Bab 10 A Sudden Kiss
by Annisa Haroen
11:47,Dec 19,2020
Nonky melayang-layangkan piring berisi sauteed chicken with tarragon di depan hidung Jemi. Sudah lebih dari dua jam, Nonky asyik dengan peralatan dapurnya dalam rangka menggemukkan badan Lesie.
“Enak gak, nih?” tanya Jemi
“Ya enaklah! Masakan gue kan selalu istimewa.” Nonky pun menyimpan piringnya di tengah meja makan, lalu mengambil dua piring lainnya.
“Nah, kalo yang itu namanya apa?”
“Lamb medallion with pomme and mushroom sauce dan yang ini buat dessertnya, cassava tart with avocado ice cream. Keren gak, tuh?”
“Intinya aja deh namanya apaan?” tanya Jemi lagi sambil menatap makanannya dengan tatapan skeptis.
“Domba ama singkong. Puas lo?!”
“Yailah gitu doang pake nama ribet segala.”
“Biar keren dong bro!”
Akhir-akhir ini, Nonky seringkali bereksplorasi makanan dan Jemi atau Lesie selalu menjadi penguji coba hasil masakannya. Pernah suatu ketika, Jemi meminta Nonky membuatkan makan yang langsung dituruti dengan semangat empat lima. Hidangan pun tersaji di depan Jemi. Nonky memberitahukan makanan tersebut yang dinamakan dengan bahasa Perancis yaitu filetes de anchoas en aceite vegetal yang terdengar lezat ditelinga Jemi. Namun rasa berkata lain, ternyata makanan itu tidak lain adalah ikan teri yang disiram minyak sayur dan harus dimakan dengan daun selada.
Kali ini Jemi pun mencicipi masakan Nonky lagi dengan lumayan lahap karena lebih enak dibanding filetes-de-anchoas-en-aceite-vegetal itu.
“Eh si Lesie kemana ya? Jam segini kok belom balik?” tanya Nonky sambil meraih ponsel hendak menghubungi Lesie, tetapi nomornya tidak dapat dihubungi. “Ga aktif juga telponnya.”
Jemi yang sedang menikmati makanan hanya mengangkat bahu. “Nemuin si penasihat cinta itu lagi kali.”
“Iya kali ya. Ya udah deh gue makan duluan aja kalo gitu.”
Nonky pun mengambil daging dombanya. Dinding pertahanan dietnya seketika hancur karena melihat hasil karya masakannya sendiri.
~~~~
Jalanan mulai sepi, Lesie kebingungan mengarahkan mobilnya tanpa tujuan jelas. Sementara mobil suaminya Mbak Devi masih terus mengikutinya dari belakang. Kini mereka berada di jalan menuju Sumedang.
“Ben! Kita ke mana, nih, sekarang? Kantor polisi aja?” tanya Lesie, yang langsung dijawab oleh Mbak Devi.
“Jangan! Tolong jangan ke kantor polisi dulu. Kita selamatin anak saya dulu, Mbak,” katanya dengan memelas.
“Emangnya anak Mbak di mana?” tanya Ben.
“Anak saya di….”
DORR!!!!
Lesie hampir kehilangan kontrol mengemudinya karena kaget mendengar suara tembakan. Ben yang mulai tidak enak hati langsung pindah ke depan.
“Biar saya yang nyetir.”
Dengan mobil yang masih berjalan, Lesie mengangkat tubuhnya supaya Ben bisa duduk di kursi pengemudi. Ketika Ben sudah duduk di bawah Lesie dan tangan kanannya memegang setir, Lesie pun pindah ke kursi penumpang di samping Ben. Ben lansung mempercepat laju mobilnya, dan suara tembakan pun terdengar lagi. Lesie membalikkan badan ke belakang dan melihat pistol yang diacungkan melalui jendela mobil suami Mbak Devi.
“Ben! Dia makin deket. Gimana, nih?” tanya Lesie yang mulai gugup.
Ben tidak menjawab. Ia hanya fokus ke depan sambil memikirkan jalan keluarnya. Ia pun mengubah gigi dan menambah kecepatannya lagi. Ketika mobil suami Mbak Devi sudah tertinggal jauh dan belum terlihat lagi, Ben menepikan mobilnya dan menyuruh kedua wanita itu untuk turun.
“Kita turun di sini dan cari tempat persembunyian,” kata Ben, langsung membukakan pintu Lesie yang sedang melongo heran supaya keluar.
Ben turun dan membukakan pintu belakang menarik Mbak Devi keluar mobil.
“Terus mobil gue gimana?” tanya lesie cemas.
“Nanti kita pikirin, yang penting sekarang nyawa kita aman.”
Tanpa berpikir panjang, Lesie pun pasrah ditarik Ben bersama Mbak Devi menuju sebuah gang. Lesie membuka cardigannya yang kemudian diberikan pada Mbak Devi untuk menutupi bajunya yang berlumuran darah. Ben yang melihat itu, melepas jacketnya dan diserahkan pada Lesie.
“Kenapa ga daritadi aja kamu kasih sama Mbak ini!” bisik Lesie sambil menerima jaket Ben dengan geram.
“Mana kepikiran.”
Setelah berjalan cukup jauh, Ben menemukan sebuah pondok pemangkalan tukang becak yang sudah sepi. Ia mengarahkan Lesie dan Mbak Devi untuk duduk di sana. Mbak Devi yang wajahnya semakin terlihat pucat, terduduk lemas.
Ben melihat keadaan sekitar dan ketika merasa aman, ia pun mulai menanyai Mbak Devi.
“Mbak bisa certain kejadiannya sama saya?” katanya sambil berjongkok di hadapan wanita itu.
“Tadi saya bertengkar dengan suami saya ketika saya menuntut perceraian sesuai dengan yang mas instruksikan. Tetapi suami saya tidak terima. Ia mengancam saya dengan pistol dan menarik anak saya.”
“Sekarang anak Mbak di mana?”
“Suami saya kunci anak saya di gudang. Dia temperamental dan bisa melakukan apa pun terhadap saya dan anak saya. Jadi tolong jangan lapor ke polisi dulu karena saya takut anak saya dicelakai. Dia mempunyai banyak anak buah. Saya minta Mas selamatkan anak saya, setelah itu saya akan pergi meninggalkan kota ini.”
“Mbak yakin anak mbak masih di sana?”
“Makanya kita harus cepat-cepat ke sana sebelum keduluan suami saya.”
“Rumah Mbak di mana?”
“Komplek Permata Cimahi.”
“Rumah kamu?” tanya Ben pada Lesie.
“Di Dago Pakar.”
Ben berdiri dan menarik Lesie ke sudut. “Saya pinjem mobil kamu, nanti saya anter kamu balik dulu. Terus besok saya anterin mobilnya, karna kalo gue ambil mobil gue dulu, berarti mesti muter.”
“Gue ikut aja, deh.”
“Ini bahaya, Les. Kalo ada apa-apa sama kamu gimana?”
“Ga apa-apa, kali. Anggap aja ini praktek dalam rangka ngelupain, eh nyingkirin mantan aku. Kan kata kamu harus terjadi sesuatu yang lebih ekstrim untuk bisa buang perasaan patah hati?”
“Ga gini juga caranya.”
“Pokoknya aku ikut. Ini juga kan bisa mempersingkat waktu, dan siapa tahu nanti aku buat nolong anaknya Mbak Devi.”
Mau tidak mau, Ben pun mengangguk setuju. Ia terpaksa melupakan kamar tidurnya juga kasur-empuk-hangatnya dan malah terjebak dengan seorang wanita keras kepala dan satu wanita asing yang dikejar suaminya dengan pistol.
***
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam ketika Lesie memasuki mobilnya lagi bersama Ben dan Mbak Devi. Ben kembali mengambil alih kemudi, berharap suami Mbak Devi sudah tidak ada. Ia mengambil jalan yang berbeda dengan arah sebelumnya. Jalanan sudah cukup lengang dan terdengar suara derikan jangkrik juga binatang lainnya yang bersahutan. Semua terdiam merasakan ketegangan kalau-kalau mobil suami Mbak Devi kembali muncul. Lesie tanpa sengaja melirik jarum bensin yang sudah hampjr mendekati E.
“Kita cari pom bensin dulu. Udah mau abis, tuh.”
Ben yang tidak sempat berpikir ke arah situ langsung melihat jarum bensin tersebut dan mengangguk. Beberapa meter di depan, mereka menemukan penjual bensin eceran dengan kiosnya yang kumuh dan langsung menghentikan mobilnya di sana. Di sebelahnya terdapat toko serba ada yang menjual makanan. Sementara Ben mengisi bensin, sedangkan Mbak Devi tertidur pulas, Lesie turun membeli biskuit, roti, minuman dingin dan eskrim.
Lesie menikmati eskrimnya sambil terduduk di bagasi mobil. Ben menghampirinya, ikut duduk di samping Lesie.
“Istirahat bentar, ya. Biar tenaga kamu kuat,” kata Lesie sambil menyerahkan minuman pada Ben. Ben menerimanya dan langsung membuka kait kaleng lalu meneguknya sampai habis.
“Kamu liat sendiri? Akibat saran kamu, nyawa orang jadi taruhannya?” tanya Lesie tanpa menoleh pada Ben.
“Enak gak, nih?” tanya Jemi
“Ya enaklah! Masakan gue kan selalu istimewa.” Nonky pun menyimpan piringnya di tengah meja makan, lalu mengambil dua piring lainnya.
“Nah, kalo yang itu namanya apa?”
“Lamb medallion with pomme and mushroom sauce dan yang ini buat dessertnya, cassava tart with avocado ice cream. Keren gak, tuh?”
“Intinya aja deh namanya apaan?” tanya Jemi lagi sambil menatap makanannya dengan tatapan skeptis.
“Domba ama singkong. Puas lo?!”
“Yailah gitu doang pake nama ribet segala.”
“Biar keren dong bro!”
Akhir-akhir ini, Nonky seringkali bereksplorasi makanan dan Jemi atau Lesie selalu menjadi penguji coba hasil masakannya. Pernah suatu ketika, Jemi meminta Nonky membuatkan makan yang langsung dituruti dengan semangat empat lima. Hidangan pun tersaji di depan Jemi. Nonky memberitahukan makanan tersebut yang dinamakan dengan bahasa Perancis yaitu filetes de anchoas en aceite vegetal yang terdengar lezat ditelinga Jemi. Namun rasa berkata lain, ternyata makanan itu tidak lain adalah ikan teri yang disiram minyak sayur dan harus dimakan dengan daun selada.
Kali ini Jemi pun mencicipi masakan Nonky lagi dengan lumayan lahap karena lebih enak dibanding filetes-de-anchoas-en-aceite-vegetal itu.
“Eh si Lesie kemana ya? Jam segini kok belom balik?” tanya Nonky sambil meraih ponsel hendak menghubungi Lesie, tetapi nomornya tidak dapat dihubungi. “Ga aktif juga telponnya.”
Jemi yang sedang menikmati makanan hanya mengangkat bahu. “Nemuin si penasihat cinta itu lagi kali.”
“Iya kali ya. Ya udah deh gue makan duluan aja kalo gitu.”
Nonky pun mengambil daging dombanya. Dinding pertahanan dietnya seketika hancur karena melihat hasil karya masakannya sendiri.
~~~~
Jalanan mulai sepi, Lesie kebingungan mengarahkan mobilnya tanpa tujuan jelas. Sementara mobil suaminya Mbak Devi masih terus mengikutinya dari belakang. Kini mereka berada di jalan menuju Sumedang.
“Ben! Kita ke mana, nih, sekarang? Kantor polisi aja?” tanya Lesie, yang langsung dijawab oleh Mbak Devi.
“Jangan! Tolong jangan ke kantor polisi dulu. Kita selamatin anak saya dulu, Mbak,” katanya dengan memelas.
“Emangnya anak Mbak di mana?” tanya Ben.
“Anak saya di….”
DORR!!!!
Lesie hampir kehilangan kontrol mengemudinya karena kaget mendengar suara tembakan. Ben yang mulai tidak enak hati langsung pindah ke depan.
“Biar saya yang nyetir.”
Dengan mobil yang masih berjalan, Lesie mengangkat tubuhnya supaya Ben bisa duduk di kursi pengemudi. Ketika Ben sudah duduk di bawah Lesie dan tangan kanannya memegang setir, Lesie pun pindah ke kursi penumpang di samping Ben. Ben lansung mempercepat laju mobilnya, dan suara tembakan pun terdengar lagi. Lesie membalikkan badan ke belakang dan melihat pistol yang diacungkan melalui jendela mobil suami Mbak Devi.
“Ben! Dia makin deket. Gimana, nih?” tanya Lesie yang mulai gugup.
Ben tidak menjawab. Ia hanya fokus ke depan sambil memikirkan jalan keluarnya. Ia pun mengubah gigi dan menambah kecepatannya lagi. Ketika mobil suami Mbak Devi sudah tertinggal jauh dan belum terlihat lagi, Ben menepikan mobilnya dan menyuruh kedua wanita itu untuk turun.
“Kita turun di sini dan cari tempat persembunyian,” kata Ben, langsung membukakan pintu Lesie yang sedang melongo heran supaya keluar.
Ben turun dan membukakan pintu belakang menarik Mbak Devi keluar mobil.
“Terus mobil gue gimana?” tanya lesie cemas.
“Nanti kita pikirin, yang penting sekarang nyawa kita aman.”
Tanpa berpikir panjang, Lesie pun pasrah ditarik Ben bersama Mbak Devi menuju sebuah gang. Lesie membuka cardigannya yang kemudian diberikan pada Mbak Devi untuk menutupi bajunya yang berlumuran darah. Ben yang melihat itu, melepas jacketnya dan diserahkan pada Lesie.
“Kenapa ga daritadi aja kamu kasih sama Mbak ini!” bisik Lesie sambil menerima jaket Ben dengan geram.
“Mana kepikiran.”
Setelah berjalan cukup jauh, Ben menemukan sebuah pondok pemangkalan tukang becak yang sudah sepi. Ia mengarahkan Lesie dan Mbak Devi untuk duduk di sana. Mbak Devi yang wajahnya semakin terlihat pucat, terduduk lemas.
Ben melihat keadaan sekitar dan ketika merasa aman, ia pun mulai menanyai Mbak Devi.
“Mbak bisa certain kejadiannya sama saya?” katanya sambil berjongkok di hadapan wanita itu.
“Tadi saya bertengkar dengan suami saya ketika saya menuntut perceraian sesuai dengan yang mas instruksikan. Tetapi suami saya tidak terima. Ia mengancam saya dengan pistol dan menarik anak saya.”
“Sekarang anak Mbak di mana?”
“Suami saya kunci anak saya di gudang. Dia temperamental dan bisa melakukan apa pun terhadap saya dan anak saya. Jadi tolong jangan lapor ke polisi dulu karena saya takut anak saya dicelakai. Dia mempunyai banyak anak buah. Saya minta Mas selamatkan anak saya, setelah itu saya akan pergi meninggalkan kota ini.”
“Mbak yakin anak mbak masih di sana?”
“Makanya kita harus cepat-cepat ke sana sebelum keduluan suami saya.”
“Rumah Mbak di mana?”
“Komplek Permata Cimahi.”
“Rumah kamu?” tanya Ben pada Lesie.
“Di Dago Pakar.”
Ben berdiri dan menarik Lesie ke sudut. “Saya pinjem mobil kamu, nanti saya anter kamu balik dulu. Terus besok saya anterin mobilnya, karna kalo gue ambil mobil gue dulu, berarti mesti muter.”
“Gue ikut aja, deh.”
“Ini bahaya, Les. Kalo ada apa-apa sama kamu gimana?”
“Ga apa-apa, kali. Anggap aja ini praktek dalam rangka ngelupain, eh nyingkirin mantan aku. Kan kata kamu harus terjadi sesuatu yang lebih ekstrim untuk bisa buang perasaan patah hati?”
“Ga gini juga caranya.”
“Pokoknya aku ikut. Ini juga kan bisa mempersingkat waktu, dan siapa tahu nanti aku buat nolong anaknya Mbak Devi.”
Mau tidak mau, Ben pun mengangguk setuju. Ia terpaksa melupakan kamar tidurnya juga kasur-empuk-hangatnya dan malah terjebak dengan seorang wanita keras kepala dan satu wanita asing yang dikejar suaminya dengan pistol.
***
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam ketika Lesie memasuki mobilnya lagi bersama Ben dan Mbak Devi. Ben kembali mengambil alih kemudi, berharap suami Mbak Devi sudah tidak ada. Ia mengambil jalan yang berbeda dengan arah sebelumnya. Jalanan sudah cukup lengang dan terdengar suara derikan jangkrik juga binatang lainnya yang bersahutan. Semua terdiam merasakan ketegangan kalau-kalau mobil suami Mbak Devi kembali muncul. Lesie tanpa sengaja melirik jarum bensin yang sudah hampjr mendekati E.
“Kita cari pom bensin dulu. Udah mau abis, tuh.”
Ben yang tidak sempat berpikir ke arah situ langsung melihat jarum bensin tersebut dan mengangguk. Beberapa meter di depan, mereka menemukan penjual bensin eceran dengan kiosnya yang kumuh dan langsung menghentikan mobilnya di sana. Di sebelahnya terdapat toko serba ada yang menjual makanan. Sementara Ben mengisi bensin, sedangkan Mbak Devi tertidur pulas, Lesie turun membeli biskuit, roti, minuman dingin dan eskrim.
Lesie menikmati eskrimnya sambil terduduk di bagasi mobil. Ben menghampirinya, ikut duduk di samping Lesie.
“Istirahat bentar, ya. Biar tenaga kamu kuat,” kata Lesie sambil menyerahkan minuman pada Ben. Ben menerimanya dan langsung membuka kait kaleng lalu meneguknya sampai habis.
“Kamu liat sendiri? Akibat saran kamu, nyawa orang jadi taruhannya?” tanya Lesie tanpa menoleh pada Ben.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved