Bab 14 Memiliki Dua Wajah
by Yenni Nio
11:30,Aug 23,2022
Mata Anya berangsur-angsur berkedip, gerakan tangannya sedikit berlebihan, dia berdiri dan mencoba melepaskan kain kasa yang melilit punggung pria itu.
Tapi jarak yang semakin dekat membuat Dion merasa sedikit tidak nyaman, dia mengerutkan kening dan hendak mendorongnya menjauh, tapi aroma elegan langsung masuk ke hidungnya, membuatnya lemas.
Segera setelah itu, tubuh yang lembut jatuh ke dalam pelukannya.
"Kak Aristo, jangan bergerak, sebentar lagi selesai."
Anya melepas perban untuknya dengan sungguh-sungguh, tidak menyadari bahwa seluruh tubuhnya sudah menempel pada pria itu.
Lengan putihnya melingkari lengan pria itu, membentuk kontras yang tajam dengan kulit Dion yang sedikit gelap.
Dion sedikit menggerakkan tubuhnya, tapi Anya mengira dia akan mendorongnya lagi, jadi dia mengingatkan dengan suara rendah, "Kak Aristo, jangan gerak, sebentar lagi kok."
Napas yang keluar dari kata-katanya menyembur tubuh Dion, membuat seluruh tubuhnya bergetar dengan perasaan tak tertahankan.
"Tuan Aristo, dokter udah di sini dengan obatnya!"
Agra masuk lebih dulu, tapi begitu dia melihat pemandangan di dalam, dia menghalangi dokter dari pintu.
Wajah Dion menjadi gelap seketika, dia mengulurkan tangan dan mendorong Anya menjauh dari lengannya.
Untungnya saat ini Anya sudah keluar dari pelukan Dion dan dia tersenyum pada Agra, "Udah enggak butuh dokter, aku bisa ngelakuin ini."
Agra menatap Dion dengan ragu.
Melihat wajah Dion yang suram tapi tidak membantah, dia segera mengerti di dalam hatinya, meninggalkan obat dan kain kasa, lalu buru-buru pergi bersama dokter.
Tampaknya hal yang baik akan datang pada Tuan Muda nya.
Pintu ruangan ditutup lagi.
“Kak Aristo, aku akan pelan-pelan, kamu tahan bentar ya.” Anya membujuk Dion seolah dia sedang membujuk anak kecil. Mengambil keuntungan sebelum pihak lain marah, dia dengan cepat mengoleskan obat dan menyentuhnya dengan tepat.
Wajah Dion gelap, berpikir bahwa Anya sengaja menggodanya, namun dia dengan cepat membalutnya.
"Kak Aristo, udah selesai!"
Setelah melakukan semua ini, Anya menatap lurus ke arah Dion dengan matanya yang berbinar.
Dion mengerutkan kening dan mencibir, "Apa? Begitu lambat, masih berani minta pujian!"
Anya menggelengkan kepalanya dan cemberut, "Kak Aristo, kamu salah paham! Aku cuman mau memijat kakimu. Terakhir kali aku memijat kakimu untuk meredakan krammu, tapi kali ini, untuk menebus lukamu yang baru aja kebuka, biarkan aku memijat kakimu lagi, oke?"
Sebenarnya, Anya hanya ingin memastikan apakah kaki Dion benar-benar rusak, atau masih bisa disembuhkan.
Dion meliriknya sekilas dan tidak secara langsung menolak, begitu Anya melihat dia setuju, dia segera menghela nafas senang dan menyuruh Dion untuk pindah ke tempat tidur, sehingga dia bisa memijat kakinya.
Kali ini Dion langsung berdiri, berjalan ke tempat tidur dan duduk di bawah tatapan matanya.
Anya tersenyum padanya, tidak melewatkan cara berjalan pria itu yang tidak wajar barusan.
Dia berpikir dalam hati, sepertinya kakinya masih sedikit cacat, haruskah dia membantunya?
Sambil memikirkannya, jari-jarinya telah menekan kakinya.
Setelah memijat, ruangan menjadi hening.
Membuat Dion mengantuk.
Tanpa sadar, dia tertidur lagi.
Setelah sekian lama, ketika Dion bangun lagi, dia merasakan beban lengannya sebelum sepenuhnya bangun.
Segera setelah Dion menurunkan matanya, tatapannya jatuh pada wajah yang halus dan tenang.
Anya memejamkan matanya, mulut kecilnya sedikit terbuka dan tidur nyenyak di pelukannya.
Ada semburat kehijauan samar-samar di bawah matanya, terlihat seperti dia belum beristirahat dengan baik. Bulu matanya yang berbulu seperti kipas, sedikit bergetar, membuat dia terlihat lebih cantik dan tenang dari biasanya.
Tatapan mata Dion berangsur-angsur menjadi gelap dan bermakna.
Anya.
Tidak peduli apa tujuanmu, karena kamu sukarela memulai permainan, maka kamu harus selesaikan permainan sampai akhir!
Di ruangan yang remang-remang, Anya perlahan bangun, dia mengedipkan matanya tanpa sadar, menatap pria yang duduk di kursi roda tidak jauh darinya, lalu bergumam.
"Kak Aristo ..."
Tatapan Dion tenggelan, dia mengedipkan matanya ke arah Agra yang berdiri di pintu, pihak lain memahami dan segera mundur.
Dia memutar kursi roda dan datang ke sisi tempat tidur, ini adalah pertama kalinya Dion menatap Anya dengan sangat serius, ada sesuatu yang tidak dapat dipahami di matanya yang gelap.
"Apakah kamu mau belajar?" Dion bertanya dengan suara rendah.
"Hah?"
Anya mengedipkan matanya dan menatap Dion dengan ekspresi bingung.
Apakah dia masih bermimpi?
Belajar?
Meski tidak berkuliah di kuliah formal, Anya sudah menyelesaikan semua kursus di pelatihan organisasi.
Apa lagi yang harus dia pelajari?
Melihat wajahnya yang bingung, Dion mengingat informasi yang lebih rinci tentang wanita di depannya dan apa yang dikatakan Agra pada dirinya sebelum pergi, "Kamu dibesarkan di pedesaan dan enggak pernah kuliah."
Anya diculik pada usia tiga tahun dan ditemukan pada usia enam belas tahun, dia juga tinggal di pedesaan pada saat itu sampai sekarang.
Mengingat kembali, pertemuan pertama mereka berdua adalah di jalan raya pedesaan dan hari itu juga merupakan pertama kalinya Anya memasuki ibukota provinsi.
Apakah karena wanita ini terlantar sejak kecil sehingga dia memiliki dua wajah dan sengaja berpura-pura menyenangkan di depan orang lain?
Tapi jarak yang semakin dekat membuat Dion merasa sedikit tidak nyaman, dia mengerutkan kening dan hendak mendorongnya menjauh, tapi aroma elegan langsung masuk ke hidungnya, membuatnya lemas.
Segera setelah itu, tubuh yang lembut jatuh ke dalam pelukannya.
"Kak Aristo, jangan bergerak, sebentar lagi selesai."
Anya melepas perban untuknya dengan sungguh-sungguh, tidak menyadari bahwa seluruh tubuhnya sudah menempel pada pria itu.
Lengan putihnya melingkari lengan pria itu, membentuk kontras yang tajam dengan kulit Dion yang sedikit gelap.
Dion sedikit menggerakkan tubuhnya, tapi Anya mengira dia akan mendorongnya lagi, jadi dia mengingatkan dengan suara rendah, "Kak Aristo, jangan gerak, sebentar lagi kok."
Napas yang keluar dari kata-katanya menyembur tubuh Dion, membuat seluruh tubuhnya bergetar dengan perasaan tak tertahankan.
"Tuan Aristo, dokter udah di sini dengan obatnya!"
Agra masuk lebih dulu, tapi begitu dia melihat pemandangan di dalam, dia menghalangi dokter dari pintu.
Wajah Dion menjadi gelap seketika, dia mengulurkan tangan dan mendorong Anya menjauh dari lengannya.
Untungnya saat ini Anya sudah keluar dari pelukan Dion dan dia tersenyum pada Agra, "Udah enggak butuh dokter, aku bisa ngelakuin ini."
Agra menatap Dion dengan ragu.
Melihat wajah Dion yang suram tapi tidak membantah, dia segera mengerti di dalam hatinya, meninggalkan obat dan kain kasa, lalu buru-buru pergi bersama dokter.
Tampaknya hal yang baik akan datang pada Tuan Muda nya.
Pintu ruangan ditutup lagi.
“Kak Aristo, aku akan pelan-pelan, kamu tahan bentar ya.” Anya membujuk Dion seolah dia sedang membujuk anak kecil. Mengambil keuntungan sebelum pihak lain marah, dia dengan cepat mengoleskan obat dan menyentuhnya dengan tepat.
Wajah Dion gelap, berpikir bahwa Anya sengaja menggodanya, namun dia dengan cepat membalutnya.
"Kak Aristo, udah selesai!"
Setelah melakukan semua ini, Anya menatap lurus ke arah Dion dengan matanya yang berbinar.
Dion mengerutkan kening dan mencibir, "Apa? Begitu lambat, masih berani minta pujian!"
Anya menggelengkan kepalanya dan cemberut, "Kak Aristo, kamu salah paham! Aku cuman mau memijat kakimu. Terakhir kali aku memijat kakimu untuk meredakan krammu, tapi kali ini, untuk menebus lukamu yang baru aja kebuka, biarkan aku memijat kakimu lagi, oke?"
Sebenarnya, Anya hanya ingin memastikan apakah kaki Dion benar-benar rusak, atau masih bisa disembuhkan.
Dion meliriknya sekilas dan tidak secara langsung menolak, begitu Anya melihat dia setuju, dia segera menghela nafas senang dan menyuruh Dion untuk pindah ke tempat tidur, sehingga dia bisa memijat kakinya.
Kali ini Dion langsung berdiri, berjalan ke tempat tidur dan duduk di bawah tatapan matanya.
Anya tersenyum padanya, tidak melewatkan cara berjalan pria itu yang tidak wajar barusan.
Dia berpikir dalam hati, sepertinya kakinya masih sedikit cacat, haruskah dia membantunya?
Sambil memikirkannya, jari-jarinya telah menekan kakinya.
Setelah memijat, ruangan menjadi hening.
Membuat Dion mengantuk.
Tanpa sadar, dia tertidur lagi.
Setelah sekian lama, ketika Dion bangun lagi, dia merasakan beban lengannya sebelum sepenuhnya bangun.
Segera setelah Dion menurunkan matanya, tatapannya jatuh pada wajah yang halus dan tenang.
Anya memejamkan matanya, mulut kecilnya sedikit terbuka dan tidur nyenyak di pelukannya.
Ada semburat kehijauan samar-samar di bawah matanya, terlihat seperti dia belum beristirahat dengan baik. Bulu matanya yang berbulu seperti kipas, sedikit bergetar, membuat dia terlihat lebih cantik dan tenang dari biasanya.
Tatapan mata Dion berangsur-angsur menjadi gelap dan bermakna.
Anya.
Tidak peduli apa tujuanmu, karena kamu sukarela memulai permainan, maka kamu harus selesaikan permainan sampai akhir!
Di ruangan yang remang-remang, Anya perlahan bangun, dia mengedipkan matanya tanpa sadar, menatap pria yang duduk di kursi roda tidak jauh darinya, lalu bergumam.
"Kak Aristo ..."
Tatapan Dion tenggelan, dia mengedipkan matanya ke arah Agra yang berdiri di pintu, pihak lain memahami dan segera mundur.
Dia memutar kursi roda dan datang ke sisi tempat tidur, ini adalah pertama kalinya Dion menatap Anya dengan sangat serius, ada sesuatu yang tidak dapat dipahami di matanya yang gelap.
"Apakah kamu mau belajar?" Dion bertanya dengan suara rendah.
"Hah?"
Anya mengedipkan matanya dan menatap Dion dengan ekspresi bingung.
Apakah dia masih bermimpi?
Belajar?
Meski tidak berkuliah di kuliah formal, Anya sudah menyelesaikan semua kursus di pelatihan organisasi.
Apa lagi yang harus dia pelajari?
Melihat wajahnya yang bingung, Dion mengingat informasi yang lebih rinci tentang wanita di depannya dan apa yang dikatakan Agra pada dirinya sebelum pergi, "Kamu dibesarkan di pedesaan dan enggak pernah kuliah."
Anya diculik pada usia tiga tahun dan ditemukan pada usia enam belas tahun, dia juga tinggal di pedesaan pada saat itu sampai sekarang.
Mengingat kembali, pertemuan pertama mereka berdua adalah di jalan raya pedesaan dan hari itu juga merupakan pertama kalinya Anya memasuki ibukota provinsi.
Apakah karena wanita ini terlantar sejak kecil sehingga dia memiliki dua wajah dan sengaja berpura-pura menyenangkan di depan orang lain?
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved