Bab 1 Di Luar Dugaan (1)
by Lucy Liestiyo
13:07,Jan 16,2021
Resor Bright Side, Akhir Maret 2018
Masih saling mengumbar tawa dengan Elbi, langkah kaki Ezra begitu mantap mendekati bangunan yang sejak tadi telah menjadi sasarannya. Ekspresi wajah yang ditampilkan oleh pun Elbi tak berbeda jauh dengan dirinya. Sesekali Cowok itu mengerling dengan tatapan sepenuh cinta kepada Ezra, sembari mengayunkan tangan Ezra yang berada dalam genggamannya.
“Yuk, kita langsung masuk saja,” ajak Ezra disertai anggukan kepalanya. Tangannya menunjuk pintu bangunan yang tampak begitu kokoh dan artistik, sejauh dua langkah di depan mereka.
“Hm, oke,” sahut Elbi ringan. Sebelah tangannya yang bebas mendorong pintu itu. Seperti biasa, dengan sikap gentleman ia membiarkan Ezra melangkah masuk terlebih dulu, baru kemudian disusul oleh dirinya.
Begitu mereka berdua memasuki sebuah gedung yang ukuran luasnya lebih kecil dari dua bangunan yang berdekatan tersebut, Ezra mengisyaratkan agar mereka menuju ruangan pertama yang mereka lintasi.
“Boleh dong. Nggak ada salahnya. Langsung lihat saja ya. Sepertinya ada kesibukan berlebih di dalam sana,” komentar Elbi yang menyaksikan sejumlah Pekerja sedang menyiapkan sebuah panggung di dalam ruangan tersebut di samping sejumlah pekerjaan dekorasi.
Ezra semakin antusias karenanya.
“Iya. Jadi makin penasaran. Ini pasti acara perusahaan deh,” tebak Ezra pula, karena melihat beberapa dari mereka juga membawa spanduk gulung. Makanya, tak heran kalau dia sangat ingin tahu siapa gerangan penyelenggara acara tersebut dan siapa pula yang menjadi kliennya.
Elbi manggut kecil dan mengikuti langkah kakinya, tepat di samping Ezra yang semakin mendekati posisi panggung. Gadis itu tampak amat bersemangat, dan Elbi paham apa sebabnya.
“Ini kliennya pasti lumayan berduit deh,” Ezra yang menoleh kepadanya berbisik pelan.
“Yup. Wajib diprospek tuh, Ra,” Elbi balas berbisik sehingga mengundang senyum Ezra.
“Kamu tuh... tahu saja apa yang ada di pikiranku sekarang,” kata Ezra setengah bercanda.
“Pastinya dong. Aku kan tahu kamu banget,” sahut Elbi segera.
Ezra tersenyum meremehkan dan membantah, “Ah. Sok tahu! Jangan terlalu sombong dulu. Enggak sepenuhnya buat memprospek kok, ha ha ha.”
“Masa sih?” goda Elbi.
Ezra mengedikkan bahu.
“Hm... oke lah, kamu benar Bi, 50 persennya. Yang 50 persen lagi...,” Ezra mengulas senyum berbalut misteri.
“Apa, hayo? Mau cari ide konsep acaranya? Mau prospek pemilik acaranya buat mengkavling hati kamu? Oho....! Jangan coba-coba ya!” canda Elbi lagi.
“Ya ampuuuun! Mikirnya ngacau deh! Kamu kali tuh, punya niat begitu!” balas Gadis itu tak mau kalah.
“Enggak dong. Enggak akan,” Elbi mengedipkan matanya segenit mungkin, membuat Ezra menggoyang-goyangkan kepala dengan sedikit jengah.
Baru sesaat fokus perhatian Ezra beralih dari lokasi panggung, tatapannya langsung terbentur kepada seorang Pemuda yang tampak sedang memberikan arahan kepada dua orang pekerja di depannya. Posisi Pemuda itu agak membelakangi mereka. Namun meski hanya mendengar suaranya saja, secara otomatis mengingatkan Ezra kepada seseorang. Dan sejatinya, itu bukanlah orang asing baginya, melainkan seseorang yang amat dikenalnya. Seseorang, yang segera merebut perhatiannya bahkan pada pandangan pertama dulu. Terkenang akan hal itu, dada Ezra berdegup kencang.
Eh! Serius itu dia? Ah, nggak lah! Mana mungkin dia bisa ada di sini? Pasti orang lain. Konon setiap manusia itu punya ‘kembaran’ tak sedarah di dunia hingga 5 atau 9 orang gitu deh, berdasarkan informasi yang pernah aku baca dulu. Oh tapi, suaranya, perawakannya, bahasa tubuhnya, kenapa bisa semirip itu sama dia? Tapi nggak mungkin dong, masa tindak-tanduk dia sudah seperti koordinator lapangan begitu? Terus, sejak dari pintu masuk tadi aku juga nggak melihat tanda-tanda bahwa perusahaan tempatnya bekerja yang tengah menyelenggarakan event di tempat ini. Fix! Pasti bukan dia! Cuma mirip saja.
Dua percakapan yang saling bertentangan bagai hinggap dan bersahutan di kepala Ezra, adu kuat dalam memengaruhi Gadis itu.
Tak urung, jantung Ezra serasa berhenti berdetak. Terselip sebuah penyangkalan berbalut harapan yang tak terucap di hati Ezra, agar siapapun yang tengah memberikan arahan tersebut bukanlah Orang yang terlintas di pikirannya.
Dia tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan jawaban pasti.
Tanpa diduga, Pemuda itu menoleh ke arah mereka bersamaan dengan selesainya dia memberikan sejumlah instruksi yang disahuti, “Siap, Pak!” oleh dua pekerja di hadapannya.
Mendadak saja, tatapan si Pemuda langsung tertuju kepada Ezra dan Elbi. Pada momen berikutnya, mereka bertiga sama-sama terkejut, lantas terdiam beberapa detik. Elbi, Ezra dan Pemuda tersebut tenggelam dalam pikiran masing-masing, dibalut sedikit prasangka pribadi.
"Pino," desah Ezra pelan, nyaris bagai berbisik pada dirinya sendiri. Namun toh, suaranya terdengar juga oleh yang dituju.
"Oh, hai, Ra. Hai, Elbi! Ternyata kalian berdua juga sedang berada di sini. Pastinya untuk keperluan ..," Pino berhenti di sana, sengaja tak melanjutkan perkataannya. Entah karena dia tak sanggup meneruskannya, ataukah lantaran tak mau.
Toh, baik Ezra maupun Elbi sama-sama paham maksud Pino walau tidak disebutkan secara verbal. Dampak ucapan Pino segera terasa. Tiba-tiba, semuanya jadi berubah agak canggung.
Sebagaimana halnya Ezra, Elbi juga terdiam beberapa saat. Kurang lebih beberapa detik mereka berdua saling beradu pandang.
Enggan membiarkan rasa tak nyaman itu berlarut, Ezra terdorong untuk mengusir kecanggungan yang tercipta. Ia merasa perlu mengganti topik pembicaraan selekasnya. Pikirnya, memang harus dia yang mengambil alih situasi. Bukan Elbi, apalagi Pino!
"Mau ada acara kantor yang dilangsungkan di sini, Pino?" tanya Ezra langsung untuk menghindari Pino mengajukan pertanyaan pribadi kepada mereka lagi. Tampak jelas bahwa Ezra tidak mau menanggapi pertanyaan Pino, dan memilih untuk balik bertanya.
Sungguh sebuah pertanyaan pengalih yang sangat sederhana lagi tepat. Semestinya begitu. Tapi nyatanya, sempat membuat Pino terdiam beberapa saat lamanya. Sepertinya Pino memanfaatkan keterdiamannya untuk memikirkan jawaban terbaik.
Pino berdeham kecil sebelum menjawab dengan singkat, "Hm ..., ya, ya. Bisa dibilang semacam itu deh, Ra."
Mendapat jawaban Pino, Ezra malah menatap dengan pandangan bertanya yang tak terucapkan ke arah Pino. Pino menyadari bahwa ia belum menjelaskan secara rinci pada Gadis di depannya ini. Makanya tidak heran bila rasa tak nyaman menyapanya, sampai-sampai dia merasa perlu untuk memberi penjelasan pada Ezra. Jadi, dilanjutkannya kata-katanya.
"Eng.., sebetulnya ini adalah hanya sebuah acara internal perusahaan yang dikhususkan bagi semua Staf di grup perusahaan kami. Dan berhubung anggaran untuk akomodasi, transportasi, konsumsi dan lain-lain yang akan diperlukan untuk perhelatannya sudah cukup tinggi, maka pada akhirnya kami memutuskan untuk mengurusnya sendiri. Yang terpenting kan saran teman-teman.., oh nggak juga sih! Sebenarnya itu bukan saran tapi lebih tepat kalau disebut sebuah pemaksaan dari mayoritas karyawan yang begitu gigih mengajukan tempat ini sebagai venue, bisa terlaksana,” Pino mengangkat bahu sesaat selagi menjelaskan dan menyimpan senyum gelinya.
“Kami pikir, ada untungnya juga buat perusahaan. Saat foto dan video kegiatan diunggah nanti kan pastinya bisa lumayan 'wow' dan menjadi ajang promosi yang berkelas,” tambah Pino. Kali ini senyum lebar terulas di bibirnya. Seolah dia lega karena telah menyampaikan alasan mengapa perusahaannya tidak menggunakan jasa perusahaan Ezra untuk mengurus aktivitas tersebut, sebagaimana yang selama ini dilakukan.
Ezra terkekeh mendengar keterus terangan Pino. Tawanya begitu lepas, dan bersambut dengan tawa Pino. Ezra tidak menyadari bahwa Elbi, yang berdiri tepat di sebelahnya, sedang menatapnya dengan tatapan cemburu yang sulit untuk disembunyikan. Bermula dari sana, percakapan Ezra dan Pino berlanjut.
Meski diam, Elbi mengamati sungguh-sungguh bagaimana tatap Ezra bertaut dengan tatapan Pino walau sesekali Ezra juga menoleh ke arahnya dan berusaha melibatkannya ke dalam perbincangan mereka. Dia juga mencermati cara Pino berbicara kepada Ezra. Demikian cair, lancar, tanpa kendala sama sekali. Meskipun bibirnya tertutup rapat, otak Elbi sibuk mernerka-nerka.
“Mereka berdua bisa bicara selancar itu. Tentu bukan semata karena ini adalah hal-hal ringan dan berkaitan erat dengan apa yang tengah berlangsung. Masa iya, ngak ada perasaan yang mereka libatkan dalam percakapan lisan ini?” nyaris saja isi hati Elbi ini menjelma menjadi sebuah gumaman lirih. Untung saja, Elbi masih dapat mengontrol dirinya sebaik mungkin. Sebuah pemikiran positif mau tidak mau membangkitkan kesadarannya untuk waspada tanpa harus terlihat curiga.
Tatkala Elbi melihat bahasa tubuh Ezra dan Pino, ekspresi wajah mereka, pilihan kata yang mereka gunakan dalam interaksi yang bahkan disaksikannya secara langsung di depan matanya, secuil rasa tak enak hati menyelinap di benaknya. Hanya saja, rasa bangga bercampur dengan keyakinannya akan kemantapan hati Ezra padanya, bersatu padu untuk meredakan rasa tak enak hati tersebut. Elbi masih mau menimpali sesekali dan berusaha bersikap sewajar mungkin.
Aku nggak boleh menyiratkan rasa cemburu atau curigaku. Itu sangat nggak berkelas, childish dan seperti abege labil, pikir Elbi sembari mengalihkan perhatian sesaat ke sekitarnya. Dilihatnya, kesibukan sedikit mereda karena sejumlah Pekerja yang tadi mempersiapkan dekorasi, meninggalkan area tersebut.
Di tengah-tengah obrolan ringan tersebut, mendadak terdengar sebuah peringatan keras dari seorang Pekerja. Teriakan nyaring yang berbalut kepanikan akibat ia melihat tiang panggung yang belum lama dipasang bergoyang.
"Awas! Semuanya menjauh! Cepat!" Pekerja itu berteriak sekuatnya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved