Bab 4 Tarlan
by Annisa Haroen
11:13,Dec 19,2020
Selama hidupnya, Lesie sudah menjalin hubungan dengan lelaki sebanyak tiga kali. Hubungan pertama menggantung, karena keduanya kehilangan kontak ketika berpisah setelah lulus SMA. Saat itu emosi keduanya memang masih sangat labil dan sedang menyukai sesuatu yang baru, sehingga ketika mendapati lingkungan baru di universitas, Lesie sudah tidak mempedulikan nasib cintanya dengan lelaki tersebut yang kabarnya sudah pindah ke Malaysia untuk melanjutkan studi.
Hubungan kedua terjalin dengan teman satu universitas dan hanya berlangsung selama dua bulan karena sang pria terlalu over protective sehingga Lesie memutuskan hubungannya secara sepihak. Yang dianggap Lesie, hal itu membuahkan karma yang dialaminya sekarang. Setelah kandasnya hubungan tersebut, Lesie memilih untuk menikmati kesendiriannya, dalam arti menikmati diidolakan oleh banyak lelaki. Dirinya merasa bebas melakukan apa pun tanpa harus wajib memberi kabar, meminta izin, atau menjaga perasaan seseorang. Hingga akhirnya Tarlan datang ke kehidupannya secara tiba-tiba.
Ketika itu, teman satu kelasnya yang bernama Irene memberikan secarik kertas ketika Lesie memasuki ruangan.
“Apaan, nih?” tanyanya.
“Nomor telpon cowok di fakultas hukum. Dia minta lo hubungin nomor telpon itu secepatnya,” jawab Irene.
Lesie tertawa geli dengan usaha seorang lelaki sok penting dan kegeeran karena berharap bahwa Lesie akan meneleponnya. Lelaki itu salah besar jika menyangka Lesie akan penasaran. Tetapi karena menghargai Irene, Lesie pun menerima kertas tersebut dan diam-diam membuangnya ke tong sampah. Lagi pula, Lesie menganggap cara lelaki itu sungguh old school sekali. Zaman sudah canggih, tapi mengajak kenalan seorang wanita dengan memberinya nomor telepon di secarik kertas. Apa dia tidak bisa mencari tahu identitasnya di media sosial, lalu mengirim inbox untuk berkenalan? Kenapa tidak sekalian saja mengirim surat lewat kantor pos!
Dua hari kemudian, ketika baru saja selesai menikmati makan malam, Lesie menerima telepon dari nomor yang tidak dikenal.
“Kok ga diangkat?” tanya Nonky yang waktu itu sudah satu kost dengan Lesie.
“Biasa. Nomor ga dikenal.”
“Kalo penting gimana?”
“Kalo penting, dia pasti ngechat.”
Beberapa menit kemudian, ponsel Lesie kembali berbunyi. Ada WhatsApp tanpa profile picture dari nomor yang baru saja meneleponnya.
Gue Tarlan. Karna dari kemaren nunggu telpon lo tapi ga ada, jadi malem ini gue mau telpon. Can i?
Lesie menyetujui lelaki itu untuk menelponnya malam hari. Ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkan olehnya.
Ketika malam itu Lesie berbicara dengannya, ia merasa cara bicara Tarlan sangat santai dan tidak ada tanda-tanda kegugupan seperti yang Lesie kira bahwa lelaki itu sangat pemalu. Hingga hari-hari berikutnya, Tarlan menelepon Lesie hampir setiap malam, membahas segala hal, yang membuat Lesie tidak sabar untuk melihat sosoknya. Karena saat itu, Tarlan sedang studi banding ke Nusa Kambangan, dan entah mengapa, hanya dengan mendengar suara Tarlan yang seksi dan confidence membuat Lesie menyukainya, juga seperti ada kekuatan magnet yang membuatnya merindukan Tarlan. Lesie sangat menyukai pria yang pintar dan selama berbicara dengan Tarlan, lelaki itu tampak mempunyai wawasan yang sangat luas dan berpikiran terbuka.
Lesie sudah menduga tampangnya yang tampan, meski suara bisa saja menipu. Sebenarnya bisa saja Lesie meminta foto Tarlan. Namun entah mengapa, dia ingin langsung melihatnya saja. Ia tidak mau berekspektasi tinggi, mengingat foto juga bisa menipu.
Sampai pada suatu hari, tepat kepulangan Tarlan yang berjanji untuk menemui Lesie, Lesie dihampiri oleh seorang pria ketika ia baru saja keluar dari kelas eksplorasi estetika. Sepertinya pria itu sudah menunggunya di depan kelas untuk memberikan satu buket bunga dengan kartu berupa ajakan makan siang di Bottle Cafe lima belas menit lagi. Perlahan Lesie melihat lelaki itu di balik bunganya. Tampangnya culun, rambutnya kelimis dan membawa tas ransel yang dekil. Ia bertanya-tanya, apakah mungkin itu Tarlan? Saking bingungnya, lidah Lesie seakan tertelan tidak bisa berkata apa pun.
Ketika melihat sosok di hadapannya tersenyum dan ngeloyor pergi, tanpa sadar, Lesie meremas bunganya lalu membuangnya ke tong sampah seperti ketika dia membuang kertas berisi nomor telepon lelaki itu. Lututnya terasa lemas menyadari bahwa malam-malam terakhirnya ia habiskan hanya dengan mendengar suara lelaki culun lewat telepon.
Dengan perasaan kesal, Lesie mendatangi kafe itu untuk memberi pelajaran karena merasa dirinya dipermainkan. Dia duduk di salah satu kursi kafe tersebut dengan gelisah hendak meminta lelaki-culun-sok-kepedean itu berhenti untuk meneleponnya, apalagi berharap untuk bisa makan siang satu meja dengannya.
Setelah menunggu beberapa menit, seseorang menarik kursi di hadapannya dengan bau parfum yang sangat maskulin, seksi dan langsung memanjakan indera penciuman Lesie. Orang itu memakai kemeja putih bersih, yang digulung sampai siku dengan rambut cepaknya yang rapi.
“Thanks udah dateng,” katanya sambil menyunggingkan senyum yang sempurna.
Lesie kembali mematung. Lelaki di hadapannya tidak culun, rambutnya tidak kelimis dan tentu saja tidak dekil. Sampai Lesie merasa heran karena selama ini tidak menyadari bahwa di kampusnya ada lelaki setampan dia. Perasaan kesal tadi seakan menguap digantikan dengan rasa kagum yang tak terhingga. Dan ia menyadari bahwa lelaki tadi hanya seorang kurir.
Sejak hari itu pun, Lesie menghabiskan hampir setiap hari bersama Tarlan.
***
Meski suhu cuaca pagi itu di bawah dua puluh derajat celcius, Lesie merasa gerah akibat terbangun dari jam empat subuh, memikirkan Tarlan yang menghilang dari semua media sosial-nya, dan mem-block Lesie di semua applikasi chatting. Hal itu membuatnya merasa terhina dan perjalanan mereka yang selama ini dijalani bersama, sama sekali tidak berharga di mata Tarlan.
Lesie menghubungi nomor Tarlan, tetapi tentu saja dia sudah mengganti nomornya. Sementara ia sendiri, jangankan membuang barang-barang pemberian Tarlan atau menghapus foto-fotonya, menyingkirkan bayangan Tarlan dari kepalanya pun terasa sulit.
Lesie berdiri di tengah ruangan kamarnya, berpikir apa yang akan dilakukan. Dia melihat cincin di jemarinya dengan mata berkaca-kaca akibat kesal, sedih dan sakit hati. Lalu dia melihat ke seluruh ruangan yang banyak ditempeli foto-fotonya bersama Tarlan, Parfum hadiah ulang tahun darinya tahun lalu, T-shirt Tarlan di sandaran kursi yang selalu Lesie pakai hampir setiap malam semenjak Tarlan pergi ke negeri selandia baru itu, dan sofa di depan televisi yang mengingatkan Lesie pada kemesraan mereka sambil bercerita dalam dekapan lelaki tersebut.
Lesie memejamkan mata, memikirkan mulai dari mana dia harus membuang semua untuk melupakan Tarlan. Begitu matanya terbuka kembali, Lesie melihat ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Ia meraih ponsel tersebut lalu memencet sebuah nomor.
“Halo, Gaby… besok gue mau konsul sama coach relationship elu itu, dong. Ok, ketemu di sana aja, ya. Bye.”
Hubungan kedua terjalin dengan teman satu universitas dan hanya berlangsung selama dua bulan karena sang pria terlalu over protective sehingga Lesie memutuskan hubungannya secara sepihak. Yang dianggap Lesie, hal itu membuahkan karma yang dialaminya sekarang. Setelah kandasnya hubungan tersebut, Lesie memilih untuk menikmati kesendiriannya, dalam arti menikmati diidolakan oleh banyak lelaki. Dirinya merasa bebas melakukan apa pun tanpa harus wajib memberi kabar, meminta izin, atau menjaga perasaan seseorang. Hingga akhirnya Tarlan datang ke kehidupannya secara tiba-tiba.
Ketika itu, teman satu kelasnya yang bernama Irene memberikan secarik kertas ketika Lesie memasuki ruangan.
“Apaan, nih?” tanyanya.
“Nomor telpon cowok di fakultas hukum. Dia minta lo hubungin nomor telpon itu secepatnya,” jawab Irene.
Lesie tertawa geli dengan usaha seorang lelaki sok penting dan kegeeran karena berharap bahwa Lesie akan meneleponnya. Lelaki itu salah besar jika menyangka Lesie akan penasaran. Tetapi karena menghargai Irene, Lesie pun menerima kertas tersebut dan diam-diam membuangnya ke tong sampah. Lagi pula, Lesie menganggap cara lelaki itu sungguh old school sekali. Zaman sudah canggih, tapi mengajak kenalan seorang wanita dengan memberinya nomor telepon di secarik kertas. Apa dia tidak bisa mencari tahu identitasnya di media sosial, lalu mengirim inbox untuk berkenalan? Kenapa tidak sekalian saja mengirim surat lewat kantor pos!
Dua hari kemudian, ketika baru saja selesai menikmati makan malam, Lesie menerima telepon dari nomor yang tidak dikenal.
“Kok ga diangkat?” tanya Nonky yang waktu itu sudah satu kost dengan Lesie.
“Biasa. Nomor ga dikenal.”
“Kalo penting gimana?”
“Kalo penting, dia pasti ngechat.”
Beberapa menit kemudian, ponsel Lesie kembali berbunyi. Ada WhatsApp tanpa profile picture dari nomor yang baru saja meneleponnya.
Gue Tarlan. Karna dari kemaren nunggu telpon lo tapi ga ada, jadi malem ini gue mau telpon. Can i?
Lesie menyetujui lelaki itu untuk menelponnya malam hari. Ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkan olehnya.
Ketika malam itu Lesie berbicara dengannya, ia merasa cara bicara Tarlan sangat santai dan tidak ada tanda-tanda kegugupan seperti yang Lesie kira bahwa lelaki itu sangat pemalu. Hingga hari-hari berikutnya, Tarlan menelepon Lesie hampir setiap malam, membahas segala hal, yang membuat Lesie tidak sabar untuk melihat sosoknya. Karena saat itu, Tarlan sedang studi banding ke Nusa Kambangan, dan entah mengapa, hanya dengan mendengar suara Tarlan yang seksi dan confidence membuat Lesie menyukainya, juga seperti ada kekuatan magnet yang membuatnya merindukan Tarlan. Lesie sangat menyukai pria yang pintar dan selama berbicara dengan Tarlan, lelaki itu tampak mempunyai wawasan yang sangat luas dan berpikiran terbuka.
Lesie sudah menduga tampangnya yang tampan, meski suara bisa saja menipu. Sebenarnya bisa saja Lesie meminta foto Tarlan. Namun entah mengapa, dia ingin langsung melihatnya saja. Ia tidak mau berekspektasi tinggi, mengingat foto juga bisa menipu.
Sampai pada suatu hari, tepat kepulangan Tarlan yang berjanji untuk menemui Lesie, Lesie dihampiri oleh seorang pria ketika ia baru saja keluar dari kelas eksplorasi estetika. Sepertinya pria itu sudah menunggunya di depan kelas untuk memberikan satu buket bunga dengan kartu berupa ajakan makan siang di Bottle Cafe lima belas menit lagi. Perlahan Lesie melihat lelaki itu di balik bunganya. Tampangnya culun, rambutnya kelimis dan membawa tas ransel yang dekil. Ia bertanya-tanya, apakah mungkin itu Tarlan? Saking bingungnya, lidah Lesie seakan tertelan tidak bisa berkata apa pun.
Ketika melihat sosok di hadapannya tersenyum dan ngeloyor pergi, tanpa sadar, Lesie meremas bunganya lalu membuangnya ke tong sampah seperti ketika dia membuang kertas berisi nomor telepon lelaki itu. Lututnya terasa lemas menyadari bahwa malam-malam terakhirnya ia habiskan hanya dengan mendengar suara lelaki culun lewat telepon.
Dengan perasaan kesal, Lesie mendatangi kafe itu untuk memberi pelajaran karena merasa dirinya dipermainkan. Dia duduk di salah satu kursi kafe tersebut dengan gelisah hendak meminta lelaki-culun-sok-kepedean itu berhenti untuk meneleponnya, apalagi berharap untuk bisa makan siang satu meja dengannya.
Setelah menunggu beberapa menit, seseorang menarik kursi di hadapannya dengan bau parfum yang sangat maskulin, seksi dan langsung memanjakan indera penciuman Lesie. Orang itu memakai kemeja putih bersih, yang digulung sampai siku dengan rambut cepaknya yang rapi.
“Thanks udah dateng,” katanya sambil menyunggingkan senyum yang sempurna.
Lesie kembali mematung. Lelaki di hadapannya tidak culun, rambutnya tidak kelimis dan tentu saja tidak dekil. Sampai Lesie merasa heran karena selama ini tidak menyadari bahwa di kampusnya ada lelaki setampan dia. Perasaan kesal tadi seakan menguap digantikan dengan rasa kagum yang tak terhingga. Dan ia menyadari bahwa lelaki tadi hanya seorang kurir.
Sejak hari itu pun, Lesie menghabiskan hampir setiap hari bersama Tarlan.
***
Meski suhu cuaca pagi itu di bawah dua puluh derajat celcius, Lesie merasa gerah akibat terbangun dari jam empat subuh, memikirkan Tarlan yang menghilang dari semua media sosial-nya, dan mem-block Lesie di semua applikasi chatting. Hal itu membuatnya merasa terhina dan perjalanan mereka yang selama ini dijalani bersama, sama sekali tidak berharga di mata Tarlan.
Lesie menghubungi nomor Tarlan, tetapi tentu saja dia sudah mengganti nomornya. Sementara ia sendiri, jangankan membuang barang-barang pemberian Tarlan atau menghapus foto-fotonya, menyingkirkan bayangan Tarlan dari kepalanya pun terasa sulit.
Lesie berdiri di tengah ruangan kamarnya, berpikir apa yang akan dilakukan. Dia melihat cincin di jemarinya dengan mata berkaca-kaca akibat kesal, sedih dan sakit hati. Lalu dia melihat ke seluruh ruangan yang banyak ditempeli foto-fotonya bersama Tarlan, Parfum hadiah ulang tahun darinya tahun lalu, T-shirt Tarlan di sandaran kursi yang selalu Lesie pakai hampir setiap malam semenjak Tarlan pergi ke negeri selandia baru itu, dan sofa di depan televisi yang mengingatkan Lesie pada kemesraan mereka sambil bercerita dalam dekapan lelaki tersebut.
Lesie memejamkan mata, memikirkan mulai dari mana dia harus membuang semua untuk melupakan Tarlan. Begitu matanya terbuka kembali, Lesie melihat ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Ia meraih ponsel tersebut lalu memencet sebuah nomor.
“Halo, Gaby… besok gue mau konsul sama coach relationship elu itu, dong. Ok, ketemu di sana aja, ya. Bye.”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved