Bab 11 Hal Utama
by Ryoum_Ei
10:34,Aug 18,2023
Senyuman licik kembali keluar setelah melihat beberapa rencananya yang sudah berhasil dilakukan. Belum cukup sampai di sini sebab perjalanan masih panjang. Rencananya bahkan bertambah karena korban yang ia tuju juga bertambah. Yakni, Edward.
“Abaikan Edward dulu, Alexander. Kau masih harus menelusuri orang-orang Jeremy sampai tuntas lalu baru dalang-dalang yang ikut merencanakannya.”
Alexander mengangguk pelan dengan peringatan yang ia ucapkan sendiri. Mata elang itu terus menyorot pada sebuah kertas dengan deretan tulisan yangberurutan dan beberapa bagian di atasnya yang sudah tercoret, menandakan bahwa satu persatu rencana yang disusun sebelumnya sudah selesai dikerjakan. Alexander menghembuskan napas pelan lalu melihat sebuah foto yang tidak jauh darinya. Dilihatnya setiap orang yang ada di dalam foto itu lalu tersenyum tipis.
“Balas dendam ini akan berakhir secepatnya. Kalian tenanglah dan berbahagialah di tempat baru. Aku mencintai kalian.”
Alexander kembali menampakkan senyumnya dan menyimpan kembali foto itu ke dalam sebuah buku yang terlihat usang. Menyimpannya ke dalam nakas dan menguncinya dengan baik. Ia menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya menyenderkan tubuhnya. Mata itu melihat langit-langit ruangan kerja yang kosong. Kepalan tangan itu semakin menguat dengan ingatan darah yang mengotori lantai. Kebahagiannya benar-benar tidak bisa dipulihkan.
“Kenapa mereka begitu jahat pada kalian?” gumamnya menahan sesak di dalam dadanya dengan ingatan yang tidak bisa melepaskan kejadian masa lalu itu.
Semua begitu menyesakkan dadanya sampai ia tidak bisa untuk menikmati hidup sebentar saja.
“Balas dendam ini harus selesai agar aku bisa hidup tenang,” gumamnya lagi untuk membuatnya bertahan sedikit lebih lama.
Alexander melihat ponselnya begitu mendengar suara telepon. Dilihatnya nama di dalam layar lalu menjawabnya. “Kenapa?”
“Kau kembali?”
“Beberapa hari yang lalu,” jawab Alexander mengingat ia baru saja pergi ke rumahnya yang dulu.
“Kenapa tidak mengatakan padaku?”
“Untuk apa? Kau sibuk bekerja dan lagi, aku hanya sebentar.”
Terdengar hembusan napas pelan dari seberang yang Alexander yakini orang itu tengah lelah mendengarkan sifat egoisnya. “Lalu dimana kau sekarang?”
Alexander melihat sekitar lalu tersenyum. “Tentu saja bekerja. Kau mengganggu waktu kerjaku asal kau tahu.”
“Kau memang sialan.”
Telepon terputus yang membuat Alexander terkekeh. Bisa ia bayangkan raut wajah orang itu sangat kesal dengannya tetapi Alexander bahkan tidak akan peduli. Lebih baik ia segera melanjutkan pekerjaannya daripada hanya diam sejak tadi.
Alexander mengambil bolpoint-nya dan mulai melihat berkas-berkas yang perlu tanda tangannya. Hari masih cukup pagi dan bagi Alexander pekerjaan memang tidak terlalu penting sebab tujuannya datang ke perusahaan ini bukan untuk bekerja tetapi untuk menemukan orang-orang kepercayaan Jeremy sebelum akhirnya menemui mereka dan membalaskan dendam. Baru tiga orang yang tewas dan masih ada empat lagi yang belum benar-benar Alexander ketahui siapa orangnya. Selebihnya, masih tersisa Jeremy serta istrinya dan terakhir adalah Edward.
Menjadi orang yang memiliki dendam memang tidak baik, tetapi mengikhlaskan apa yang sudah terjadi bukanlah hal yang mudah apalagi mengabaikan orang-orang yang telah melukai perasaan. Balas dendam tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hati sejernih air dan selembut sutra, sebab mereka hany bisa terus mengeluarkan air mata dan merasakan sakitnya tanpa bisa bertindak. Berbeda dengan Alexander yang memilih untuk membalaskan dendamnya, cara apapun akan ia lakukan hanya agar orang-orang yang menyakiti dirinya ikut merasakan rasa sakit yang sama. Yakni … kematian.
“Tuan … ada yang ingin menemuimu.”
Alexander menoleh begitu melihat sekretarisnya masuk dan memberitahu bahwa akan ada tamu. Ia mengangguk sebagai tanggapan yang kemudian sekretaris itu keluar. Tak lama, seorang lelaki dengan pakaian santai datang. Sorot matanya terus mengarah pada Alexander yang sibuk membolak-balik berkas di depannya.
“Apa benar ini ruangan tuan Lemos?”
Alexander tersenyum tipis mendengar seseorang itu memanggil namanya belakangnya. Ia menegakkan tubuh dan melihat siapa yang datang, lalu menampakkan senyumnya. “Anda benar, Tuan.”
Lelaki itu mendudukkan diri di sofa yang ada tanpa menunggu persetujuan apapun dari Alexander, seolah dialah pemimpin dan Alexander bawahan. Sungguh tidak sopan? Memang benar.
Alexander membereskan berkasnya dan mendekat ke arah orang itu. “Dengan siapa aku berbicara kali ini? Apa kita pernah bertemu bahkan tidak ada rasa canggung sedikitpun.”
Lelaki itu menampakkan senyumnya mendengar ucapan Alexander yang tentu saja menyindir dirinya dan terdengar tidak sopan ditelinga. Ia memaklumi karena memang mereka tidak saling mengenal dan ia bahkan langsung mendahului duduk seolah semua ini adalah miliknya. Tak apa. Pertemuan memang tidak selalu dengan kebaikan tetapi justru ada yang seperti ini, dimulai dengan kesalahpahaman.
“Kalau begitu kita perlu berkenalan agar kau mengenaliku,” ujar lelaki itu seraya memberikan sebuah kartu nama kecil di depan meja Alexander.
Alexander melihat kartu nama itu lalu tersenyum. Ternyata lelaki ini adalah teman dari Jeremy.
“Aku sungguh merasa tidak sopan sekarang setelah melihat siapa kau, Tuan Andre. Maafkan kekeliruanku”
Andre. Lelaki itu tersenyum miring dan mengangguk mengerti dengan permintaan maaf yang Alexander utarakan. “Tak apa. Aku juga tidak tahu bahwa Jeremy sudah mengambil pensiun dan digantikan oleh menantunya. Maka dari itu aku memastikan apakah Jeremy benar-benar sudah tidak lagi bekerja dan ternyata benar setelah melihatmu.”
Alexander tersenyum tipis mendengar penjelasan yang Andre katakan.
“Dan … apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Ku rasa aku pernah melihatmu sekali dalam hidupku sebelum hari ini.”
Alexander terdiam. Itu hal yang mungkin saja terjadi sebab Alexander tidak bekerja dalam satu bidang dan selalu berpindah-pindah tempat hanya untuk mencari pengalaman sembari menelusuri orang-orang yang dulu membunuh orang tuanya. Namun, untuk orang seperti Andre yang bahkan tidak tahu keadaan kehidupan mereka saat ini itu mungkin bukan yang yang biasa. Jangankan bertemu, Jeremy tidak lagi bekerja saja Andre tidak tahu menahu. Jadi, bagaimana bisa Andre pernah melihatnya sebelum hari ini?
“Mungkin kau bertemu orang yang mirip denganku,” jawab Alexander mencoba membuat Andre sadar dengan kekeliruannya.
Andre tersenyum. “Mungkin saja saat kau masih kecil?”
Alexander terdiam lagi. Orang-orang Jeremy tidak mungkin tahu dirinya saat masih kecil bukan? Bahkan saat rumahnya jauh dari lingkungan mereka kecuali setelah pembunuhan itu ada orang yang masih tertinggal dan melihat Alexander kecil. Atau … apakah Andre juga ikut dalam rombongan orang-orang malam itu?
“Mungkin saja, tetapi aku sama sekali belum pernah melihatmu.”
Andre mengangguk. “Benar juga. Mungkin aku salah mengenali orang sebab kau sangat mirip dengan orang yang ku temui sebelumnya. Aku juga tidak begitu ingat, tetapi saat melihatmu aku merasa kita pernah bertemu dan ternyata aku salah.”
Alexander tersenyum maklum. Dia menuangkan teh ke dalam gelas dan mempersilahkah Andre untuk meminumnya. “Jadi, apa tujuan anda datang kemari, Tuan Andre?”
Andre mengusap bibirnya setelah selesai meminum teh dari Alexander. “Jeremy mengatakan padaku untuk mengajarkanmu metode-metode yang sangat diperlukan dalam berbisnis. Dia khawatir kau mungkin saja mengalami kesulitan nantinya. Karena kau sudah berpindah rumah dan tidak lagi bersama dengan keluarga Jeremy maka dari itu aku datang langsung ke perusahaan.”
Setelah kepergian Andre, Alexander langsung mengecek daftar nama yang harusnya ada dalam list rencana. Tidak ada nama Andre yang bersangkut paut dengan orang-orang kepercayaan Jeremy. Lalu, apa benar ucapan pria itu yang ingin membantu Alexander mengelola perusahaan ini?
“Tapi ini bahkan bukan perusahaan milikku, untuk apa aku bekerja begitu keras?” gumam Alexander yang mengingat bahwa ini hanya sementara.
Alexander menggeleng dan kembali memperhatikan setiap nama yang ada dalam daftar rencananya. Untuk yang pertama, ia akan menelusuri lebih dalam tentang pria bernama Andre yang mengaku teman Jeremy itu, lalu yang kedua memutuskan apakah pria itu akan masuk dalam rencananya atau justru sebaliknya . Dan yang jelas, Alexander masih butuh informasi lengkap tentang siapa saja orang-orang Jeremy ikut berkompromi dalam pembunuhan orang tuanya atau mereka yang tidak ikut datang tetapi ikut merencanakan. Semua orang-orang biadab itu harus merasakan bagaimana rasanya hidup menderita.
Alexander segera menghubungi pihaknya dan meminta profil dari Andre. Ia tipikal orang yang begitu hati-hati dalam mengambil keputusan karena akibatnya akan sulit jika tidak dipikirkan dengan matang. Ia bahkan harus melalui banyak waktu hanya demi kembali dengan performa yang baru juga lebih unggul agar bisa melaksanakan balas dendamnya ini. Sakit dihatinya yang sudah beberapa tahun tidak bisa hilang dan terus memikirkan cara untuk membalas mereka, dan tentu saja semua itu butuh akan perjuangan serta tidak boleh gagal begitu saja.
“Andre … siapa dia sebenarnya?”
“Abaikan Edward dulu, Alexander. Kau masih harus menelusuri orang-orang Jeremy sampai tuntas lalu baru dalang-dalang yang ikut merencanakannya.”
Alexander mengangguk pelan dengan peringatan yang ia ucapkan sendiri. Mata elang itu terus menyorot pada sebuah kertas dengan deretan tulisan yangberurutan dan beberapa bagian di atasnya yang sudah tercoret, menandakan bahwa satu persatu rencana yang disusun sebelumnya sudah selesai dikerjakan. Alexander menghembuskan napas pelan lalu melihat sebuah foto yang tidak jauh darinya. Dilihatnya setiap orang yang ada di dalam foto itu lalu tersenyum tipis.
“Balas dendam ini akan berakhir secepatnya. Kalian tenanglah dan berbahagialah di tempat baru. Aku mencintai kalian.”
Alexander kembali menampakkan senyumnya dan menyimpan kembali foto itu ke dalam sebuah buku yang terlihat usang. Menyimpannya ke dalam nakas dan menguncinya dengan baik. Ia menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya menyenderkan tubuhnya. Mata itu melihat langit-langit ruangan kerja yang kosong. Kepalan tangan itu semakin menguat dengan ingatan darah yang mengotori lantai. Kebahagiannya benar-benar tidak bisa dipulihkan.
“Kenapa mereka begitu jahat pada kalian?” gumamnya menahan sesak di dalam dadanya dengan ingatan yang tidak bisa melepaskan kejadian masa lalu itu.
Semua begitu menyesakkan dadanya sampai ia tidak bisa untuk menikmati hidup sebentar saja.
“Balas dendam ini harus selesai agar aku bisa hidup tenang,” gumamnya lagi untuk membuatnya bertahan sedikit lebih lama.
Alexander melihat ponselnya begitu mendengar suara telepon. Dilihatnya nama di dalam layar lalu menjawabnya. “Kenapa?”
“Kau kembali?”
“Beberapa hari yang lalu,” jawab Alexander mengingat ia baru saja pergi ke rumahnya yang dulu.
“Kenapa tidak mengatakan padaku?”
“Untuk apa? Kau sibuk bekerja dan lagi, aku hanya sebentar.”
Terdengar hembusan napas pelan dari seberang yang Alexander yakini orang itu tengah lelah mendengarkan sifat egoisnya. “Lalu dimana kau sekarang?”
Alexander melihat sekitar lalu tersenyum. “Tentu saja bekerja. Kau mengganggu waktu kerjaku asal kau tahu.”
“Kau memang sialan.”
Telepon terputus yang membuat Alexander terkekeh. Bisa ia bayangkan raut wajah orang itu sangat kesal dengannya tetapi Alexander bahkan tidak akan peduli. Lebih baik ia segera melanjutkan pekerjaannya daripada hanya diam sejak tadi.
Alexander mengambil bolpoint-nya dan mulai melihat berkas-berkas yang perlu tanda tangannya. Hari masih cukup pagi dan bagi Alexander pekerjaan memang tidak terlalu penting sebab tujuannya datang ke perusahaan ini bukan untuk bekerja tetapi untuk menemukan orang-orang kepercayaan Jeremy sebelum akhirnya menemui mereka dan membalaskan dendam. Baru tiga orang yang tewas dan masih ada empat lagi yang belum benar-benar Alexander ketahui siapa orangnya. Selebihnya, masih tersisa Jeremy serta istrinya dan terakhir adalah Edward.
Menjadi orang yang memiliki dendam memang tidak baik, tetapi mengikhlaskan apa yang sudah terjadi bukanlah hal yang mudah apalagi mengabaikan orang-orang yang telah melukai perasaan. Balas dendam tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hati sejernih air dan selembut sutra, sebab mereka hany bisa terus mengeluarkan air mata dan merasakan sakitnya tanpa bisa bertindak. Berbeda dengan Alexander yang memilih untuk membalaskan dendamnya, cara apapun akan ia lakukan hanya agar orang-orang yang menyakiti dirinya ikut merasakan rasa sakit yang sama. Yakni … kematian.
“Tuan … ada yang ingin menemuimu.”
Alexander menoleh begitu melihat sekretarisnya masuk dan memberitahu bahwa akan ada tamu. Ia mengangguk sebagai tanggapan yang kemudian sekretaris itu keluar. Tak lama, seorang lelaki dengan pakaian santai datang. Sorot matanya terus mengarah pada Alexander yang sibuk membolak-balik berkas di depannya.
“Apa benar ini ruangan tuan Lemos?”
Alexander tersenyum tipis mendengar seseorang itu memanggil namanya belakangnya. Ia menegakkan tubuh dan melihat siapa yang datang, lalu menampakkan senyumnya. “Anda benar, Tuan.”
Lelaki itu mendudukkan diri di sofa yang ada tanpa menunggu persetujuan apapun dari Alexander, seolah dialah pemimpin dan Alexander bawahan. Sungguh tidak sopan? Memang benar.
Alexander membereskan berkasnya dan mendekat ke arah orang itu. “Dengan siapa aku berbicara kali ini? Apa kita pernah bertemu bahkan tidak ada rasa canggung sedikitpun.”
Lelaki itu menampakkan senyumnya mendengar ucapan Alexander yang tentu saja menyindir dirinya dan terdengar tidak sopan ditelinga. Ia memaklumi karena memang mereka tidak saling mengenal dan ia bahkan langsung mendahului duduk seolah semua ini adalah miliknya. Tak apa. Pertemuan memang tidak selalu dengan kebaikan tetapi justru ada yang seperti ini, dimulai dengan kesalahpahaman.
“Kalau begitu kita perlu berkenalan agar kau mengenaliku,” ujar lelaki itu seraya memberikan sebuah kartu nama kecil di depan meja Alexander.
Alexander melihat kartu nama itu lalu tersenyum. Ternyata lelaki ini adalah teman dari Jeremy.
“Aku sungguh merasa tidak sopan sekarang setelah melihat siapa kau, Tuan Andre. Maafkan kekeliruanku”
Andre. Lelaki itu tersenyum miring dan mengangguk mengerti dengan permintaan maaf yang Alexander utarakan. “Tak apa. Aku juga tidak tahu bahwa Jeremy sudah mengambil pensiun dan digantikan oleh menantunya. Maka dari itu aku memastikan apakah Jeremy benar-benar sudah tidak lagi bekerja dan ternyata benar setelah melihatmu.”
Alexander tersenyum tipis mendengar penjelasan yang Andre katakan.
“Dan … apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Ku rasa aku pernah melihatmu sekali dalam hidupku sebelum hari ini.”
Alexander terdiam. Itu hal yang mungkin saja terjadi sebab Alexander tidak bekerja dalam satu bidang dan selalu berpindah-pindah tempat hanya untuk mencari pengalaman sembari menelusuri orang-orang yang dulu membunuh orang tuanya. Namun, untuk orang seperti Andre yang bahkan tidak tahu keadaan kehidupan mereka saat ini itu mungkin bukan yang yang biasa. Jangankan bertemu, Jeremy tidak lagi bekerja saja Andre tidak tahu menahu. Jadi, bagaimana bisa Andre pernah melihatnya sebelum hari ini?
“Mungkin kau bertemu orang yang mirip denganku,” jawab Alexander mencoba membuat Andre sadar dengan kekeliruannya.
Andre tersenyum. “Mungkin saja saat kau masih kecil?”
Alexander terdiam lagi. Orang-orang Jeremy tidak mungkin tahu dirinya saat masih kecil bukan? Bahkan saat rumahnya jauh dari lingkungan mereka kecuali setelah pembunuhan itu ada orang yang masih tertinggal dan melihat Alexander kecil. Atau … apakah Andre juga ikut dalam rombongan orang-orang malam itu?
“Mungkin saja, tetapi aku sama sekali belum pernah melihatmu.”
Andre mengangguk. “Benar juga. Mungkin aku salah mengenali orang sebab kau sangat mirip dengan orang yang ku temui sebelumnya. Aku juga tidak begitu ingat, tetapi saat melihatmu aku merasa kita pernah bertemu dan ternyata aku salah.”
Alexander tersenyum maklum. Dia menuangkan teh ke dalam gelas dan mempersilahkah Andre untuk meminumnya. “Jadi, apa tujuan anda datang kemari, Tuan Andre?”
Andre mengusap bibirnya setelah selesai meminum teh dari Alexander. “Jeremy mengatakan padaku untuk mengajarkanmu metode-metode yang sangat diperlukan dalam berbisnis. Dia khawatir kau mungkin saja mengalami kesulitan nantinya. Karena kau sudah berpindah rumah dan tidak lagi bersama dengan keluarga Jeremy maka dari itu aku datang langsung ke perusahaan.”
Setelah kepergian Andre, Alexander langsung mengecek daftar nama yang harusnya ada dalam list rencana. Tidak ada nama Andre yang bersangkut paut dengan orang-orang kepercayaan Jeremy. Lalu, apa benar ucapan pria itu yang ingin membantu Alexander mengelola perusahaan ini?
“Tapi ini bahkan bukan perusahaan milikku, untuk apa aku bekerja begitu keras?” gumam Alexander yang mengingat bahwa ini hanya sementara.
Alexander menggeleng dan kembali memperhatikan setiap nama yang ada dalam daftar rencananya. Untuk yang pertama, ia akan menelusuri lebih dalam tentang pria bernama Andre yang mengaku teman Jeremy itu, lalu yang kedua memutuskan apakah pria itu akan masuk dalam rencananya atau justru sebaliknya . Dan yang jelas, Alexander masih butuh informasi lengkap tentang siapa saja orang-orang Jeremy ikut berkompromi dalam pembunuhan orang tuanya atau mereka yang tidak ikut datang tetapi ikut merencanakan. Semua orang-orang biadab itu harus merasakan bagaimana rasanya hidup menderita.
Alexander segera menghubungi pihaknya dan meminta profil dari Andre. Ia tipikal orang yang begitu hati-hati dalam mengambil keputusan karena akibatnya akan sulit jika tidak dipikirkan dengan matang. Ia bahkan harus melalui banyak waktu hanya demi kembali dengan performa yang baru juga lebih unggul agar bisa melaksanakan balas dendamnya ini. Sakit dihatinya yang sudah beberapa tahun tidak bisa hilang dan terus memikirkan cara untuk membalas mereka, dan tentu saja semua itu butuh akan perjuangan serta tidak boleh gagal begitu saja.
“Andre … siapa dia sebenarnya?”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved