Bab 7 Meet Again
by Annisa Haroen
11:28,Dec 19,2020
Gaby menyesap wine sambil berendam di whirlpool spa bersama Dewa, kekasihnya. Mereka sedang menikmati liburannya di Bali untuk melepas rindu. Hubungan yang sudah satu bulan mereka jalani, sangat membahagiakan Gaby. Dewa adalah sosok yang perhatian dan membuatnya sangat berharga. Dia juga selalu berusaha membuat Gaby senang seperti semalam ketika Gaby menginginkan relaksasi dan merindukan Bali, keesokan harinya Dewa menyerahkan dua tiket untuk terbang ke Bali hari itu juga.
“Beb, udahan, yuk. Aku udah laper.”
“Oke, aku juga udah pengen istirahat,” jawab Dewa sambil mencium puncak kepala Gaby.
Gaby mengambilkan handuk untuk Dewa dan membantu melap badannya. Ia merentangkan tangan, merasa otot-ototnya lentur setelah mendapatkan massage.
“Kamu mau makan apa?” tanya Dewa.
Dengan cepat Gaby menjawab makanan favoritnya. “Lobster.”
Dewa mengangkat tangan Gaby lalu mencium telapaknya dengan lembut. “Anything for you, Baby.”
Mereka pun bergegas untuk berpakaian dan langsung menuju Kafe Menega di Jimbaran yang terkenal dengan seafood-nya yang enak. Dewa tidak pernah melepas tangan dan memeluk pinggang Gaby setiap berjalan berdampingan. Wanita itu adalah sumber kebahagiaan baginya. Setelah urusannya selesai, Dewa akan langsung melamar Gaby dan menjadikannya sebagai pendamping hingga akhir hidupnya.
***
Suasana Banditblues Cafe tampak lebih ramai pada sabtu malam. Kafé yang bernuansa blues ini dipenuhi poster pemusik legendaris dan selalu dimeriahkan homeband yang membawakan lagu blues. Lesie sedang menikmati indiana chicken, tertarik untuk menikmati musiknya. Tanpa sadar, Lesie melahap makanannya dengan nafsu karena seharian energinya habis akibat membanting barang, berteriak dan menyumpahi Tarlan.
Beberapa menit kemudian, Ben datang dengan mengenakan sweater putih. Lesie pun menyimpan sendok dan garpunya dengan cepat.
“Terusin aja, kali. Keliatannya laper banget,” ujar Ben.
Semenjak memasuki kafe, ia memerhatikan Lesie yang seperti tidak menemukan makanan beberapa hari.
“Kamu mau pesen juga?” tanya Lesie cuek yang hanya ditanggapi Ben dengan gelengan kepala. “Sorry, ya, aku kelaperan. Seharian belum makan. Lagian setelah dipikir-pikir, aku lebih sayang perutku daripada mikirin mantan,” katanya lagi sambil melahap kembali makanannya tanpa malu-malu.
“Jadi kamu belum berhasil lupain dia?” sindir Ben.
“Iya-iya… sorry aku kemaren salah ngomong. Maksudku itu, aku gamau kepikiran dia terus dengan ngerasain sakit hati.”
“So?”
“Yaaaahh… aku sih sekarang udah ilfeel aja sama dia. And you know what? Perkiraan aku bener. Dia brengsek! Baru mutusin aku beberapa hari aja udah gandeng cewek lain.”
”Bagus, dong. Berarti dia udah move on.”
Lesie mengembuskan napasnya dengan kesal. “Kamu kenapa sih belain dia terus? Karena kamu terlahir sebagai spesies yang sama ama mantanku, bukan berarti kamu juga harus berpihak sama dia. Kamu kan aku bayar buat ngasih solusi, bukan ngebelain siapapun.”
Seorang waiters mengantarkan minuman yang langsung diambil oleh Ben. Sambil mengaduk lemon tea-nya, Ben menjawab Lesie.
“Emang kamu butuh solusi apa? Bukannya udah ilang feel? Jadi mau apa lagi? Yang perlu kamu lakuin sekarang ini mudah. Seperti saran saya kemarin.”
“Aku emang bakalan ngelakuin saran dari kamu sampai aku bisa merayakan pembumi-hangusan barang-barang dia dari kamarku. Dan setelah itu berhasil, aku akan bayar kamu. Deal?”
“Kenapa gak dibakar dari sekarang?”
“Karena aku akan melakukan pembalasan dendam dulu sama dia.”
Ben mengerutkan kening. “Balas dendam gimana, nih?”
“Nah itu tugas pertama kamu. Gimana caranya mantan aku itu nyesel sama perbuatannya dan mohon balik lagi sama aku. Setelah itu berhasil, aku akan ngebalas apa yang udah dia perbuat ke aku.”
Ben terdiam beberapa detik, lalu mulai terbahak. “Eh, perlu kamu tahu, ya, aku ga terima layanan konsultasi untuk pembalasan dendam.”
Lesie seketika cemberut. “Tapi harga diri aku udah keinjek-injek. Dia lebih milih cewek itu daripada aku. Kita, kan, bisa sekalian ngasih pelajaran juga sama dia gimana caranya merawat hubungan dengan baik.”
“Kamu cemburu?”
“Ya iyalah. Manusiawi, kan?”
“Itu menandakan kalo kamu ngerasa kalah sama cewek barunya mantan kamu.”
“Apa?! Eh denger, ya, cemburu itu ya wajar. Bukan masalah cewek barunya! Siapa, sih, yang mau diselingkuhin? Bisa aja mereka pacaran waktu aku masih pacaran sama dia. Pantes aja setiap aku telpon jarang banget diangkat!” kata Lesie kesal.
“Emang kamu sehari telpon berapa kali?”
“Ga kehitung! Meskipun aku sibuk, aku selalu nyempetin untuk komunikasi sama dia. Eh, dia malah enak-enakan selingkuh. Berarti kecurigaan aku selama ini bener. Dia aja yang ga pernah ngaku.”
“That’s the point!” kata Ben sambil menjentikkan jarinya.
“Itu yang nyebabin dia selingkuh.”
“Bisa dijelasin salah aku di mana?” tanya Lesie dengan nada sinis.
“Bisa kamu bayangin? Kamu berada jauh sama pacar kamu, sedangkan pacar kamu terus-terusan punya kecurigaan, tiap waktu ngehubungin untuk memastikan bahwa kamu gak ngelakuin pengkhianatan di belakang dia? Sementara yang dibutuhkan dalam hubungan LDR adalah trusting, communicating and understanding.”
“Justru itu aku selalu berusaha komunikasi sama dia–”
“Tidak dalam takar yang berlebihan dan dipenuhi insecure.”
“Oke, kalaupun gitu kenapa dia langsung main putusin aja?”
“Mungkin dia sadar bahwa hubungan LDR gak bikin dia nyaman.”
Lesie terdiam selama beberapa saat sambil memandang tajam ke arah Ben. Lalu dia memanggil waiters dan memesan satu pitcher beer. Rasanya dia butuh sedikit alkohol untuk menandingi penyataan Ben yang menurutnya ngawur. Sementara Ben mengambil tisu yang berada dalam boks di meja, lalu menyerahkannya pada Lesie.
“Di ujung bibir kamu ada saus.”
Lesie mengambil tisu tersebut dari tangan Ben dan teringat waktu pertama kali mereka bertemu dengan cara yang sama, yang mungkin tidak diingat lagi oleh Ben. Dan kenapa juga pria itu selalu nemuin noda di pipinya?
“Thanks. Soal tadi aku tetap ga terima. Pokoknya aku harus dapetin cara gimana kasih pelajaran sama mantanku itu supaya gak seenaknya mutusin orang. Actually… inflicting revenge on someone who has wronged us leaves us feeling anything but pleasure.”
“Kalau kamu balas dendam, itu sama halnya kamu menunjukan diri kamu sama rendahnya dengan dia. Tunjukkin, dong, kalau kamu lebih superior. Itu adalah cara pembalasan dendam yang terbaik. In a savage way.“
Lesie mengembuskan napas sambil menepuk kedua pahanya. “Jadi kamu ga bisa kasih aku ide?”
“Nope. Aku hanya kasih solusi untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang lagi kamu hadepin. Bukan untuk semakin menjerumuskan kamu ke dalam masalah yang makin pelik. Kalo kamu tetap mau balas dendam, sorry, aku gak bisa bantu.”
Lesie meneguk birnya, merasakan ketidakrelaan untuk melepas Tarlan begitu saja dan membiarkan mantannya itu bahagia di atas penderitaannya. Ben terus memandangnya, menunggu keputusan Lesie. Tetapi yang dipandangnya berusaha untuk menahan cegukan yang datang berulang-ulang. Lesie kembali meminum birnya lebih banyak, tetapi cegukannya masih juga belum hilang.
Sementara Ben memandangi, Lesie lalu memanggilnya. “Lesie.”
Lesie mengangkat kepalanya sambil menutup mulut melihat Ben.
“I love you,” kata Ben yang membuat Lesie tercengang sambil membelalakkan matanya. Setelah beberapa detik, Ben terbahak-bahak. “Ilang, kan, cegukan kamu? Kata orang, supaya berhenti cegukannya, mesti dikagetin,” kata Ben lagi dengan sorot mata yang dibuat nakal.
“HHhhh… thanks, ya,” kata Lesie dengan tenang, meski di dalam hatinya berdebar-debar setelah mendengar pernyataan tadi yang dikiranya serius. “Ehmm... by the way soal tadi, aku ga bisa. Dia udah nyakitin perasaan aku, udah nyingkirin aku dengan seenaknya tanpa mikirin perasaanku, tanpa inget hari yang udah kita lewatin sama-sama.” Lesie berhenti dan mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha untuk menahan air matanya keluar, tetapi ketika tidak berhasil dan air matanya terjatuh, dengan cepat ia melapnya.
Ben membungkukkan badan ke arah Lesie, hendak berbicara, tetapi Lesie mengangkat kedua tangannya. “Gak apa-apa.
Jujur, aku baru kali ini ngerasain sakit hati sama cowok. Rendah banget, rasanya. Kayaknya aku cuman butuh waktu aja untuk sembuhin hati aku. Thanks, ya.”
Lesie beranjak pergi dan berjalan dengan cepat ke arah pintu keluar. Ben mematung melihat kepergian Lesie, menahan keinginannya yang ingin mengejar dan menenangkan wanita itu.
“Beb, udahan, yuk. Aku udah laper.”
“Oke, aku juga udah pengen istirahat,” jawab Dewa sambil mencium puncak kepala Gaby.
Gaby mengambilkan handuk untuk Dewa dan membantu melap badannya. Ia merentangkan tangan, merasa otot-ototnya lentur setelah mendapatkan massage.
“Kamu mau makan apa?” tanya Dewa.
Dengan cepat Gaby menjawab makanan favoritnya. “Lobster.”
Dewa mengangkat tangan Gaby lalu mencium telapaknya dengan lembut. “Anything for you, Baby.”
Mereka pun bergegas untuk berpakaian dan langsung menuju Kafe Menega di Jimbaran yang terkenal dengan seafood-nya yang enak. Dewa tidak pernah melepas tangan dan memeluk pinggang Gaby setiap berjalan berdampingan. Wanita itu adalah sumber kebahagiaan baginya. Setelah urusannya selesai, Dewa akan langsung melamar Gaby dan menjadikannya sebagai pendamping hingga akhir hidupnya.
***
Suasana Banditblues Cafe tampak lebih ramai pada sabtu malam. Kafé yang bernuansa blues ini dipenuhi poster pemusik legendaris dan selalu dimeriahkan homeband yang membawakan lagu blues. Lesie sedang menikmati indiana chicken, tertarik untuk menikmati musiknya. Tanpa sadar, Lesie melahap makanannya dengan nafsu karena seharian energinya habis akibat membanting barang, berteriak dan menyumpahi Tarlan.
Beberapa menit kemudian, Ben datang dengan mengenakan sweater putih. Lesie pun menyimpan sendok dan garpunya dengan cepat.
“Terusin aja, kali. Keliatannya laper banget,” ujar Ben.
Semenjak memasuki kafe, ia memerhatikan Lesie yang seperti tidak menemukan makanan beberapa hari.
“Kamu mau pesen juga?” tanya Lesie cuek yang hanya ditanggapi Ben dengan gelengan kepala. “Sorry, ya, aku kelaperan. Seharian belum makan. Lagian setelah dipikir-pikir, aku lebih sayang perutku daripada mikirin mantan,” katanya lagi sambil melahap kembali makanannya tanpa malu-malu.
“Jadi kamu belum berhasil lupain dia?” sindir Ben.
“Iya-iya… sorry aku kemaren salah ngomong. Maksudku itu, aku gamau kepikiran dia terus dengan ngerasain sakit hati.”
“So?”
“Yaaaahh… aku sih sekarang udah ilfeel aja sama dia. And you know what? Perkiraan aku bener. Dia brengsek! Baru mutusin aku beberapa hari aja udah gandeng cewek lain.”
”Bagus, dong. Berarti dia udah move on.”
Lesie mengembuskan napasnya dengan kesal. “Kamu kenapa sih belain dia terus? Karena kamu terlahir sebagai spesies yang sama ama mantanku, bukan berarti kamu juga harus berpihak sama dia. Kamu kan aku bayar buat ngasih solusi, bukan ngebelain siapapun.”
Seorang waiters mengantarkan minuman yang langsung diambil oleh Ben. Sambil mengaduk lemon tea-nya, Ben menjawab Lesie.
“Emang kamu butuh solusi apa? Bukannya udah ilang feel? Jadi mau apa lagi? Yang perlu kamu lakuin sekarang ini mudah. Seperti saran saya kemarin.”
“Aku emang bakalan ngelakuin saran dari kamu sampai aku bisa merayakan pembumi-hangusan barang-barang dia dari kamarku. Dan setelah itu berhasil, aku akan bayar kamu. Deal?”
“Kenapa gak dibakar dari sekarang?”
“Karena aku akan melakukan pembalasan dendam dulu sama dia.”
Ben mengerutkan kening. “Balas dendam gimana, nih?”
“Nah itu tugas pertama kamu. Gimana caranya mantan aku itu nyesel sama perbuatannya dan mohon balik lagi sama aku. Setelah itu berhasil, aku akan ngebalas apa yang udah dia perbuat ke aku.”
Ben terdiam beberapa detik, lalu mulai terbahak. “Eh, perlu kamu tahu, ya, aku ga terima layanan konsultasi untuk pembalasan dendam.”
Lesie seketika cemberut. “Tapi harga diri aku udah keinjek-injek. Dia lebih milih cewek itu daripada aku. Kita, kan, bisa sekalian ngasih pelajaran juga sama dia gimana caranya merawat hubungan dengan baik.”
“Kamu cemburu?”
“Ya iyalah. Manusiawi, kan?”
“Itu menandakan kalo kamu ngerasa kalah sama cewek barunya mantan kamu.”
“Apa?! Eh denger, ya, cemburu itu ya wajar. Bukan masalah cewek barunya! Siapa, sih, yang mau diselingkuhin? Bisa aja mereka pacaran waktu aku masih pacaran sama dia. Pantes aja setiap aku telpon jarang banget diangkat!” kata Lesie kesal.
“Emang kamu sehari telpon berapa kali?”
“Ga kehitung! Meskipun aku sibuk, aku selalu nyempetin untuk komunikasi sama dia. Eh, dia malah enak-enakan selingkuh. Berarti kecurigaan aku selama ini bener. Dia aja yang ga pernah ngaku.”
“That’s the point!” kata Ben sambil menjentikkan jarinya.
“Itu yang nyebabin dia selingkuh.”
“Bisa dijelasin salah aku di mana?” tanya Lesie dengan nada sinis.
“Bisa kamu bayangin? Kamu berada jauh sama pacar kamu, sedangkan pacar kamu terus-terusan punya kecurigaan, tiap waktu ngehubungin untuk memastikan bahwa kamu gak ngelakuin pengkhianatan di belakang dia? Sementara yang dibutuhkan dalam hubungan LDR adalah trusting, communicating and understanding.”
“Justru itu aku selalu berusaha komunikasi sama dia–”
“Tidak dalam takar yang berlebihan dan dipenuhi insecure.”
“Oke, kalaupun gitu kenapa dia langsung main putusin aja?”
“Mungkin dia sadar bahwa hubungan LDR gak bikin dia nyaman.”
Lesie terdiam selama beberapa saat sambil memandang tajam ke arah Ben. Lalu dia memanggil waiters dan memesan satu pitcher beer. Rasanya dia butuh sedikit alkohol untuk menandingi penyataan Ben yang menurutnya ngawur. Sementara Ben mengambil tisu yang berada dalam boks di meja, lalu menyerahkannya pada Lesie.
“Di ujung bibir kamu ada saus.”
Lesie mengambil tisu tersebut dari tangan Ben dan teringat waktu pertama kali mereka bertemu dengan cara yang sama, yang mungkin tidak diingat lagi oleh Ben. Dan kenapa juga pria itu selalu nemuin noda di pipinya?
“Thanks. Soal tadi aku tetap ga terima. Pokoknya aku harus dapetin cara gimana kasih pelajaran sama mantanku itu supaya gak seenaknya mutusin orang. Actually… inflicting revenge on someone who has wronged us leaves us feeling anything but pleasure.”
“Kalau kamu balas dendam, itu sama halnya kamu menunjukan diri kamu sama rendahnya dengan dia. Tunjukkin, dong, kalau kamu lebih superior. Itu adalah cara pembalasan dendam yang terbaik. In a savage way.“
Lesie mengembuskan napas sambil menepuk kedua pahanya. “Jadi kamu ga bisa kasih aku ide?”
“Nope. Aku hanya kasih solusi untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang lagi kamu hadepin. Bukan untuk semakin menjerumuskan kamu ke dalam masalah yang makin pelik. Kalo kamu tetap mau balas dendam, sorry, aku gak bisa bantu.”
Lesie meneguk birnya, merasakan ketidakrelaan untuk melepas Tarlan begitu saja dan membiarkan mantannya itu bahagia di atas penderitaannya. Ben terus memandangnya, menunggu keputusan Lesie. Tetapi yang dipandangnya berusaha untuk menahan cegukan yang datang berulang-ulang. Lesie kembali meminum birnya lebih banyak, tetapi cegukannya masih juga belum hilang.
Sementara Ben memandangi, Lesie lalu memanggilnya. “Lesie.”
Lesie mengangkat kepalanya sambil menutup mulut melihat Ben.
“I love you,” kata Ben yang membuat Lesie tercengang sambil membelalakkan matanya. Setelah beberapa detik, Ben terbahak-bahak. “Ilang, kan, cegukan kamu? Kata orang, supaya berhenti cegukannya, mesti dikagetin,” kata Ben lagi dengan sorot mata yang dibuat nakal.
“HHhhh… thanks, ya,” kata Lesie dengan tenang, meski di dalam hatinya berdebar-debar setelah mendengar pernyataan tadi yang dikiranya serius. “Ehmm... by the way soal tadi, aku ga bisa. Dia udah nyakitin perasaan aku, udah nyingkirin aku dengan seenaknya tanpa mikirin perasaanku, tanpa inget hari yang udah kita lewatin sama-sama.” Lesie berhenti dan mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha untuk menahan air matanya keluar, tetapi ketika tidak berhasil dan air matanya terjatuh, dengan cepat ia melapnya.
Ben membungkukkan badan ke arah Lesie, hendak berbicara, tetapi Lesie mengangkat kedua tangannya. “Gak apa-apa.
Jujur, aku baru kali ini ngerasain sakit hati sama cowok. Rendah banget, rasanya. Kayaknya aku cuman butuh waktu aja untuk sembuhin hati aku. Thanks, ya.”
Lesie beranjak pergi dan berjalan dengan cepat ke arah pintu keluar. Ben mematung melihat kepergian Lesie, menahan keinginannya yang ingin mengejar dan menenangkan wanita itu.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved