Bab 11 Between Two Choices (1)

by Lucy Liestiyo 13:26,Jan 16,2021
Lalu, dengan hati yang ringan karena urusan mereka di The Bright Side Resort telah terlaksana, Elbi dan Ezra berjalan bersama menuju gedung yang terletak di bagian depan.
“Sepertinya di gedung yang sebelah kiri sedang berlangsung persiapan sebuah acara sekarang. Berhubung urusan kita sudah beres, gimana kalau kita lihat langsung dan cari tahu, itu persiapan acara apa sih?" tanya Ezra sambil mempercepat langkahnya.
"Oke. Kenapa enggak? Ayo deh kita ke sana," kata Elbi singkat dan meraih bahu Ezra dengan protektif.
Ezra sekilas memandang Elbi lalu menggoda Pria yang dicintainya dengan menunjuk ke langit, seolah dirinya berkata, "Masih siang hari seperti ini. Matahari masih tinggi. Agak panas juga. Kalau kita sekadar berpegangan tangan saja, gimana? "
Elbi tertawa geli. Dia terbiasa dengan lelucon Ezra. Lagi pula, sepertinya dia juga tersadar, sedari tadi juga dia sudah bolak-balik memeluk dan menyentuh tubuh Gadis yang dicintainya ini.
Karenanya Elbi merentangkan tangannya di bahu Ezra dengan sangat pelan, menurunkannya lalu meraih lengan Ezra dan menggenggamnya erat. Ezra menertawakannya.
“Satu kosong,” bisik Ezra.
Elbi mesem kecil, menatap dengan pandangan penuh cinta lalu membalas, “Mau seratus kosong juga boleh, kok. Buat kamu.”
Ya. Begitu dirinya dengan mantap memutuskan untuk melamar Ezra, kian hari dia kian merasa hatinya begitu mudah meleleh. Benar apa yang dia katakan, apa saja yang menyenangkan hati Ezra, tentu saja akan diwujudkannya. Apalagi sekadar mengalah untuk hal kecil macam itu.
Seiring langkah mereka menuju gedung yang menjadi sasaran, Ezra bersenandung kecil. Elbi menikmati suara merdu Ezra dan mengayun-ayunkan tangan Ezra yang saling bertaut, sejalan dengan ritme senandung Ezra. Wajah mereka teramat cerah. Seakan menguatkan kesan betapa keduanya tengah sangat bahagia.
Mereka tidak pernah menyangka, setelah memasuki gedung target, tawa mereka akan hilang, bahkan hal yang buruk terjadi tepat di depan mata mereka, juga melibatkan mereka...
*
Satu setengah jam. Oh tidak! Padahal, katakanlah hanya beberapa puluh menit saja, jika dihitung dari keputusan mereka memasuki gedung tersebut.
Sebenarnya itu waktu yang sangat singkat. Tapi apa mau dikata, kurun waktu yang singkat itu telah memberikan perubahanan besar bagi mereka berdua. Perubahan yang jauh dari yang diinginkan.
Sementara Elbi diam dan menyesali apa yang baru saja terjadi, Ezra tidak jauh berbeda. Betul tidak ada percakapan verbal, tetapi mereka memikirkan hal yang sama dalam tempo yang bersamaan.
Gadis tersayangnya Elbi ini menggigit pipi dalamnya. Tanpa sepengetahuan Elbi, sekilas Ezra melirik Pino yang masih pingsan di jok tengah sana, selanjutnya mengerling pula ke Elbi yang duduk di jok samping pengemudi. Sesal yang bertubi-tubi menyergapnya.
Kenapa jadi begini? Aku benar-benar merasa mereka berdua terluka karena aku? Aduh! Andai saja kami berdua nggak masuk ke dalam gedung tadi itu, mungkin akan beda kejadiannya! Seandainya aku nggak tergoda buat mencari tahu persiapan apa yang sedang dilakukan di gedung tersebut. Tapi aku bisa ngomong apa sekarang? Semuanya sudah telanjur terjadi. Mana mungkin aku meng-undo apa yang sudah terjadi? Terus apa lagi yang harus aku lakukan sekarang? Nggak ada, selain membawa mereka berdua ke rumah sakit secepat mungkin untuk memastikan Pino dan Elbi mendapatkan perawatan terbaik dan berharap yang terbaik untuk mereka, pikir Ezra dalam gundah. Hati dan pkirannya terasa berat. Seolah ada berton-ton beban yang tiba-tiba ditimpakan padanya.
Dia menggelengkan kepalanya sepelan mungkin agar tidak terlihat oleh Elbi. Segera ditutupnya pintu mobil dan beralih ke sisi lainnya. Sisi pintu untuk pengemudi.
"Fokus, Ara! Kendalikan dirimu sebaik mungkin! Kendalikan emosimu juga! Kamu harus fokus! Kamu yang akan menyetir kendaraan ini. Karenanya, jangan bikin masalah lagi! Dan jangan buat Elbi lebih khawatir lagi!" seolah-olah ada suara yang dibisikkan di telinganya saat ini. Suara yang mengingatkan dirinya untuk mengedepankan sikap bertanggung jawab.
Ezra memejamkan mata sejenak saat tangannya menyentuh handel pintu mobil.
“Tuhan, tolong kami untuk melalui semua ini dengan baik,” ucap Ezra dengan penyerahan yang teguh.
Ezra menghirup napas dalam-dalam dan membuka pintu mobil. Saat itulah, Roy mendekati sisi kanan badan mobil.
“Maaf Bu, itu rekan saya. Namanya Liman. Nanti dia akan kasih tahu arah ke rumah sakit yang terdekat dari sini. Kebetulan dia cukup familiar dengan daerah ini. Saya perlu menginformasikan ke kantor kami mengenai apa yang baru saja terjadi dan ceritakan kondisi Pak Pino dulu, meskipun saya sudah menitipkan pesan ke yang lain untuk meneruskan pekerjaan mereka,” kata Pekerja yang tadi ikut membantu membawa Elbi ke mobil, disertai gerakan tangannya menunjuk ke Orang yang menemani Pino di jok tengah mobil.
Ezra baru akan menjawab saat suara Elbi terdengar olehnya.
"Pak, jika Anda tidak keberatan, sebaiknya Anda juga ikut dengan kami. Anda kan bisa melaporkan kondisi Pak Pino melalui telepon. Itu akan lebih baik untuk kami," Elbi memutuskan. Keputusannya itu segera didukung oleh Ezra dengan sebuah anggukan kepala yang mantap.
Dalam benak Ezra, akan lebih baik jika ada dua orang yang membantu mereka mengurus Pino, sementara dia sendiri dapat menaruh fokusnya untuk mengurus Elbi.
"Baiklah kalau begitu Pak..," Pekerja itu memenuhi permintaan Elbi. Tanpa membuang-buang waktu barang satu menit saja, ia langsung masuk ke mobil Elbi dan duduk langsung di jok paling belakang.
Setibanya mereka di rumah sakit dan Pekerja yang duduk di jok belakang sigap turun, melapor kepada petugas medis yang kembali ke dekat mobil bersamanya dengan mendorong brankar, kecemasan Ezra tak seketika berhenti.
Pun saat para medis mulai memberikan pertolongan kepada Pino serta Elbi, jantung Ezra berdetak lebih cepat. Berulang kali Ezra melakukan hal yang sama, menghirup dan menghembuskan napas. Seolah-olah itu bisa memberinya sedikit ketenangan.
Lima jam lima belas menit yang demikian menegangkan rasanya berlalu teramat lambat bagi Ezra. Rasa khawatir yang mencekam perasaan Ezra selama perjalanan menuju ke rumah sakit, mengurus administrasi dan menunggu hasil pemeriksaan serta tak henti mendoakan yang terbaik di dalam hatinya, belum juga mereda sepenuhnya.
Hati Ezra terasa sangat sedih. Perasaan Gadis itu campur aduk tak karuan. Ada saat di mana dia melirik ke ruang tindakan yang berada di depannya, lalu di saat lain tatapan matanya beralih ke jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
Empat puluh lima menit yang lalu, memang dia sudah bisa sedikit bernafas lega. Karena setelah beberapa jam observasi, pada akhirnya Elbi dipastikan mendapatkan izin pulang dari dokter dan diperbolehkan untuk sekadar menjalani rawat jalan.
“Hei, aku bilang juga apa, kan Ra? Keadaanku tuh baik-baik saja. Kamu saja yang terlalu cemas. Nggak ada masalah juga sama punggung aku. Ya, memang, ada sedikit kendala sama lengan kiriku. Mungkin ini pertanda supaya aku sedikit beristirahat dari rutinitas pekerjaan. Jadi, jangan terlalu khawatirkan aku lagi ya,” itu yang dikatakan Elbi beberapa waktu lalu. Nampaknya Elbi berusaha menghibur Ezra yang masih terlihat khawatir sebagaimana sebelumnya.
Perkataan yang langsung disambut tatap protes Ezra.
"Baik-baik saja, Elbi? Apanya yang baik-baik? Lengan kiri kamu tuh didiagnosis mengalami sedikit patah tulang, disebabkan posisi yang salah sewaktu kamu jatuh dan menopang berat badanmu! Belum lagi tadi itu sempat ketimpa sama badanku! Bi, Bi! Kamu harus ingat apa yang dikatakan dokter, tahu nggak? Pokoknya kamu harus mengistirahatkan lengan kamu setidaknya selama beberapa hari ke depan. Terus yang begitu kamu bilang baik-baik saja?” Ezra langsung mengeluh.
Sekarang, mengingat obrolan singkat itu, Ezra menatap Elbi dengan cermat.
"Seperti yang dokter bilang tadi, apa nggak sebaiknya kalau..," Ezra tak melanjutkan kalimatnya, seiring keraguan yang tersirat di parasnya.
Di luar kendalinya, tatapan mata Ezra berganti-ganti. Sebentar ditujukan ke Elbi yang duduk di sebelahnya, lalu di saat lainnya tertuju paa ruang tindakan di depannya. Pino masih berada di dalam ruang tindakan tersebut. Sejumlah Tenaga Medis tentunya sedang melakukan perawatan medis untuknya saat ini.
Pikiran Ezra benar-benar kacau saat ini, bingung bagaimana cara terbaik untuk menanggapi situasi yang berlangsung.
Faktanya, dua Pria di hadapannya, yang memiliki tempat khusus di hatinya, telah menyelamatkan dirinya dari kecelakaan. Mereka berdua, di tempat yang sama, tanpa harus melakukan kompromi satu sama lain telebih dahulu, memilih untuk mengutamakan keselamatan dirinya, sekaligus mengambil risiko.
Lihat saja konsekuensinya sekarang, Elbi harus menggunakan arm sling untuk menopang tangannya ke bahu. Sementara Pino ada di dalam sana, entah sejauh mana perkembangannya saat ini. I have no idea. Belum ada kabar baik yang melegakan kemajuan Pino hingga saat ini, keluh Ezra dengan hati yang gundah gulana.
Detik demi detik berlalu. Perasaan Ezra semakin kesal.
Sulit disangkal betapa beratnya momen ini bagi Ezra. Dia bagai tengah dihadapkan pada pilihan yang sulit, namun tetap harus diambil. Di stu sisi dia tahu bahwa Elbi perlu untuk segera istirahat. Tetapi disi lain, sungguh tak mungkin baginya untuk meninggalkan Pino begitu saja setelah apa yang dilakukan Cowok itu untuk mereka.
Apalagi saat Ezra mempertimbangkan bahwa kondisi Pino cukup parah. Sudah jelas bahwa Pino harus menjalani rawat inap. Dan malangnya, hingga saat ini, Pino belum juga sadarkan diri. Belum ada ada yang diizinkan untuk melihat kondisinya.
Elbi terus mengamati Ezra dalam diam.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

84