Bab 2 Part 2
by Novita.Ramadhani
11:50,Nov 14,2023
Aku tersenyum sambil menepuk – nepuk kedua belah pipi Utami.
“Tapi kalau diizinkan, saya mau mandi dulu Boss. Saya belum mandi sore, “ kata Utami.
“Silakan mandi dulu sebersih mungkin ya. Apa perlu kutemani ?” tanyaku dengan tatapan dan senyum menggoda, “Kebetulan aku juga belum mandi sore. “
“Heheee … malu Boss … “
“Nanti juga kamu harus telanjang di depan mataku sebelum tidur kan ?”
“Harus telanjang Boss ?”
“Iya. Kamu pasih virgin kan ?”
“Masih Boss. Soal itu sih jangan diragukan. Saya tidak pernah sembarangan bergaul. “
“Kalau sedang berduaan gini, jangan manggil boss terus. Panggil Bang aja ya … “
“Para manager hotel ini pada manggil Big Boss, masa saya manggil Bang. “
“Sekarang kamu kan punya arti khusus di hatiku. Jadi kamu punya privilege untuk memanggil Bang. Kecuali kalau sedang di depan karyawan lain, “ ucapku sambil mencolek bibir sensualnya, “Ayolah kita mandi bareng. Biar sama – sama bisa melihat kelebihan dan kekurangan kita. “
Lalu kami masuk ke dalam bathroom yang bersatu dengan bedroom. Di situ Utami tampak canggung. Tidak berani melepaskan pakaian serba putihnya. Blazer putih, blouse putih dan spanrok putih pula.
Aku sendiri sudah melepaskan jas dan dasi di bedroom tadi. Tinggal celana panjang, kemeja putih dan celana dalam yang masih melekat di badanku.
“Kenapa malu – malu telanjang ? Banyak bekas borok dan kudis di badanmu ?” tanyaku sambil melepaskan blazer putih yang masih melekat di tubuh Utami.
“Idiiih … amit -amit. Liat aja sendiri nanti … kalau ada bekas borok satu titik aja, Boss boleh ludahi muka saya. “
“Iya … ini mau dibuktikan, “ sahutku sambil melepaskan blouse dan spanrok putihnya.
Utami semakin malu – malu, karena di tubuhnya tinggal melekat bra dan CD saja.
Kulit Utami tidak putih seperti Aleksandra atau Frida. Kulitnya bisa disebut mirip warna sawo matang. Tapi bentuknya itu … maaak … benar – benar mirip bentuk biola Stradivarius. Behanya masih menyembunyikan sepasang toketnya yang pasti gede – gede. Pinggangnya ramping, perutnya kempes, tapi bokongnya itu … luar biasa gedenya … !
Setelah melepaskan kemeja putihku, bokong gede itu kutepuk – tepuk sambil berkata, “Luar biasa seksinya kamu ini Tam … !”
Dipuji seperti itu, Utami seolah ingin memamerkan kelebihan lainnya. Tanpa kuminta, Utami melepaskan behanya. Sehingga sepasang toket gedenya tak tertutup apa – apa lagi.
Dan aku menyentuh toket gede itu sambil berdecak kagum, “Ck … ck ck … ! Kamu memang layak kujadikan kekasih di seumur hidupku, Tam. “
Utami tersipu – sipu, sementara aku melepaskan celana panjangku. Kemudian menggantungkannya di kapstok bersama pakaianku dan pakaian Utami yang sudah ditanggalkan.
Kami sama – sama tinggal mengenakan celana dalam saja. “Mau di situ mandinya ?” tanyaku sambil menunjuk ke bathtub.
“Maaf … takut Boss. Sering lihat film yang kena setrum di dalam bathtub. Jadi parno melihatnya juga, “ sahut Utami sambil melepaskan celana dalamnya, sebagai satu – satunya benda yang masih melekat di tubuhnya.
Tubuh seksi berkulit light brown itu pun telanjang sudah di depan mataku.
Aku pun melepaskan celana dalamku. Kemudian memutar kran shower di titik merah. Titik panas.
Pada saat air hangat mulai memancar dari atas kepala kami, kupeluk Utami dari belakang. Dan berhasil menelungkupkan kedua tanganku di sepasang toket gedenya.
“Setelah mandi, boleh kubuktikan keperawananmu ?” bisikku dari belakang telinganya.
“Iya, asalkan Boss jangan buang saya sesudahnya, “ sahut Utami tanpa menoleh ke arahku.
“Aku tidak sejahat itu Tam. Nanti kamu buktikan sendiri tanda sayangku padamu setelah kita pulang dari kota ini. “
Utami tidak menyahut. Lalu kami mulai mandi dengan air hangat. Saling menyabuni dengan sabun cair, lalu membilasnya sampai bersih dari air sabun.
Ketika aku sudah menghanduki tubuhku, Utami masih menyempatkan diri untuk menyikat giginya dengan sikat gigi dan odol yang disediakan oleh hotel.
Kubelitkan handuk di tubuhku, dari perut sampai ke lutut. Sementara Utami baru selesai menghanduki tubuhnya, lalu mengikuti caraku, membelitkan handuk dari toket sampai pahanya. Dan melangkah ke luar kamar mandi.
Aku memang sangat tergiur oleh bentuk fisik Utami yang seperti biola Stradivarius itu. Kulitnya agak gelap pula. Tidak seperti perempuan – perempuan yang sudah kumiliki, yang berkulit putih semua. Sedangkan lelaki yang suka bertualang seperti aku ini, suka tertarik pada sesuatu yang belum dimiliki. Punya pasangan yang langsing, tergiur oleh perempuan chubby. Punya pasangan yang hitam, tergiur oleh perempuan yang putih. Begitu juga sebaliknya, punya pasangan yang putih, tergiur oleh perempuan yang hitam manis. Seperti aku ini.
Utami bukan cewek hitam. Mungkin harusnya jangan dijuluki hitam manis, melainkan “coklat manis”.
Kini aku sudah tahu bentuk sekujur tubuh Utami. Memang mulus sekali. Tak ada “paku payung”nya setitik pun. Dan kelihatannya Utami sudah sangat pasrah. Mau diapakan juga terserah aku saja.
Tapi aku harus berusaha untuk bersabar sedikit. Segalanya harus kulakukan secara step by step. Dengan kesediaannya untuk tidur telanjang di balik satu selimut saja sudah merupakan “kemajuan pesat” bagiku.
Biarlah … untuk malam pertama di Surabaya ini, cukup dengan itu saja. Cukup dengan memeljuk tubuh padat telanjangnya saja sudah cukup. Bahkan aku belum mau menjamah kemaluannya yang tembem erotis itu. Cukup dengan memegang toket gede yang masih kencang saja. Lalu kami sama – sama tertidur nyenyak.
Esok paginya, ketika aku bangun, Utami sudah tidak ada di atas bed lagi. Ternyata dia sudah membeli dua helai gaun dan sehelai kimono di lantai dasar. Karena hotel ini punya butik juga di lantai dasar.
Ketika muncul di bedroom, Utami sudah mengenakan kimono putih, yang terbuat dari bahan handuk tebal.
“Selamat pagi Boss, “ ucap Utami setelah melihatku duduk di pinggiran bed.
“Pagi, “ sahutku, “Kok gak bisa manggil Bang aja padaku Tam ?”
“Maaf … belum berani manggil bang – bangan. Takut menurunkan wibawa Boss. “
“Kita sudah tidur bareng, sama – sama telanjang pula. Masa belum bisa dianggap bahwa hubungan kita sudah sangat dekat ? Atau mungkin kita harus berhubungan sex dulu, supaya kamu merasa tak punya jarak lagi denganku ya ?”
“Tadi malam saya malah sudah mengira Boss mau mengambil virginitas saya. Ternyata tidak. “
“Nanti memang mau kuambil, sekalian untuk membuktikan siapa dirimu yang sesungguhnya. Tapi aku harus menyelesaikan dulu urusan bisnis di kota ini. Supaya kita bisa melakukannya dengan tenang dan nyaman. “
“Maaf … kalau boleh saya tahu, mau berapa hari kita berada di Surabaya ini Boss ?”
Bersambung
“Tapi kalau diizinkan, saya mau mandi dulu Boss. Saya belum mandi sore, “ kata Utami.
“Silakan mandi dulu sebersih mungkin ya. Apa perlu kutemani ?” tanyaku dengan tatapan dan senyum menggoda, “Kebetulan aku juga belum mandi sore. “
“Heheee … malu Boss … “
“Nanti juga kamu harus telanjang di depan mataku sebelum tidur kan ?”
“Harus telanjang Boss ?”
“Iya. Kamu pasih virgin kan ?”
“Masih Boss. Soal itu sih jangan diragukan. Saya tidak pernah sembarangan bergaul. “
“Kalau sedang berduaan gini, jangan manggil boss terus. Panggil Bang aja ya … “
“Para manager hotel ini pada manggil Big Boss, masa saya manggil Bang. “
“Sekarang kamu kan punya arti khusus di hatiku. Jadi kamu punya privilege untuk memanggil Bang. Kecuali kalau sedang di depan karyawan lain, “ ucapku sambil mencolek bibir sensualnya, “Ayolah kita mandi bareng. Biar sama – sama bisa melihat kelebihan dan kekurangan kita. “
Lalu kami masuk ke dalam bathroom yang bersatu dengan bedroom. Di situ Utami tampak canggung. Tidak berani melepaskan pakaian serba putihnya. Blazer putih, blouse putih dan spanrok putih pula.
Aku sendiri sudah melepaskan jas dan dasi di bedroom tadi. Tinggal celana panjang, kemeja putih dan celana dalam yang masih melekat di badanku.
“Kenapa malu – malu telanjang ? Banyak bekas borok dan kudis di badanmu ?” tanyaku sambil melepaskan blazer putih yang masih melekat di tubuh Utami.
“Idiiih … amit -amit. Liat aja sendiri nanti … kalau ada bekas borok satu titik aja, Boss boleh ludahi muka saya. “
“Iya … ini mau dibuktikan, “ sahutku sambil melepaskan blouse dan spanrok putihnya.
Utami semakin malu – malu, karena di tubuhnya tinggal melekat bra dan CD saja.
Kulit Utami tidak putih seperti Aleksandra atau Frida. Kulitnya bisa disebut mirip warna sawo matang. Tapi bentuknya itu … maaak … benar – benar mirip bentuk biola Stradivarius. Behanya masih menyembunyikan sepasang toketnya yang pasti gede – gede. Pinggangnya ramping, perutnya kempes, tapi bokongnya itu … luar biasa gedenya … !
Setelah melepaskan kemeja putihku, bokong gede itu kutepuk – tepuk sambil berkata, “Luar biasa seksinya kamu ini Tam … !”
Dipuji seperti itu, Utami seolah ingin memamerkan kelebihan lainnya. Tanpa kuminta, Utami melepaskan behanya. Sehingga sepasang toket gedenya tak tertutup apa – apa lagi.
Dan aku menyentuh toket gede itu sambil berdecak kagum, “Ck … ck ck … ! Kamu memang layak kujadikan kekasih di seumur hidupku, Tam. “
Utami tersipu – sipu, sementara aku melepaskan celana panjangku. Kemudian menggantungkannya di kapstok bersama pakaianku dan pakaian Utami yang sudah ditanggalkan.
Kami sama – sama tinggal mengenakan celana dalam saja. “Mau di situ mandinya ?” tanyaku sambil menunjuk ke bathtub.
“Maaf … takut Boss. Sering lihat film yang kena setrum di dalam bathtub. Jadi parno melihatnya juga, “ sahut Utami sambil melepaskan celana dalamnya, sebagai satu – satunya benda yang masih melekat di tubuhnya.
Tubuh seksi berkulit light brown itu pun telanjang sudah di depan mataku.
Aku pun melepaskan celana dalamku. Kemudian memutar kran shower di titik merah. Titik panas.
Pada saat air hangat mulai memancar dari atas kepala kami, kupeluk Utami dari belakang. Dan berhasil menelungkupkan kedua tanganku di sepasang toket gedenya.
“Setelah mandi, boleh kubuktikan keperawananmu ?” bisikku dari belakang telinganya.
“Iya, asalkan Boss jangan buang saya sesudahnya, “ sahut Utami tanpa menoleh ke arahku.
“Aku tidak sejahat itu Tam. Nanti kamu buktikan sendiri tanda sayangku padamu setelah kita pulang dari kota ini. “
Utami tidak menyahut. Lalu kami mulai mandi dengan air hangat. Saling menyabuni dengan sabun cair, lalu membilasnya sampai bersih dari air sabun.
Ketika aku sudah menghanduki tubuhku, Utami masih menyempatkan diri untuk menyikat giginya dengan sikat gigi dan odol yang disediakan oleh hotel.
Kubelitkan handuk di tubuhku, dari perut sampai ke lutut. Sementara Utami baru selesai menghanduki tubuhnya, lalu mengikuti caraku, membelitkan handuk dari toket sampai pahanya. Dan melangkah ke luar kamar mandi.
Aku memang sangat tergiur oleh bentuk fisik Utami yang seperti biola Stradivarius itu. Kulitnya agak gelap pula. Tidak seperti perempuan – perempuan yang sudah kumiliki, yang berkulit putih semua. Sedangkan lelaki yang suka bertualang seperti aku ini, suka tertarik pada sesuatu yang belum dimiliki. Punya pasangan yang langsing, tergiur oleh perempuan chubby. Punya pasangan yang hitam, tergiur oleh perempuan yang putih. Begitu juga sebaliknya, punya pasangan yang putih, tergiur oleh perempuan yang hitam manis. Seperti aku ini.
Utami bukan cewek hitam. Mungkin harusnya jangan dijuluki hitam manis, melainkan “coklat manis”.
Kini aku sudah tahu bentuk sekujur tubuh Utami. Memang mulus sekali. Tak ada “paku payung”nya setitik pun. Dan kelihatannya Utami sudah sangat pasrah. Mau diapakan juga terserah aku saja.
Tapi aku harus berusaha untuk bersabar sedikit. Segalanya harus kulakukan secara step by step. Dengan kesediaannya untuk tidur telanjang di balik satu selimut saja sudah merupakan “kemajuan pesat” bagiku.
Biarlah … untuk malam pertama di Surabaya ini, cukup dengan itu saja. Cukup dengan memeljuk tubuh padat telanjangnya saja sudah cukup. Bahkan aku belum mau menjamah kemaluannya yang tembem erotis itu. Cukup dengan memegang toket gede yang masih kencang saja. Lalu kami sama – sama tertidur nyenyak.
Esok paginya, ketika aku bangun, Utami sudah tidak ada di atas bed lagi. Ternyata dia sudah membeli dua helai gaun dan sehelai kimono di lantai dasar. Karena hotel ini punya butik juga di lantai dasar.
Ketika muncul di bedroom, Utami sudah mengenakan kimono putih, yang terbuat dari bahan handuk tebal.
“Selamat pagi Boss, “ ucap Utami setelah melihatku duduk di pinggiran bed.
“Pagi, “ sahutku, “Kok gak bisa manggil Bang aja padaku Tam ?”
“Maaf … belum berani manggil bang – bangan. Takut menurunkan wibawa Boss. “
“Kita sudah tidur bareng, sama – sama telanjang pula. Masa belum bisa dianggap bahwa hubungan kita sudah sangat dekat ? Atau mungkin kita harus berhubungan sex dulu, supaya kamu merasa tak punya jarak lagi denganku ya ?”
“Tadi malam saya malah sudah mengira Boss mau mengambil virginitas saya. Ternyata tidak. “
“Nanti memang mau kuambil, sekalian untuk membuktikan siapa dirimu yang sesungguhnya. Tapi aku harus menyelesaikan dulu urusan bisnis di kota ini. Supaya kita bisa melakukannya dengan tenang dan nyaman. “
“Maaf … kalau boleh saya tahu, mau berapa hari kita berada di Surabaya ini Boss ?”
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved