Bab 7 Chaps 6: Past Is to Learn, Not To Haunt
by Veedrya
10:17,Apr 01,2021
Icha POV 8 tahun yang lalu
Hesti datang pagi itu dengan muka kusut. Bahkan sapaannya dan sapaan beberapa temannya tidak diindahkannya. Icha menunggu Hesti di mejanya.
"Kenapa? Lagi ada masalah?"
"Aku putus sama Azra." Jawabnya ketus.
Icha kaget luar biasa. "Kalian ada masalah? Bukannya kemaren masih oke?"
"Masalah kita tuh kamu! Kenapa kamu gak bilang sih, kalo kamu kenal sama Azra? Kenapa kamu selalu ngebayangin Azra sih? Bikin dia gak nyaman! Kita putus gara-gara aku deket sama kamu! Dan dia nggak suka itu! Puas?! Aku nyesel ngajak kamu ke festival olah raga kemarin!"
Setelah berkata begitu, Hesti mengemasi tasnya dan pindah ke bangku kosong di sebelah Jamal yang memang tidak ditempati. Meninggalkan Icha yang terbengong kaget. Hesti tidak pernah kembali lagi ke bangku lamanya, dan seberapapun Icha mencoba, Hesti tetap saja menganggapnya tak terlihat.
Kali ini pun sama, Icha ditinggalkan teman dekatnya tanpa tau alasannya pastinya.
Disisi lain, saat Icha bercerita kepada Nisya dan Ida tentang Hesti dan Azra yang sudah putus karena alasan yang diungkap Hesti, mereka berdua malah kaget. Karena yang mereka tau, Azra sudah jadian dengan adik kelas mereka.
Icha pusing. Teka teki ini tak sanggup dipecahkannya. Terlalu banyak soal tanpa ada petunjuk. Kenapa Jaja bersikap seperti ini padanya, kenapa dia memutus hubungan sepihak dengannya, kenapa dia dan Hesti putus karena Icha padahal Azra jadian dengan orang lain, dan kenapa Azra sekarang jadi Womanizer?
Kenapa??
***
"Hai. Can I come in?" Sapa Azra di depan pintu.
Icha menyingkir menyilakan dia masuk. Azra membawa baki yang tertutup di tangan kanannya.
Icha buru-buru mandi tadi begitu dia mendapat pesan Azra yang sedang menuju ke hotelnya. Dia bahkan tidak sempat berdandan dan mengeringkan rambutnya yang setengah basah.
Dia mengikuti Azra menuju sofa double di sebelah ranjangnya yang dilengkapi dengan coffee table. Mereka duduk disana dalam diam, saling menunggu.
Azra mengalah dan menghalau sunyi diantara mereka.
"You look pale. You sure you're feeling better?"
Icha reflek memegangi pipinya, mengangguk mengiyakan pertanyaan Azra. Matanya masih menunduk memandangi jari kakinya. Hatinya tak karuan saat ini. Berdebar kencang, tapi juga gelisah. Begitu banyak perasaan bercampur menjadi satu menuntut jawaban. Tapi dengan tega, Icha menelan semuanya kembali. Belum.
Sepanjang siang dia merutuki jawabannya yang tanpa berpikir mengiyakan Azra untuk mampir ke kamarnya. Keputusan bodoh yang masih disesalinya sampai sekarang. Icha tidak suka atmosfer canggung seperti ini, dan lebih-lebih ini terjadi dengan Azra.
"Ibu Bapak apa kabar?"
"Baik."
"Mas dan adek?"
"Baik juga."
Dia kaget saat jemari Azra memegang dagunya dan meluruskan tatapan matanya pada Azra. Azra terlihat tenang, tapi juga... gusar? Tidak sabar? Matanya menyiratkan berbagai macam emosi yang sulit dipahami Icha. Ibu jarinya mengusap dagunya pelan membuatnya sulit berfikir.
"It's been a long time, Cha. Too long. We'll make time to catch up later, would you?"
Sebelum Icha sempat mengangguk, Azra memajukan kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir Icha. Reflek, Icha menjauh karena kaget, tapi Azra menyambungnya lagi, menempelkan bibirnya di bibir Icha.
Itu bukan ciuman yang menggebu-gebu dan penuh gairah, bukan. Hanya sekedar dua pasang bibir yang saling menempel. Kemudian saling menjauh diikuti rona merah yang merambati pipi keduanya.
Azra tidak melepaskan tangannya dari dagu Icha. Membuat Icha seperti terhipnotis karena usapan ibu jarinya. Kenapa dia tidak mengelak, adalah pertanyaan yang bahkan tidak pernah sampai pada otaknya.
"Makan dulu ya." Tangannya yang satu menangkup tangan Icha, lalu membawanya ke bibir dan mengecupnya.
Azra membawa Cordon Bleu di bakinya. Dengan sigap dia memotongnya menjadi potongan kecil, dan menyuapkannya ke Icha.
Sungguh. Demi apapun Icha bingung luar biasa. Jantungnya masih berdentam menghantam dadanya, kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan tapi bibirnya hanya mampu mengeluarkan isakan.
Ya, Icha menangis, di depan Azra, setelah 10 tahun berlalu, Icha menangis menunjukkan dukanya.
***
Azra Current POV
Dia menangis. 13 tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Dia menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya.
"Cha, aku...."
"Kamu jahat!" Dia masih tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara-gara tadi dia nyosor sembarangan.
"Cha...."
"Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Jaja Pe'a!"
Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!"
Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa keju cordon bleu, lalu mendelik lagi ke arahnya. "Terus apaan barusan? Kan bilangnya boleh cium kalo udah nikah! Omes!"
"Eh, bukan gitu Cha." Azra menyangkal kikuk. "Barusan itu... kebawa perasaan. Aku pesenin yang baru ya. Yang ini buat aku aja." Ya Ampun, bagaimana bias suasana canggung tadi berubah jadi romantis dan seketika jadi kocak macam sitcom srimulat begini.
Azra menghampiri telpon di samping tempat tidur dan menghubungi bagian F&B untuk memesan room service lainnya untuk Icha. Bisa-bisanya dia lupa tentang hal penting itu. Icha pernah masuk UGD karena dikerjai anak cheerleader yang mengaku fans Azra garis keras dengan susu basi. Dia sendiri yang menghadang taxi di depan sekolah dan mengantarkannya ke rumah sakit Sardjito, Jogja saat itu. Ida, Nisa dan Hafid bahkan tak dikabarinya saking paniknya. Padahal waktu itu mereka sudah tidak saling bicara.
Saat ini pun sama, dia panik luar biasa. Sesaat tadi di tengah kepanikannya, jurang besar yang dia gali sejak sepuluh tahun yang lalu sejenak menghilang. Tapi semuanya kembali seperti semula setelah dia selesai menghubungi F&B. Icha masih duduk di sisi lain sofa, dan sekarang dia memunggunginya. Postur tubuhnya canggung dan tegang. Sama seperti dirinya. Sekarang, dia bingung harus bersikap seperti apa.
"Aku pesenin pad thai ya, bentar lagi dianter." Dia merasa berkewajiban memecah kecanggungan yang tiba-tiba menebal ini.
Dia mengangguk, menoleh sebentar demi kesopanan, lalu memalingkan lagi wajahnya.
Ah... Azra seakan tak rela wajah itu menghilang dari pandangannya. Dia merindukannya. Amat sangat. Sepuluh tahun ini, berat baginya, walaupun harus diakui itu semua adalah salahnya. Banyak pengandaian yang dia karang di dalam kepalanya demi agar bisa kembali ke masa sebelum semuanya jadi kacau seperti ini. Dia juga bosan bertengkar dengan Hafid yang dulu hampir tidak pernah bosan menggeretnya ke jalan yang benar dengan meminta maaf. Azra tau dirinya pasti dimaafkan. Icha memang sepemurah hati itu. Hanya saja, dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri, dan malah terus berlari menghukum dirinya. Tidak sadar sampai sekian lama bahwa keputusannya itu menyakiti Icha juga. Lebih dalam dan lebih intens dari apa yang dia rasakan.
Icha masih menunduk, memainkan keliman kausnya dengan jari-jari gelisah. Sesekali Azra menangkap lirikan gugup yang dilayangkan padanya. Mungkin Icha takut kalau tiba-tiba dia melakukan hal yang aneh. Wajar. Mana ada orang dengan niatan baik mendadak datang setelah menghilang 10 tahun lamanya dan tanpa aba-aba langsung nyosor? Parahnya, Azra paham sejuta persen kalau barusan adalah yang pertama untuk Icha.
"Besok acaranya outdoor. Di Chao Praya River." Akhirnya dia nekad membuka percakapan.
Icha menoleh bingung, lalu meraih hapenya dan mulai terlihat seperti mencari sesuatu. "Tya belum ada infoin apa-apa." Gumamnya pelan, sepertinya sengaja ngomong sendiri.
"Temenmu itu mungkin belum tau, dia masih harus lanjut sampai makan malam nanti. Rasyida yang kasi tau." Tambahnya saat melihat mimik Icha mengernyit bingung.
"Ujung-ujungnya cewek lagi." Suaranya terdengar kesal saat nama salah satu Kru penyelenggara event dari Singapura yang memang lumayan ganjen itu disebut.
Azra mengulum senyum. Senang rasanya mendengar nada posesif itu masih disana. Dia sadar, jalannya masih akan amat panjang untuk menambal kesalahannya selama 10 tahun ini. Dia harus mengakui bahwa menerima tawaran Mamanya yang merupakan salah satu pemegang saham di perusahaan untuk menjadi Country Sales Manager untuk kantor Indonesia adalah keputusan yang tepat. Tentu saja iming-iming untuk bertemu dengan Icha di yearly meeting ini juga salah satu sogokannya. Biasanya yang baru selesai probation, tidak akan diikutkan dalam yearly meeting. Dia yang pertama kali karena gebrakannya dalam marketing tahun ini sukses besar.
Dia bukan orang baru dalam industri penyedia jasa pariwisata dan event organizer, sehingga dia sudah fasih melakukan tugasnya sejak hari pertama bekerja. Setidaknya, ada hal yang dia banggakan dari bertahun-tahun stalking keadaan Icha dari jauh. Dia jadi ikut terjun ke bidang yang disukai Icha.
"Kalo cemburu, buruan dong kita nikah." Azra menyambar kesempatan, mumpung nyalinya masih di atas level rata-rata.
"Apaan sih." Nah kan, Seneng Azra kalau liat muka Icha merah-merah berseri gini. Apalagi gara-gara dia.
"Aku lebih seneng liat mukamu ada warnanya kaya gini." Gumamnya pelan. "Tapi yang barusan itu gak bercanda."
Ding Dong!
"Room Service!"
***
Azra’s Current POV
Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan canggung.
Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram.
"Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk-nepuk punggung Azra pelan. "Makan kok sambil nggerem-nggerem."
Icha dengan tekun mengusap dan menepuk-nepuk punggung Azra hingga batuknya reda.
"Makasih ya," Azra nyengir keki. Icha melanjutkan makannya. Bisa dirasakan Icha sudah mulai agak santai dengan keadaan ini. Bukan, lebih ke pasrah. Dia tau betul karakter Icha yang ini. Saat dia tidak bisa menguasai keadaan dan tidak bisa melawan, maka dia akan pasrah saja menerimanya. Itu terjadi juga saat Bu Dewi mencari gara-gara untuk menghukumnya, atau saat anak cheers kumat mengerjainya. "Cha? Yang aku bilang barusan tadi... gak mau kamu jawab?"
"Oke." Eh? Beneran? Kalo diokein sekarang ceritanya selesai dong! "Selera humormu gak berubah. Tetep garing." Lanjutnya tenang.
"Eh, tapi barusan itu...."
Drrt! Drrrrt! Drrrrt!
Azra mengambil hapenya dari saku celana. Siapa lagi yang merusak momenku, ya Gusti! Hafid!! Awas aja orang ini!
"Halo!"
(Woi, buset! Galak banget, Bro! Abis di tolak ya?) Azra memaki dalam hati, ditolak dan mentah-mentah oleh satu-satunya cewek yang pernah nolak dia bahkan sebelum dia nembak!
"Ada apaan? Sibuk, nih!"
(Santai, elah! Lo jadi ke tempat Icha? Gimana keadaannya?)
Buset, cerewet amat ya orang ini, udah kek Om Joko aja, batin Azra makin jengkel. "Nih ngomong sendiri." Lalu menyerahkan hapenya pada Icha yang masih terbengong mengemut ujung sumpitnya. Duh, Neng, plis. Jangan ngemut apapun di depan gue! Inner Azra mulai berontak. "Hafid mau ngomong."
Icha meletakkan sumpit dan piring di pangkuannya, lalu menerima hape Azra. "Ya, Fid? Udah baikan, kok. Besok udah bisa mulai aktivitas lagi. Nggak, nggak maksain. Bener udah enakan, makasih ya. Bilangin Ida juga makasih. Ya?"
Icha diam mendengarkan entah apa yang Hafid ocehkan di ujung sana. Sementara itu, Azra mengemasi bekas makan mereka dan berjalan ke nakas mengambil kantong obat Icha. Membuka kemasannya dan menaruh obat yang harus dimakan sore itu ke telapak tangannya sebelum mengangsurkan segelas air putih. Nampan berisi sisa makan mereka dibawa dan ditaruh diluar kamar untuk diambil petugas hotel.
"Iya tau! Aduh nggak usah macem-macem ya. Dah, udah, Bye!" Buru-buru Icha memberikan hapenya kembali.
"Ngomong apa barusan lo? Kesel ni anaknya." Sambungnya saat melihat Hafid belum mematikan sambungan teleponnya.
(Yah, biasa. Wise advise, ati-ati Cha, lo lagi sama buaya darat, salah-salah kena brakot lo)
"Sialan! Udah ah, ini Icha mau minum obat dulu. Tutup, ya."
Tanpa menunggu balasan, Azra langsung mematikan sambungan mereka dan menoleh ke Icha yang terlihat memilah-milah obatnya.
"Kok Belum diminum?"
"Udah, dua yang paling kecil."
"Yang lainnya?"
"Gede banget, takut nggak ketelen."
"Nggak papa, minum aja, emang biasanya gimana kamu minum obatnya?"
"Pake pisang. Kamu punya pisang?"
Hesti datang pagi itu dengan muka kusut. Bahkan sapaannya dan sapaan beberapa temannya tidak diindahkannya. Icha menunggu Hesti di mejanya.
"Kenapa? Lagi ada masalah?"
"Aku putus sama Azra." Jawabnya ketus.
Icha kaget luar biasa. "Kalian ada masalah? Bukannya kemaren masih oke?"
"Masalah kita tuh kamu! Kenapa kamu gak bilang sih, kalo kamu kenal sama Azra? Kenapa kamu selalu ngebayangin Azra sih? Bikin dia gak nyaman! Kita putus gara-gara aku deket sama kamu! Dan dia nggak suka itu! Puas?! Aku nyesel ngajak kamu ke festival olah raga kemarin!"
Setelah berkata begitu, Hesti mengemasi tasnya dan pindah ke bangku kosong di sebelah Jamal yang memang tidak ditempati. Meninggalkan Icha yang terbengong kaget. Hesti tidak pernah kembali lagi ke bangku lamanya, dan seberapapun Icha mencoba, Hesti tetap saja menganggapnya tak terlihat.
Kali ini pun sama, Icha ditinggalkan teman dekatnya tanpa tau alasannya pastinya.
Disisi lain, saat Icha bercerita kepada Nisya dan Ida tentang Hesti dan Azra yang sudah putus karena alasan yang diungkap Hesti, mereka berdua malah kaget. Karena yang mereka tau, Azra sudah jadian dengan adik kelas mereka.
Icha pusing. Teka teki ini tak sanggup dipecahkannya. Terlalu banyak soal tanpa ada petunjuk. Kenapa Jaja bersikap seperti ini padanya, kenapa dia memutus hubungan sepihak dengannya, kenapa dia dan Hesti putus karena Icha padahal Azra jadian dengan orang lain, dan kenapa Azra sekarang jadi Womanizer?
Kenapa??
***
"Hai. Can I come in?" Sapa Azra di depan pintu.
Icha menyingkir menyilakan dia masuk. Azra membawa baki yang tertutup di tangan kanannya.
Icha buru-buru mandi tadi begitu dia mendapat pesan Azra yang sedang menuju ke hotelnya. Dia bahkan tidak sempat berdandan dan mengeringkan rambutnya yang setengah basah.
Dia mengikuti Azra menuju sofa double di sebelah ranjangnya yang dilengkapi dengan coffee table. Mereka duduk disana dalam diam, saling menunggu.
Azra mengalah dan menghalau sunyi diantara mereka.
"You look pale. You sure you're feeling better?"
Icha reflek memegangi pipinya, mengangguk mengiyakan pertanyaan Azra. Matanya masih menunduk memandangi jari kakinya. Hatinya tak karuan saat ini. Berdebar kencang, tapi juga gelisah. Begitu banyak perasaan bercampur menjadi satu menuntut jawaban. Tapi dengan tega, Icha menelan semuanya kembali. Belum.
Sepanjang siang dia merutuki jawabannya yang tanpa berpikir mengiyakan Azra untuk mampir ke kamarnya. Keputusan bodoh yang masih disesalinya sampai sekarang. Icha tidak suka atmosfer canggung seperti ini, dan lebih-lebih ini terjadi dengan Azra.
"Ibu Bapak apa kabar?"
"Baik."
"Mas dan adek?"
"Baik juga."
Dia kaget saat jemari Azra memegang dagunya dan meluruskan tatapan matanya pada Azra. Azra terlihat tenang, tapi juga... gusar? Tidak sabar? Matanya menyiratkan berbagai macam emosi yang sulit dipahami Icha. Ibu jarinya mengusap dagunya pelan membuatnya sulit berfikir.
"It's been a long time, Cha. Too long. We'll make time to catch up later, would you?"
Sebelum Icha sempat mengangguk, Azra memajukan kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir Icha. Reflek, Icha menjauh karena kaget, tapi Azra menyambungnya lagi, menempelkan bibirnya di bibir Icha.
Itu bukan ciuman yang menggebu-gebu dan penuh gairah, bukan. Hanya sekedar dua pasang bibir yang saling menempel. Kemudian saling menjauh diikuti rona merah yang merambati pipi keduanya.
Azra tidak melepaskan tangannya dari dagu Icha. Membuat Icha seperti terhipnotis karena usapan ibu jarinya. Kenapa dia tidak mengelak, adalah pertanyaan yang bahkan tidak pernah sampai pada otaknya.
"Makan dulu ya." Tangannya yang satu menangkup tangan Icha, lalu membawanya ke bibir dan mengecupnya.
Azra membawa Cordon Bleu di bakinya. Dengan sigap dia memotongnya menjadi potongan kecil, dan menyuapkannya ke Icha.
Sungguh. Demi apapun Icha bingung luar biasa. Jantungnya masih berdentam menghantam dadanya, kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan tapi bibirnya hanya mampu mengeluarkan isakan.
Ya, Icha menangis, di depan Azra, setelah 10 tahun berlalu, Icha menangis menunjukkan dukanya.
***
Azra Current POV
Dia menangis. 13 tahun mengenalnya, baru kali ini Azra melihatnya menangis dengan mata kepalanya sendiri. Dan dialah yang menjadi sebab air matanya jatuh. Dia menunduk membekap mulutnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang karena tangisnya.
"Cha, aku...."
"Kamu jahat!" Dia masih tersedu. Mampus! Azra mulai panik. Dia pasti marah gara-gara tadi dia nyosor sembarangan.
"Cha...."
"Kamu kan tau aku alergi susu! Cordon Bleu ada kejunya! Jaja Pe'a!"
Azra menepuk dahinya pelan. Dia beneran lupa tentang alerginya Icha. Dia menarik beberapa lembar tisu dari atas meja dan mengangsurkannya ke mulut Icha. "Lepeh! Buruan!"
Icha menurut. Mengelap bersih mulutnya dari sisa keju cordon bleu, lalu mendelik lagi ke arahnya. "Terus apaan barusan? Kan bilangnya boleh cium kalo udah nikah! Omes!"
"Eh, bukan gitu Cha." Azra menyangkal kikuk. "Barusan itu... kebawa perasaan. Aku pesenin yang baru ya. Yang ini buat aku aja." Ya Ampun, bagaimana bias suasana canggung tadi berubah jadi romantis dan seketika jadi kocak macam sitcom srimulat begini.
Azra menghampiri telpon di samping tempat tidur dan menghubungi bagian F&B untuk memesan room service lainnya untuk Icha. Bisa-bisanya dia lupa tentang hal penting itu. Icha pernah masuk UGD karena dikerjai anak cheerleader yang mengaku fans Azra garis keras dengan susu basi. Dia sendiri yang menghadang taxi di depan sekolah dan mengantarkannya ke rumah sakit Sardjito, Jogja saat itu. Ida, Nisa dan Hafid bahkan tak dikabarinya saking paniknya. Padahal waktu itu mereka sudah tidak saling bicara.
Saat ini pun sama, dia panik luar biasa. Sesaat tadi di tengah kepanikannya, jurang besar yang dia gali sejak sepuluh tahun yang lalu sejenak menghilang. Tapi semuanya kembali seperti semula setelah dia selesai menghubungi F&B. Icha masih duduk di sisi lain sofa, dan sekarang dia memunggunginya. Postur tubuhnya canggung dan tegang. Sama seperti dirinya. Sekarang, dia bingung harus bersikap seperti apa.
"Aku pesenin pad thai ya, bentar lagi dianter." Dia merasa berkewajiban memecah kecanggungan yang tiba-tiba menebal ini.
Dia mengangguk, menoleh sebentar demi kesopanan, lalu memalingkan lagi wajahnya.
Ah... Azra seakan tak rela wajah itu menghilang dari pandangannya. Dia merindukannya. Amat sangat. Sepuluh tahun ini, berat baginya, walaupun harus diakui itu semua adalah salahnya. Banyak pengandaian yang dia karang di dalam kepalanya demi agar bisa kembali ke masa sebelum semuanya jadi kacau seperti ini. Dia juga bosan bertengkar dengan Hafid yang dulu hampir tidak pernah bosan menggeretnya ke jalan yang benar dengan meminta maaf. Azra tau dirinya pasti dimaafkan. Icha memang sepemurah hati itu. Hanya saja, dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri, dan malah terus berlari menghukum dirinya. Tidak sadar sampai sekian lama bahwa keputusannya itu menyakiti Icha juga. Lebih dalam dan lebih intens dari apa yang dia rasakan.
Icha masih menunduk, memainkan keliman kausnya dengan jari-jari gelisah. Sesekali Azra menangkap lirikan gugup yang dilayangkan padanya. Mungkin Icha takut kalau tiba-tiba dia melakukan hal yang aneh. Wajar. Mana ada orang dengan niatan baik mendadak datang setelah menghilang 10 tahun lamanya dan tanpa aba-aba langsung nyosor? Parahnya, Azra paham sejuta persen kalau barusan adalah yang pertama untuk Icha.
"Besok acaranya outdoor. Di Chao Praya River." Akhirnya dia nekad membuka percakapan.
Icha menoleh bingung, lalu meraih hapenya dan mulai terlihat seperti mencari sesuatu. "Tya belum ada infoin apa-apa." Gumamnya pelan, sepertinya sengaja ngomong sendiri.
"Temenmu itu mungkin belum tau, dia masih harus lanjut sampai makan malam nanti. Rasyida yang kasi tau." Tambahnya saat melihat mimik Icha mengernyit bingung.
"Ujung-ujungnya cewek lagi." Suaranya terdengar kesal saat nama salah satu Kru penyelenggara event dari Singapura yang memang lumayan ganjen itu disebut.
Azra mengulum senyum. Senang rasanya mendengar nada posesif itu masih disana. Dia sadar, jalannya masih akan amat panjang untuk menambal kesalahannya selama 10 tahun ini. Dia harus mengakui bahwa menerima tawaran Mamanya yang merupakan salah satu pemegang saham di perusahaan untuk menjadi Country Sales Manager untuk kantor Indonesia adalah keputusan yang tepat. Tentu saja iming-iming untuk bertemu dengan Icha di yearly meeting ini juga salah satu sogokannya. Biasanya yang baru selesai probation, tidak akan diikutkan dalam yearly meeting. Dia yang pertama kali karena gebrakannya dalam marketing tahun ini sukses besar.
Dia bukan orang baru dalam industri penyedia jasa pariwisata dan event organizer, sehingga dia sudah fasih melakukan tugasnya sejak hari pertama bekerja. Setidaknya, ada hal yang dia banggakan dari bertahun-tahun stalking keadaan Icha dari jauh. Dia jadi ikut terjun ke bidang yang disukai Icha.
"Kalo cemburu, buruan dong kita nikah." Azra menyambar kesempatan, mumpung nyalinya masih di atas level rata-rata.
"Apaan sih." Nah kan, Seneng Azra kalau liat muka Icha merah-merah berseri gini. Apalagi gara-gara dia.
"Aku lebih seneng liat mukamu ada warnanya kaya gini." Gumamnya pelan. "Tapi yang barusan itu gak bercanda."
Ding Dong!
"Room Service!"
***
Azra’s Current POV
Icha menyantap Padthai nya pelan dalam diam, sementara Azra melahap Cordon Bleu nya. Yah, daripada mubadzir, mending dimakan, kan. Lagipula, Icha tidak suka melihat makanan mubadzir. Kebiasaannya dari dulu. Sesekali, mereka bertatapan dan berakhir dengan canggung.
Azra merutuki kedatangan room service yang seperti tidak mendukungnya. Kenapa, selalu saja ada halangan saat situasinya dengan Icha sedang mengarah ke... ah! Memikirkannya membuatnya sebal hingga membuatnya tersedak karena makan sambil menggeram.
"Minum, minum." Icha mengangsurkan gelasnya dengan panik. "Pelan, kan, jadi tambah keselek." Tegurnya sambil menepuk-nepuk punggung Azra pelan. "Makan kok sambil nggerem-nggerem."
Icha dengan tekun mengusap dan menepuk-nepuk punggung Azra hingga batuknya reda.
"Makasih ya," Azra nyengir keki. Icha melanjutkan makannya. Bisa dirasakan Icha sudah mulai agak santai dengan keadaan ini. Bukan, lebih ke pasrah. Dia tau betul karakter Icha yang ini. Saat dia tidak bisa menguasai keadaan dan tidak bisa melawan, maka dia akan pasrah saja menerimanya. Itu terjadi juga saat Bu Dewi mencari gara-gara untuk menghukumnya, atau saat anak cheers kumat mengerjainya. "Cha? Yang aku bilang barusan tadi... gak mau kamu jawab?"
"Oke." Eh? Beneran? Kalo diokein sekarang ceritanya selesai dong! "Selera humormu gak berubah. Tetep garing." Lanjutnya tenang.
"Eh, tapi barusan itu...."
Drrt! Drrrrt! Drrrrt!
Azra mengambil hapenya dari saku celana. Siapa lagi yang merusak momenku, ya Gusti! Hafid!! Awas aja orang ini!
"Halo!"
(Woi, buset! Galak banget, Bro! Abis di tolak ya?) Azra memaki dalam hati, ditolak dan mentah-mentah oleh satu-satunya cewek yang pernah nolak dia bahkan sebelum dia nembak!
"Ada apaan? Sibuk, nih!"
(Santai, elah! Lo jadi ke tempat Icha? Gimana keadaannya?)
Buset, cerewet amat ya orang ini, udah kek Om Joko aja, batin Azra makin jengkel. "Nih ngomong sendiri." Lalu menyerahkan hapenya pada Icha yang masih terbengong mengemut ujung sumpitnya. Duh, Neng, plis. Jangan ngemut apapun di depan gue! Inner Azra mulai berontak. "Hafid mau ngomong."
Icha meletakkan sumpit dan piring di pangkuannya, lalu menerima hape Azra. "Ya, Fid? Udah baikan, kok. Besok udah bisa mulai aktivitas lagi. Nggak, nggak maksain. Bener udah enakan, makasih ya. Bilangin Ida juga makasih. Ya?"
Icha diam mendengarkan entah apa yang Hafid ocehkan di ujung sana. Sementara itu, Azra mengemasi bekas makan mereka dan berjalan ke nakas mengambil kantong obat Icha. Membuka kemasannya dan menaruh obat yang harus dimakan sore itu ke telapak tangannya sebelum mengangsurkan segelas air putih. Nampan berisi sisa makan mereka dibawa dan ditaruh diluar kamar untuk diambil petugas hotel.
"Iya tau! Aduh nggak usah macem-macem ya. Dah, udah, Bye!" Buru-buru Icha memberikan hapenya kembali.
"Ngomong apa barusan lo? Kesel ni anaknya." Sambungnya saat melihat Hafid belum mematikan sambungan teleponnya.
(Yah, biasa. Wise advise, ati-ati Cha, lo lagi sama buaya darat, salah-salah kena brakot lo)
"Sialan! Udah ah, ini Icha mau minum obat dulu. Tutup, ya."
Tanpa menunggu balasan, Azra langsung mematikan sambungan mereka dan menoleh ke Icha yang terlihat memilah-milah obatnya.
"Kok Belum diminum?"
"Udah, dua yang paling kecil."
"Yang lainnya?"
"Gede banget, takut nggak ketelen."
"Nggak papa, minum aja, emang biasanya gimana kamu minum obatnya?"
"Pake pisang. Kamu punya pisang?"
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved