Bab 6 Chaps 5: If Only I Could Read Your Heart

by Veedrya 10:16,Apr 01,2021
3rd POV 10 tahun yang lalu
Semester ganjil telah datang! Semester kenaikan kelas dan semester kelulusan bagi siswa kelas tiga! Semester yang penuh dengan kelas tambahan dan remidi di setiap ujian. Semester yang pendek katanya, berisi belajar belajar dan belajar.
Icha datang lebih pagi hari ini. Dia kangen dengan sahabat-sahabatnya, sudah seminggu sejak terakhir kali mereka bertemu, walaupun sering berkontak lewat sms dan telepon. Maklum, cuma hape Jaja dan Ida yang sudah upgrade memiliki fitur aplikasi chat.
Dia duduk di bangku panjang depan kelas sambil mencoba belajar sedikit materi semester lalu. Dari gerbang depan, dia melihat Hafid dan Jaja datang beriringan. Icha melambaikan tangan dengan heboh, yang dibalas Hafid santai. Jaja tidak membalasnya, melihat ke arahnya pun tidak! Mungkin Jaja belum melihatnya, matanya kan memang agak-agak rabun, begitu pikir Icha.
Tapi betapa kagetnya Icha saat Jaja hanya lewat begitu saja di depannya, tanpa senyum, tanpa menoleh, apalagi membalas sapaannya. Icha mencoba mencari jawaban dari Hafid, hanya untuk mendapatkan tatapan serupa dirinya disana. Bingung. Kaget. Bertanya-tanya.
Icha mengekor Jaja ke dalam, menghampiri bangkunya dan duduk di depannya.
"Jaja, Pagi!"
Senyum Icha menghilang, binar matanya meredup kala Jaja lagi-lagi mengacuhkannya dan keluar meninggalkan kelas, seolah Icha tidak berada disana.
Dan sepanjang hari itu, Icha terus invisible untuk Jaja. Bahkan Jaja menghilang begitu belistirahat berbunyi, padahal mereka biasa ke kantin bareng saat istirahat pertama.
Hanya pada Icha Jaja seperti itu. Dia masih tertawa lepas bersama Hafid, masih bercanda dengan Ida dan Nisya. Hanya pada Icha.
Jaja, kenapa? Icha salah apa? Kenapa Jaja cuekin Icha?
***
Icha’s Current POV
Icha terbangun, tersedak nafasnya sendiri karena mimpi buruk yang sering berulang 10 tahun terakhir ini. Hari pertama semester ganjil saat dia kelas 3 SMP adalah disaster bagi masa putih birunya. Hari-harinya tak pernah sama lagi sejak saat itu. Dia seperti kehilangan dirinya dan menjadi orang baru sejak saat itu. Orang baru yang tidak disukainya.
Icha bahkan sempat di bully terang-terangan oleh anak cheerleader yang mengidolakan Jaja. Sebenarnya kejadian ini sudah lumayan sering, tapi tidak pernah terang-terangan karena Jaja selalu melindunginya. Anehnya dari Ida, Nisya dan Icha yang dengan Jaja, hanya Icha yang mendapat perlakuan tidak enak di sekolah. Berbagai rumor jelek mulai menguar tentang dirinya, membuat dia dikucilkan. Hanya Ida, Nisya dan Hafid yang masih di sampingnya hingga mereka lulus.
Icha trauma. Trauma pada orang-orang yang terlihat superior. Karena alasan itulah, dia yang sudah mendapat beasiswa di SMA yang sama dengan Nisya, Ida, Hafid dan Jaja, memutuskan untuk mendaftar di SMA yang berbeda agar bisa memulai lembarannya yang baru. Dia tidak ingin masa SMA nya juga sama mengerikannya dengan tahun terakhir SMP nya.
Dengan nafas masih tersengal, Icha meraih botol minum di sebelah kirinya.
Jam 4 pagi. Sebaiknya dia bangun dan sholat subuh saja. Mungkin setelahnya mengerjakan beberapa laporan selama dia disini. Dan jika sudah lebih enakan, hari ini dia ingin ikut kelas pelatihan lagi.
Icha selesai melakukan rutinitas paginya saat jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Badannya masih agak lemas, dan kepalanya bertambah pusing setelah dia mengerjakan laporannya. Duh, asam lambung benar-benar tidak bisa diajak kompromi ya. Harus beneran sembuh dulu baru bisa melanjutkan aktivitasnya.
Memutuskan untuk berbaring lagi di tempat tidurnya, dia membaca ulang chat Hafid di group kemaren yang belumsempat di balasnya:
Al-Hafid: Cha, pingsan? Jaja barusan telpon katanya lagi nganter lo balik ke hotel
NisyaAhmad: Icha pingsan? Kenapa Cha? Kata Jaja kenapa Fid?
Al-Hafid: Kata Jaja tadi kecapekan sama over stressed. Asam lambung naik
FaridaZein: Jaja masih sama Icha? Udah sampe hotel?
FaridaZein: Yang?! Ih dikacangin gue
NisyaAhmad: Aku kepikiran gilak! Kondisi Icha gimana?
FaridaZein: Gue kepikiran yang lain
NisyaAhmad: :v
FaridaZein: Kenapa Jaja yang nganter?
Al-Hafid: Barusan Jaja telpon lagi, Girls. Icha udah sampe hotel dengan selamat. Uda diperiksa dokter juga. Tadi gue minta Jaja nungguin sampe Icha siuman, tapi dia harus balik katanya
FaridaZein: Alibi teros!!
Al-Hafid: Udah, yang penting Icha nya gak kenapa-napa
Setelah panggilan dengan Nisya terputus, baru dia tau ada puluhan missed call dari sahabat-sahabatnya dan bahkan dari Ibu, 3 diantaranya. Dia sempat berpesan pada Nisya yang masih sekota dengannya untuk tidak melapor apapun, apapun tentang keadaannya, kepada Bapak dan Ibu.
Jadi... Jaja tau kalau dia tinggal di hotel ini selama di Bangkok. Dia juga yang mengirim room service tempo hari. Dia mengantarkan Icha yang pingsan kembali ke hotel setelah pemeriksaan dokter. Pertanyaaan Icha tetap sama. Kenapa, Ja? Kenapa ke Icha?
Ketukan di pintu menariknya kembali dari lamunannya.
"Room service!"
Lagi?
***
8 Tahun yang lalu
Dua tahun berlalu sejak Jaja mengabaikannya. Sejak tahun terakhirnya di SMP terasa seperti neraka. Bu Dewi yang semakin gencar membully nya karena anak-anak cheers suka sekali mengadu jika Icha melawan.
Sekarang dia sudah kelas dua SMA.
Selain Jaja, keempatnya masih sering bertemu dan berkumpul. Jaja seperti ditelan bumi baginya. Icha hanya melihat sekilas dari luar gerbang sekolah saat menunggu Ida dan Nisya pulang. Jaja masih dengan Hafid, berangkat dan pulang bareng, menjadi BFF goals bagi yang melihat. Asalkan, Hafid tidak mengungkit nama Icha di depan Jaja. Pernah beberapa kali Hafid nekad bertanya, dan bogem mentah bersarang di pipinya meninggalkan bekas biru keesokan harinya. Bekas biru yang membuat Ida geram bukan main.
Ida dan Nisya, karena terlalu sering dititipi surat permohonan maaf Icha kepada Jaja, malah didiamkan dan ikutan dicuekin. Membuat Icha merasa bersalah. Icha terpaksa menulis surat karena Jaja dengan tiba-tiba mengganti nomor hape dan memblokir Icha dari kontaknya.
Memang Jaja tega luar biasa.
"Cha, yuk!" Hesti memanggilnya. Mereka berencana menonton festival olahraga antar SMA di kotanya. Dia juga sudah janjian dengan Ida dan Nisya disana.
Hesti adalah teman sebangkunya dari kelas satu SMA. Hari ini dia ingin mengenalkan pacar barunya kepada Icha. Pacarnya kebetulan ikut turnamen basket disana.
"Nanti aku jangan dikacangin ya, Hes." Icha mewanti-wanti. Hesti tertawa renyah mendengarnya.
"Apaan, sih. Kan dia main basket, kita mau cuci mata disana."
"Loh, katanya udah punya pacar, kok cuci mata?"
"Kan cuma cuci mata, Cha hahahaha."
Mereka kesana naik angkutan umum, lalu berjalan kaki sekitar 300 meter untuk mencapai gedung olahraganya. Hesti asyik bertukar pesan sambil senyum-senyum sendiri di sampingnya. Sepertinya dengan pacarnya.
Haaah, disaat teman sebayanya sibuk pamer kemesraan dengan pacarnya, dia malah takut dengan lawan jenisnya. Berteman oke, sekali dua kali ngobrol, tapi icha hanya membatasinya sampai disitu. Dia sangat trauma dengan Jaja yang sudah terlanjur dekat, bahkan dianggap keluarga, tapi ternyata mampu menyakiti luar biasa dalam sampai meninggalkan trauma.
Ida dan Nisya belum sampai. Tadi dia sempat menelpon salah satunya dan mereka bilang akan telat karena ada piket.
"Yang!" Hesti melambai pada seseorang di samping pintu masuk. Jika saja Hesti tidak menggandeng erat lengannya, Icha pasti sudah kabur sekarang. "Cha, kenalin, ini pacarku, Azra."
Iya! Pacar Hesti itu Jaja. Kenapa dia harus bertemu Jaja sih? Out of all male students in Jogja, why him?
"Oh, hai. Icha." Dia menyapa kikuk. Jaja hanya mengangguk lalu perhatiannya teralihkan pada Hesti. "Hes, aku di sana ya."
Langkahnya lunglai. Dia tidak ingin berada disini lagi. Tidak dengan mata Jaja yang selalu memancarkan laser dingin padanya. Dan lagi, dia tidak suka melihat Jaja baik pada cewek lain tapi ketus padanya.
Sore itu berlangsung garing bagi Icha. Walaupun ada Nisya dan Ida disana, tetap saja pemandangan Hesti yang menempel pada Jaja membuatnya jengah.
Dan agak... marah?
***
Icha’s Current POV
Icha menimang-nimang hapenya. Menimbang-nimbang keraguan yang singgah di hatinya. Tadi dia nekat meminta kontak Azra dari Hafid. Tapi sekarang dia bingung harus melakukan apa.
"Telpon, nggak, telpon, nggak, telpon, nggak, tel... aduuh, pusing!" dia kembali mengacak rambutnya. "emang kalo telpon mau ngobrol apa? Trus besok pas ketemu di miting harus gimana? Aaaaaa, gila aku lama-lama kalo kaya gini."
Icha kembali hanya memandangi layar hapenya dengan nama Jaja dan kontaknya tertera di sana. Tiba-tiba sebuah panggilan masuk membuat dia hampir menjatuhkan hapenya dan nyaris terkena jantungan.
Jaja Calling...
Lama panggilan itu dibiarkan sebelum dia memantapkan diri dan menggeser layarnya ke kanan, "H-halo? "
"Hai." Suara Azra pelan, diseberang. Bahkan suara debaran jantungnya terdengar sepuluh kali lebih keras daripada suara Jaja diseberang.
"Y-ya?" entah kenapa Icha ikut-ikutan berbisik.
"How are you?" suaranya masih sepelan helaan nafas.
"Much better now."
"You scared me to death when you passed out, you know?"
Bagaimana Icha bisa tau, Ja? Bahkan Icha sempat berpikir kamu nggak mengenali dirinya awalnya. Lelehan bening jatuh dari kedua netranya. Tangisan bisu Icha yang sering tanpa sadar pecah saat memikirkan dia yang di ujung sana.
"Mind if I came to visit this evening?"
"Ya." Suara Icha pecah karena menahan isakan. Terdengar sentakan nafas tajam di ujung sana. Seperti kaget?
"Okay. Rest well. See you."
Tangis yang ditahannya pecah tak terkontrol. Mengguncang bahunya dan mencekik tenggorokannya.
Icha... masih merindukan Jaja sama besarnya seperti 10 tahun yang lalu.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

42