Bab 2 Terpilih
by AM.assekop
16:25,Aug 07,2023
Tinggal di sebuah kota kecil yang berada di negara tidak ternama, Logan sudah delapan tahun penuh menetap di tengah hutan ini, semenjak kelahiran Charlie. Menetap di sini semata-mata bukan karena keinginannya sendiri, melainkan keadaan lah yang memaksanya.
Sebelumnya, Logan merupakan seorang tukang kebun miliknya sendiri. Selama satu tahun usia pernikahan ditambah enam tahun usia Henzo, semua berjalan cukup baik dan aman, tidak ada problem besar yang melanda.
Sampai akhirnya pasca kelahiran Charlie, penyakit Logan menjadi ganas secara tiba-tiba, begitu juga dengan istrinya. Untuk mencukupi semua biaya pengobatan, Logan terpaksa menjual semua kebun serta rumahnya, karena jika tidak, mereka berdua bisa mati.
Namun, usaha yang mereka kerahkan tidak juga mengubah keadaan. Sementara Logan dan keluarganya sudah tidak punya apa-apa lagi. Apalagi tetangga mereka merasa jijik melihat penyakit Logan dan Esmeralda. Mereka diusir paksa dari pemukiman dan tidak ada yang mau menerima mereka.
Henzo yang waktu itu baru saja duduk di kelas dua SD terpaksa melepas seragam sekolahnya dan membuang impiannya untuk bisa menjadi seorang anak yang berpendidikan. Duit dari mana Logan akan membiayai sekolah Henzo?
Martin mempersilakan mereka untuk tinggal di sini. Bukan uang sewa yang diharapkan oleh Martin, sebab nominalnya sangat kecil, tapi biar lahan miliknya ada yang menjaga dan mengawasi. Tapi dia emosi juga begitu Logan menunggak sampai tiga tahun tidak bayar.
Setelah membersihkan dan merapikan halaman, Henzo lantas berpamitan dengan ayah dan ibunya. Seperti biasa, setiap hari Henzo dan adiknya selalu keluar dari hutan untuk mencari nafkah.
“Kak, aku ingin punya tembakan baru dong!” rengek Charlie yang berjalan terseok-seok di samping kakaknya.
“Senjata itu buat apa, Charlie?” tanya Henzo yang sibuk mengerling, mengawas ke sana ke mari, mencari apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam karung yang sedang digenggamnya.
“Aku ingin menembak orang-orang tadi, Kak!” lolongnya sambil menyeringai. Jempol dan telunjuknya mengacung seperti sebuah gestur ingin menembak, lalu menodongkannya ke arah Henzo. Sebelah matanya menyipit dan pandangannya terhunjam ke dada kiri Henzo.
“Fhieuw!” Henzo mendesah. Mulutnya menganga. “Akkhh!” Henzo mengerang. Telapak tangannya mengelus-elus dada kirinya, seolah-olah Charlie tepat menyasar jantungnya.
“Ha-ha-ha.” Charlie tertawa terbahak-bahak sambil meniup ujung telunjuknya. “Fuuhh!”
Henzo terobesi ingin menjadi prajurit bersenjata. Alasannya adalah kebiasaan. Tinggal di dalam hutan bertahun-tahun menjadikannya seorang anak muda yang harus bisa survive dan mampu mengeksplor sumber daya yang ada dan serta terbatas.
Dengan bermodalkan panah, ketapel, parang, dan tombak, Henzo menjelma menjadi sosok pemuda pemberani dan cerdas. Berburu merupakan hobi utamanya. Tak terhitung berapa jumlah buruan yang berhasil dia dapatkan. Henzo adalah ahlinya.
Dulu, bertahun-tahun yang lalu, Henzo untuk kali pertama melihat gerombolan tentara. Gagah dan memegang senapan. Berjalan rapi di tepi jalanan. Sejak saat itulah Henzo bercita-cita ingin menjadi prajurit perang yang gagah berani.
“Ambil botol plastik itu, Charlie!” perintah Henzo.
“Siap, laksanakan, Kak!” balas Charlie sambil hormat, bergegas memungutnya dan memasukkannya ke dalam karung.
Grudug! Grudug!
Suara hempasan plastik-plastik di dalam karung terdengar berisik. Apalagi Charlie berjalan sambil berjingkat-jingkat seru seperti kuda yang kakinya patah satu. Karung yang dipegangnya jadi terpantul-pantul heboh mengiringi ayunan tangannya ke sana ke mari.
Henzo menghela napas kasar. Diawasinya tingkah adiknya dari belakang. Baju compang-camping. Wajah kusam dan berdebu. Lalu dilihatnya dirinya sendiri, sama juga, baju lusuh dan kumal, badan dipenuhi keringat dan debu. Bau pula. Malang sekali nasib mereka.
***
Di sebuah komplek perumahan di Black York, siang terik hari ini. Hunian yang cukup megah karena rata-rata rumah di sini berlantai dua.
Kemarin-kemarin Henzo dapat dua kotak berisi makanan sisa yang cukup untuk makan dia bersama keluarganya. Dia harap siang ini dapat lebih banyak lagi.
Satu per satu kotak sampah di depan setiap rumah diceknya. Melihat-lihat kira-kira ada atau tidak barang yang bisa dipungut. Zonk! Tidak ada satu pun.
Henzo masih celingak-celinguk ke sekitaran. Karena komplek ini bersih dan rapi, hebatnya di parit pun tidak ada sampah yang berserakan.
“Kak, lapar!” rengek Chalie sambil memegangi perut. Wajahnya makin meleleh. “Haus juga, Kak!” keluhnya lagi. Matanya mengerjap-ngerjap, berharap kakaknya melakukan sesuatu.
Drrrttt...
Kuping Henzo seperti menangkap sesuatu.
Drrrttt...
Oh, di situ!
Lantas Henzo pun bergegas mendekati bak sampah.
Namun, tiba-tiba sebuah mobil hitam metalik berhenti di depan pagar rumah. Dua orang turun dengan cepat dan membanting pintu mobil, lalu membuka pagar.
Dua orang itu membuka paksa pintu rumah. Suara gebrakan dan bantingan terdengar jelas oleh Henzo. Gar! Gar!
Penasaran, Henzo dan adiknya mendekat, mengintip apa yang sedang terjadi di sana.
Drrttt...
Bunyi di dalam bak sampah masih saja terdengar. Henzo jadi bingung sekarang mau mengurus yang mana.
“Aaahh! Malinggg!” teriak gadis remaja dari dalam rumah.
Henzo dan Charlie mundur ke belakang dan bersembunyi di balik semak-semak. Di sekeliling memanng tidak ada orang satu pun. Sepertinya dua maling ini sudah merencanakan secara matang.
“Dik, siapkan ketapel dan kerikil!” titahnya.
“Delapan enam, Kak!”
Terdengar lagi teriakan. “Maling! Maling!”
“Ayo!” Henzo mengajak adiknya untuk segera bergegas menuju lokasi. Mereka berdua mematung di sekitar pagar, lalu manyahuti dua maling itu.
“Oy!”
Begitu dua pria dewasa itu menoleh, kompak Henzo dan Charlie menembaki mereka berbarengan.
Tus! Tus!
Headshot!
“Lagi, Dik!”
Tus! Tus!
Pas kena biji matanya.
“Aggrrhh!” seorang dari mereka mengerang kesakitan sambil menutupi matanya.
Tus! Tus!
Tus! Tus!
Dengan gagahnya Henzo melangkah dan mendekati dua orang itu sembari mengambil ancang-ancang menarik tali ketapel lagi.
“Cepat lari dari sini!” sergah Henzo menyeringai marah.
“Hus!” usir Charlie sambil menyodorkan ketapel ke wajah mereka. Wajah mungilnya berubah seram.
Dua orang itu pun pontang panting sambil menutupi kepala, masuk segera ke dalam mobil, dan enyah dari sini.
Tak lama kemudian seorang gadis seumuran Henzo membuka pintu. Wajahnya sangat cantik dan ayu. Kulitnya putih dan mulus. Hidungnya mancung dan matanya indah. Sungguh mempesona.
Dua pemulung ini merasa kecil ketika memijak beranda rumah dan berhadapan dengan gadis itu. Henzo beringsut meninggalkan ubin mewah ini dan menyahuti adiknya agar segera pergi.
Henzo memasukkan ketapelnya ke tas selempang murahan yang melilit badannya. Disekanya keringat di keningnya. Masih saja terengah-engah melampiaskan amarahnya barusan.
“Tunggu dulu!” pekik gadis itu kemudian menghambur menuju pagar. “Aku belum mengucapkan terima kasih pada kalian.”
Henzo remaja ini menyedihkan masih menunduk. Melihat kakaknya seperti itu, Charlie juga ikutan menunduk. Dua laki-laki kumal ini sepertinya tidak mau diajak bicara karena minder.
“Namaku Clara. Terima kasih telah menolongku.”
“Ya. Lupakanlah,” balas Henzo pelan. Sorot matanya terhampar lemah ke jalanan semen, berharap gadis itu segera masuk ke rumahnya.
“Ini makanan buat kalian berdua!” Clara menyodorkan sebuah kantong plastik bermerek. Steak daging sapi yang sangat mahal. “Sebagai ucapan terima kasih.”
Henzo masih bergeming dan tidak merespons. Bukan karena tidak mau, tapi masih saja malu, malu karena gadis ini kaya, dan malu karena gadis ini cantiknya minta ampun.
Sebaliknya, Charlie yang sudah hampir mati kelaparan, tak sabar menunggu titah dari kakaknya. Sekelebat dia melirik kakaknya, tapi kedua tangannya sigap menyambut bungkusan itu. “Terima kasih banyak, Kak Clara,” ucapnya sumringah, alisnya naik satu senti.
Clara buru-buru membalik badannya, masuk, dan mengunci pagar.
Henzo mengangkat wajahnya, menggeleng melihat tingkah adiknya.
Drrrttt...
Henzo menoleh. Karena penasaran, lantas dibukanya bak sampah selebar satu kali satu meter ini.
Ada tumpukan-tumpukan buku tentang komputer dan IT. Dokumen-dokumen perusahaan game. Satu smartphone rusak hancur berkeping-keping. Satu laptop rusak.
Drrrttt...
“Masih menyala?” desis Henzo terbelalak. Kedua pangkal alisnya bertaut. Digaruk-garuknya kepalanya yang tidak gatal.
“Hm?” Charlie terlonjak dan menganga mulutnya, kaget rupanya masih menyala.
Mengherankan, tiba-tiba semua sampah dan serpihan itu menyatu. Bergerak dan bergetar. Membentuk sebuah System!
Tiba-tiba memancar sebuah cahaya dari dalam bak sampah itu dan muncul layar hologram 2D. Keren dan menakjubkan.
Dua pemulung ini makin terheran-heran dibuatnya. Sesusah-susahnya dan sebodoh-bodohnya mereka, tahu kalau barang rusak hancur berkeping-keping jelas tidak akan bisa kembali beroperasi, jelas tidak akan bisa berfungsi.
[Ding]
[System memanggilmu, Henzo!]
“Ada suara dari dalam situ?” Henzo memegang erat kepalanya. Sungguh tak percaya.
[Tuan Henzo adalah orang yang terpilih]
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved