Bab 4 Chaps 3: A Glimpse Of Memory

by Veedrya 10:15,Apr 01,2021
3rd POV 10 Tahun Lalu
Hari ini hari pembagian raport dan pengumuman juara umum class meeting SMP Nusantara. Hafid sudah sibuk sejak pagi karena OSIS membutuhkan seluruh anggotanya agar dua acara besar penutup semester ganjil ini berjalan dengan baik. Para orang tua, wali murid dan murid-murid sudah berkumpul di Aula belakang. Menanti sambutan kepala sekolah dan pengumuman ranking 3 besar tiap kelas.
Icha duduk berjejer di samping Jaja, Ida dan Nisya. Bosan dan ngantuk luar biasa mendengarkan sambutan kepsek yang diulang-ulang tiap tahunnya. Hari ini Bapak yang datang mengambilkan raportnya. Bapak sudah duduk di barisan belakang bersebelahan dengan orang tua Ida, Nisya, Hafid dan Jaja.
"Hafid lagi deh yang ranking satu." Jaja menggumam, meramalkan nasib temannya saat pengumuman ranking dimulai.
"Terus kamu ranking berapa, Ja?" Nisya berisik di sebelahnya.
"Gak tau. Masih sepuluh besar juga udah syukur. Gak konsen tau kemaren ujiannya." Jaja mendadak curhat.
"Kenapa?"
Jaja mendadak agak salting dengan pertanyaan Icha. "Yah... yang dipelajari gak ada yang keluar."
"Masa? Kan yang kita belajar kelompok itu pada keluar." Icha menambahkan heran, tidak peka sama sekali dengan Jaja yang semakin salah tingkah di sebelahnya.
"Hahaha tauk nih, paling Jaja lupa belajar." Nisya membantu Jaja dari cecaran Icha yang kalau tidak dihentikan bisa meleber kemana-mana.
"Sst! Kelas kita, tuh!" Iya, itu Ida yang menengahi.
"Ranking satu, Putra Bapak Fadli, Al-Hafid Muzaki." Mereka bertepuk tangan heboh, sampai-sampai Ida bahkan berdiri saking lebay nya. Hafid dan ayahnya berjalan maju ke panggung untuk menerima raport dan hadiah sambil melambaikan tangan. Jiwa Narsisnya dapat kesempatan untuk eksis, dia tidak akan menyia-nyiakannya. "Rangking Dua, Putri Bapak Joko, Icha Dwi Aryani." Dengan muka merah, walaupun sebenarnya ini bukan pertama kali baginya dipanggil saat pembagian raport, Icha menunggu Bapak untuk naik ke panggung."Rangking tiga, Putra Ibu Ayu Shinta Muhammad Azra Rifai." Jaja terlihat kaget sebentar, tidak menyangka dia masih bisa mempertahankan rangking 3 nya. kemudian ikut berseru heboh dan menggandeng Mamanya naik ke panggung.
Serah terima raport dan hadiah kecil selesai, wali murid pun sudah banyak yang undur diri, termasuk orang tua mereka. Hafid juga sudah kembali dengan mereka. Rupanya rangking empat dan lima adalah Ida dan Nisya. Kelimanya sedang asyik makan di kantin, menunggu jam diperbolehkan pulang. Tiba-tiba Ida dan Hafid membuat pengumuman heboh bahwa mereka sudah jadian. Jaja tidak terlihat kaget, hanya Nisya dan Icha yang heboh sendiri Mendengarnya.
"Aduh, serius! Sejak kapan, sih?" Nisya langsung beralih ke mode kepo.
"Awas kalo uda lama terus kalian diem-diem bae. Gak ikhlas aku!! " Eits, yang ini Icha yang bilang, saking gemesnya, tanda serunya sampai dua.
Pasangan baru itu cengar cengir. "Baru kemarin, kook. Itu saksinya lagi ngabisin mangkuk kedua mie ayam."
"Adow! Kok mukul sih, Cha! Aduh, ampun, kamu juga ikutan, Nis!"
"Salah sendiri gak bilang-bilang!"
Jaja mengusap pelan lengannya yang di cubit bertubi-tubi oleh Icha dan Nisya. Dia menoleh sebal pada Hafid yang malah memberinya kode sambil monyong-monyongin mulutnya.
"Eh.. Cha, ikut bentar yok, beli keripik di sebelah," Jaja menarik tangan Icha begitu saja. Samar-samar, namun tak yakin, Icha mendengar Nisya mengeluh,' bakal jadi obat nyamuk buat dua pasangan, aku. Sial. '
"Kenapa, Ja?"
"Eh, ng... anu. Minggu besok kosong gak?" Tumben Jaja teegagap.
"Selo, kok, gak kemana-mana. Kenapa?" Icha menjawab masih tanpa curiga.
"Ke Hutan Pinus, yuk. Soalnya abis itu aku bantuin Mama pindahan, jadi gak sempet main."
"Oh, pindahannya hari apa? Aku bantuin deh packing. Kamu tinggal berdua sama adek ya?" Fokus Icha malah ke perihal kepindahan Mama Jaja ke ibukota.
"Jumat depan. Jadi, hutan pinusnya?" Jaja mencoba mengembalikan Icha ke jalur yang benar.
"Oh, okay. Jam berapa?"
Jaja menghembuskan nafas yang tidak sadar ditahannya sejak tadi. "Pagi aja ya, jam 8."
"Okay, nanti aku bilangin anak-anak biar siap di rumahmu jam 8 ya."
He? Lho, kok anak-anak segala sih? Kan harusnya... Jaja tertunduk lemas sementara Icha sudah berlari dengan semangat kembali ke sahabat-sahabatnya.
Haduh, Cha. Peka sedikit lah... .
***
Icha current POV
Icha baru saja mandi dan membuat teh untuk dirinya sendiri saat hapenya bergetar menandakan panggilan masuk.
Ida Calling...
"Iya, Da." Sapanya di deringan ketiga.
"Lo bener, gapapa?" Icha mau tak mau teyoursenyum mendengar nada suara Ida yang khawatir dan panik.
"Gak pape, Mak Nyak." Jawabnya berusaha meyakinkan. Ida memang seperti itu, cerewet, galak dan tidak mau dibantah. Perannya adalah untuk menggembala anak-anak manusia ini agar tetap terkontrol dan tetap waras. Dari dulu sampai sekarang, tidak berubah.
"Serius, Cha. You did not sound OK right now."
Jeda sebentar sebelum Icha menjawab, "Gak tau, Da. Aku pikir aku udah baik-baik saja, bahwa time heals, but everything just stays the same. The pain, the vain, the feeling. Ternyata semuanya masih di sana, hanya tertutup debu menunggu untuk disibak."
Ida tau, jika temannya mulai galau dan berpuisi, artinya dia sedang sangat rapuh, ingin menangis tapi air mata tak pernah bisa keluar, sehingga hanya sesak yang terasa. Icha bahkan tidak menangis sepuluh tahun lalu. Jarang sekali menangis di depan teman-temannya atas perlakuan Jaja yang semakin lama semakin tidak menyenangkan.
"Seterusnya selama disana lo bakal ketemu dia?"
"Itu yang aku gak tau, Nyak. Sialnya jadwal dibagi seminggu sekali. Dan seminggu ini, kemungkinan aku bakal satu sesi terus sama dia."
Mereka berdua mendesah.
Ida tau perjuangan sahabatnya selama ini menata hati setelah kejadian itu, dan dia juga tau betapa beratnya hal ini untuk Icha, tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Setukang keponya dia, batasnya hanya sampai memberi nasehat dan menyediakan kuping untuk Icha curhat.
"Been a long day for you, you should rest." katanya kemudian.
Icha mengiyakan dan mereka menutup percakapan telepon mereka tanpa solusi, dibiarkan menggantung begitu saja, seperti dulu Jaja menggantung Icha.
Icha menghabiskan tehnya, lalu bersiap untuk tidur awal. Nafsu makannya hilang sejak siang tadi, jadi dia memutuskan untuk skip dinner malam ini dan langsung tidur. Saat menyibak selimut, bel kamarnya berbunyi.
"Room Service"
Icha mengernyit bingung. Perasaan nggak ada pesan makanan, deh. Batinnya saat berjalan membuka pintu.
"Room service, Ma'am."
"Sorry, I think you got the wrong room?"
Pelayan hotel tersebut mengernyit, mundur untuk memastikan nomor kamar, "No, Ma'am. Room service for room 308. May i? Or should I leave it to you?"
Icha menerima baki nampan dengan linglung. "Oh, thanks."
Masih dengan bingung, dia menutup pintu dan meletakkannya di meja bawah TV. Ini dari siapa? Buat siapa? Karena tidak yakin, dia memutuskan untuk menunggu setengah jam dan membiarkannya tetap rapi. Mungkin dengan begitu, pemesan akan tau kalau pesanannya tertukar dan mengambilnya kesini. Tapi itu hanya niatan, sebelum tangannya membuka penutup baki dan menemukan memo di dalamnya.

A warm meal can fix the mood.
Bon appetit

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

42