Bab 15 Jangan bosan
by Jenang_gula
10:39,Jan 13,2021
..~Sekali saja biarkan aku melupakan kisahku, menjadi orang yang baru dan merayumu lagi agar kamu tidak bosan melihatku yang tetap seperti ini (Mayang)~..
Hari pertama masuk sekolah sebagai siswa kelas 11 IPS membuat Mayang bersenang hati, selain banyak siswa baru yang pindah dari kelas lain, tapi juga karena tidak terlalu banyak siswa yang menyombongkan dirinya di kelasnya saat ini. Mayang cukup mengenal semua teman kelasnya karena ada sebagian yang satu ekskul dengan karatenya dan sebagainya lagi karena Mayang sering bertemu dengan mereka saat mengikuti OSIS dulu.
Kelas Mayang saat ini memang berbeda, bila di kelas 10 dulu banyak anak konglomerat di dalamnya, kini kelas Mayang lebih dipenuhi dengan anak-anak yang berkarya di berbagai bidang, rasa solidaritas di kelas baru nya ini juga sangat terasa menurut Mayang.
Saat Mayang duduk di kursi yang dipilihnya sendiri, tiba-tiba seseorang yang dikenalnya duduk dan menyunggingkan senyum menjengkelkan ke arah Mayang.
“Pagi...”
“Kamu IPS?”, tanya Mayang.
“Iya dong, kan aku mau jadi pilot”
“Lah, kok bisa, nilai kamu kan bagus Eric”, protes Mayang yang masih tidak percaya dia akan sekelas dengan Eric lagi.
“Ya, habis mau gimana lagi”, jawab Eric sambil berlalu dan menuju ke pojok ruang, dia memutuskan untuk memilih duduk di sana.
Mayang hanya mampu mengendikkan bahunya cuek.
~~
“Mayang!!! Eric berantem di depan kelas 11A”, teriak seseorang yang mampu menghentikan Mayang dari aktivitasnya.
Mayang pun segera berlari menuju ke tempat yang siswa itu maksud dan menyibak kerumunan putih abu-abu di sana. Setelah menemukan apa yang dia cari Mayang segera memeluk perut Eric dari belakang untuk menghentikannya. “Berhenti Eric, aku mohon, berhenti!!!” kata Mayang sedikit berteriak karena terlalu riuh disana.
Eric yang menyadari kehadiran Mayang segera melepas cengkeramannya dan menghempaskan tubuh siswa itu ke atas lantai paving dan meninggalkannya.
Mayang membantu siswa itu berdiri, wajahnya yang tidak terlalu asing menurut Mayang, tapi dia tetap tidak mengenalinya. “Kau tidak apa-apa?”, tanya Mayang. Siswa itu pun meludah di depan Mayang dan menepis bantuan Mayang lalu meninggalkan Mayang tanpa berniat menjawab pertanyaannya.
Mayang mencari dimana Eric sekarang, di tempat biasa mereka menghabiskan waktu saat beristirahat maupun jam kosongnya. Namun tetap tidak menemukan sahabatnya itu.
Bel tanda jam pelajaran akan dimulai telah berbunyi, Mayang segera menuju ruang kelasnya berharap Eric sudah berada di bangkunya. Namun saat sampai di kelas Mayang hanya mendapati kursi kosong dan tas yang sudah dikemasi oleh pemiliknya. Berarti kemungkinannya sangat kecil bila ingin tetap menemukan Eric disini.
~
Jam pelajaran sudah selesai, waktunya pulang. Entah kemana Eric, setelah kejadian tadi dia absen
Mayang berjalan agak gontai menuju ke halte terdekat untuk mencari angkot yang melewati depan rumahnya. Sedikit lapar harus ditahannya karena uang sakunya hanya pas untuk ongkos angkot saja, biasanya dia akan membeli makanan ringan untuk menganjal perutnya jika saja pulang dengan nebeng Eric, tetapi situasinya berbeda kali ini.
TIN..TIN..
Suara klakson motor Truimph mengalihkan pandangannya, dengan wajah masih masam tanpa berkata apa pun, Mayang seperti tahu dari tatapan matanya yang tajam. Tanpa banyak komentar Mayang segera mengambil helmnya yang selalu dikaitkan di belakang motor itu, memakainya dan segera menaiki motor itu. Motor itu pun melaju membelah kota Malang yang sedang gerimis sore ini.
“Kita mau kemana?”, tanya Mayang, namun Eric tetap diam, begitulah Eric saat marah jangankan berbicara kalau pun bisa mungkin bernafas saja dia malas.
Sampai Alun-alun Batu Eric memarkirkan motornya dan berjalan menuju kolam dan memainkan airnya.
Mayang yang bosan dengan keheningan ini, padahal suasana di sini cukup ramai. Gerimis yang menyerupai debu kecil tak menyurutkan warganya menikmati kebersamaan di tempat yang sama dengan Mayang kunjungi saat ini. “Kita gak pulang saja Eric? Masih pake seragam ini”, kata Mayang mencoba membuka obrolan agar Eric bisa bicara lagi dan auranya menghangat.
“Bapak kamu jarang pulang ya?”, tanya Eric.
“Kok tau?”, jawab Mayang dengan nada yang sangat imut bila didengarkan dengan memejamkan mata.
PLETAKKK
“Au....sakit Eric”, kata Mayang, sungguh jahat karena Eric bisa menjitak gadis semanis Mayang.
“Aku nanyanya serius”, kata Eric ketus dengan menaikkan sedikit nada bicaranya.
“Ya mana aku tau, aku pikir kamu mau ngegombalin aku”, sanggah Mayang sambil mengusap puncak kepalanya karena masih terasa agak nyeri. “Iya, kenapa? Kamu kangen?”, kata Mayang lagi.
“Kemana?”, tanya Eric.
“Aku gak tau, aku gak nanya”, jawab Mayang.
“Ibuk kamu tau kemana?”, tanya Eric lagi.
“Gak tau deh, aku juga gak nanya ke ibuk”, jawab Mayang acuh.
“Kamu gak dengar apa gitu kan?”, tanya Eric karena dia sangat penasaran.
“Apaan sih? Kamu tau bapakku dimana? Udah deh, palingan besok juga pulang. Aku lapar aku mau pulang dan makan Eric”, jawab Mayang ketus.
Eric tidak membalas Mayang, dia malah mengajak Mayang menyeberang jalan menuju ke PKL depan pasar dan masuk ke dalam warung yang menjual lalapan disana. Memesan dua porsi dan juga dua gelas es jeruk.
Karena memang Mayang lapar saat ini, dia pun memakan makanan itu dengan lahap. Saat dia melihat Eric yang terlihat memikirkan sesuatu Mayang meniup wajah Eric.
Eric tersadar dari lamunannya dan ikut memakan seporsi lalapan dengan lauk ikan lele yang berukuran lumayan besar di atasnya.
~~
Hujan di bulan desember, menyempurnakan apa yang dilalui Mayang saat ini. Saat teriakan demi teriakan keluar dari dua orang yang sedang beradu urat dan egonya.
Suara barang yang beterbangan itu tersamarkan oleh derasnya hujan, namun tetap bisa ditangkap dengan baik oleh Mayang. Makian, cacian, seperti nyanyian rock n’ roll yang memengkakkan telinga.
BRAAKKK
Selesai sudah.
Mayang keluar dari kamarnya, menemukan ibunya terduduk lesu di lantai dapur dengan sampah seperti biasa yang mengelilinginya.
“Ibu”, suara Mayang mengiris hati siapa saja yang mendengarnya.
Tumpah sudah tangisan kedua orang itu, meratapi nasib yang tak seorang pun ingin mencobanya, tak seorang pun akan kuat mendengar kisahnya.
Mayang dan ibunya saling berpelukan dan menangis, meraung, saling menumpahkan isi hatinya tanpa satu kalimat pun agar beban di punggung mereka sedikit berkurang, agar hati sakit mereka sedikit terobati bila mencurahkannya dengan air mata.
“Jadilah sukses nduk, belilah mulut orang yang telah membuang kita, ibu tidak kuat lagi menanggungnya sendiri”, kata ibu Mayang sambil tersedu.
Mayang hanya bisa mengangguk mengiyakan, sakit hatinya terlalu dalam sampai seakan melihat semua laki-laki akan seperti bapaknya.
“Mayang gak usah khawatir ya nduk, ibu akan berjuang sekuat tenaga ibu agar Mayang tetap bisa menyelesaikan sekolah disana”, kata ibu Mayang sambil mengusap air matanya sendiri.
Mayang hanya mampu mengangguk lagi. Dia pun berjanji di dalam hatinya, tidak akan mengecewakan harapan ibunya dan ikut membantu sekuat tenaga untuk bertahan di dunia yang kejam ini.
~~
Mayang bersikap seperti biasa saat di sekolah meskipun wajahnya sangat kusut karena jam tidurnya berkurang beberapa hari ini, namun dia tetap berusaha semaksimal mungkin. Mayang yakin dia masih cukup beruntung dibandingkan dengan anak di luar sana, masih banyak orang yang berada di bawahnya dan mereka tetap bersyukur.
Banyaknya masalah yang Mayang pikirkan membuatnya tidak terlalu peduli dengan sekelilingnya, tak terkecuali Eric. Entah sudah berapa kali dia tidak berniat berangkat atau pun pergi bersama, dan dia juga tidak tahu kenapa Eric juga menjauhinya.
Berbeda dengan Mayang, Eric yang sibuk dengan tim basketnya, berlatih keras karena akan mengikuti pertandingan antar kota. Setiap pagi dia tetap menjemput Mayang namun dia juga tidak tahu kenapa Mayang selalu berangkat lebih awal dari biasanya, sedangkan saat pulang sekolah selalu ada pertemuan antara dia dan timnya. Eric sangat disiplin kali ini, karena bila kemenangan kembali ia peroleh, dia bisa menjadi kapten untuk pertandingan selanjutnya.
Seharusnya Mayang bisa langsung pulang hari ini, tapi karena hatinya yang sedang kurang baik akhirnya disini lah Mayang sekarang. Memukuli samsak lagi dan lagi sampai tenaganya hampir habis, jari-jarinya memar dan membengkak, tangannya seperti kehilangan tenaga tapi itu belum mampu menyurutkan niat Mayang yang masih ingin memukuli samsak itu.
Dengan sisa tenaga Mayang tetap melakukan gerakan itu dan akan berhenti bila dia sudah tidak sanggup lagi melakukannya.
“Cantik”, sapa Marco mampu mengalihkan perhatian Mayang, karena hanya mereka yang berada di sana saat ini, sedikit suara saja bisa ditangkap dengan baik oleh telinga Mayang.
“Mau pulang dengan ku?”, tanya Marco lagi setelah Mayang berhenti dari kegiatannya dan terduduk sambil memegangi samsak yang dipukulinya tadi.
“Aku lapar”, jawab Mayang singkat.
“Bahkan aku bisa membelikanmu restoran kalau kamu mau”, jawab Marco menyombongkan harta keluarganya.
“Dan aku tidak butuh omong kosong”, kata Mayang, bangkit dari duduknya dan berniat memukuli samsak itu kembali.
“Aku pernah menawarkan dunia untukmu. Tapi kamu tidak pernah mau”, kata Marco sambil mendekati Mayang.
“Apa itu masih berlaku?”, tanya Mayang sambil memeluk samsaknya, sebenarnya dia sudah sangat kelelahan, hanya saja dia masih belum ingin berhenti sebelum pikirannya bisa melupakan masalah yang telah dilaluinya berhari-hari yang lalu.
“Aku selalu ada untukmu”, jawab Marco sambil meraih tangan Mayang, melihat beberapa bekas kemerahan yang diciptakan oleh Mayang sendiri dan mengecupnya, seakan kecupan itu bisa mengobati lecetnya.
“Tunggu aku di luar, aku akan membersihkan diri. Tidak lebih dari tiga puluh menit”, kata Mayang dan berlalu meninggalkan Marco dengan senyuman lebarnya.
Hari pertama masuk sekolah sebagai siswa kelas 11 IPS membuat Mayang bersenang hati, selain banyak siswa baru yang pindah dari kelas lain, tapi juga karena tidak terlalu banyak siswa yang menyombongkan dirinya di kelasnya saat ini. Mayang cukup mengenal semua teman kelasnya karena ada sebagian yang satu ekskul dengan karatenya dan sebagainya lagi karena Mayang sering bertemu dengan mereka saat mengikuti OSIS dulu.
Kelas Mayang saat ini memang berbeda, bila di kelas 10 dulu banyak anak konglomerat di dalamnya, kini kelas Mayang lebih dipenuhi dengan anak-anak yang berkarya di berbagai bidang, rasa solidaritas di kelas baru nya ini juga sangat terasa menurut Mayang.
Saat Mayang duduk di kursi yang dipilihnya sendiri, tiba-tiba seseorang yang dikenalnya duduk dan menyunggingkan senyum menjengkelkan ke arah Mayang.
“Pagi...”
“Kamu IPS?”, tanya Mayang.
“Iya dong, kan aku mau jadi pilot”
“Lah, kok bisa, nilai kamu kan bagus Eric”, protes Mayang yang masih tidak percaya dia akan sekelas dengan Eric lagi.
“Ya, habis mau gimana lagi”, jawab Eric sambil berlalu dan menuju ke pojok ruang, dia memutuskan untuk memilih duduk di sana.
Mayang hanya mampu mengendikkan bahunya cuek.
~~
“Mayang!!! Eric berantem di depan kelas 11A”, teriak seseorang yang mampu menghentikan Mayang dari aktivitasnya.
Mayang pun segera berlari menuju ke tempat yang siswa itu maksud dan menyibak kerumunan putih abu-abu di sana. Setelah menemukan apa yang dia cari Mayang segera memeluk perut Eric dari belakang untuk menghentikannya. “Berhenti Eric, aku mohon, berhenti!!!” kata Mayang sedikit berteriak karena terlalu riuh disana.
Eric yang menyadari kehadiran Mayang segera melepas cengkeramannya dan menghempaskan tubuh siswa itu ke atas lantai paving dan meninggalkannya.
Mayang membantu siswa itu berdiri, wajahnya yang tidak terlalu asing menurut Mayang, tapi dia tetap tidak mengenalinya. “Kau tidak apa-apa?”, tanya Mayang. Siswa itu pun meludah di depan Mayang dan menepis bantuan Mayang lalu meninggalkan Mayang tanpa berniat menjawab pertanyaannya.
Mayang mencari dimana Eric sekarang, di tempat biasa mereka menghabiskan waktu saat beristirahat maupun jam kosongnya. Namun tetap tidak menemukan sahabatnya itu.
Bel tanda jam pelajaran akan dimulai telah berbunyi, Mayang segera menuju ruang kelasnya berharap Eric sudah berada di bangkunya. Namun saat sampai di kelas Mayang hanya mendapati kursi kosong dan tas yang sudah dikemasi oleh pemiliknya. Berarti kemungkinannya sangat kecil bila ingin tetap menemukan Eric disini.
~
Jam pelajaran sudah selesai, waktunya pulang. Entah kemana Eric, setelah kejadian tadi dia absen
Mayang berjalan agak gontai menuju ke halte terdekat untuk mencari angkot yang melewati depan rumahnya. Sedikit lapar harus ditahannya karena uang sakunya hanya pas untuk ongkos angkot saja, biasanya dia akan membeli makanan ringan untuk menganjal perutnya jika saja pulang dengan nebeng Eric, tetapi situasinya berbeda kali ini.
TIN..TIN..
Suara klakson motor Truimph mengalihkan pandangannya, dengan wajah masih masam tanpa berkata apa pun, Mayang seperti tahu dari tatapan matanya yang tajam. Tanpa banyak komentar Mayang segera mengambil helmnya yang selalu dikaitkan di belakang motor itu, memakainya dan segera menaiki motor itu. Motor itu pun melaju membelah kota Malang yang sedang gerimis sore ini.
“Kita mau kemana?”, tanya Mayang, namun Eric tetap diam, begitulah Eric saat marah jangankan berbicara kalau pun bisa mungkin bernafas saja dia malas.
Sampai Alun-alun Batu Eric memarkirkan motornya dan berjalan menuju kolam dan memainkan airnya.
Mayang yang bosan dengan keheningan ini, padahal suasana di sini cukup ramai. Gerimis yang menyerupai debu kecil tak menyurutkan warganya menikmati kebersamaan di tempat yang sama dengan Mayang kunjungi saat ini. “Kita gak pulang saja Eric? Masih pake seragam ini”, kata Mayang mencoba membuka obrolan agar Eric bisa bicara lagi dan auranya menghangat.
“Bapak kamu jarang pulang ya?”, tanya Eric.
“Kok tau?”, jawab Mayang dengan nada yang sangat imut bila didengarkan dengan memejamkan mata.
PLETAKKK
“Au....sakit Eric”, kata Mayang, sungguh jahat karena Eric bisa menjitak gadis semanis Mayang.
“Aku nanyanya serius”, kata Eric ketus dengan menaikkan sedikit nada bicaranya.
“Ya mana aku tau, aku pikir kamu mau ngegombalin aku”, sanggah Mayang sambil mengusap puncak kepalanya karena masih terasa agak nyeri. “Iya, kenapa? Kamu kangen?”, kata Mayang lagi.
“Kemana?”, tanya Eric.
“Aku gak tau, aku gak nanya”, jawab Mayang.
“Ibuk kamu tau kemana?”, tanya Eric lagi.
“Gak tau deh, aku juga gak nanya ke ibuk”, jawab Mayang acuh.
“Kamu gak dengar apa gitu kan?”, tanya Eric karena dia sangat penasaran.
“Apaan sih? Kamu tau bapakku dimana? Udah deh, palingan besok juga pulang. Aku lapar aku mau pulang dan makan Eric”, jawab Mayang ketus.
Eric tidak membalas Mayang, dia malah mengajak Mayang menyeberang jalan menuju ke PKL depan pasar dan masuk ke dalam warung yang menjual lalapan disana. Memesan dua porsi dan juga dua gelas es jeruk.
Karena memang Mayang lapar saat ini, dia pun memakan makanan itu dengan lahap. Saat dia melihat Eric yang terlihat memikirkan sesuatu Mayang meniup wajah Eric.
Eric tersadar dari lamunannya dan ikut memakan seporsi lalapan dengan lauk ikan lele yang berukuran lumayan besar di atasnya.
~~
Hujan di bulan desember, menyempurnakan apa yang dilalui Mayang saat ini. Saat teriakan demi teriakan keluar dari dua orang yang sedang beradu urat dan egonya.
Suara barang yang beterbangan itu tersamarkan oleh derasnya hujan, namun tetap bisa ditangkap dengan baik oleh Mayang. Makian, cacian, seperti nyanyian rock n’ roll yang memengkakkan telinga.
BRAAKKK
Selesai sudah.
Mayang keluar dari kamarnya, menemukan ibunya terduduk lesu di lantai dapur dengan sampah seperti biasa yang mengelilinginya.
“Ibu”, suara Mayang mengiris hati siapa saja yang mendengarnya.
Tumpah sudah tangisan kedua orang itu, meratapi nasib yang tak seorang pun ingin mencobanya, tak seorang pun akan kuat mendengar kisahnya.
Mayang dan ibunya saling berpelukan dan menangis, meraung, saling menumpahkan isi hatinya tanpa satu kalimat pun agar beban di punggung mereka sedikit berkurang, agar hati sakit mereka sedikit terobati bila mencurahkannya dengan air mata.
“Jadilah sukses nduk, belilah mulut orang yang telah membuang kita, ibu tidak kuat lagi menanggungnya sendiri”, kata ibu Mayang sambil tersedu.
Mayang hanya bisa mengangguk mengiyakan, sakit hatinya terlalu dalam sampai seakan melihat semua laki-laki akan seperti bapaknya.
“Mayang gak usah khawatir ya nduk, ibu akan berjuang sekuat tenaga ibu agar Mayang tetap bisa menyelesaikan sekolah disana”, kata ibu Mayang sambil mengusap air matanya sendiri.
Mayang hanya mampu mengangguk lagi. Dia pun berjanji di dalam hatinya, tidak akan mengecewakan harapan ibunya dan ikut membantu sekuat tenaga untuk bertahan di dunia yang kejam ini.
~~
Mayang bersikap seperti biasa saat di sekolah meskipun wajahnya sangat kusut karena jam tidurnya berkurang beberapa hari ini, namun dia tetap berusaha semaksimal mungkin. Mayang yakin dia masih cukup beruntung dibandingkan dengan anak di luar sana, masih banyak orang yang berada di bawahnya dan mereka tetap bersyukur.
Banyaknya masalah yang Mayang pikirkan membuatnya tidak terlalu peduli dengan sekelilingnya, tak terkecuali Eric. Entah sudah berapa kali dia tidak berniat berangkat atau pun pergi bersama, dan dia juga tidak tahu kenapa Eric juga menjauhinya.
Berbeda dengan Mayang, Eric yang sibuk dengan tim basketnya, berlatih keras karena akan mengikuti pertandingan antar kota. Setiap pagi dia tetap menjemput Mayang namun dia juga tidak tahu kenapa Mayang selalu berangkat lebih awal dari biasanya, sedangkan saat pulang sekolah selalu ada pertemuan antara dia dan timnya. Eric sangat disiplin kali ini, karena bila kemenangan kembali ia peroleh, dia bisa menjadi kapten untuk pertandingan selanjutnya.
Seharusnya Mayang bisa langsung pulang hari ini, tapi karena hatinya yang sedang kurang baik akhirnya disini lah Mayang sekarang. Memukuli samsak lagi dan lagi sampai tenaganya hampir habis, jari-jarinya memar dan membengkak, tangannya seperti kehilangan tenaga tapi itu belum mampu menyurutkan niat Mayang yang masih ingin memukuli samsak itu.
Dengan sisa tenaga Mayang tetap melakukan gerakan itu dan akan berhenti bila dia sudah tidak sanggup lagi melakukannya.
“Cantik”, sapa Marco mampu mengalihkan perhatian Mayang, karena hanya mereka yang berada di sana saat ini, sedikit suara saja bisa ditangkap dengan baik oleh telinga Mayang.
“Mau pulang dengan ku?”, tanya Marco lagi setelah Mayang berhenti dari kegiatannya dan terduduk sambil memegangi samsak yang dipukulinya tadi.
“Aku lapar”, jawab Mayang singkat.
“Bahkan aku bisa membelikanmu restoran kalau kamu mau”, jawab Marco menyombongkan harta keluarganya.
“Dan aku tidak butuh omong kosong”, kata Mayang, bangkit dari duduknya dan berniat memukuli samsak itu kembali.
“Aku pernah menawarkan dunia untukmu. Tapi kamu tidak pernah mau”, kata Marco sambil mendekati Mayang.
“Apa itu masih berlaku?”, tanya Mayang sambil memeluk samsaknya, sebenarnya dia sudah sangat kelelahan, hanya saja dia masih belum ingin berhenti sebelum pikirannya bisa melupakan masalah yang telah dilaluinya berhari-hari yang lalu.
“Aku selalu ada untukmu”, jawab Marco sambil meraih tangan Mayang, melihat beberapa bekas kemerahan yang diciptakan oleh Mayang sendiri dan mengecupnya, seakan kecupan itu bisa mengobati lecetnya.
“Tunggu aku di luar, aku akan membersihkan diri. Tidak lebih dari tiga puluh menit”, kata Mayang dan berlalu meninggalkan Marco dengan senyuman lebarnya.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved