Bab 1 Henzo

by AM.assekop 16:23,Aug 07,2023
Henzo menarik tali busur panahnya. Jari tengah dan telunjuknya mengapit pangkal anak panah, lalu sorot sebelah matanya membidik seekor ikan mujair yang sedang berenang di sekitar permukaan. Masih fokus, dan Henzo melepaskan anak panahnya.
Sruutt!
Tuss!!
“Yeehh!” jerit Charlie heboh. Tangannya meninju-ninju langit. “Cepat, Kak, aku sudah lapar.”
Henzo si remaja empat balas tahun ini pun melangkah panjang ke pinggiran sungai, jalannya agak cepat karena kalau tidak, nanti ikannya hanyut dibawa arus. Henzo mencelupkan kedua kakinya di sungai yang dangkal. Cuma sebatas dengkul.
Hasil buruannya tersebut terombang-ambing dilamun arus. Henzo meraihnya dan mencabut anak panah yang tertancap di tubuh ikan sebesar kepalan tangan orang dewasa itu. Henzo berbalik badan dan menyerahkan buruan keempat itu ke adiknya.
Charlie si bocah delapan tahun melompat kegirangan. “Hore! Kakak hebat!” seru Charlie sembari membelesakkan ikan yang menggeliat-geliat ke dalam kresek hitam.
Mereka berdua pun berjalan menyisiri hutan dengan membawa hasil tangkapan yang cukup. Seperti inilah kegiatan kakak beradik setiap harinya di kala pagi-pagi buta. Kalau tidak ikan, biasanya mereka berburu burung dan apa saja binatang yang boleh di makan.

***

Mentari baru tampak dari timur. Semburatnya menembus dedaunan lebat di atas sana. Hutan belantara di ujung kota Black York ini jarang dimasuki oleh manusia karena cukup jauh dari pusat keramaian penduduk, sekitar lima belas kilometer jauhnya.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, Henzo dan Charlie akhirnya sampai di gubuk papan milik orang tua mereka. Gubuk seluas empat kali lima meter beratapkan pelepah dan dedaunan. Tidak ada barang mewah dan berharga di dalamnya. Bahkan perabot penghias pun tidak ada.
Di dalam gubuk reyot ini hanya ada kasur dan bantal buat tidur, alat makan minum seperti piring dan cangkir, perlengkapan berburu, barang rongsokan hasil dari mulung, itu saja. Selebihnya ada pisau, kampak, dan gunting. Sekiranya mereka bisa hidup, itu sudah cukup.
Logan, ayahnya Henzo, tidak bisa berjalan bebas karena sedang menderita diabetes parah. Jari-jemari kaki kanannya habis diserang oleh keganasan efek dari penyakit kencing manis itu. Bonyok dan bernanah. Melihat sekilas, orang langsung jijik.
Esmeralda, ibunya Henzo, tidak bisa bergerak bebas dan hanya bisa terkulai lemah di atas kasur. Warna kulitnya menguning, efek dari keganasan hepatitis C stage 4. Wanita paruh baya itu saban hari mengerang menahan sakit yang dideritanya.
“Ayah, Ibu, tunggulah sebentar. Kami berdua akan membakar ikannya!” ucap Henzo sembari mengeluarkan isi perut ikan dan membersihkannya.
“Sebentar lagi kita makan sama-sama!” timpal Charlie. Mulutnya meruncing tatkala sibuk menyirami ikan dengan asam garam dan kecap manis.
Henzo merapikan tumpukan kayu bakar yang mulai tersulut api. Diratakannya supaya apinya tidak begitu besar. Lalu mereka berdua mulai membakar ikan yang sudah terjepit di antara petak besi itu, membolak-baliknya, hingga benar-benar matang.
Ketika ikannya sudah ditiriskan di atas piring, Henzo bersama adiknya kembali masuk ke dalam rumah, kemudian meletakkan empat piring tersebut tak jauh dari tempat tidur kedua orang tuanya.
“Pelan-pelan, Ayah,” ucap Henzo lembut. Dirangkulnya tubuh ayahnya supaya seimbang ketika duduk.
Charlie berusaha juga membantu ibunya duduk. Digenggamnya erat tangan ibunya dan menariknya pelan-pelan. “Ayo kita makan, Bu!” serunya. Matanya berbinar-binar.
Logan dan Esmeralda hanya mengangguk pelan. Bahkan bicara saja mereka sudah berat rasanya. Sebelum makan, Henzo membantu ayah dan ibunya terlebih dahulu sampai mereka berdua benar-benar kenyang dan puas.
Sementara Charlie makan sangat lahap. Di sekujur mulutnya dipenuhi bekas kecap. Karena hanya bisa makan sehari dua kali, kadang kala juga sekali, makanya anak kecil ini makan dengan semangat dan lupa akan segalanya.
Henzo mengangkat cangkir untuk ayahnya supaya bisa minum, kemudian untuk ibunya juga. Setelah itu, barulah dia makan. Henzo hanya makan sisa dari mereka. Bahkan kurang dari setengah potong saja. Tapi, tidak sedikit pun Henzo mengeluh.
BRAAKK!!
Kursi yang ada di depan rumah hancur patah-mematah.
GAR! GAR! GAR!
Tembok papan gubuk ini dipukuli berkali-kali dengan gelam.
Henzo berdiri, melangkah cepat ke pintu masuk yang hanya berjarak tiga meter dari tempat tidur kedua orang tuanya dengan bersekat triplek. Henzo terperanjat karena ada lima orang yang mengobrak-abrik halaman rumah orang tuanya. Bekas bakaran tadi, bara apinya berhamburan ke mana-mana.
“Logan! Tiga tahun kau tidak bayar sewa tanah ini! Kau keterlaluan sekali!” lolong Martin sang punya lahan hutan ini.
“Logan! Esmeralda! Kapan kalian akan bayar utang? Sekarang kalian harus bayar tiga ribu lima ratus dollar!” jerit Erwin si rentenir. Tepat dua tahun lalu Logan berhutang delapan ratus dollar dan belum pernah bayar sama sekali. Sekarang bunganya membengkak besar.
Tiga orang bertubuh besar dan berpakaian preman itu sibuk menghancurkan apa saja yang ada di halaman. Tanaman-tanaman hias mereka babat dengan sadis. Pohon jambu di sana ranting-rantingnya habis ditebasi pakai parang.
Henzo bersimpuh di hadapan dua orang itu. “Jangan hancurkan rumah kami. Jangan bakar rumah kami. Tolonglah!” pintanya. Bulir air matanya perlahan jatuh satu per satu. Suara Henzo parau dan napasnya lemah.
Martin menyepak wajah Henzo. Bug! Keluar darah segar dari hidung remaja itu. Erwin beringas, lantas di tendangnya perut Henzo dengan keras. Henzo terpental ke belakang satu meter. Badannya berputar dua kali.
Henzo meringis menahan sakit, menyeka darah yang mengucur di hidungnya, lalu mengusap perutnya. Tiga hari yang lalu dia digebuk pakai kayu dan disebat pakai rotan. Seminggu yang lalu wajah dan perutnya dipukuli hingga memar dan lebam.
Henzo tidak hanya menjadi tulang punggung, tapi benteng kokoh untuk mempertahankan keutuhan keluarganya. Dia rela disiksa dan dihina, asal ibu, ayah, dan adiknya tidak tersentuh sama sekali. Dia terus menguatkan diri.
“Waktumu tidak banyak, Logan! Jika seperti ini terus, gubukmu akan kami bakar!” jerit Martin menyeringai, matanya jahat. Dihisapnya asap rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya gusar.
“Kalau tidak bayar, kedua anakmu akan kami bunuh!” pekik Erwin berang. Putih matanya melebar. Urat di jidatnya mencuat. Matanya tajam menyoroti Henzo yang tengah terkapar lemah di atas tanah.
Henzo bangkit dan berlari kencang. Dengan terengah-engah dia berdiri di mulut pintu sambil membentangkan kedua tangannya seperti elang mengepakkan sayap, menghalau mereka berlima agar tidak masuk.
Di dalam, Charlie memeluk ayah dan ibunya erat-erat. Di dekat bocah itu ada sebilah pisau. Siap-siap, jika orang-orang itu mengancam, Charlie akan memberikan perlawanan. Sementara Logan dan Esmeralda cuma bisa membatu karena memang tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa lagi.
Mereka berlima akhirnya melenggang meninggalkan halaman rumah yang sudah porak poranda.
Martin dengan congkaknya menunjuk-nunjuk Henzo. “Kami akan segera ke sini lagi. Jika tidak bisa bayar, nyawa kalian akan melayang!”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

46