Bab 5 Chaps 4: Whenever I Close My Eyes, I See You

by Veedrya 10:15,Apr 01,2021
Icha’s Current POV
Icha ketiban sial. Kena buntung. Lagi apes. Atau apapun yang sejenis dengan istilah itu, cocok menggambarkan keadaannya sekarang. Setelah seminggu dilewati dengan lumayan terjal, bertemu jaja tiap hari, harus melihat sosoknya saat presentasi, dan kadang harus duduk semeja selama makan siang, minggu ini dia akan satu kelompok bersama Azra untuk brainstorming. Satu kelompok! Selama satu minggu! Senin sampai jumat, Icha berkali-kali menyebut dalam hati.
Teman-temannya berdiskusi heboh bersama Azra, dia sibuk mencatat poin pentingnya.
"Here, we need something to Wow-ing our customers," Marika dari Philippines menutup diskusi mereka dengan pencarian ide.
"Hmm, I like it! But How?"
Icha terbata menggumam, "Paying attention to details like their favorite music, wine, books, or special occasion like birthday? Or simply leave a welcome or goodbye message and petit souvenir."
Semua terdiam memandang Icha yang mengatakannya setengah melamun. Dia tertunduk malu saat semua mata sudah tertuju padanya dan suasana di meja bundar itu mendadak hening.
"Ah.. Em.. S.."
"That's it, right?" Azra berseru, diikuti oleh teman-teman setimnya. "We'll do like that, ya. Next, who's gonna volunteer to explain to the crowds in front?"
Ryujin dari Jepang menawarkan diri dengan berani, disambut tepuk tangan meriah mereka berdelapan yang berkerumun di meja pojok ruangan. Ruang meeting dadakan sebelum dikumpulkan kembali untuk presentasi kelompok.
Selama presentasi Ryujin, Icha sama sekali tidak menyimak, pikirannya berkelana kembali pada kejadian 10 tahun lalu, kejadian yang dia tidak yakin yang mana, yang menjauhkan Jaja secara tiba-tiba darinya.
***
10 Tahun yang lalu
Semuanya sudah berkumpul di depan rumah Jaja, siap untuk berangkat ke hutan pinus seperti kata Jaja pada Icha kemarin. Tapi yang terlihat sumringah dan bersemangat hanya Icha.
Ida dan Hafid terlihat kebingungan dan tidak yakin harus bagaimana saat Icha dengan menggebu-gebu membeberkan rencananya nanti di hutan pinus. Nisya juga malah terang-terangan meminta penjelasan Jaja 'kenapa kita ikut juga? '. Dan Jaja yang paling tidak bersemangat seperti ban kempes.
Mereka berlima diantar oleh Pak Abu, supir Mama Jaja ke hutan pinusnya. Rencananya sih mau naik motor, tapi karena jumlahnya ganjil, kasihan yang harus naik motor sendirian, akhirnya diputuskan untuk naik mobil saja.
Icha belum sempat menangkap adanya keganjilan apapun, karena mood teman-temannya sudah kembali seperti semula saat tiba di hutan pinus.
"Pak Abu, minta tolong fotoin kita berlima yaaa." Kata Jaja, kemudian mengambil tempat di sebelah Icha. Pak Abu memotret beberapa kali dengan pose yang berbeda-beda sesuai permintaan mereka. Memang dasar anak-anak kurang ajar, ngerjain orang tua. Di foto terakhir, Jaja mendadak bergeser ke belakang Icha dan mencubit kedua pipinya.
Mereka akhirnya terlibat kejar-kejaran di antara pepohonan ala film india.
"Sakit tauk!" Icha berteriak marah saat akhirnya Jaja berhenti. Tak tega rasanya melihat muka Icha yang merah karena marah dan berlari.
"Tahanin lah, bentar lagi aku nggak bisa nyubitin pipimu." Jaja menjawab cool.
"Tapi kenapa harus dicubit sih??!" Korbannya masih tidak terima.
"Emang mau dicium aja?"
Hah? Icha melotot kaget. Tapi Jaja nya santai tuh, bercanda kali ya maksudnya?
"Ciumnya gak boleh sekarang, dong! Kan belom nikah! Week!" Icha membalas meleletkan lidahnya
"Berarti nanti kalo udah nikah boleh ya?"
"Apaan, sih Jaja. Kayak iya aja bakal nikah."
"Ck! Iyain aja dulu, daripada kucubit lagi?" Jaja mengancam, membuat Icha menangkup pipi bakpaonya agar terhindar dari jari-jari jahat Jaja.
"Iya, deh! Semaunya Jaja aja!"
Jaja tertawa gemas, mengusap puncak kepala Icha. Membuat rona merah di wajah Icha yang belum sempat menghilang sepenuhnya muncul lagi.
Mereka bermain lagi hingga sore menjelang. Tak ada yang aneh bagi Icha. Semuanya menyenangkan dan mereka bersenang-senang.
Selama liburan sekolah, mereka masih baik-baik saja. Beberapa kali Icha membantu Jaja beberes untuk pindahan.
Tapi semua berubah seketika, di hari pertama semester genap. Tanpa tanda-tanda tanpa peringatan.
***
Icha’s Current POV
Dia tak enak badan. Sejak tadi kepalanya pusing dan berat, serta perutnya bergejolak tak tenang. Sepertinya asam lambungnya naik.
Icha mencoba memfokuskan pandangannya ke depan, walaupun badannya banjir keringat dingin. Suara presentator di depannya perlahan semakin menjauh dan menjauh sebelum akhirnya dia hilang kesadaran.
Icha tidak tahu, bahwa di sebelahnya ada sepasang mata yang mengawasinya dengan tatapan setajam elang, dan dengan sigap menangkapnya saat kesadarannya raib. Sosok tersebut melesat menggendongnya ke ruangan sebelah yang berfungsi sebagai posko event dan sekretariat.
Icha tidak tahu berapa lama dia pingsan, dia terbangun sore hari di kamarnya sendiri. Kekagetannya tidak berhenti disitu, di samping ranjangnya sudah ada baki makanan yang masih tertutup, dengan memo di atasnya

Get well soon!
Don't stress too much, and eat your meal properly.
You're allowed to skip the class until you're fully recovered.

Tulisan yang sama seperti yang dia temukan di memo room service tempo hari.
Siapa? Tya? Masa sih, dia seromantis ini?
Icha mengingatkan dirinya sendiri untuk berterimakasih pada Tya nanti, dan meminta maaf pada teman setimnya yang pasti terganggu oleh insiden pingsannya tadi.
Duh, malu-maluin.
Dipaksanya untuk bangun dan menyantap makan sorenya, obatnya sudah terjejer rapi di sebelah bakinya. Mulutnya masih terasa pahit dan tidak bisa merasakan apa-apa, tapi Icha tidak bodoh untuk menuruti selera makannya yang sedang dalam mood terburuknya. Dia tidak ingin menambah parah keadaannya dan membuat kejadian memalukan ini terulang lagi. Dia masih harus bertahan disini lima minggu, dan ini baru minggu kedua.
Setelah sesi Training dan Meeting ini selesai, dia akan punya kesempatan untuk bekerja di Head Office Bangkok selama sekitar 1 minggu, tergantung lama tidaknya yearly meeting yang mengharuskannya ikut. Dan kompensasi seminggu full untuk menjajal paket wisata yang ada di Bangkok. Jalan-jalan gratis ini tidak boleh dibiarkan mubazir hanya karena dia tidak bisa menjaga kondisi tubuhnya.
Di tengah perjuangannya mengunyah baguette dingin yang rasanya sudah mirip kardus di lidahnya itu, hape di meja sampingnya berbunyi.
Nisya Calling...
"Iya Nis, " sapanya pelan.
"Aduh, kamu beneran sakit disana, Cha? Sekarang kondisinya gimana? Kok bisa ambruk gimana ceritanya deh? Terus itu dari tadi si Ida coba telpon kenapa gak diangkat?"
Icha menjauhkan hapenya dari telinga sambil meringis. Anak ini, pertanyaannya kaya petasan cina. Berentet.
"Cha? Kok diem aja sih, Cha! Jawab, dong! Aku kuatir kamu ken... "
"Nis," suara di seberang berhenti. "aku gakpapa, ini lagi makan, mau minum obat."
Hembusan nafas Nisya yang seakan baru bebas dari sembelit seminggu terdengar. Eh bentar. Ada yang aneh nggak sih? Apa ya tapi? Mmm... Ah!
"Kok kamu bisa tau aku sakit?" Seingatnya, Tya tidak memiliki kontak sahabat-sahabatnya, lalu bagaimana Nisya tau?
"Hafid tadi kasi tau di group."
"Hafid?" Apa hubungannya? Kok jadi nggak nyambung sih?
"Iya, tadi Jaja telpon dia katanya kamu pingsan pas sesi brainstorming."
"Jaja?"
Duh, Icha! Bahkan kakak tua aja kosakatanya lebih bervariasi dan tidak melulu mengulang satu kata doang tanpa makna.
"Iya, tadi dia menelpon Hafid pas di mobil nganter kamu pulang ke hotel."
Eh? Apa? Jaja? Nganter pulang ke hotel? Bukan Tya??

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

42