Bab 6 Part 6

by Novita.Ramadhani 11:52,Nov 14,2023
Badan Utami mulai menghangat. Pasti dia sudah mulai horny berat, akibat permainan kedua tanganku yang sudah mengelus – elus dua titik sensitif itu.
Ketika jemariku menyentuh mulut memeknya … hmmm … ternyata mulut memeknya sudah berlendir … basah dan licin … !
Namun beberapa saat kemudian sedan hitam yang kami tumpangi sudah tiba di Batu. Dan membelok ke sebuah villa besar yang kata sopir milik perusahaanku.
“Perusahaan milik Big Boss punya dua villa di Batu ini. Villa ini lebih representatif buat Big Boss. Kamarnya ada lima, “ kata sang Sopir sambil membukakan pintu kanan belakang.
“Kamu tidur di kamar paling belakang aja. Jangan tidur di mobil, “ kataku.
“Siap Big Boss, “ sopir itu mengangguk sopan.
“Ohya … siapa namamu ?” tanyaku.
“Nama saya Jalal, Big Boss. “
“Kamu asli Surabaya ?”
“Orang tua asli Jember, tapi saya lahir besar di Surabaya, Big Boss. “
Jalal mengantarkanku sampai ke pintu kamar yang kupilih. Kamar paling depan. Sementara Jalal kusuruh untuk menempati kamar paling belakang.
“Kamu hafal semua cabang perusahaanku yang di Surabaya kan ?”
“Tau semua Big Boss. “
“Aku mau istirahat di sini dua harian aja. Nanti sepulangnya dari sini aku ingin mengunjungi kantor – kantor keempat cabang itu. “
“Siap Big Boss … !”
Lalu aku dan Utami memasuki kamar villa yang paling depan itu. Sebuah kamar yang luas dengan fasilitas setingkat dengan kamar hotel bintang lima.
Memang megah dan besar sekali villa ini. Di tengahnya ada kolam renang segala.
Sebenarnya villa ini cocok sekali untuk dijadikan tempat memetik keperawanan Utami. Tapi fisikku masih kurang fit. Mungkin lusa baru bisa melaksanakannya.
Keesokan harinya aku masih ingin “nyantai” sekaligus memulihkan staminaku. Maka kuajak Utami mengunjungi Coban Talun, yang air terjunnya membuat Utami terbengong – bengong.
Aku pun menjepret kameraku berkali – kali, untuk mengabadikan kecantikan Utami di seputar air terjun yang unik itu. Sengaja aku hanya membuat foto Utami sendirian, agar dia bebas membagikan kepada teman – temannya kelak.
Tak cuma itu. Kami pun mengunjungi Omah Kayu. Dan duduk – duduk rumah yang berada di atas pohon itu, sambil memandang keadaan di sekelilingnya yang sangat indah. Di situ pun Utami puluhan kali kufoto, untuk membuat hatinya besar. Tapi hanya dia sendiri yang jadi objek kameraku. Karena kalau berdua denganku, takut ada gossip kelak setelah pulang ke kotaku.
Menjelang malam, kami pulang ke villa. Namun sebelumnya kami mampir dulu ke sebuah mall di Malang, untuk membelikan beberapa helai kimono dan gaun untuk Utami, supaya dia punya pakaian untuk ganti.
Malam itu pun aku belum menyetubuhi Utami. Karena badanku masih letih, bekas tamasya tadi siang.
Tapi esok paginya … badanku sudah fits. Dan sudah tiba saatnya untuk mengeksekusi Utami.
Maka ketika Utami keluar dari kamar mandi, aku pun cepat masuk ke dalam kamar mandi. Untuk mandi dengan air hangat sebersih mungkin.
Selesai mandi, kulihat Utami sedang duduk di sofa sambil minum kopi susu yang dibuatnya sendiri di dapur villa. Saat itu Utami mengenakan kimono berwarna kuning muda yang kubelikan dari mall tadi malam.
Setelah menyhisir rambut, aku menghampirinya.
“Di dapur ada kopi hitam ?” tanyaku sambil duduk di samping Utami.
“Ada, tapi kopi murahan Boss. “
“Biarin aja. Bikinkan aja kopi hitam yang banyak kopinya, tapi gulanya sedikit aja. Nanti kita cari sarapan pagi di luar. “
“Siap Boss. “
“Tami … kapan kamu mau manggil Bang aja padaku ? Kamu kan sudah menjadi sosok istimewa bagiku. Dalam keadaan cuma berdua gini, panggil Bang aja. Jangan boss – bossan terus. “
“Hehehe … masih belum berani Boss. “
“Mungkin kamu harus kusetubuhi dulu biar mau manggil Bang padaku ya ?” cetusku sambil melingkarkan lenganku di lehernya. Lalu mengecup bibirnya yang masih dingin karena dia baru selesai mandi tadi.
“Saya sih diapain juga siap – siap aja Boss. “
“Ayo bikinin kopi dulu deh. Biar perutku hangat. “
“Iya, “ sahut Utami sambil bangkit dari sofa, lalu melangkah ke luar kamar menuju dapur.
Tak lama kemudian Utami sudah muncul lagi, sambil membawakan secangkir kopi panas yang lalu dihidangkannya di meja kecil depan sofa yang sedang kududuki.
Utami pun lalu duduk lagi di samping kiriku.
“Udara Batu lumayan dingin ya ?” ucapku sambil mereguk kopi panas yang Utami hidangkan.
“Iya. Sangat dingin, “ sahut Utami, “Tapi tidak sedingin Pangalengan atau Situ Patenggang. “
Tanganku pun memegang lutut Utami yang terbuka lewat belahan kimononya. “Kamu sudah siap untuk kusetubuhi ?” tanyaku sambvil merayapkan tanganku ke paha Utami yang agak hangat.
“Kan saya sudah bilang … apa pun yang akan Boss lakukan pada saya … saya sudah siap lahir batin. Karena selain menghormati Boss, hati saya pun sudah milik Boss. “
“Hmmm … aku memang mencari saat dan tempat yang tepat untuk melakukannya. Dan sekarang sudah tiba saatnya untuk menyetubuhimu, Tam. “
“Iya Boss … silakan, “ sahut Utami sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.
Aku pun duduk di lantai beralaskan karpet biru tua ini, di antara kedua kaki Utami, sambil menarik celana dalamnya sampai terlepas dari kedua kakinya.
“Boss … oooh … kenapa Boss duduk di bawah ?” Utami tampak salah tingkah.
“Tenang aja … mmm … lepaskan tali kimononya, “ sahutku.
Utami pun mengikuti perintahku. Melepaskan tali kimononya, lalu membentangkan kedua sisi kimono itu, sehingga tampak tinggal beha yang masih melekat di balik kimononya itu.
Kutarik bokong Utami agar duduknya lebih maju ke depan, sehingga aku bisa memandang memeknya dari jarak yang sangat dekat.
Memang baru kali ini aku memperhatikan keindahan memek berwarna agak gelap itu. Utami diam saja. begitu pula ketika aku mengangakan kedua bibir besarnya (labia mayora) yang berwarna kehitaman itu. Sehingga bagian dalam memeknya tampak jelas di mataku. Merah sekali, bukan pink seperti memek keempat istriku.
Lalu mulutku menyeruduk ke memek yang sudah kungangakan itu.
“Bosss … oooo …. oooooh … Boss …. !” Utami mulai merintih ketika aku sudah giat menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna merah darah itu.
“Kenapa ?” tanyaku sambil menghentikan jilatanku sejenak, “Sakit ?”
“Nggak sakit Boss … bahkan enak sekali … tapi … saya malu … “
“Wajarlah malu pada awalnya. Kan namanya juga kemaluan … “ ucapku yang kulanjutkan dengan menjilati lagi bagian berwarna merah darah itu ……..
Bersambung...

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

195