Bab 9 Chaps 8: Your Heart's Matters

by Veedrya 10:18,Apr 01,2021
Icha Current POV
"Gak usah ngaco!" Nisya masih tidak terima. "Bikin dia minta maaf dengan tulus. Kadal kayak dia gak layak dikasih gampangnya aja. Tapi balik lagi ke kamu ding, Cha. Your feelings matter here."
Icha tau itu. Sepayah apapun pilihannya, teman-temannya akan terus mendukungnya dan akan selalu disana untuk menemaninya.
"Ya udah lah. Aku juga masih bingung sama maunya Azra. Udahan ngobrolin dia. Gimana persiapan merit kalian?"
Ida dan Hafid akan melepas masa lajang mereka dalam 6 minggu. Icha merasa agak bersalah karena tidak ada disana untuk membantu persiapannya.
"Ah udah, tenang aja kamu disana. Seragam bridesmaid-mu juga sudah beres, Cha. Pokoknya kamu pulang semuanya udah beres." Nisya membantu menjawab. Kebetulan Penata riasnya adalah dia, dan dekornya juga dari dia.
Nisya meneruskan bisnis Bundanya menjadi penata rias dan menyewakan dekorasi pernikahan. Hanya sampingan, pekerjaan tetapnya adalah psikolog di beberapa rumah sakit di Jogja. Pernikahan Ida dan Hafid akan digelar di Jogja, karena disanalah kampung halaman mereka. Akad dan resepsi pertama di hari yang sama di Jogja, dan nanti setelah kembali ke Jakarta, mereka akan mengadakan simple open house untuk teman-teman kantor mereka yang berhalangan hadir saat akad.
"Tenang aja, sih. Gue yang mau nikah aja tenang gini. Pokoknya lo harus cuti terus nemenin gue dari mulai malem midodareni." Titah Ida.
"Azra bakal cuti juga nemenin gue. Aih, apa sih, Sayang, cubit-cubit mulu."
Karena Ida dan Hafid terus-terusan saling serang, hal yang membuat Icha heran sampai sekarang, kenapa dua orang yang hobinya berantem dan pacarannya putus nyambung putus nyambung kayak sinyal radio di hari hujan bisa memutuskan untuk menikah, mereka akhirnya memutuskan hubungan. Demi kedamaian kedua orang lainnya.
***
Karena akhir minggu tidak ada jadwal apapun dalam training, semua peserta bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Besok mereka akan memulai office training di kantor Bangkok. Mereka akan bekerja bergantian dengan divisi yang sama dari negara lain dan melakukan brainstorming untuk mencari solusi dari semua masalah yang terjadi sepanjang tahun.
Icha sedang bermalas-malasan di kamarnya. Tidak ingin melakukan apapun sekarang ini. Hari ini hari terakhirnya di hotel, besok pagi dia dan para peserta training yang lain akan check out dan mulai menempati mess karyawan yang disediakan oleh Head office.
Agenda untuk hari ini tentu saja ada. Tapi jiwa pemalasnya malas pergi dan malah menguasainya dari pagi hingga jam menunjukkan pukul sembilan. Setelah subuh tadi dia sempat tidur lagi dan baru terbangun pukul tujuh. Dua jam sudah berlalu sejak saat itu tapi dia masih asyik bergelung di dalam selimutnya sambil menikmati channel Disney.
"Emmmh! Malaaaas tapi pingin berenang." Dan diapun berguling lagi di atas kasurnya.
Dia meraih hape nya dan mulai mengecek pesan-pesan yang dilewatkannya semalam. Beberapa dari group sahabat-sahabanya, hanya obrolan ngalor ngidul biasa yang hanya dibalas Icha dengan emot tertawa. Beberapa dari group keluarganya, Mas Eka pamit akan terlambat dan dek Io bilang ingin oleh-oleh istimewa saat dia pulang nanti. Lalu dari Tya yang mengajaknya turun untuk sarapan, cepat-cepat dibalasnya untuk duluan saja karena dia masih sangat malas, takut Tya menunggu teralu lama dan jadi kelaparan. Dan yang terakhir Azra, mengucapkan selamat pagi.
Semenjak Azra mampir ke kamarnya pertama kali, dia punya kebiasaan untuk mengirimnya pesan selamat malam dan selamat pagi. Membuat Icha ragu harus membalas atau mendiamkannya saja. Beberapa hari pertama karena masih canggung, Icha hanya membalasnya dengan 'iya' dan 'you too', lalu karena Azra jadi agak menyebalkan setelahnya Icha mulai mendiamkannya saja. Tapi hari ini pesan selamat paginya, disusul dengan pesan lain.
AzraRifai : Mau sarapan bareng?
Icha mendiamkan pesan itu lama untuk berpikir. Jawab apa, nih? Di saat seperti ini sahabat-sahabatnya akan sangat membantu. Dia tidak mungkin bertanya pada Tya. Jawabannya pasti pro Azra 1000%. Apalagi secara misterius Azra juga bisa jadi satu hotel dengannya.
IchaAryani : Belum ingin sarapan
AzraRifai : Lagi apa?
IchaAryani : Nggak ngapa-ngapain
Oke, ini garing luar biasa. Bahkan icha sendiri nyaris mati kisut membaca percakapannya dengan Azra. Duh, i need an escape!
IchaAryani : Aku mau berenang dulu
Icha mengirimnya, berharap Azra tau dia tidak ingin sarapan dengannya.
AzraRifai : Perfect! Will be ready in 10 minutes. Aku tunggu di pool, Okay? Aku g bawa hape, btw
Lhah! Kenapa jadi begini sih? Ini diluar posibilitas yang dia prediksi. Icha mengerang panjang dan melihat layar hapenya yang masih menampilkan percakapannya dengan Azra barusan. Icon online nya sudah menghilang, tandanya dia sudah bersiap entah apa dan akan segera menuju pool lalu menunggu Icha disana.
"Kenapa jadi begini huwaaaaaa."
Merasa tidak punya pilihan, Icha akhirnya bangkit perlahan dan mulai bersiap untuk berenang. Dia meraih setelan renangnya yang sudah disiapkannya sejak semalam dengan berat hati dan mulai berganti. Setelah mengemas hape dan kartu kamar di dalam dompet kulit pemberian Mas Eka, dia memakai sandal jepitnya dan keluar dari kamar.
"Hei, baru aja aku mau nyamper ke kamarmu."
Icha mendesah saat pintu lift terbuka dan Azra ternyata sudah ada disana. Sambil mengeratkan kimono kamar yang melapisi pakaian renangnya, dia mengangkat bahu dan masuk ke lift. Azra memencet tombol 1 untuk menuju pool yang berada di lantai satu.
"Obatnya masih ada? Nggak dibawa?"
"Azra, jangan mulai. Aku udah sembuh." Icha menjawab pelan.
"Tapi disana ada antibiotiknya, Cha. harus kamu habisin. Bisa bahaya kalo nggak habis." Azra mengingatkan lembut, tapi bagi telinga Icha yang terlanjur jengah, suara lembutnya terdengar seperti dengungan lebah. "Icha, dengerin nggak?"
Icha mengangguk. "Iya, nanti habis makan diminum, kok."
Mereka sampai di lantai satu dan berjalan beriringan ke pool yang terletak di seberang restoran. Untungnya hari ini tidak terlalu ramai, tapi tetap saja Icha menyadari pandangan kaum hawa yang enggan melepas tatapannya pada Azra sejak mereka datang tadi. Tak heran juga sebenarnya. Kalau dulu Azra terkenal karena tinggi dan pintar bermain basket, maka sekarang, 10 tahun kemudian, dia tumbuh menjadi... luar biasa. Ya, Azra terlihat seperti itu. Tinggi hampir 183 cm, badan atletis, senyum yang cerah dengan wajah di atas rata-rata campuran darah Chinese, Jawa dan Manado. Pendeknya, Azra itu ganteng. Dan wajar saat kaumnya menatap penuh damba padanya, apalagi dengan kaos pas badan dan celana renang ketat itu. Haduh. Icha juga sedari tadi berusaha untuk tidak menoleh lagi dan lagi kesana. Tapi entahlah, ada di sudut hatinya yang masih awam dia pahami, dia tidak suka mereka melihat Azra seperti itu.
Mereka berjalan dalam diam menghampiri sepasang sundeck yang belum berpenghuni. Menata barang bawaan dan melakukan pemanasan ringan.
"Ada apa, sih?" Icha kaget saat Azra sudah berjongkok di depannya. Posisinya yang sedang dalam hip flexor stretch, membuat matanya jadi sejajar dengar Azra, dan dekat luar biasa. "Hei, ati-ati. Kamu bisa keseleo." Katanya saat Icha terlonjak kaget dan reflek menjauh, lupa kalau posisi tubuhnya tidak dalam posisi yang bagus untuk mundur ke belakang.
"A-a-apa sih." Icha masih meronta berusaha lepas dari Azra yang memeluk pinggangnya.
"Iya, diem dulu. Nanti kamu bisa keseleo." Dan dengan entengnya dia mendudukkan Icha di sundeck, lalu kembali lagi berjongkok di depannya.
Ini Azra ngapain sih, diliatin banyak orang! Icha menjerit dalam hati. Mendadak dia merasa seluruh tubuhnya panas, padahal mereka sedang di luar ruangan dan dekat dengan air yang melimpah ruah. Salahkan Azra yang berjongkok di depannya, salahkan Azra yang terlalu dekat, salahkan Azra yang posisinya membuat mereka jadi pusat perhatian banyak orang, salahkan Icha yang jantungnya berdebar seperti genderang mau perang.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

42