Bab 5 Part 5
by Neng Gemoy
17:51,Nov 05,2024
Pagi itu kami duduk di satu meja makan. Tidak ada hal yang istimewa semua merupakan rutinitas pagi hari. Hanya saja kali ini ada yang sedikit berbeda.
Mar, sarapan yang banyakkata Papa Wijaya.
Nih Mar.Mama Revita menyodorkan telur dadar ke piringku.
Makasih Ma.aku sudah tidak canggung lagi memanggil Papa dan Mama ke mereka.
Sarapan kami tetap diiringi obrolan ringan seputar diriku yang hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah. Ah, siapa sangka gadis desa sepertiku dapat melanjutkan sekolah lagi.
Mar, kamu sudah siap dengan hari pertama kamu?tanya Papa.
Udah Pa.jawabku.
Seragam itu cocok sekali buat kamu, iyakan Pa.Mama Revita menyela.
Iya Ma.Jawab Papa Wijaya.
Yaudah gih sarapan agak cepetan udah siang.kata Mama
Aku pun segera menyelesaikan sarapanku. Segera setelah itu ku beresi semua. Jangan disangka aku jadi nona muda disana. Aku tetap cucu Simbok pembantu di rumah ini.Tapi bukan karena status itu tapi karena aku memang dari dulu sudah mandiri.
Aku ambil tas dan segera melangkah keluar. Namun, segera Mama Revita mencegah.
Lho Mar, kok buru-buru gitu?tanya Mama
Takut telat Ma.jawabku.
Kamu bareng Papa aja. Lagian juga searah sama sekolah kamu.kata Mama.
Pa..pa..papa...buruan....Marni keburu telat.
Iyah Mah.jawab Papa
Papa kemudian masuk ke mobil ke bagian kemudi, karena memang Papa sopirnya. Aku segera masuk ke belakang. Namun, tiba-tiba Papa mengatakan padaku untuk
pindah ke depan. Bukan apa-apa sih tapi aku merasa ada yang salah.
Kamu ke depan sini dong Mar. Masa Papa dijadiin supir gini.Canda Papa.
Iya deh Pa, kirain Marni harus dibelakang. Kebiasaan naik angkot sih Pa.jawabku
Pelan-pelan mobil meninggalkan pelataran rumah menuju jalanan. Cukup ramai pagi itu. Ku lirik sepintas Papa disebelah kananku. Memang Papa cukup tampan dan sangat serasi dengan Mama.
Kenapa Mar ada yang salah?tanya Papa.
Gak, Gak kok Pa.jawabku agak kaget. Rupanya Papa menyadari perbuatanku. Malu rasanya.
Pikiranku melayang kembali ke pagi hari ketika aku terbangun dari tidurku. Ku dapati cairan lengket di beberapa bagian tubuhku dan yang lebih mengagetkan celana dalamku sejak kapan terlepas. Aku yakin betul aku memakainya ketika aku keluar dari kamar Mama. Satu-satunya yang mungkin ku curigai hanya Papa. Satu-satunya laki-laki di rumah. Tapi aku tidak punya bukti apapun. Biarpun aku gadis desa aku tidak kolot-kolot amat. Beberapa temanku di desa sudah ada yang memiliki handphone yang bisa mengakses internet. Jadi, sangat wajar jika aku juga ikut kena imbasnya, termasuk urusan orang dewasa.
Tanpa ku sadari ada yang basah di bawah sana. Astaga, aku mengompol. Tapi tidak mungkin ini sangat berbeda. Rasanya aku ingin Papa mnyentuhku tapi apa mungkin. Sudahlah aku tidak tahu.
Beberapa menit kemudian kami sampai di depan sekolah. Aku cium tangan Papa kemudian berpamitan. Papa hanya mengatakan agar aku belajar serius.
--
Curirut curirut.HP ku berbunyi.
Rupanya ada pesan dari Papa. Dalam pesan itu Papa menanyakan apakah aku sudah pulang atau belum.
Sdh plg blm Mar?
Blm Pa
Papa jemput ya. Papa udah kelar kerjaan di kantor
Iya Pa, tunggu Mar di dpn yah.
Aku beruntung selain mendapat perhatian, biaya untuk sekolah aku juga diberikan fasilitas yang cukup. Handphone aku juga diberi walau bukan hp yang canggih-canggih banget.
Tidak lama kemudian ku lihat mobil Papa sudah ada di depan gerbang sekolah. Segera aku menyongsongnya.
Ayo Pa kita pulang.ajakku setelah masuk ke mobil.
Yuk.jawab Papa.
Aku pikir Papa agak terkejut dengan penampilanku. Secara pulang sekolah aku tidak lagi mengenakan seragamku. Memang hari ini, hari pertama aku masuk
sekolah dan hari ini pula aku ikut dalam ekskul basket. Jadi yah, hanya memakai kaos olahraga dan celana training. Jelaslah lekuk tubuhku terlihat menonjol. Aku sendiri sadar aku tidak seksi banget. Biarlah orang lain yang menilai. Sepintas ku lihat Papa melirikku bukan Cuma sekali. Beberapa kali. Apa mungkin Papa tertarik kepadaku.
Pa Marni cantik gak Pa?tanyaku
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Mmmm...cantik kok Marjawab Papa
Serius Pa?tanyaku meyakinkan
Iya Papa serius.tegas Papa.
Seksi gak Pa?tanyaku sambil membusungkan dada menghadap Papa Wijaya.
Sejenak Papa melirik melihatku, matanya kemudian kembali ke jalanan.
Seksi lho. Coba 2 atau 3 tahun lagi. Mama Revi pasti kalah sama kamu Mar.
Seneng juga aku mendengarnya, walau dibandingin sama Mama Revita yang memang sudah seksi. Aku hanya tersenyum sendiri. Tidak ada lagi obrolan lagi sampai
di rumah.
--
Ah...apa benar semalam perbuatan Papa?tanyaku sendiri.
Ah sudahlah aku mandi saja.
Aku segera melucuti seluruh baju yang aku kenakan. Sumpek, gerah rasanya. Mandi merupakan solusi yang bagus. Untung saja kamar di rumah ini masing-masing memiliki kamar mandi sendiri. Jadi, tidak akan ada kata antri. Istimewanya lagi ada pemanas air juga. Padahal biasanya di desa aku mandi di bilik yang serba apa adanya. Shower ku nyalakan dan segera membasahi tubuh telanjangku. Segar sekali rasanya. Sesekali ku sentuh daerah-daerah kewanitaanku. Rasanya enak. Pikiranku melayang jauh. Seandainya Papa. Ah tidak Papa sangat baik Padaku. Segera ku tepis keinginanku jauh-jauh. Ritual mandi pun selesai. Ku keringkan badanku dengan handuk. Kemudian ku lilit tubuh telanjangku dengan handuk.
Tlebuk!
Aduh.......aku mengaduh cukup keras. Aku terpeleset di depan kamar mandi kamarku.
Tok tok tok.ku dengar pintu kamarku di ketuk.
Ada Mar?ku dengar suara Papa.
Aku tetap saja hanya mengaduh pinggangku sakit. Tanpa mengunggu persetujuan dariku Papa masuk ke dalam kamarku.
Ya ampun Marni.Papa kaget melihatku masih mengaduh di lantai.
Marni jatuh Pa, aduh pinggang Marni sakit ni.keluhku.
Tanpa di duga Papa langsung membopong aku, kemudian di baringkan aku di ranjangku. Namun, rupanya tanpa aku sadari lilitan handukku sudah longgar dan akhrinya seluruh lekuk tubuhku terekspos.
Ku lihat Papa hanya bengong saja. Segera ku tutup badanku dengan handuk. Namun tidak dapat menutup sempurna. Aku malu juga bergairah ada dorongan dari dalam. Aku mau Papa Wijaya. Sejenak ku lihat Papa hendak beranjak pergi. Entah setan mana yang mendorongku ku cegah Papa keluar kamarku.
Pa...ku panggil Papa sambil tanganku memegang tangan Papa.
Satu tanganku memegang ujung handuk, satu tangan lain memegang tangan Papa.
Kenapa Mar?tanya Papa
Marni....suaraku tercekat.
Papa yang sudah duduk di tepi ranjang nampak kebingungan. Kesadaranku sudah hilang tanpa menunggu persetujuan dari Papa ku dekatkan wajahku dekat dengan wajah Papa. Ku cium bibir Papa. Papa hanya diam saja. Ku pikir Papa marah. Aku kemudian agak menjauh.
Maaf Pa.bisikku lirih.
Ku pikir Papa marah ternyata tidak. Papa justru menarik mukaku dan kemudian memberikan ciuman yang sangat-sangat panas kepadaku. Aku yang baru sekali ini merasakannya sempat kewalahan. Seakan aku kehabisan nafas. Namun, Papa Wijaya sudah berpengalaman. Semakin lama aku semakin menikmati ciuman Papa, lidah kami saling membelit saling hisap. Aku yang tadinya pasif semakin panas. Pertahananku jebol, kedua tanganku memeluk leher Papa. Ciuman yang sangat panas. Papa kemudian membaringkan tubuhku dengan tetap mencium bibirku. Aku setengah menjerit ketika ku rasakan kedua payudaraku disentuh tangan besar Papa. Rasanya enak.
Hmmph....hanya itu yang keluar dari bibirku.
Papa kemudian melepas pagutannya dan bibirnya turun menjelajah leherku. Enak. Geli. Panas. Semua campur aduk. Bibir itu kemudian bermain di atas payudaraku. Aku merasa melayang seakan-akan ada yang hendak keluar.
Ciuman Papa di kedua payudaraku semakin menjadi-jadi. Tangannya tidak kalah sibuk meremasi payudaraku yang masih tumbuh. Aku merintih-rintih dan mendesah-desah tak karuan. Lebih hebatnya lagi ku rasakan ada tangan yang menyentuh bibir vaginaku. Aku hampir....ya hampir seperti setengah mati ku rasakan kenikmatan ini. Aku pun tidak sadar sejak kapan Papa sudah telanjang bulat.
Ku rasakan ada benda lain. Benda tumpul menggesek-gesek vaginaku. Nikmat sekali rasanya. Vaginaku rasanya basah sekali.
Ah...shshs....ssss....en...nyak Pa....aku mendesah tak karuan.
Tiba-tiba.
Tin...tin...tintin.suara klakson mobil.
Ya ampun Mama pulang.Papa terperanjat. Aku pun demikian juga.
Bersambung...
Mar, sarapan yang banyakkata Papa Wijaya.
Nih Mar.Mama Revita menyodorkan telur dadar ke piringku.
Makasih Ma.aku sudah tidak canggung lagi memanggil Papa dan Mama ke mereka.
Sarapan kami tetap diiringi obrolan ringan seputar diriku yang hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah. Ah, siapa sangka gadis desa sepertiku dapat melanjutkan sekolah lagi.
Mar, kamu sudah siap dengan hari pertama kamu?tanya Papa.
Udah Pa.jawabku.
Seragam itu cocok sekali buat kamu, iyakan Pa.Mama Revita menyela.
Iya Ma.Jawab Papa Wijaya.
Yaudah gih sarapan agak cepetan udah siang.kata Mama
Aku pun segera menyelesaikan sarapanku. Segera setelah itu ku beresi semua. Jangan disangka aku jadi nona muda disana. Aku tetap cucu Simbok pembantu di rumah ini.Tapi bukan karena status itu tapi karena aku memang dari dulu sudah mandiri.
Aku ambil tas dan segera melangkah keluar. Namun, segera Mama Revita mencegah.
Lho Mar, kok buru-buru gitu?tanya Mama
Takut telat Ma.jawabku.
Kamu bareng Papa aja. Lagian juga searah sama sekolah kamu.kata Mama.
Pa..pa..papa...buruan....Marni keburu telat.
Iyah Mah.jawab Papa
Papa kemudian masuk ke mobil ke bagian kemudi, karena memang Papa sopirnya. Aku segera masuk ke belakang. Namun, tiba-tiba Papa mengatakan padaku untuk
pindah ke depan. Bukan apa-apa sih tapi aku merasa ada yang salah.
Kamu ke depan sini dong Mar. Masa Papa dijadiin supir gini.Canda Papa.
Iya deh Pa, kirain Marni harus dibelakang. Kebiasaan naik angkot sih Pa.jawabku
Pelan-pelan mobil meninggalkan pelataran rumah menuju jalanan. Cukup ramai pagi itu. Ku lirik sepintas Papa disebelah kananku. Memang Papa cukup tampan dan sangat serasi dengan Mama.
Kenapa Mar ada yang salah?tanya Papa.
Gak, Gak kok Pa.jawabku agak kaget. Rupanya Papa menyadari perbuatanku. Malu rasanya.
Pikiranku melayang kembali ke pagi hari ketika aku terbangun dari tidurku. Ku dapati cairan lengket di beberapa bagian tubuhku dan yang lebih mengagetkan celana dalamku sejak kapan terlepas. Aku yakin betul aku memakainya ketika aku keluar dari kamar Mama. Satu-satunya yang mungkin ku curigai hanya Papa. Satu-satunya laki-laki di rumah. Tapi aku tidak punya bukti apapun. Biarpun aku gadis desa aku tidak kolot-kolot amat. Beberapa temanku di desa sudah ada yang memiliki handphone yang bisa mengakses internet. Jadi, sangat wajar jika aku juga ikut kena imbasnya, termasuk urusan orang dewasa.
Tanpa ku sadari ada yang basah di bawah sana. Astaga, aku mengompol. Tapi tidak mungkin ini sangat berbeda. Rasanya aku ingin Papa mnyentuhku tapi apa mungkin. Sudahlah aku tidak tahu.
Beberapa menit kemudian kami sampai di depan sekolah. Aku cium tangan Papa kemudian berpamitan. Papa hanya mengatakan agar aku belajar serius.
--
Curirut curirut.HP ku berbunyi.
Rupanya ada pesan dari Papa. Dalam pesan itu Papa menanyakan apakah aku sudah pulang atau belum.
Sdh plg blm Mar?
Blm Pa
Papa jemput ya. Papa udah kelar kerjaan di kantor
Iya Pa, tunggu Mar di dpn yah.
Aku beruntung selain mendapat perhatian, biaya untuk sekolah aku juga diberikan fasilitas yang cukup. Handphone aku juga diberi walau bukan hp yang canggih-canggih banget.
Tidak lama kemudian ku lihat mobil Papa sudah ada di depan gerbang sekolah. Segera aku menyongsongnya.
Ayo Pa kita pulang.ajakku setelah masuk ke mobil.
Yuk.jawab Papa.
Aku pikir Papa agak terkejut dengan penampilanku. Secara pulang sekolah aku tidak lagi mengenakan seragamku. Memang hari ini, hari pertama aku masuk
sekolah dan hari ini pula aku ikut dalam ekskul basket. Jadi yah, hanya memakai kaos olahraga dan celana training. Jelaslah lekuk tubuhku terlihat menonjol. Aku sendiri sadar aku tidak seksi banget. Biarlah orang lain yang menilai. Sepintas ku lihat Papa melirikku bukan Cuma sekali. Beberapa kali. Apa mungkin Papa tertarik kepadaku.
Pa Marni cantik gak Pa?tanyaku
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Mmmm...cantik kok Marjawab Papa
Serius Pa?tanyaku meyakinkan
Iya Papa serius.tegas Papa.
Seksi gak Pa?tanyaku sambil membusungkan dada menghadap Papa Wijaya.
Sejenak Papa melirik melihatku, matanya kemudian kembali ke jalanan.
Seksi lho. Coba 2 atau 3 tahun lagi. Mama Revi pasti kalah sama kamu Mar.
Seneng juga aku mendengarnya, walau dibandingin sama Mama Revita yang memang sudah seksi. Aku hanya tersenyum sendiri. Tidak ada lagi obrolan lagi sampai
di rumah.
--
Ah...apa benar semalam perbuatan Papa?tanyaku sendiri.
Ah sudahlah aku mandi saja.
Aku segera melucuti seluruh baju yang aku kenakan. Sumpek, gerah rasanya. Mandi merupakan solusi yang bagus. Untung saja kamar di rumah ini masing-masing memiliki kamar mandi sendiri. Jadi, tidak akan ada kata antri. Istimewanya lagi ada pemanas air juga. Padahal biasanya di desa aku mandi di bilik yang serba apa adanya. Shower ku nyalakan dan segera membasahi tubuh telanjangku. Segar sekali rasanya. Sesekali ku sentuh daerah-daerah kewanitaanku. Rasanya enak. Pikiranku melayang jauh. Seandainya Papa. Ah tidak Papa sangat baik Padaku. Segera ku tepis keinginanku jauh-jauh. Ritual mandi pun selesai. Ku keringkan badanku dengan handuk. Kemudian ku lilit tubuh telanjangku dengan handuk.
Tlebuk!
Aduh.......aku mengaduh cukup keras. Aku terpeleset di depan kamar mandi kamarku.
Tok tok tok.ku dengar pintu kamarku di ketuk.
Ada Mar?ku dengar suara Papa.
Aku tetap saja hanya mengaduh pinggangku sakit. Tanpa mengunggu persetujuan dariku Papa masuk ke dalam kamarku.
Ya ampun Marni.Papa kaget melihatku masih mengaduh di lantai.
Marni jatuh Pa, aduh pinggang Marni sakit ni.keluhku.
Tanpa di duga Papa langsung membopong aku, kemudian di baringkan aku di ranjangku. Namun, rupanya tanpa aku sadari lilitan handukku sudah longgar dan akhrinya seluruh lekuk tubuhku terekspos.
Ku lihat Papa hanya bengong saja. Segera ku tutup badanku dengan handuk. Namun tidak dapat menutup sempurna. Aku malu juga bergairah ada dorongan dari dalam. Aku mau Papa Wijaya. Sejenak ku lihat Papa hendak beranjak pergi. Entah setan mana yang mendorongku ku cegah Papa keluar kamarku.
Pa...ku panggil Papa sambil tanganku memegang tangan Papa.
Satu tanganku memegang ujung handuk, satu tangan lain memegang tangan Papa.
Kenapa Mar?tanya Papa
Marni....suaraku tercekat.
Papa yang sudah duduk di tepi ranjang nampak kebingungan. Kesadaranku sudah hilang tanpa menunggu persetujuan dari Papa ku dekatkan wajahku dekat dengan wajah Papa. Ku cium bibir Papa. Papa hanya diam saja. Ku pikir Papa marah. Aku kemudian agak menjauh.
Maaf Pa.bisikku lirih.
Ku pikir Papa marah ternyata tidak. Papa justru menarik mukaku dan kemudian memberikan ciuman yang sangat-sangat panas kepadaku. Aku yang baru sekali ini merasakannya sempat kewalahan. Seakan aku kehabisan nafas. Namun, Papa Wijaya sudah berpengalaman. Semakin lama aku semakin menikmati ciuman Papa, lidah kami saling membelit saling hisap. Aku yang tadinya pasif semakin panas. Pertahananku jebol, kedua tanganku memeluk leher Papa. Ciuman yang sangat panas. Papa kemudian membaringkan tubuhku dengan tetap mencium bibirku. Aku setengah menjerit ketika ku rasakan kedua payudaraku disentuh tangan besar Papa. Rasanya enak.
Hmmph....hanya itu yang keluar dari bibirku.
Papa kemudian melepas pagutannya dan bibirnya turun menjelajah leherku. Enak. Geli. Panas. Semua campur aduk. Bibir itu kemudian bermain di atas payudaraku. Aku merasa melayang seakan-akan ada yang hendak keluar.
Ciuman Papa di kedua payudaraku semakin menjadi-jadi. Tangannya tidak kalah sibuk meremasi payudaraku yang masih tumbuh. Aku merintih-rintih dan mendesah-desah tak karuan. Lebih hebatnya lagi ku rasakan ada tangan yang menyentuh bibir vaginaku. Aku hampir....ya hampir seperti setengah mati ku rasakan kenikmatan ini. Aku pun tidak sadar sejak kapan Papa sudah telanjang bulat.
Ku rasakan ada benda lain. Benda tumpul menggesek-gesek vaginaku. Nikmat sekali rasanya. Vaginaku rasanya basah sekali.
Ah...shshs....ssss....en...nyak Pa....aku mendesah tak karuan.
Tiba-tiba.
Tin...tin...tintin.suara klakson mobil.
Ya ampun Mama pulang.Papa terperanjat. Aku pun demikian juga.
Bersambung...
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved