati.]
“Widih! Serem juga! Kau serius, aku nantinya bisa kaya raya?”
[Setiap kali menyelesaikan misi, Tuan akan mendapatkan hadiah. Jika naik satu level, akan ada bonus. Selain itu, akan ada reward menarik juga. Perlu Tuan ketahui, ada uang di setiap kill-nya lho. Dan jika sudah mencapai conqueror dan top 1, Tuan akan dapat bonus 1 Billion US Dollar.]
“Baiklah, aku bersedia! Tapi, aku tidak bisa bergabung sekarang karena ingin memberi kabar dulu sama orang tuaku.”
[Dengan senang hati, Tuan Henzo. Persiapkan diri sebaik mungkin. Akan ada banyak peperangan nantinya. Bukankah kau sangat terobsesi dengan peperangan dan persenjatan?]
“Hebat, kau bisa tahu tentang diriku. Ya sudah. Aku mau pulang dulu. Besok aku akan ke sini lagi.”
Dep!
Drrrttt...
Layar hologramnya langsung hilang. Henzo menutup rapat bak sampah ini.
“Dik, ayo kita pulang!”
Charlie melompat dan naik di punggung kakaknya. “Hore! Kita akan kaya raya, Kak!” serunya heboh.

***

Perjalanan pulang menempuh jarak dua puluh kilometer jauhnya. Belum lagi masuk ke dalam hutan kisaran dua kilometer. Karena sudah terbiasa berjalan kaki berjam-jam lamanya, jarak sejauh itu sudah makanan sehari-hari mereka.
Mereka melewati sisi perkotaan yang ramai orang berhulu-hilir, melintasi jalanan-jalanan kota yang padat, melewati pasar, taman, sekolah, rumah sakit, dan perumahan penduduk.
Secara pemulung, lebih banyak cibiran dan hinaan yang mereka terima ketimbang rasa kasihan dan perhatian dari orang-orang. Tak jarang mereka sampai dipukuli warga dan dikejar-kejar petugas keamanan.
“Kita akan kaya! Kita akan kaya! Aku mau sekolah, punya baju baru, celana baru, sepatu baru, mainan baru, sepeda baru. Semua serba baru!” seru Charlie kegirangan.
Jarak tempuh tinggal tiga kilometer lagi. Tidak terasa mereka berdua sudah berada di ujung pinggiran kota. Bangunan-bangunan seperti toko dan hotel tak lagi terlihat. Kiri-kanan jalan hanyalah rumput ilalang setinggi orang dewasa. Jauh lagi melebar, hutan luas, semua hijau.
Jalanan sepi dari kendaraan. Charlie menari-nari di tengah jalan. Tubuhnya disirami sinar matahari sore. Jingga seperti berpendar-pendar di tubuh mungil anak kecil berkulit sawo matang itu. Keringat dan minyak di tubuhnya beradu dengan debu jalanan.
“Charlie jangan nakal! Cepat ke sini!” perintah Henzo, mulai naik darahnya. “Adik, dengar!”
“Kita akan kaya! Kita akan kaya!” pekiknya sambil mengawasi langit di atas kepalanya. Tangannya membentang seperti burung. Badannya berputar-putar. Charlie meluapkan kebahagiaannya sore ini.
Nnnngggg...
Bug!
Bedentum!
Mobil menabrak pinggiran trotoar, mundur beberapa langkah, lalu menginjak gasnya full. Mobil itu melesat kabur.
“Charlie!” Henzo tidak melihat sekelilingnya lagi, yang diawasinya hanya tubuh adiknya yang sudah terpental sejauh delapan meter.
Henzo melepaskan karung dari tangannya, berlari kencang ke arah adiknya. Charlie terkapar lemah. Kepalanya pecah. Darah segar bercucuran hebat dari kepala mungilnya. Matanya terpejam. Dan, tidak ada denyut napas. Tidak ada detak jantung. Charlie telah tiada.
“Aaaaggghhhrr!!”
Henzo mengangkat tubuh adiknya ke atas trotar. Dipeluknya erat. Menetes deras air mata Henzo.
“Charlie! Adikku! Bangun!” Suara Henzo bertambah serak.
Diawasinya berkeliling. Tidak ada siapa pun. Tidak ada orang yang bisa membantunya. Hanya ada dia dan mayat adiknya. Semua terlambat. Henzo tidak mungkin bisa menyelamatkan adiknya karena Chalie memang sudah mati.
Henzo, remaja malang ini, harus kehilangan adik yang amat dicintainya. Bertahun-tahun Charlie selalu menemainya ke mana pun dia berada. Bertahun-tahun Charlie menjadi sosok yang selalu menghiburnya. Sekarang, Charlie telah tiada.
Henzo menutup wajahnya dengan telapak tangannya, menahan bulir air mata yang terus berjatuhan. Darah bersimbah di atas jalan dan trotar. Bajunya juga penuh dengan darah. Sebuah perpisahan yang begitu memilukan.
Terpaksa Henzo memikul mayat adiknya di atas pundaknya. Sementara pundak kirinya memikul karung berisi barang bekas dan tangan kirinya menjinjing kantong plastik pemberian Clara. Berjalan berkilo-kilo meter jauhnya.
“Charlie!” desisnya sambil melirik wajah adiknya berada persis di sebelah kanan wajahnya.
Henzo memasuki hutan dan masih butuh waktu sekitar lima belas menit lagi untuk tiba di rumah. Henzo tertatih-tatih membawa beban berat di tangan dan kedua pundaknya. Fisiknya mau rubuh rasanya. Oh, remaja malang ini, sungguh kasihan nasibnya.
Begitu jarak rumahnya sekitar tiga puluh meter lagi, tiba-tiba terdengar suara tembakan berkali-kali dari dalam rumah.
Darr!
Darr!
“Aaggrrhh!!” jerit seorang perempuan.
Darr!
Dibaringkannya mayat adiknya di dekat pohon besar. Dan Henzo pun tersandar lemas di batangnya. Perlahan dia terduduk lunglai. Direngkuhnya lututnya yang menekuk. Ditundukkannya kepalanya karena tidak kuat menahan beban.
Darr!
Darr!
Lima orang keluar dari dalam rumah. Salah seorang dari mereka berteriak histeris. “Mana dua anak gembel itu?! Mereka berdua juga harus mati supaya kasus ini tidak akan bisa terbongkar.”
Seseorang dari mereka menimpali, “Besok pagi kita ke sini lagi. Kita harus membunuh mereka juga.”
Henzo menahan napas. Didengarnya suara dedaunan kering yang tersepak dan terinjak oleh kaki-kaki sombong mereka. Makin lama, suara itu kian hilang.
Tidak menunggu waktu yang lama, Henzo pun menggendong adiknya dan meninggalkan karung dan kantong ini, karena baginya semua tidak akan berguna lagi.
Setibanya di dalam rumah, Henzo melihat jelas mayat ibu dan ayahnya yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Darah di mana-mana. Peluru menyasar di bagian kepala dan dada.
“Ibu .... Ayah ...,” lirihnya lemah. Suaranya makin parau. Tangisnya pecah. Air matanya tak berhenti mengalir.
Dilihatnya luka-luka di sekujur tubuh ibu dan ayahnya. Lima orang tadi memukuli orang tuanya dengan kayu dan besi sebelum menembak. Kejam dan brutal.
Adiknya, ibunya, ayahnya, semua telah tiada......
Menyisakan dirinya seorang, sebatang kara, tidak ada siapa-siapa.
Henzo memberikan pelukan terakhir bagi mereka. Sebuah pelukan perpisahan.

***

Semalaman Henzo tidak tidur karena sibuk memandikan dan mengubur jenazah ketiga orang yang paling dicintainya. Malam yang berat bagi seorang Henzo. Makin malang nasibnya.
Pagi sebelum matahari muncul Henzo bergegas menuju rumah Clara, tepatnya menuju sebuah bak sampah, di sanalah nasibnya akan berubah.
Setelah berjalan kaki selama lima jam lamanya, dengan napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran, Henzo membuka bak sampah itu.
Keadaan isi di dalamnya sama seperti kemarin. Buku, dokumen, dan serpihan teknologi smartphone dan laptop berserak-serakan.
Lima menit Henzo termangu menghadap bak sampah. Tidak ada respon apa pun. Tidak ada layar hologram dan tidak ada suara.
Henzo pun mengacak-acak isi di dalamnya. Laptop rusak itu dibanting-bantingnya dengan kekesalan. Aghr!
Berarti apa yang aku saksikan kemarin tidak nyata. Semua palsu
Kesal dan kecewa, Henzo menutup kembali bak sampah ini. Dengan kepala tertunduk seperti tidak sanggup menatap langit, Henzo berjalan gontai, kedua pundaknya makin landai.
“System?” ucapnya lemah.
Drrrttt...
“Hah?” Henzo membalik badan dan melangkah lebar ke arah bak sampah. Dibukanya semangat.
[Apa kabar, Tuan Henzo? Hilangkan kesedihanmu atas kepergian orang tua dan adikmu. System turut berduka cita atas meninggalnya mereka. Harap bersabar dan yakinlah akan ada kebahagiaan yang akan datang.]
“Apa kau bisa menghidupkan orang-orang yang sudah mati?”
[Maaf. Kami hanya System dan bukanlah Tuhan, Tuan Henzo, jadi mana mungkin bisa menghidupi orang yang sudah mati. Tapi, System punya cara untuk bisa mengobati hatimu.]
“Katakan apa itu?”
[Kami menawarkan reward besar pada Tuan, jika sudah berhasil berada di tier conqueror dan top 1, Tuan berkesempatan memasukkan orang-orang yang sudah membunuh adik dan kedua orang tua Tuan ke dalam game, biar Tuan bisa membalaskan dendam! Syarat tambahannya adalah dengan membayar uang sebesar 500 million dollar dari hasil penyelesaian misi.]
Wajah Henzo menyeringai. Giginya menggeretak. Dia sungguh marah kali ini. “Baik. Aku setuju!”
Henzo telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan membalaskan dendam kepada para pembunuh keluarganya. Suatu saat nanti, dia akan membunuh mereka semua. Henzo yakin akan terjadi. Lihat saja nanti.
[Perlu Tuan ketahui. Setelah melewati proses awal di sini, Tuan Henzo akan masuk ke dalam game online dengan menyelesaikan banyak misi untuk menjadi kaya raya, itulah tujuan utamanya.]
Layar hologram menjadi 3D.


{10% ...}
{35% ...}
{50% ...}
{80 % ...}
{100 % ....}

Layar hologram di bak sampah menghilang. Tiba-tiba sebuah layar hologram 2D terbentang di hadapan Henzo dan hanya dia yang bisa melihatnya.
System : [Kill to be rich!]

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

46