Bab 3 Minum Kantong Darah Lagi?
by Zeva Lavia
15:57,Nov 07,2022
Luna tidak menyangka jika keesokan harinya Tuan Anderson datang ke departemen editorial.
Kak Yuki memperkenalkannya kepada semua orang dengan senyum di wajahnya, "Semuanya, dia adalah Oscar Anderson yang baru-baru ini memenangkan penghargaan sastra, penulis paling menjanjikan tahun ini!"
Semua orang tidak bisa menahan diri untuk tidak berdiri dan bertepuk tangan, Luna juga berdiri, menatap pria tampan dengan senyum malu-malu di wajahnya, seolah ada mata air jernih di mata itu.
Penampilannya yang tampan memancing banyak orang untuk bertanya, "Tuan Anderson, kamu udah punya pacar belum?"
"Kalau belum, maukah kamu pertimbangkan orang-orang di industri ini?"
Senyum Oscar semakin malu-malu, pipinya sedikit memerah, matanya menghindar dan secara tidak sengaja bertemu dengan mata Luna.
"Nona Salvator!"
Mendengar teriakan ini, Luna terkejut sejenak, rekan-rekan lainnya menoleh satu per satu, "Luna ga bisa, dia udah punya pacar!"
Berdiri di tempat, Oscar tercengang, pipinya tampak sedikit lebih merah, "Ga, bukan itu yang aku maksud ..."
Mata malu-malunya berbalik, "Makasih udah jemput aku di bandara kemarin."
Luna mengangkat sudut mulutnya, "Sama-sama."
"Udah, kalian lanjutin kerja dulu, ayo kita bicara di sini."
Oscar mengangguk kepada semua orang dan mengikuti Kak Yuki ke kantor. Rekan-rekan lainnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bergosip satu sama lain, "Wow, dia sangat tampan!"
"Pada pandangan pertama, perilakunya kelihatan baik, kayaknya dia dari keluarga yang baik. Dengan penampilannya, ga masalah untuk langsung mendorongnya ke industri hiburan."
"Kayaknya Kak Yuki juga berpikiran seperti ini. Aku rasa ini ga sesederhana menandatangani buku setelah aku lihat orangnya langsung."
Luna melihat ke ruang pengeditan, masih ada samar-samar aroma darah di udara, luka kecil hari itu sepertinya masih belum sembuh sepenuhnya. Untung dia sudah makan kemarin, jadi tidak terlalu terstimulasi.
Kemudian Luna bangkit dan berjalan ke pantry, di mana ketel air panas mendidih. Dia membuka lemari tinggi tempat minuman seduh disimpan.
Luna berjinjit beberapa kali untuk mengambil kopi, tapi karena kopi itu disimpan terlalu dalam, dia tetap tidak bisa mengambilnya.
"Kamu mau ambil itu?"
Sesosok tubuh berdiri tepat di belakangnya, begitu dekat hingga Luna bisa mendengar suara darah yang mengalir deras melalui pembuluh darahnya.
"Ini."
Sebungkus kopi diserahkan pada Luna, orang di belakangnya menatapnya sambil tersenyum, membuat Luna tertegun sejenak, "Eh, makasih."
Oscar tersenyum lembut, menutup lemari di atasnya lalu mundur setengah langkah, "Bisakah kamu buatkan aku juga?"
Pantrynya tidak besar, jadi agak sempit dengan 2 orang di sini.
"Ya, kamu duduk dan tunggu di sana aja, biar aku buatin kamu."
"Oke."
Oscar duduk di bar kecil sebelahnya, sedangkan Luna menunggu air mendidih. Sedikit aroma darah tercium di udara saat air mendidih.
"Ini, kopimu."
Menyerahkan kopi secepat yang dia bisa, Luna bergegas keluar dengan kopi di tangannya, lalu tiba-tiba mendengar suara gemerincing.
"Ah, maaf!"
Kopi tumpah dari cangkir yang pecah dan masih ada udara panas yang mengambang di atasnya. Saat Luna berbalik, dia melihat jari-jari ramping mengambil potongan cangkir yang pecah.
Dalam sekejap mata, pecahan itu langsung menggores jarinya.
Aromanya seperti kuncup bunga yang mekar dalam sekejap, begitu manis hingga Luna berdiri di tempat dengan linglung, tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Begitu harum, begitu manis, begitu membuatnya ingin mencicipinya...
Seolah itu adalah godaan Medusa, bahkan jika Luna tahu dia akan berubah menjadi patung batu, dia masih ingin melihat mata itu.
“Nona Salvator ..."
Namun, panggilan yang malu-malu itu tiba-tiba menyadarkan Luna. Di depannya ada wajah tampan yang memerah. Bulu matanya sedikit bergetar dan sepertinya ada air mata di matanya.
Jari yang terluka itu ada di bibirnya.
Apa yang dia lakukan!
Luna tanpa sadar menyentuh bibirnya dengan tangannya, tidak ada darah, tidak apa-apa ...
“Kamu terluka, jangan gerak, aku akan suruh seseorang masuk buat balut lukamu.” Luna langsung bangkit dan mendorong pintu keluar dengan sedikit kesusahan.
Luna jelas-jelas baru makan kemarin, kenapa dia hampir menunjukkan taringnya barusan!
Gigi, gigi... Luna bahkan berpikir untuk menggigit pria itu dengan giginya!
"Luna, kenapa wajahmu jelek banget? Ada apa?"
"Pantry, jari Tuan Anderson terluka, bisakah kamu ..."
"Ya Tuhan, aku tau! Kamu ga perlu pergi kalau takut darah, biar aku aja."
Luna mengangguk, pintu pantry terbuka, aroma manis yang membuatnya gila keluar lagi.
Luna langsung meminta cuti dan bergegas ke rumahnya seolah dia melarikan diri.
Apakah dia belum cukup makan? Atau apakah kali ini terlalu lama, hingga meskipun Luna sudah makan, dia masih memiliki keinginan yang begitu kuat …
Apa yang salah dengan dirinya ….
Drrt drrt …
Luna melihat ke layar ponselnya, itu adalah serangkaian nomor yang tidak dikenalnya, ketika Luna mengangkatnya, dia mendengar suara panik meminta maaf.
"Nona Salvator, aku dapat nomormu dari rekanmu, aku ga tau kalau kamu takut darah sampai hampir pingsan, aku sungguh minta maaf karena udah buat kamu ketakutan."
Gelombang darah mengalir lurus ke bawah mata Luna, tenggorokannya luar biasa kering, “Ga papa, aku ambil cuti kerja buat pulang dan istirahat.”
"Semuanya salahku, perlukah kamu pergi ke rumah sakit buat diperiksa? Di mana rumahmu, biar aku antar kamu ke sana ..."
"Ga perlu, ada yang rawat aku."
"...Aku lupa, ada pacarmu ya, kalau gitu aku beneran minta maaf."
"Makasih atas perhatianmu, tapi aku baik-baik aja, kalau gitu aku tutup dulu teleponnya."
Luna menjatuhkan ponselnya, mengubur dirinya di dalam selimut, terengah-engah, tenggorokannya menjadi semakin kering, haruskah dia pergi ke Logan atau minum kantong darah lagi …?
Tapi Luna hanya berbaring di tempat dalam keadaan linglung, entah kapan, hasrat yang membuatnya gila akhirnya mereda untuk beberapa saat.
Baru saat itulah Luna mengeluarkan kepalanya dari selimut dan melihat langit di luar yang sudah gelap.
Lebih baik dia pergi ke Logan, sepertinya dia belum cukup makan, mungkin minum sekantong lagi akan meredakan hasrat Luna sepenuhnya.
Luna mendorong pintu dan berjalan keluar, tiba-tiba bayangan hitam yang berjongkok di dekat pintu bergerak, lalu sepasang mata kristal muncul, "Nona Salvator, kamu udah merasa lebih baik?"
Sosok dalam bayangan itu berdiri, Luna tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas, dia hanya bisa melihat mata yang selalu lembab dan sedikit bayangan yang ditimbulkan oleh bulu mata di pipinya.
"Tuan Anderson, kamu kok bisa di sini? Dari mana kamu tau rumahku"
“Aku ga tau kalau kamu sangat takut darah hingga hampir pingsan, aku khawatir banget sama kamu, jadi aku minta alamatmu sama Kak Yuki.” Oscar melihat ke dalam ruangan yang gelap, “Ga ada orang yang rawat kamu?”
"...Dia pergi lebih dulu." Luna menatapnya, "Aku beneran ga papa, seperti yang kamu lihat." Dia tersenyum sedikit, "Tadi siang cuman situasi mendadak."
"Situasi mendadak ..." Oscar tersenyum malu-malu, "Aku lega kamu ga papa, kamu mau keluar buat makan malam?"
Luna menarik napas dalam-dalam, meskipun masih ada bau darah yang tertinggal di sekitarnya, tapi itu tidak terlalu kuat, sepertinya area luka itu dibalut dengan benar.
"Ga, aku mau keluar buat beli sesuatu dan pulang untuk memasaknya sendiri."
"Oh ya, aku bawa sesuatu buat kamu!"
…………
Luna benar-benar tidak menyangka bahwa dia akan mendapat jawaban ini, yang bisa dia lakukan hanyalah menjawab dengan kaku, "Taruh aja di pintu, aku harus keluar buat beli sesuatu sekarang."
"Oke."
Oscar berjalan ke pintu masuk dengan barang-barang di tangannya, matanya yang gelap melihat sepasang sandal pria di bawah.
Pipinya sedikit merah, plester yang membungkus luka di jarinya telah hilang.
Lukanya diremas dengan keras hingga darah segar mengalir lagi dari lukanya yang menganga.
Oscar mendengar suara terengah-engah di belakangnya.
Dia perlahan-lahan berbalik, masih dengan tatapan malu-malu, "Nona Salvator, aku udah taruh barang-barang itu."
Jari yang berlumuran darah, entah sengaja atau tidak, melambai di depan Luna.
"Nona Salvator?"
Pop!
Luna tiba-tiba meraih tangan Oscar, tangannya sedingin es, matanya terkunci pada lukanya, Luna tidak dapat memalingkan tatapannya untuk waktu yang lama.
Sudut mulut Oscar perlahan terangkat, Luna memegang telapak tangannya, kemudian tangannya yang lain terulur untuk menutup pintu.
Bibir merah Luna hampir menyentuh luka yang menganga, tapi lehernya yang ramping dengan keras tersentak ke atas dan wajah kecilnya yang sudah tenggelam dalam aroma manis terangkat.
Wajah tampan yang tadinya tidak berbahaya memiliki kegembiraan yang tidak bisa dijelaskan saat ini.
Tiba-tiba Oscar menggerakkan ujung jarinya dan mengoleskan darah di jari-jarinya ke bibirnya sendiri.
Perlahan menurunkan tubuhnya, Oscar mengirim bibirnya yang tipis ke atas.
"Bukan jari, tapi di sini."
Kak Yuki memperkenalkannya kepada semua orang dengan senyum di wajahnya, "Semuanya, dia adalah Oscar Anderson yang baru-baru ini memenangkan penghargaan sastra, penulis paling menjanjikan tahun ini!"
Semua orang tidak bisa menahan diri untuk tidak berdiri dan bertepuk tangan, Luna juga berdiri, menatap pria tampan dengan senyum malu-malu di wajahnya, seolah ada mata air jernih di mata itu.
Penampilannya yang tampan memancing banyak orang untuk bertanya, "Tuan Anderson, kamu udah punya pacar belum?"
"Kalau belum, maukah kamu pertimbangkan orang-orang di industri ini?"
Senyum Oscar semakin malu-malu, pipinya sedikit memerah, matanya menghindar dan secara tidak sengaja bertemu dengan mata Luna.
"Nona Salvator!"
Mendengar teriakan ini, Luna terkejut sejenak, rekan-rekan lainnya menoleh satu per satu, "Luna ga bisa, dia udah punya pacar!"
Berdiri di tempat, Oscar tercengang, pipinya tampak sedikit lebih merah, "Ga, bukan itu yang aku maksud ..."
Mata malu-malunya berbalik, "Makasih udah jemput aku di bandara kemarin."
Luna mengangkat sudut mulutnya, "Sama-sama."
"Udah, kalian lanjutin kerja dulu, ayo kita bicara di sini."
Oscar mengangguk kepada semua orang dan mengikuti Kak Yuki ke kantor. Rekan-rekan lainnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bergosip satu sama lain, "Wow, dia sangat tampan!"
"Pada pandangan pertama, perilakunya kelihatan baik, kayaknya dia dari keluarga yang baik. Dengan penampilannya, ga masalah untuk langsung mendorongnya ke industri hiburan."
"Kayaknya Kak Yuki juga berpikiran seperti ini. Aku rasa ini ga sesederhana menandatangani buku setelah aku lihat orangnya langsung."
Luna melihat ke ruang pengeditan, masih ada samar-samar aroma darah di udara, luka kecil hari itu sepertinya masih belum sembuh sepenuhnya. Untung dia sudah makan kemarin, jadi tidak terlalu terstimulasi.
Kemudian Luna bangkit dan berjalan ke pantry, di mana ketel air panas mendidih. Dia membuka lemari tinggi tempat minuman seduh disimpan.
Luna berjinjit beberapa kali untuk mengambil kopi, tapi karena kopi itu disimpan terlalu dalam, dia tetap tidak bisa mengambilnya.
"Kamu mau ambil itu?"
Sesosok tubuh berdiri tepat di belakangnya, begitu dekat hingga Luna bisa mendengar suara darah yang mengalir deras melalui pembuluh darahnya.
"Ini."
Sebungkus kopi diserahkan pada Luna, orang di belakangnya menatapnya sambil tersenyum, membuat Luna tertegun sejenak, "Eh, makasih."
Oscar tersenyum lembut, menutup lemari di atasnya lalu mundur setengah langkah, "Bisakah kamu buatkan aku juga?"
Pantrynya tidak besar, jadi agak sempit dengan 2 orang di sini.
"Ya, kamu duduk dan tunggu di sana aja, biar aku buatin kamu."
"Oke."
Oscar duduk di bar kecil sebelahnya, sedangkan Luna menunggu air mendidih. Sedikit aroma darah tercium di udara saat air mendidih.
"Ini, kopimu."
Menyerahkan kopi secepat yang dia bisa, Luna bergegas keluar dengan kopi di tangannya, lalu tiba-tiba mendengar suara gemerincing.
"Ah, maaf!"
Kopi tumpah dari cangkir yang pecah dan masih ada udara panas yang mengambang di atasnya. Saat Luna berbalik, dia melihat jari-jari ramping mengambil potongan cangkir yang pecah.
Dalam sekejap mata, pecahan itu langsung menggores jarinya.
Aromanya seperti kuncup bunga yang mekar dalam sekejap, begitu manis hingga Luna berdiri di tempat dengan linglung, tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Begitu harum, begitu manis, begitu membuatnya ingin mencicipinya...
Seolah itu adalah godaan Medusa, bahkan jika Luna tahu dia akan berubah menjadi patung batu, dia masih ingin melihat mata itu.
“Nona Salvator ..."
Namun, panggilan yang malu-malu itu tiba-tiba menyadarkan Luna. Di depannya ada wajah tampan yang memerah. Bulu matanya sedikit bergetar dan sepertinya ada air mata di matanya.
Jari yang terluka itu ada di bibirnya.
Apa yang dia lakukan!
Luna tanpa sadar menyentuh bibirnya dengan tangannya, tidak ada darah, tidak apa-apa ...
“Kamu terluka, jangan gerak, aku akan suruh seseorang masuk buat balut lukamu.” Luna langsung bangkit dan mendorong pintu keluar dengan sedikit kesusahan.
Luna jelas-jelas baru makan kemarin, kenapa dia hampir menunjukkan taringnya barusan!
Gigi, gigi... Luna bahkan berpikir untuk menggigit pria itu dengan giginya!
"Luna, kenapa wajahmu jelek banget? Ada apa?"
"Pantry, jari Tuan Anderson terluka, bisakah kamu ..."
"Ya Tuhan, aku tau! Kamu ga perlu pergi kalau takut darah, biar aku aja."
Luna mengangguk, pintu pantry terbuka, aroma manis yang membuatnya gila keluar lagi.
Luna langsung meminta cuti dan bergegas ke rumahnya seolah dia melarikan diri.
Apakah dia belum cukup makan? Atau apakah kali ini terlalu lama, hingga meskipun Luna sudah makan, dia masih memiliki keinginan yang begitu kuat …
Apa yang salah dengan dirinya ….
Drrt drrt …
Luna melihat ke layar ponselnya, itu adalah serangkaian nomor yang tidak dikenalnya, ketika Luna mengangkatnya, dia mendengar suara panik meminta maaf.
"Nona Salvator, aku dapat nomormu dari rekanmu, aku ga tau kalau kamu takut darah sampai hampir pingsan, aku sungguh minta maaf karena udah buat kamu ketakutan."
Gelombang darah mengalir lurus ke bawah mata Luna, tenggorokannya luar biasa kering, “Ga papa, aku ambil cuti kerja buat pulang dan istirahat.”
"Semuanya salahku, perlukah kamu pergi ke rumah sakit buat diperiksa? Di mana rumahmu, biar aku antar kamu ke sana ..."
"Ga perlu, ada yang rawat aku."
"...Aku lupa, ada pacarmu ya, kalau gitu aku beneran minta maaf."
"Makasih atas perhatianmu, tapi aku baik-baik aja, kalau gitu aku tutup dulu teleponnya."
Luna menjatuhkan ponselnya, mengubur dirinya di dalam selimut, terengah-engah, tenggorokannya menjadi semakin kering, haruskah dia pergi ke Logan atau minum kantong darah lagi …?
Tapi Luna hanya berbaring di tempat dalam keadaan linglung, entah kapan, hasrat yang membuatnya gila akhirnya mereda untuk beberapa saat.
Baru saat itulah Luna mengeluarkan kepalanya dari selimut dan melihat langit di luar yang sudah gelap.
Lebih baik dia pergi ke Logan, sepertinya dia belum cukup makan, mungkin minum sekantong lagi akan meredakan hasrat Luna sepenuhnya.
Luna mendorong pintu dan berjalan keluar, tiba-tiba bayangan hitam yang berjongkok di dekat pintu bergerak, lalu sepasang mata kristal muncul, "Nona Salvator, kamu udah merasa lebih baik?"
Sosok dalam bayangan itu berdiri, Luna tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas, dia hanya bisa melihat mata yang selalu lembab dan sedikit bayangan yang ditimbulkan oleh bulu mata di pipinya.
"Tuan Anderson, kamu kok bisa di sini? Dari mana kamu tau rumahku"
“Aku ga tau kalau kamu sangat takut darah hingga hampir pingsan, aku khawatir banget sama kamu, jadi aku minta alamatmu sama Kak Yuki.” Oscar melihat ke dalam ruangan yang gelap, “Ga ada orang yang rawat kamu?”
"...Dia pergi lebih dulu." Luna menatapnya, "Aku beneran ga papa, seperti yang kamu lihat." Dia tersenyum sedikit, "Tadi siang cuman situasi mendadak."
"Situasi mendadak ..." Oscar tersenyum malu-malu, "Aku lega kamu ga papa, kamu mau keluar buat makan malam?"
Luna menarik napas dalam-dalam, meskipun masih ada bau darah yang tertinggal di sekitarnya, tapi itu tidak terlalu kuat, sepertinya area luka itu dibalut dengan benar.
"Ga, aku mau keluar buat beli sesuatu dan pulang untuk memasaknya sendiri."
"Oh ya, aku bawa sesuatu buat kamu!"
…………
Luna benar-benar tidak menyangka bahwa dia akan mendapat jawaban ini, yang bisa dia lakukan hanyalah menjawab dengan kaku, "Taruh aja di pintu, aku harus keluar buat beli sesuatu sekarang."
"Oke."
Oscar berjalan ke pintu masuk dengan barang-barang di tangannya, matanya yang gelap melihat sepasang sandal pria di bawah.
Pipinya sedikit merah, plester yang membungkus luka di jarinya telah hilang.
Lukanya diremas dengan keras hingga darah segar mengalir lagi dari lukanya yang menganga.
Oscar mendengar suara terengah-engah di belakangnya.
Dia perlahan-lahan berbalik, masih dengan tatapan malu-malu, "Nona Salvator, aku udah taruh barang-barang itu."
Jari yang berlumuran darah, entah sengaja atau tidak, melambai di depan Luna.
"Nona Salvator?"
Pop!
Luna tiba-tiba meraih tangan Oscar, tangannya sedingin es, matanya terkunci pada lukanya, Luna tidak dapat memalingkan tatapannya untuk waktu yang lama.
Sudut mulut Oscar perlahan terangkat, Luna memegang telapak tangannya, kemudian tangannya yang lain terulur untuk menutup pintu.
Bibir merah Luna hampir menyentuh luka yang menganga, tapi lehernya yang ramping dengan keras tersentak ke atas dan wajah kecilnya yang sudah tenggelam dalam aroma manis terangkat.
Wajah tampan yang tadinya tidak berbahaya memiliki kegembiraan yang tidak bisa dijelaskan saat ini.
Tiba-tiba Oscar menggerakkan ujung jarinya dan mengoleskan darah di jari-jarinya ke bibirnya sendiri.
Perlahan menurunkan tubuhnya, Oscar mengirim bibirnya yang tipis ke atas.
"Bukan jari, tapi di sini."
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved