Bab 16 Emosi

by Starry Nights 10:22,Jan 22,2024
"Sharon, kau hanya seorang perempuan biasa, sejak kapan giliranmu untuk berbicara di sini?" bentak Rio setelah mendengar ucapan Sharon.

Di keluarga Jiangga, perempuan tidak memiliki status, sebagian besar keputusan besar biasanya diambil oleh pria.

Yang lain juga ikut bergabung mengkritik Sharon, karena tidak pantas bagi seorang perempuan untuk ikut campur dalam urusan semacam ini.

"Demian, apa pendapatmu? Ini untuk memperbaiki kuburan Ayahmu. Kupikir tidak ada yang perlu diperdebatkan. Seperti yang dikatakan keponakanmu, Shano, mereka akan pindah ke kota dan keluargamu tidak akan meninggalkan tempat ini dalam waktu dekat. Rumah tua ini paling cocok untukmu! Anggap saja masalah sudah selesai. Kalau kau ingin orang-orang mengkritikmu, abaikan yang baru saja kukatakan!" ujar Wahaidi.

Anggota keluarga lainnya, termasuk generasi muda, ikut berkomentar mendukung ide tersebut.

"Benar, Paman, kau yang bertanggung jawab atas ini!"

"Yeah! Bukankah hanya beberapa puluh juta?"

"Ini untuk kebaikan orang tua, berapa pun jumlahnya itu sangat wajar.”

"Kupikir Paman Wahaidi benar!"

Ucapan ini membuat ekspresi Demian terlihat muram, bahakn urat-urat di dahinya muncul. Dia tidak pandai bicara dan kalau kondisinya mengizinkan, dia tidak peduli dengan beberapa puluh juta ini. Masalahnya, sekarang dia tidak bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Selain itu, benarkah rumah tua dan tanah itu sebanding dengan harga itu?

Sejujurnya, tanah di pedesaan tidak bernilai tinggi. Banyak pemuda pindah bekerja di luar, bahkan mereka yang tidak bisa pergi bekerja jarang sekali bercocok tanam. Bagi Demian dan Sharon, tinggal di desa dan bercocok tanam tidak akan menyelesaikan masalah hidup mereka. Tapi, dengan kaki Demian yang tidak terlalu lincah dan kurangnya pendidikan Sharon, mereka tidak punya banyak pilihan.

Sharon ingin mengatakan sesuatu, tapi Cynthia dengan lembut menariknya. Dia tahu itu tidak adil bagi keluarganya, tapi melanjutkan pertengkaran tidak akan membantu apa pun.

Cynthia bukan anak kecil lagi. Dia bisa melihat Wahaidi dan lainnya mendukung Rio dan Junaidi.

Intinya, kedua keluarga itu lebih kaya. Keluarga Junaidi sudah membeli rumah di kabupaten, dan keluarga Rio berencana melakukan hal yang sama. Saat ini, keluarga Demian mungkin merupakan keluarga yang paling kurang mampu di keluarga Jiang.

Bukan karena Demian tidak rajin, itulah ketidakadilan dunia. Karena kakinya yang kurang lincah, ia sering diintimidasi saat kecil, bahkan tidak mendapat kesempatan untuk sekolah.

Rio telah menyelesaikan sekolah menengah, dan Junaidi telah bertugas di militer selama beberapa tahun. Dengan hubungan mereka, dia mendapatkan pengaruh di kabupaten, meski dia bekerja di tempat lain dalam beberapa tahun terakhir. Semua orang memfokuskan perhatian mereka pada Demian, menunggu tanggapannya.

Sementara, Gilbert mengamati dari pinggir.

Baik keluarga Rio maupun keluarga Junaidi, mereka hanya memanfaatkan kenyataan bahwa keluarga Demian tidak memiliki individu yang mampu.

Cynthia terbiasa menderita, terutama di rumah di mana ia tidak berani menghadapi para tetua.

Pada kehidupan sebelumnya, meski Gilbert tidak datang, ia mengetahui situasi ini dari Cynthia.

Demian putus asa karena uang dan tidak ingin diremehkan, ia yang jujur pergi ke kabupaten untuk meminjam uang dari rentenir atas dorongan Dale. Karena tidak dapat membayar utang dan dihadapkan pada tekanan terus-menerus, Demian tidak tahan dan pergi ke pegunungan sendirian. Ketika jasadnya ditemukan, sudah mulai membusuk.

Sementara, Sharon menjadi gila dan kehilangan akal sehat, ia berubah menjadi wanita gila, bahkan Gilbert pun tidak mengenalinya saat dalam perjalanan pulang.

Banyak hal sepele yang dapat menyebabkan konsekuensi yang tak terduga.

Contohnya, situasi di depan mata ini.

Kalau bukan karena paksaan dari keluarga Jiang, akankah Demian memilih jalan buntu itu?

Mengingat semua ini, hati Gilbert dipenuhi dengan niat membunuh.

Untungnya, dia tiba.

"Demian, keputusan ini sudah selesai, kau..." ujar Wahaidi bersiap-siap memberi keputusan, tapi suara yang tidak pantas muncul.

"Aku tidak setuju dengan keputusan ini!"

Dalam kata-katanya terdengar ketegasan.

Semua menoleh ke arah suara itu.

Ketika melihat Gilbert yang berbicara, wajah Rio dan lainnya langsung muram.

"Gilbert, sejak kapan giliranmu untuk berpendapat di sini?" Cibir Shano.

"Kau bisa berpendapat, kenapa aku tidak?" tanya Gilbert, "Ya, kau PNS sekarang, banyak orang menjilatimu, mengalah padamu, bahkan bangga padamu, tapi apa artinya itu? Bagiku, kau hanya seperti kentut!"

"Aku tidak berhak berpendapat!"

"Kau juga tidak berhak berpendapat!"

Ekspresi semuanya berubah mendengar ucapan Gilbert.

Mereka menjadi sangat heran.

Terkejut dan marah.

Shano bahkan lebih emosi, sebelum dia bicara, "Lancang, Gilbert, inikah sikapmu berbicara dengan abangmu?" tanya Wahaidi.

"Abang? Pernahkah dia anggap diriku adiknya?" tawa Gilbert, "Kalau dia perlakukan diriku sebagai adiknya, ketika aku diganggu di sekolah, dia tidak hanya enggan membantuku, malah membantu mereka untuk menggangguku, memarahiku, bahkan ketika aku dipukuli, aku mencarinya, tapi dia malah mengatakan mampus!"

"Aku dihukum oleh guru!"

"Dia sama sekali tidak percaya padaku, malah membiarkanku minta maaf kepada guru itu!"

"Hehe, kalau dia tidak menganggap diriku sebagai adik, untuk apa aku menganggapnya abang?"

"Kakek Wahaidi, kuhormati kau sebagai orang tua, jadi memanggilmu Kakek Wahaidi, tapi malam ini, kalau kau tanyakan pada hati nuranimu, benarkah kau bersikap adil?"

"Ya, kedua keluarga itu lebih sukses daripada keluargaku, tapi tolong jangan anggap kami seperti orang tolol, kalau ingin menjilati mereka, menyenangkan mereka, itu bukan urusanku, tapi jangan jadikan keluargaku sebagai batu pijakan!"

"Benarkah, Paman? Beberapa tahun terakhir, kau juga sering pulang ke kampung halaman, tapi adakah kau menjaga kakekku sehari pun?"

"Ketika kakekku sakit, siapa yang rawat dia?"

"Siapa yang gendong dia untuk berobat, siapa yang habiskan semua tabungan untuk sembuhkan penyakitnya?"

"Tiga tahun ini, orang tuaku yang rawat dia, tapi adakah mereka minta uang darimu, atau mengeluh?"

"Sekarang Kakek sudah pergi, kau ingin gunakan rumah tua ini untuk singkirkan keluargaku? Tanyakan orang di sini, atau tanyakan pada dirimu, rumah tua itu ditambah dengan tanah itu, adakah semuanya bernilai ratusan juta?"

"Paman Wahaidi!"

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

200