Bab 8 Chaps 7: Can We Make Up Again?

by Veedrya 10:17,Apr 01,2021
Icha Current POV
Karena sempat absen 2 hari, Icha jadi agak canggung dengan teman se timnya hari ini. Tapi sebenarnya itu alasan aja, dia kemarin-kemarin masuk pun, akan tetap canggung dengan temannya. Dia lupa caranya berbaur dengan sekitarnya. Karena terlalu sering menarik diri dan murung, dia jadi ditinggalkan oleh 'teman-teman'nya.
Untung saja, kelompok Tya tidak jauh darinya, jadi dia masih ada teman ngobrol. Dan tentu saja, dia masih satu tim dengan Azra. Tapi seperti biasanya, Azra sibuk dengan 'teman-teman' yang lain yang hampir kesemuanya adalah cewek.
Nggak sih, Icha nggak cemburu. Cuma ganggu pandangan, kan jadinya.
"Yang bener?"
Hah? Icha menoleh ke sebelah kanannya. Lho, sejak kapan Azra di sana? Bukannya tadi masih ketawa ketiwi bareng anak-anak Malaysia dan Singapore? "Apa?"
"Cuma ganggu pandangan?" Ulang Azra.
Icha kaget, lalu salting sendiri, dan berakhir dengan membuang muka. Untung pake sun glasses, nggak keliatan kan kalo matanya udah plirak plirik kemana-mana untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba ada yang memegang dahinya agak lama. Sebelum sempat menepis atau bertanya, Azra sudah mendahului bertanya.
"Masih agak panas, lho. Bener hari ini gak apa ikut kegiatan?"
"Nggak apa. Lagian kan aku diem aja dari tadi di atas kapal." Icha menjawab sambil menggeser duduknya sedikit menjauh dr Azra.
"Bawa obat kan?"
Ini kenapa Azra jadi bawel ya? Dulu dia bawel sih, tapi kan dulu. Icha sudah biasa nggak ada yang bawelin kecuali Ibu dan Ida, yah, Nisya kadang-kadang aja sih.
"Cha?" kejar Azra.
"Iya, bawa." Icha susah menahan keketusan dalam suaranya.
Tapi Azra sepertinya mental saja. "Mumpung lagi coffee break, yang sebelum makan obatnya diminum sekarang aja."
"Ntar ah."
"Sekarang, Cha. Ini udah pas, 2 jam sebelum makan."
"Nggak ada pisang, Azra!" Icha berseru kecil. Lalu mendadak diam dan salting lagi. Azra pun begitu. Bodohnya Icha, tidak belajar dari kesalahan.
Semalam, Azra menanggapi pertanyaannya dengan awkward. Membuat dia mengingat-ingat bagian mana pertanyaannya yang membuat suasana mendadak creepy dan crispy. Setelah sadar, mukanya langsung memerah dah terbatuk heboh karena tersedak. Yah, mirip-mirip dengan keadaannya sekarang. Akhirnya Azra pamit setelah memaksa Icha menghabiskan sisa obatnya. Dengan air, bukan pisang.
"Aku mintain air putih, jangan minum obat pakai teh." Lagi-lagi Azra yang tersadar lebih dulu dari lilitan atmosfir awkward yang melilit mereka.
"Icha bego!" Runtuknya sambil memukul pelan kepalanya. Harus berapa kali lagi kejadian memalukan kayak gini terulang agar dia mau belajar? Lagian Azra juga aneh. Udah bagus kemarin-kemarin dia pura-pura nggak kenal Icha, kenapa sekarang jadi sok care gitu sih? Kenapa nggak jadi cuek jutek jijik kaya yang dulu-dulu? Dan sialnya, Icha tau dirinya bukan orang pendendam. Dia sepemurah hati itu memang, kalau nggak mau dibilang super bodoh. Mendendam saja tidak bisa, dan dia berharap untuk nggak lagi-lagi disakiti? Siapa yang sakit jiwa disini?
Dia terlahir sebagai anak tengah. Satu-satunya anak perempuan Bapak dan Ibu. Cucu perempuan pertama di keluarganya baik dari pihak Bapak maupun Ibu. Dari kecil dia diajarkan untuk mengalah, menjadi penengah, Menjadi lembut tetapi kuat. Karena posisi di tengah itu sulit. Tergencet tapi tidak boleh menggencet, meraih ke atas tapi tidak boleh lupa yang bawah. Dan inilah hasilnya setelah 25 tahun berlatih. Dia meredam semua rasa sakit dan pahitnya sendiri. Harus. Karena jika tidak, banyak yang akan terluka, banyak yang akan tersakiti. Dia tidak ingin itu terjadi. Yang lain belum tentu sekuat dirinya, belum tentu seterbiasa dirinya. Karena itu, dia berpikir, tidak apa kalau dia yang sakit. Ya, bodoh!
Icha memperhatikan Azra yang berdiri bersandar di meja bar, meminta segelas air putih pada waitress disana - acara kantor, siang hari, alcohol hanya bir saja, tidak perlu bartender. Bertanya-tanya lagi, kenapa Azra tiba-tiba berubah pikiran dan seolah-olah kembali jadi Jaja? Jurang itu masih ada, tapi tidak sedalam dan selebar dulu. Dia dulu menginginkannya, mati-matian membuat keadaan 'normal' kembali. Tapi ini... ah, entah!
"Ehem!"
"Tya ngagetin." Yang disapa senyum-senyum nggak jelas lalu duduk di sebelah kirinya.
"Kamu nggak pernah cerita kalau kamu kenal Pak Azra secara pribadi."
"Hah?" Oke, ini buruk. Kenapa juga dia harus koar-koar tentang dirinya dan Azra yang 'hanya' sebatas teman satu SMP kalau ujung-ujungnya Azra akan berlaku sama seperti yang dulu-dulu? Siapa yang menyangka kalau Azra akan berlaku 180 derajat berbeda dari perkiraannya?
"Kemarin pas coffee break terakhir dia bilang mau pamit, mau nengok kamu. Trus dia juga bilang kalo sebenernya kalian itu udah kenal lama, bahkan sebelum kerja di perusahaan ini."
"Hah? Dia bilang gitu sama semua orang?" Icha mau tak mau menjadi panik. Dia masih trauma sama fans-fansnya Azra yang terkenal garang dari jaman dulu. Apalagi sekarang Azra jadi keren banget, kebayang lah, fans nya pasti berlipat ganda.
"Nggak sih, cuma sama tim kita ini aja. Kebetulan kemarin kita tandem presentasinya."
Oke, boleh lega sekarang, kan?
"Eh ada Tya. Nih, air putihnya. Mana obatnya? Aku bukain."
Ternyata belum! Icha melirik takut pada Tya yang terang-terangan tertarik dengan interaksi mereka. Dan Azra yang biasanya luar biasa peka dengan cewek di sekitarnya, kecuali pada Icha di tahun-tahun yang telah lalu, mendadak jadi bego.
"Di tas. Aku bisa sendiri kok."
"Mana sini, kamu ngobrol lagi aja sama Tya, kalo uda selesai ntar kukasih."
Dia menoleh pelan pada Tya yang tersenyum maklum. Icha menggeleng-geleng cepat, mencoba menggagalkan kesimpulan apapun yang sedang terbentuk di dalam kepalanya.
"Nggak papa, santai aja. Obatnya buruan diminum, aku balik ke tim ku dulu, disini takut ganggu. Dadah."
Nah kan, nggak mempan dong. Pingin nangis aku, batin Icha.
***
Icha Current POV
"Aku nggak tau...." Icha mengulang kalimatnya untuk yang entah keberapa kalinya. Di seberang sana, dua, bukan. Tiga orang yang mendengarnya menghela nafas bersamaan.
"Dia nggak ada cerita apa-apa sama aku, Yang! Suer! Aduh!" Suara Hafid terdengar agak jauh. Mungkin karena menghindari cubitan Ida di pinggangnya.
Iya, mereka sekarang sedang conference call, hal yang sering mereka lakukan karena mereka tinggal berjauhan sekarang. Nisya dan Icha di Jogja, sedangkan Ida dan Hafid di Jakarta.
"Terus?" Nisya memancing setelah teriakan Hafid agak mereda.
"Apanya?" Icha membeo bodoh. Memang anak ini kelewat bodoh. Tapi dia sadar kalau dirinya bodoh, setidaknya itu nilai plus, kan?
"Ya Kamu, Cha. Tentang Agresi Jaja ini." Nisya gemas sendiri. Di seberang lainnya, Ida mendengus keras.
"Aku bingung. Ini mau ada apa lagi. Kalau cuma baikan bentar terus kaya dulu lagi, aku gak bakal sanggup."
Perasaannya kepada Azra memang sudah berubah. Dulu dia kira dia menyayangi Azra seperti dia menyayangi Mas Eka, Dek Io dan Hafidz, sebagai saudara. Tapi sepeninggal Azra, dia kosong. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tanpa Mas Eka, Dek Io ataupun Hafidz, dia tidak merasakan kekosongan sedalam ini. Sedih, tentu saja. Tapi masih bisa digantikan dengan sesuatu. Paling tidak, kesedihannya berkurang seiring waktu. Tanpa Azra, rasanya dunianya runtuh. Dia kehilangan dirinya sendiri. Dan lama setelahnya, dia baru menyadari bahwa itu adalah perasaan patah hati. Patah hati pertamanya. Ternyata perasaannya pada Azra tidak sesimpel rasa sayangnya pada saudara dan temannya.
"Semoga dia punya nyawa cadangan kalo dia niat macem-macem lagi." Ida berkata pelan. Icha merinding mendengarnya. Ida adalah temannya yang paling psycho. Dia tidak pernah tanggung-tanggung saat membalas dendam. Dulu Icha yang memohon-mohon agar Azra tidak usah diganggu lagi. Berusaha agar teman-temannya melihat bahwa ia sudah baik-baik saja dengan ketiadaan Azra. Baik-baik saja di luar, tapi masih menangis keras sendirian di malam hari saat sendiri.
"Jadi aku harus gimana? Ini biaya bengkak nanti kalo lama-lama." Icha mengembalikan teman-temannya kepada inti dari teleponan mereka.
"Kita kan pake wifi, Cha. Aduh! Apa lagi yang?" Hafid lagi yang kena. Icha tertawa mendengarnya. Mereka pasangan paling manis dan paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Sayang-sayangan iya, tapi main tangan mulu sukanya. Hafid sih, yang lebih sering kena tonjokan atau cubitan Ida. Hafid terlalu bucin, karena Icha nggak tega bilang terlalu chicken, untuk menyakiti Ida. Mentok menjewer atau menyentil saja.
"Ya kamu biasa aja, Cha. Ikutin aja alurnya. Tapi kalo dia ngajak jadian jangan langsung di iyain aja!" Nisya menasihati panjang lebar. Icha nyengir keki. Dia sengaja tidak menceritakan bagian Azra dan dirinya berciuman. Ugh, membayangkannya lagi bikin jantungnya selip dan mukanya jadi panas.
"Minta seribu candi kalo dia mau ngajakin lo jadian." Ida menambahkan.
"Gak usah ngaco!" Nisya masih tidak terima. "Bikin dia minta maaf dengan tulus. Kadal kayak dia gak layak dikasih gampangnya aja. Tapi balik lagi ke kamu ding, Cha. Your feelings matters here."

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

42