Bab 8 Talk Show

by Annisa Haroen 11:36,Dec 19,2020
Wangi bawang goreng memenuhi ruangan. Nonky yang sedang bersenandung, pagi tadi sudah berada di apartemen Lesie dan membuatkan nasi goreng untuknya. Ia merasa lega karena mengikuti kata hatinya untuk menemui Lesie segera. Karena kalau tidak, sahabatnya itu pasti sudah mati karena tidak makan. Matanya cekung, wajahnya pucat dan berat badannya diperkirakan turun sekitar lima kilogram.

Setelah beres menghidangkan nasi goreng dan jus apel di meja makan, Nonky menghampiri Lesie yang terduduk di depan TV sambil memeluk bantal yang diambilnya dari kamar.

“Les, makan, yuk,” ajak Nonky.

Lesie pun menuruti perintah Nonky. Bukan karena lapar, tetapi dia tidak mau mendengar nasihat Nonky yang super bawel. Nonky mengambilkan piring dan menyendoki makanannya untuk Lesie. Sebenarnya, Nonky sudah seperti kakaknya sendiri. Dia lebih tua dari Lesie sekitar satu tahun lebih karena Lesie memasuki sekolah di umur lima tahun, sedangkan Nonky di umur tujuh tahun.

Lesie mendapati dirinya makan dengan lahap, menyadari bahwa beberapa hari ini perutnya hanya dipenuhi kopi dan biskuit ringan saja. Nonky memang jago memasak, karena dia sempat mengikuti culinary school.

“Eh ceritain, dong, soal konsultasi lo sama love counselor itu. Emang ada hasilnya, ya?”

“Entahlah. Teori dia itu gak masuk di akal, masa dia bilang si Tarlan bikin keputusan yang bagus dengan memutuskan gue, dan bilang kalo gue ngerasa lebih rendah dari ceweknya dia yang sekarang. Dan kalo ternyata sikap gue yang selalu perhatian sama dia, telponin dia, ngeluangin waktu buat dia itu adalah penyebab Tarlan putusin gue. Gila, kan?”

Nonky menelan makanannya sambil mengerutkan kening pada Lesie. “Masa, sih, dia ngomong kayak gitu.”

“Ya, ga langsung gitu juga, sih. Tau deh pokoknya gue masih susah nerima ini semua, Non. Gue ga bisa melakukan hal se-ekstrim teori si Ben. Talking is easy, the hardest part is when you have to do it, rite?”

Nonky mengangguk sambil mengambil minumannya. “Jadi, ga ada salahnya kalo lu temuin dia lagi dan minta solusi selanjutnya. Gue kemaren sempet baca situsnya mereka karena penasaran juga, sih. Gue baca teorinya emang bagus, kok. Nanti malem salah satu konselornya muncul di talkshow-nya Brianny Shelsa.”

“Oya? Siapa?”

“Gue lupa namanya. Kalo ga salah, yang elu sebutin tadi, deh.”

“Ben?”

Nonky mengangguk dan melihat Lesie tersenyum samar.

***

Ben harus menemui salah satu kliennya lagi yang ingin berkonsultasi mengenai keretakan rumah tangganya. Dia menghubungi sekretaris kantor untuk mempersilakan kliennya tersebut masuk ke ruangan. Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu. Ben pun mempersilakan masuk.
Seorang wanita yang kemungkinan usianya hampir mencapai kepala empat, menghampiri Ben. Dengan dandanan yang sedikit norak dengan memakai baju berwarna hijau tua, aksesoris bunga di atas dadanya, rok panjang berbahan beludru, juga perhiasan emas kuning yang bertengger di pergelangan tangan. Ben berdiri sambil mengulurkan tangan, lalu mempersilakan wanita tersebut duduk.

“Dengan Mbak Devi, ya?”

“Betul.”

“Ok, langsung ke inti permasalahannya saja ya, Mbak, seperti yang saya janjikan tadi, saya hanya punya waktu sepuluh menit karena sebentar lagi ada acara on air.”

Ben sebenarnya sudah menolak untuk menerima klien lagi pada hari itu, karena waktunya mepet dengan acara talkshow. Tetapi kliennya tersebut memaksa karena harus mempunyai keputusan hari itu juga sebelum semuanya terlambat.

“Saya cuman sebentar. Saya mempercayakan keputusan ini kepada orang yang profesional seperti anda.”

“Oke, boleh langsung ceritain aja inti masalahnya apa?”

“Lima tahun yang lalu, saya dijodohkan dengan seorang lelaki yang lebih muda dari saya. Tetapi saya merasa kehidupan rumah tangga kami sangat hambar. Meskipun berada di satu atap, suami saya tidak pernah memberi perhatian terhadap saya. Bahkan akhir-akhir ini dia jarang pulang. Saya rasa dia mempunyai wanita lain di luar sana. Dia menikahi saya karena harta. Kita sudah mempunyai satu anak dari hasil hubungan kami. Menurut anda apa sebaiknya yang saya lakukan?”

“Pernikahan yang tidak dilandasi cinta tidak akan menguntungkan kedua belah pihak, tidak akan ada hasil yang bisa didapat di dalamnya jika anda mempertahankannya. Kecuali jika anda dan suami ingin sama-sama membangun cinta itu kembali. Jika memungkinkan, anda bisa mengikuti relationship management secara private, kami bisa membantu.”

Wanita itu menggeleng. “Suami saya tidak mencintai saya,” katanya setengah berbisik dengan perasaan yang tampak sedih.

“Kalau begitu, anda harus berani mengambil keputusan. Pikirkan apa yang anda harapkan dalam hubungan ini. Seorang anak tidak akan bertambah bahagia dalam sebuah keluarga yang dingin. Anda harus bisa mendirikan dinding kebahagiaan sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain, termasuk suami anda.”

Wanita itu mengangguk lagi. “Yah, anak saya memang jadi prioritas dan menjadi penghalang keputusan yang harus saya ambil. Kalau begitu saya akan memutuskan hubungan kami dan segera meminta surat perceraiannya. Itu memang jalan terbaik, saya hanya butuh penegasan dari seseorang. Terima kasih,” katanya lagi sambil mengulurkan tangan hendak berpamitan.

“Sama-sama, Mbak Devi. Jika ada yang perlu di konsultasikan lagi, anda bisa email saya saja.”

“Oke, maaf sudah menyita waktu anda.”

Ben menggeleng dan meyakinkan wanita itu jika waktunya masih aman untuk mengejar waktu mendatangi studio salah satu stasiun televisi. Setelah membereskan file dan mematikan komputernya, Ben langsung meraih kunci mobil dan pergi menuju talkshow Brianny Shelsa.

***

Shrimp bisque yang ditutup dengan garlic toast dinikmati oleh Lesie dengan lahap, juga dessert-nya yang disebut Nonky Italian strawberry tart. Nonky berpesan makanan itu harus dihabiskan dan akan mengutuk Lesie jika membuangnya ke tong sampah. Makanan seiprit dengan pembuatan yang menurut Lesie ribet itu, sengaja dibuat Nonky dengan penataan yang amat menggiurkan. Dan ternyata memang berhasil. Lesie tenggelam dalam cita rasa yang lezat sampai tidak menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 20.45, yang berarti acara talkshow Brianny Shelsa tersisa seperempat jam lagi. Lesie langsung menaruh strawberry tartnya denga nasal-asalan, lalu berlari ke arah TV. Dia menekan tombol power dengan antusias berharap masih bisa melihat sosok Ben.

“Nah sebelum closing, pertanyaan terakhir, nih, buat kamu. Selama menjalani sesi counseling, pernah menemukan hal unik apa, sih? Atau suatu hal aneh dari klien kamu?” tanya Brianny yang malam itu tampil mengenakan coat bermotif paisley.

“Banyak banget. Dulu sempet ada pasangan dari klien yang sempet neror beberapa kali ke kantor, karena pacarnya putusin dia setelah konsultasi sama kita. Cuman berlangsung beberapa hari aja, sih. Yang lainnya mainstream, kayak seseorang yang gak bisa menghadapi kenyataan pahit dari pasangannya. Kemaren sempet ada cewek yang konsul sama saya karena diputusin sama pacarnya. Ceweknya cantik....”

Lesie menegakkan bahu, merasa bahwa dirinyalah yang dibicarakan oleh Ben. Wajahnya bersemu merah ketika Ben menganggapnya cantik.

“…cuman, ya… dia menanggapi hal itu dengan berlebihan, sampai meminta saya kasih solusi untuk lupain mantannya tersebut. Ya menurut saya, jika seseorang ingin melupakan sesuatu, caranya ada dua. Amnesia atau gila.”

Ben, Brianny dan seluruh penonton terbahak setelah mendengar pernyataan tersebut sebelum host yang memiliki tubuh mungil dengan rambut pendek itu menutup acara.

Sementara Lesie segera mematikan TV, lalu membanting remote-nya. “Sialan! Berani banget, sih, dia ngetawain gue!”

Bel berbunyi ketika Lesie sibuk menggerutu. Nonky dan Jemi berdiri di depan pintu dengan membawa dua boks besar pizza.

“Lo kayak mau ngasih makan ke korban bencana alam banget, sih,” kata Lesie dengan ketus.

“Lo emang udah kayak korban bencana alam. Lo itu perlu perbaikan gizi, Les! Supaya otak lo dapet amunisi vitamin yang baik hingga peredaran darah lo lancar dan lo bisa berpikir rasional.”

“Bisa ga sih ga usah lebay?”

“Hehehe sorry. Eh, nonton Brianny Shelsa, dong. Gue buru-buru pulang karena pengen liat si Ben Alfrend itu. Kata si Gaby cucok banget, ya?”

“Udahan kali.”

“Lo nonton?”

“Ga sengaja, tapi langsung gue matiin juga,” jawab Lesie pura-pura tak acuh.

“Yaaah, telat deh gue. Ya udah, nih, lo makan. Gue sama si Jemi udah makan tadi di luar. Bebek van java.”

“Jadi pizza segambreng ini buat gue sendirian?”

“Ya persediaan aja, si Jemi kan tengah malem suka kelaperan. Kita mau begadang malem ini, nih gue beli film-film india yang dipilihin sama abang toko DVD-nya.”

“Najis, selera lo kok kayak ART nyokap gue aja, sih?”

“Eh, liat dulu, Neng! Ceritanya bagus, kok. Menyentuh dan dramatis abis.”

“Ogah! Lo aja tuh sama Onta Arab,” kata lesie sambil menunjuk Jemi yang sedang asyik dengan gadgetnya.

“Dih! Gue juga ogah. Mending nonton Hostel 3 aja sekalian. Baru gue dapet DVD-nya kemaren. Kalo mau, gue ambil ke rumah sekarang.”

Lesie dan Nonky pun serentak menjawab “OGAH!!”

Mereka pernah dikerjai Jemi untuk menonton film Hostel yang menurutnya ber-genre drama. Namun ternyata Hostel adalah film psikopat yang memotong-motong tubuh orang seperti sebongkah daging sapi. Lesie sempat tidak bernafsu makan selama tiga hari, sedangkan Nonky mengalami traumatic ringan, menjadi anti bertemu orang asing.

“Udah deh, Les, lo mendingan nonton film India. Ga usah ikutin ceritanya. Lo bisa natap wajah Imran Abbas dan bandingin sama kegantengan si Ben. Gue yakin si Ben kagak ada apa-apanya dibanding aktor India yang satu ini.”

“Mana coba liat.”

Nonky pun mengedipkan mata pada Jemi yang membuat Jemi terkikik.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

104