Bab 10 Jadilah aku
by Jenang_gula
10:34,Jan 13,2021
..~Jadilah aku agar kamu tahu betapa besar rasa cintaku padamu, agar kamu tahu betapa susahnya aku meyakinkanmu (Eric)~..
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, tim basket kebanggaan sekolah akan membawa harum lagi nama SMA 3. Meskipun pertandingan belum dimulai namun semua sudah memprediksi kalau dalam pertandingan persahabatan kali ini pasti kemenangan akan berpihak kembali kepada SMA 3. Sejak dulu memang pertahanan SMA ini sangat tangguh, sangat sulit menjatuhkan apalagi menyerang. Dan kehadiran Eric kali ini mampu menambah ketangguhan tim basket ini.
Waktu terus berlalu sampai peluit panjang tanda pertandingan usai telah ditiup, dengan skor 97-120, sangat membanggakan.
Eric beberapa kali menyumbang poin dengan memasukkan bola lima belas kali, dan dari luar garis sebanyak lima kali, dengan tinggi badannya memang tidak terlalu menyulitkan bagi Eric.
Mayang juga ikut menyaksikan pertandingan kali ini. Melihat kemenangan tim dan Eric yang berada di sana membuatnya ikut bangga. Saat Mayang akan mendekat dan membawa handuk serta minuman untuk Eric, ternyata sudah ada Tasya dan beberapa siswi lainnya yang sudah mengantre di sana. Jaraknya yang cukup jauh membuatnya tidak terlihat oleh Eric.
Mayang bergeming di tempatnya saat melihat Eric mengambil minuman dari tangan Tasya, ada perasaan tidak suka karena sosoknya telah digantikan oleh orang lain. Entah karena Tasya atau siswi lain, atau karena Eric menerima sesuatu dari ‘cewek' lain. Ada yang sakit rasanya di dalam sana, namun Mayang tidak mau menyimpulkan itu karena apa. Sebelum sakit itu berhasil menusuk perasaannya yang menjadi aneh, Mayang memilih untuk meninggalkan tempat itu.
Berada di kantin dan meminum es teh akan lebih baik dari pada melihat pemandangan yang bisa membuat kepalanya pening. Selain es teh, Mayang juga memesan seporsi bakso, menuangkan banyak sambal di atasnya agar bisa membuat otaknya plong.
Saat menyantap suapan pertama sensasi panas yang membakar lidahnya mampu mengalihkan pikiran kotornya yang berkecamuk di dalam kepala. Mayang melahap bakso itu lagi dan lagi, dari tahu nya, mi, dan juga tentu saja pentol yang kenyal dari campuran tepung sagu dan daging sapi. Entah sudah suapan ke berapa sekarang sehingga perutnya terasa panas dan melilit. Dia pun meletakkan sendok yang dipegangnya dan meraih gelas es teh yang terlihat sangat menyegarkan itu.
Eric mencari Mayang kemana-mana, setelah berganti seragam dan membersihkan diri. Dia yakin tadi melihat Mayang saat bertanding, tetapi kenapa dia tidak menemukannya saat pertandingan telah usai tadi.
Eric mencoba masuk perpustakaan karena Mayang akan berada disana untuk mencari komik baru, namun ruangan yang biasa digunakannya untuk membaca maupun tidur masih kosong yang berarti penghuninya belum datang karena biasanya hanya Mayang yang mau duduk disitu. Di antara rak-rak tinggi yang tidak terlalu terlihat untuk bersembunyi saat kantuk melanda di jam istirahat maupun jam kosong.
Tempat kedua yang menjadi tujuan Eric adalah kantin, biasanya kalau tidak menemukan Mayang di perpustakaan, Eric pasti akan menemukannya di kantin. Mayang sering juga disana, meskipun tidak beli dia akan berada di taman dekat kantin dan memakan beberapa snack disana. Membaca buku komik atau novel sambil melihat daun-daun yang berguguran dan mendengar desiran angin sepoi yang melewati telinga. Itulah kegemaran lain dari Mayang, selain makan dan tidur, salah satu kegemarannya lagi adalah melamun. Eric cukup tahu apa yang banyak dipikirkan oleh anak itu, karena Eric juga banyak mendengar tentang kisahnya. Menjadi tong sampah untuk Mayang, meskipun kadang tidak bisa membantu dengan hanya mendengarkannya saja pasti bisa menghapus sedikit beban Mayang.
Eric menemukan apa yang dia cari. Seseorang dengan mangkuk yang sudah kosong di depannya menyisakan kuah berwarna merah yang terdapat banyak biji cabai di dalamnya, serta satu gelas es teh yang masih sisa sedikit. “Kamu gak nonton tadi?”, tanya Eric sambil menjatuhkan bokongnya di kursi depan Mayang.
“Nonton apa?”, Mayang bertanya balik sambil terus menyedot es teh yang sudah tidak terlalu manis karena es batu di dalamnya sudah mulai mencair.
“Ya maenku lah, kok apa sih”, kata Eric sambil menyentuh jidat Mayang. “Lu sakit?”, tanya nya lagi.
“Maen apa an? Sama cewek-cewek pembawa handuk dan botol minum”, kata Mayang acuh.
Eric yang mendengar perkataan Mayang terdiam dan berpikir apa yang dimaksud Mayang, setelah dia mendapatkan jawabannya Eric tersenyum dan menyendekapkan tangan nya di atas meja. “Mangkannya cakep, biar banyak yang demen”, kata Eric sambil tersenyum mengejek Mayang.
Mayang yang mendengar itu menyebikkan bibirnya dan segera menghabiskan minumannya. Setelah minuman itu tandas, dia berdiri dan meninggalkan Eric yang masih senyum sendirian.
Eric yang melihat Mayang pergi menyusulnya dan berjalan di sampingnya. Aura tidak nyaman memang sangat terasa meskipun Eric belum tahu pasti apa yang membuat Mayang bertingkah aneh saat ini. “May?!!”, panggil Eric agar Mayang mau sedikit memelankan langkahnya. Tetapi bukan itu yang didapat, Mayang malah semakin mempercepat langkahnya seperti dikejar setan saja.
Eric yang geram dengan sikap Mayang menarik pergelangan Mayang dengan keras dan berhasil menghentikan langkahnya.
Mayang meringis karena merasakan cengkeraman kuat Eric, namun dia masih enggan memandang wajah Eric saat ini.
“Kalo ada apa-apa kamu ngomong ke aku, jangan kayak gini”, kata Eric sambil menahan amarahnya melihat tingkah konyol Mayang.
Mayang tetap pada pendiriannya, memalingkan wajahnya dan mengunci rapat-rapat mulutnya.
Eric yang mulai lelah dengan sikap Mayang segera menarik pergelangan tangan Mayang agar mau mengikuti langkahnya yang lebar.
Dengan perlakuan Eric, Mayang sedikit kepayahan mengikuti langkah Eric. Selain tinggi badan mereka yang tidak seimbang juga karena langkah cepat Eric saat ini. Mayang pun menyadari bahwa Eric sudah terpancing emosinya oleh sikap yang Mayang ciptakan barusan.
Setelah sampai di kelas, Eric melepas pergelangan tangan Mayang dan mendudukkannya di bangkunya sendiri. Eric menatap tajam Mayang dengan mata elangnya dan menarik dalam nafasnya agar kemarahannya sedikit teredam dengan sikap konyol Mayang.
Mayang yang tidak suka melihat Eric yang menampakkan tatapan seperti itu menundukkan pandangannya dan memilin dasi yang dipakainya.
“Kenapa kamu gak ada pas pertandingan selesai tadi?”, Eric menanyakan pertanyaan yang sangat dia tunggu jawabannya dari tadi.
“Aku lapar jadi aku ke kantin beli bakso”, kata Mayang masih dengan posisi yang sama.
“Mana minumanku?”, tanya Eric. Memang tadi Eric memintanya membawakan minuman karena dia tidak suka minuman dari orang lain yang tidak bersegel, tetapi bila ada yang memberinya dan minuman itu masih baru Eric pasti akan menerimanya bila dia sedang kehausan.
“Kamu sudah minum punya Tasya”, kata Mayang yang mulai mengerucutkan bibirnya, pertanyaan Eric mengingatkannya dengan kejengkelannya tadi.
“Itu karena aku nyariin kamu dan gak ketemu juga, aku keburu haus kamu tau gak?!!”, kata Eric sambil menaikkan satu oktaf nada bicaranya.
“Ya aku kan penonton, ya pasti lah datengnya lama, kalo anak cheer ya cepet kan ada di lapangan juga”, jawab Mayang ketus dan itu membuat Eric bisa membaca situasinya.
“Kamu cemburu?”, tanya Eric sambil menahan agar tawanya tidak lepas.
“Gak!!”, jawab Mayang sambil membuka tasnya dan mengeluarkan handuk serta botol minuman yang seharusnya diberikan ke Eric tadi. “Nih, besok-besok gak usah nyuruh aku, udah ada Tasya”, imbuh Mayang.
Eric yang mendengar pernyataan Mayang semakin yakin bahwa Mayang memang cemburu saat ini. Eric pun mengambil handuk dan botol minumnya dan menaruhnya di kolong mejanya.
~~~
Mayang menangis lagi. Menutup kedua telinganya dengan tangan nya saat mendengarkan keributan itu lagi. Meskipun dia tidak keluar dari kamarnya, namun dia cukup tahu dengan apa yang terjadi di luar sana.
Dua orang yang memiliki nada suara yang tidak sama saling memaki satu sama lain. Bantingan piring kembali terdengar, dan suara makian kembali meninggi. Meskipun begitu Mayang tetap lega karena tidak mendengar tamparan atau pukulan yang membabi buta. Setidaknya hanya hati ibunya saja yang sakit, bukan fisiknya juga.
Saat nada seseorang yang dominan sudah berada di puncaknya.
PLAKK
Satu tamparan terdengar dan menghentikan perdebatan antara kedua orang itu.
“Sudah berkali-kali aku ngajarin kamu pinter, tapi telingamu gak pernah kamu pake. Kamu setuju atau enggak, aku tetap kesana karena cuma disana aku bisa memberimu uang!! Jangan sampai kesabaranku habis”
Setelah mendengar kalimat itu, tidak lagi terdengar apa pun. Hanya bantingan pintu yang mengagetkan Mayang dan menyisakan hening setelah nya.
Mayang keluar dari kamarnya menemukan pemandangan yang seperti biasanya. Dilihatnya lagi wanita yang disayanginya itu terduduk di kursi makan, meskipun tidak ada air mata yang menetes di pipinya, namun wajahnya cukup sempurna menggambarkan apa yang dirasakannya saat ini. Umur Mayang memang sudah 16 tahun tapi bukan berarti dia mengetahui apa yang dibicarakan para orang tua di sekitarnya.
Mayang mendekati ibunya dan mengusap punggung rapuh itu.
Ibu Mayang segera menoleh ke anak gadisnya dan tersenyum seperti biasanya. “Kamu sudah makan nduk?”
Mayang yang mendengar pertanyaan konyol ibunya menautkan alisnya dan menghembuskan nafasnya kasar. Apa sebenarnya yang dipikirkan ibunya saat ini. “Ibu bertanya apa aku sudah makan?”, Mayang berbalik bertanya dengan suara pelan namun dia yakin kalau ibunya masih bisa mendengarnya.
“Ibu tidak lihat kamu makan dari tadi”, jawab ibunya sambil berdiri dan mengambil sapu di sudut dapur, membersihkan pecahan beling itu dan memasukkannya ke dalam kantong kresek.
Mayang tidak bisa berkata apa pun, sungguh bukan kalimat itu yang ingin didengarnya. Mayang bergeming di tempatnya sambil mengamati ibunya yang masih terus saja membersihkan lantai dapur.
Karena suasana semakin canggung Mayang pun beranjak ke ruang TV dan mendaratkan bokongnya di kursi kayu yang berada di ruangan itu. Menghidupkan TV dengan volume yang cukup keras dan membaringkan tubuhnya di kursi itu. Memang selalu ada bantal di sana, meskipun itu hanya sebuah kursi kayu namun panjangnya sejajar dengan tubuh orang dewasa. Bapaknya sering tidur di sana dari pada sekamar dengan ibunya, tapi Mayang tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Karena meskipun orang tuanya sering bertengkar mereka juga masih kompak saat menghadapi masalah keluarga. Mereka masih sering berdiskusi untuk mencari solusi dalam setiap masalah, namun saat bertengkar ini lah yang tidak disukai Mayang. Emosi bapaknya yang gampang memuncak, dan juga sering bermain tangan.
Tak terasa air mata Mayang pun luruh kembali membasahi pipinya yang pucat.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, tim basket kebanggaan sekolah akan membawa harum lagi nama SMA 3. Meskipun pertandingan belum dimulai namun semua sudah memprediksi kalau dalam pertandingan persahabatan kali ini pasti kemenangan akan berpihak kembali kepada SMA 3. Sejak dulu memang pertahanan SMA ini sangat tangguh, sangat sulit menjatuhkan apalagi menyerang. Dan kehadiran Eric kali ini mampu menambah ketangguhan tim basket ini.
Waktu terus berlalu sampai peluit panjang tanda pertandingan usai telah ditiup, dengan skor 97-120, sangat membanggakan.
Eric beberapa kali menyumbang poin dengan memasukkan bola lima belas kali, dan dari luar garis sebanyak lima kali, dengan tinggi badannya memang tidak terlalu menyulitkan bagi Eric.
Mayang juga ikut menyaksikan pertandingan kali ini. Melihat kemenangan tim dan Eric yang berada di sana membuatnya ikut bangga. Saat Mayang akan mendekat dan membawa handuk serta minuman untuk Eric, ternyata sudah ada Tasya dan beberapa siswi lainnya yang sudah mengantre di sana. Jaraknya yang cukup jauh membuatnya tidak terlihat oleh Eric.
Mayang bergeming di tempatnya saat melihat Eric mengambil minuman dari tangan Tasya, ada perasaan tidak suka karena sosoknya telah digantikan oleh orang lain. Entah karena Tasya atau siswi lain, atau karena Eric menerima sesuatu dari ‘cewek' lain. Ada yang sakit rasanya di dalam sana, namun Mayang tidak mau menyimpulkan itu karena apa. Sebelum sakit itu berhasil menusuk perasaannya yang menjadi aneh, Mayang memilih untuk meninggalkan tempat itu.
Berada di kantin dan meminum es teh akan lebih baik dari pada melihat pemandangan yang bisa membuat kepalanya pening. Selain es teh, Mayang juga memesan seporsi bakso, menuangkan banyak sambal di atasnya agar bisa membuat otaknya plong.
Saat menyantap suapan pertama sensasi panas yang membakar lidahnya mampu mengalihkan pikiran kotornya yang berkecamuk di dalam kepala. Mayang melahap bakso itu lagi dan lagi, dari tahu nya, mi, dan juga tentu saja pentol yang kenyal dari campuran tepung sagu dan daging sapi. Entah sudah suapan ke berapa sekarang sehingga perutnya terasa panas dan melilit. Dia pun meletakkan sendok yang dipegangnya dan meraih gelas es teh yang terlihat sangat menyegarkan itu.
Eric mencari Mayang kemana-mana, setelah berganti seragam dan membersihkan diri. Dia yakin tadi melihat Mayang saat bertanding, tetapi kenapa dia tidak menemukannya saat pertandingan telah usai tadi.
Eric mencoba masuk perpustakaan karena Mayang akan berada disana untuk mencari komik baru, namun ruangan yang biasa digunakannya untuk membaca maupun tidur masih kosong yang berarti penghuninya belum datang karena biasanya hanya Mayang yang mau duduk disitu. Di antara rak-rak tinggi yang tidak terlalu terlihat untuk bersembunyi saat kantuk melanda di jam istirahat maupun jam kosong.
Tempat kedua yang menjadi tujuan Eric adalah kantin, biasanya kalau tidak menemukan Mayang di perpustakaan, Eric pasti akan menemukannya di kantin. Mayang sering juga disana, meskipun tidak beli dia akan berada di taman dekat kantin dan memakan beberapa snack disana. Membaca buku komik atau novel sambil melihat daun-daun yang berguguran dan mendengar desiran angin sepoi yang melewati telinga. Itulah kegemaran lain dari Mayang, selain makan dan tidur, salah satu kegemarannya lagi adalah melamun. Eric cukup tahu apa yang banyak dipikirkan oleh anak itu, karena Eric juga banyak mendengar tentang kisahnya. Menjadi tong sampah untuk Mayang, meskipun kadang tidak bisa membantu dengan hanya mendengarkannya saja pasti bisa menghapus sedikit beban Mayang.
Eric menemukan apa yang dia cari. Seseorang dengan mangkuk yang sudah kosong di depannya menyisakan kuah berwarna merah yang terdapat banyak biji cabai di dalamnya, serta satu gelas es teh yang masih sisa sedikit. “Kamu gak nonton tadi?”, tanya Eric sambil menjatuhkan bokongnya di kursi depan Mayang.
“Nonton apa?”, Mayang bertanya balik sambil terus menyedot es teh yang sudah tidak terlalu manis karena es batu di dalamnya sudah mulai mencair.
“Ya maenku lah, kok apa sih”, kata Eric sambil menyentuh jidat Mayang. “Lu sakit?”, tanya nya lagi.
“Maen apa an? Sama cewek-cewek pembawa handuk dan botol minum”, kata Mayang acuh.
Eric yang mendengar perkataan Mayang terdiam dan berpikir apa yang dimaksud Mayang, setelah dia mendapatkan jawabannya Eric tersenyum dan menyendekapkan tangan nya di atas meja. “Mangkannya cakep, biar banyak yang demen”, kata Eric sambil tersenyum mengejek Mayang.
Mayang yang mendengar itu menyebikkan bibirnya dan segera menghabiskan minumannya. Setelah minuman itu tandas, dia berdiri dan meninggalkan Eric yang masih senyum sendirian.
Eric yang melihat Mayang pergi menyusulnya dan berjalan di sampingnya. Aura tidak nyaman memang sangat terasa meskipun Eric belum tahu pasti apa yang membuat Mayang bertingkah aneh saat ini. “May?!!”, panggil Eric agar Mayang mau sedikit memelankan langkahnya. Tetapi bukan itu yang didapat, Mayang malah semakin mempercepat langkahnya seperti dikejar setan saja.
Eric yang geram dengan sikap Mayang menarik pergelangan Mayang dengan keras dan berhasil menghentikan langkahnya.
Mayang meringis karena merasakan cengkeraman kuat Eric, namun dia masih enggan memandang wajah Eric saat ini.
“Kalo ada apa-apa kamu ngomong ke aku, jangan kayak gini”, kata Eric sambil menahan amarahnya melihat tingkah konyol Mayang.
Mayang tetap pada pendiriannya, memalingkan wajahnya dan mengunci rapat-rapat mulutnya.
Eric yang mulai lelah dengan sikap Mayang segera menarik pergelangan tangan Mayang agar mau mengikuti langkahnya yang lebar.
Dengan perlakuan Eric, Mayang sedikit kepayahan mengikuti langkah Eric. Selain tinggi badan mereka yang tidak seimbang juga karena langkah cepat Eric saat ini. Mayang pun menyadari bahwa Eric sudah terpancing emosinya oleh sikap yang Mayang ciptakan barusan.
Setelah sampai di kelas, Eric melepas pergelangan tangan Mayang dan mendudukkannya di bangkunya sendiri. Eric menatap tajam Mayang dengan mata elangnya dan menarik dalam nafasnya agar kemarahannya sedikit teredam dengan sikap konyol Mayang.
Mayang yang tidak suka melihat Eric yang menampakkan tatapan seperti itu menundukkan pandangannya dan memilin dasi yang dipakainya.
“Kenapa kamu gak ada pas pertandingan selesai tadi?”, Eric menanyakan pertanyaan yang sangat dia tunggu jawabannya dari tadi.
“Aku lapar jadi aku ke kantin beli bakso”, kata Mayang masih dengan posisi yang sama.
“Mana minumanku?”, tanya Eric. Memang tadi Eric memintanya membawakan minuman karena dia tidak suka minuman dari orang lain yang tidak bersegel, tetapi bila ada yang memberinya dan minuman itu masih baru Eric pasti akan menerimanya bila dia sedang kehausan.
“Kamu sudah minum punya Tasya”, kata Mayang yang mulai mengerucutkan bibirnya, pertanyaan Eric mengingatkannya dengan kejengkelannya tadi.
“Itu karena aku nyariin kamu dan gak ketemu juga, aku keburu haus kamu tau gak?!!”, kata Eric sambil menaikkan satu oktaf nada bicaranya.
“Ya aku kan penonton, ya pasti lah datengnya lama, kalo anak cheer ya cepet kan ada di lapangan juga”, jawab Mayang ketus dan itu membuat Eric bisa membaca situasinya.
“Kamu cemburu?”, tanya Eric sambil menahan agar tawanya tidak lepas.
“Gak!!”, jawab Mayang sambil membuka tasnya dan mengeluarkan handuk serta botol minuman yang seharusnya diberikan ke Eric tadi. “Nih, besok-besok gak usah nyuruh aku, udah ada Tasya”, imbuh Mayang.
Eric yang mendengar pernyataan Mayang semakin yakin bahwa Mayang memang cemburu saat ini. Eric pun mengambil handuk dan botol minumnya dan menaruhnya di kolong mejanya.
~~~
Mayang menangis lagi. Menutup kedua telinganya dengan tangan nya saat mendengarkan keributan itu lagi. Meskipun dia tidak keluar dari kamarnya, namun dia cukup tahu dengan apa yang terjadi di luar sana.
Dua orang yang memiliki nada suara yang tidak sama saling memaki satu sama lain. Bantingan piring kembali terdengar, dan suara makian kembali meninggi. Meskipun begitu Mayang tetap lega karena tidak mendengar tamparan atau pukulan yang membabi buta. Setidaknya hanya hati ibunya saja yang sakit, bukan fisiknya juga.
Saat nada seseorang yang dominan sudah berada di puncaknya.
PLAKK
Satu tamparan terdengar dan menghentikan perdebatan antara kedua orang itu.
“Sudah berkali-kali aku ngajarin kamu pinter, tapi telingamu gak pernah kamu pake. Kamu setuju atau enggak, aku tetap kesana karena cuma disana aku bisa memberimu uang!! Jangan sampai kesabaranku habis”
Setelah mendengar kalimat itu, tidak lagi terdengar apa pun. Hanya bantingan pintu yang mengagetkan Mayang dan menyisakan hening setelah nya.
Mayang keluar dari kamarnya menemukan pemandangan yang seperti biasanya. Dilihatnya lagi wanita yang disayanginya itu terduduk di kursi makan, meskipun tidak ada air mata yang menetes di pipinya, namun wajahnya cukup sempurna menggambarkan apa yang dirasakannya saat ini. Umur Mayang memang sudah 16 tahun tapi bukan berarti dia mengetahui apa yang dibicarakan para orang tua di sekitarnya.
Mayang mendekati ibunya dan mengusap punggung rapuh itu.
Ibu Mayang segera menoleh ke anak gadisnya dan tersenyum seperti biasanya. “Kamu sudah makan nduk?”
Mayang yang mendengar pertanyaan konyol ibunya menautkan alisnya dan menghembuskan nafasnya kasar. Apa sebenarnya yang dipikirkan ibunya saat ini. “Ibu bertanya apa aku sudah makan?”, Mayang berbalik bertanya dengan suara pelan namun dia yakin kalau ibunya masih bisa mendengarnya.
“Ibu tidak lihat kamu makan dari tadi”, jawab ibunya sambil berdiri dan mengambil sapu di sudut dapur, membersihkan pecahan beling itu dan memasukkannya ke dalam kantong kresek.
Mayang tidak bisa berkata apa pun, sungguh bukan kalimat itu yang ingin didengarnya. Mayang bergeming di tempatnya sambil mengamati ibunya yang masih terus saja membersihkan lantai dapur.
Karena suasana semakin canggung Mayang pun beranjak ke ruang TV dan mendaratkan bokongnya di kursi kayu yang berada di ruangan itu. Menghidupkan TV dengan volume yang cukup keras dan membaringkan tubuhnya di kursi itu. Memang selalu ada bantal di sana, meskipun itu hanya sebuah kursi kayu namun panjangnya sejajar dengan tubuh orang dewasa. Bapaknya sering tidur di sana dari pada sekamar dengan ibunya, tapi Mayang tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Karena meskipun orang tuanya sering bertengkar mereka juga masih kompak saat menghadapi masalah keluarga. Mereka masih sering berdiskusi untuk mencari solusi dalam setiap masalah, namun saat bertengkar ini lah yang tidak disukai Mayang. Emosi bapaknya yang gampang memuncak, dan juga sering bermain tangan.
Tak terasa air mata Mayang pun luruh kembali membasahi pipinya yang pucat.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved