Bab 15 Urusan Keluarga

by Starry Nights 10:22,Jan 22,2024
Setelah membantu Cynthia membawa barang-barangnya ke dalam rumah, Gilbert pergi meninggalkan rumah tua-nya. Di sana, rumah tua itu sangat ramai, dipenuhi dengan orang-orang, hampir seluruh desa berkumpul.

Tampilan Gilbert yang memakai pakaian lusuh menarik perhatian banyak orang. Sementara itu, Shano memiliki daya tarik yang berlawanan dengannya.

Shano memiliki banyak teman dan dikelilingi oleh orang-orang dari berbagai usia, seperti bintang-bintang yang mengelilingi bulan.

"Gilbert!" Saat Gilbert hendak memberi salam kepada kakeknya, suara yang agak terkejut memotong pembicaraannya.

Dia berbalik, melihat si pembicara.

Pembicara itu adalah seorang wanita bertubuh tinggi, mengenakan jaket bulu, celana jeans dan sepatu salju. Wajahnya sangat cantik dengan senyuman lembut, memberikan kesan sangat ramah.

Di pipinya, ada dua lesung pipi kecil yang terlihat ketika tertawa, dan dua gigi kelinci yang bersinar jelas ketika berbicara yang menambah sentuhan nakal.

Gilbert terkejut melihat gadis itu.

Kemudian dia memanggilnya dengan sopan, "Kak Dior."

Gadis itu bernama Diorleen, sesama penduduk desa dan juga orang berpendidikan tertinggi di desa itu, dengan gelar sarjana. Kalau Gilbert tidak salah ingat, dia seharusnya lulus tahun ini.

Karena perbedaan usia yang cukup signifikan, ketika mereka masih SD, kalau Gilbert diganggu oleh orang lain, Diorleen selalu membelanya. Karena itu, Gilbert selalu memiliki kesan khusus terhadap Diorleen.

"Beberapa tahun tidak bertemu, kau sudah tumbuh menjadi pemuda yang tampan!" ujar Diorleen tersenyum tanpa memperhatikan pakaian Gilbert.

"Kak Dior bercanda!" jawab Gilbert, "Penampilaku ini bisa ditemui di mana-mana di jalanan." Lanjut dia.

Sementara itu, Shano melihat Diorleen berbicara dengan Gilbert dengan antusias, wajahnya menyimpan kecemburuan dan segera mendekati mereka sambil menyapa Diorleen, "Dior, kapan kau datang? Sudah lama tidak bertemu!"

"Shano!" sapa Diorleen, "Sepertinya semuanya baik-baik saja? Bagaimana, hampir naik jabatan?"

"Baik apanya, nunggu mati di dalam birokrasi. Kalau aku punya pendidikan yang lebih tinggi, mungkin aku sudah menjadi pengusaha!" ujar Shano terlihat merendah, tapi sebenarnya bangga.

Melihat mereka berdua berbicara dengan antusias, entah mengapa, hati Gilbert menjadi tidak nyaman.

Tapi pada saat seperti ini, bukanlah saat yang tepat untuk membicarakan hal-hal semacam itu. Ayahnya segera mendekatinya,"Pergi ke kamar kakekmu!" ujar Ayahnya menyuruh Gilbert mengenakan pakaian duka.

Gilbert mengangguk dan masuk ke kamar kakeknya.

Kamar kakeknya sangat sederhana, selain beberapa perabot biasa, ada tungku kecil dan tempat tidur.

Adapun neneknya, dia sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Saat ini, ada beberapa orang duduk di dalam kamar, sebagian besar orang tua dan juga mereka yang memiliki otoritas di desa.

Setelah memberi hormat, kecuali para tetua, banyak anggota keluarga Gilbert hadir.

Shano juga datang.

Dia duduk di salah satu kursi.

Mereka akan membahas beberapa hal, termasuk generasi muda seperti Jackson yang berprestasi juga hadir.

Keluarga Jackson di desa dianggap cukup kaya, ditambah dengan reputasi baik Jackson, hampir semua masalah keluarga akan mendapat perhatian Jackson, yang membuatnya menjadi sosok yang cukup signifikan di desa.

Yang duduk di kursi paling depan adalah kakek ketiga Gilbert.

Saat ini, dia yang paling dihormati di seluruh keluarga besar.

"Sekarang, abang keduaku sudah meninggal, apa rencana kalian bertiga? Apakah kalian akan mengadakan pemakaman bersama, atau masing-masing keluarga mengadakan sendiri?" tanya Wahaidi santai sambil menyulut rokok keringnya.

Ketika kata-kata ini diucapkan, "Saudara ketiga, ayahku masih memiliki rumah tua dan beberapa tanah. Secara keseluruhan, itu cukup bernilai. Jadi, maksudku adalah, siapa pun yang mengadakan pemakaman ini, akan menerima semua barang milik ayah. Kita harus membangun kuburan yang layak untuk kakek kita, dan biaya untuk itu seharusnya ditanggung oleh pihak yang mengadakan pemakaman, pada dasarnya, semua aset ayahnya akan menjadi miliknya!" ujar ayah Shano yang juga paman Gilbert.

"Bang, begitu mengungkit ini, ada yang ingin kubahas. Sekarang ayah kita telah meninggal, barang-barangnya hampir tidak berharga. Perlukah kita habiskan uang untuk merawat kubur?" tanya ayah Gilbert, Demian.

"Adik kedua, kalau kita tidak mampu merawat kuburan dengan baik, bagaimana orang lain memandang keluarga Jiangga? Jadi, kuburan harus dirawat!" ujar Rio, paman tertua Gilbert tegas.

"Tidak ada masalah dengan itu. Rawat yang perlu dirawat." Tambah Paman ketiga Gilbert.

"Baiklah, hanya merawat kuburan saja, paling hanya akan memakan puluhan juta!" ujar Wahaidi melirik ketiga saudaranya. "Sekarang, katakan padaku, siapa yang akan memimpin menangani masalah ini?"

"Harusnya kakak kedua!"

"Ya, kupikir Paman Kedua paling cocok. Orangtuaku cepat atau lambat akan pindah ke kota dan rumah tua di sini tidak berguna bagi mereka. Jadi, kupikir Paman Kedua paling tepat untuk tugas ini," tambah Shano.

"Itu masuk akal!"

"Kalau begitu, berikan tanahnya untuk keluarga Paman Kedua."

"Mereka berdua tidak mengatakan apa pun. Tanah dan rumah ini sebaiknya diberikan ke mereka."

Orang-orang di sekitar juga membahas masalah tersebut.

"Aku tidak keberatan. Tanah ada rumah ini kalau ditotal sekitar 120 juta! Kalau biaya pemakaman melebihi 120 juta, abang tertua dan aku bisa menambah sedikit. Bagaimana menurutmu?" Lanjut Paman ketiga Gilbert.

"Adik ketiga, kenapa bukan kau yang tangani sendiri masalah ini?" tanya Demian kesal.

"Kakak Kedua, kau kan tahu, putriku semakin besar. Mungkin akan segera adakan pesta pernikahan setelah Tahun Baru. Tidak cocok bagiku mengadakan perayaan ini, kan?"

Semua orang merasa yang dikatakan Junaidi cukup masuk akal.

Lagipula, kalau adakan pesta ini dan pesta berikutnya diadakan setelah Tahun Baru, pasti akan digosipi orang-orang.

Mereka ingin melemparkan semua tanggung jawab ini kepada Demian, tapi dengan cara anggun.

Terus terang, mereka tidak berubah bahkan saat menindas Demian.

"Tidak bisa, keluarga kami tidak setuju. Seratus dua puluh juta? Belum lagi, rumah ini tidak bisa dijual, kalau bisa dijual juga tidak seharga 120 juta? Selain itu, kami miskin, jangan kan 120 juta, 6 juta pun tidak punya!” Ibu Gilbert yang ada di ruangan itu, biasanya tidak ikut campur dalam urusan keluarga, tapi kali ini, dia tidak peduli. Kalau mereka melemparkan tanggung jawab ini kepada mereka, siapa yang menjamin kapan mereka bisa mengembalikan uang itu?

Meski Sharon tidak banyak memberikan pendapat, itu tidak berarti dia bodoh!

Selain itu, selama bertahun-tahun, baik keluarga Shano maupun keluarga Junaidi, semuanya bekerja di luar dan Demian yang merawat orang tua mereka. Sekarang, abang adik ini ingin melemparkan seluruh tanggung jawab kepada Demian. Aneh kalau Sharon tidak marah.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

200