Bab 9 09
by Zaidaa
17:34,Oct 04,2024
Hari ini rasanya yang datang tidak ada habisnya. Sereia mengambilkan pesanan pelanggan, melayani mereka, mendengarkan keluhan mereka, mencuci piring dan gelas, dan masih banyak lagi yang ia kerjakan. Dia terlihat seperti sedang dikejar-kejar.
El justru terlihat begitu santai. Beberapa pelanggan wanita seakan memakan waktunya. El pun tanpa merasa bersalah melayani mereka dengan senyuman di wajahnya yang tampan. Sesekali Sereia menatapnya bengis.
"Kau terlalu bar-bar," ketus El saat berada di dapur yang sama dengan Sereia.
El awalnya berpikir kalau rumah makan ini tidak begitu ramai karena sejak tadi dia tidak melihat banyak orang. Karena sepi makanya dia berpikir dia tidak akan diterima karena pasti Sereia saja sudah cukup. Tapi semakin siang semakin banyak yang datang.
Sereia tidak mengatakan apapun dan keluar dari dapur begitu saja. Raut wajah El yang semula biasa saja langsung berubah menjadi dingin. Ini pertama kalinya ada wanita yang tidak tertarik padanya. Semakin kesini Sereia semakin mengabaikannya seolah-olah mereka tidak pernah tidur bersama.
"Mbak, mas-mas yang tadi mana ya?"
Seorang wanita kira-kira berusia 30 tahun bertanya pada Sereia saat wanita itu menaruh makanan mereka di meja. Sereia tahu yang dimaksud oleh wanita ini pasti El. Dia terdiam selama beberapa saat.
"Mas yang mana mbak?" tanya Sereia ramah.
"Pelayan yang satunya. Nanti untuk minumannya tolong dia yang bawakan ya mbak!"
"...Baik mbak."
"Kuharap dia tidak memberikan banyak masalah lagi padaku," batin Sereia.
Dia yang dimaksud adalah El. Tepat saat Sereia berbalik, El muncul dari dalam dapur sambil membawa dua nampan masing-masing di kedua tangannya. Bibirnya tidak berhenti tersenyum. Sereia semakin jengkel karena merasa dengan senyuman itu, El menarik perhatian para wanitanya.
Sereia tidak tahu dia bisa bertahan bekerja bersama El untuk ke depannya atau tidak. Bahkan saat ini di ingin sekali pulang.
"Dia bekerja disini untuk mencari uang untuk menggenapi uang untuk bertunangan. Semoga setelah apa yang menjadi tujuannya tercapai, dia tidak lagi bekerja disini," batin Sereia.
Meskipun begitu, Sereia tidak yakin kalau El akan berhenti bekerja disini sehingga dia berencana mencari pekerjaan lain. Meskipun jika dia mendapatkannya sangat disayangkan karena dia sudah merasa nyaman disini dan sudah mengenal majikannya dengan baik begitu juga sebaliknya. Namun, demi tidak dekat El, apapun akan dia tempuh.
Sereia membuatkan minuman untuk para pelanggan.
Ketika El lewat di dekatnya, Sereia menoleh sekilas pada lelaki itu begitu juga dengan El. Seperti biasa, setiap kali mereka bertatapan, selain menunjukkan tatapan kebencian, lelaki itu akan menyeringai. Dan dia baru saja melakukannya.
"Aku sangat lelah," ucap El pada bu bos yang sedang memasak.
"Sebentar lagi waktunya istirahat!"
"Tidak sopan sekali dia mengeluh seperti itu ke majikanku," batin Sereia.
"Apakah aku boleh minum?" tanya El.
"Tentu saja. Ambil saja!"
Sereia mulai panik dan mengerjakan apa yang sedang ia kerjakan buru-buru. Namun, terlambat. El dalam waktu singkat sudah berdiri di dekatnya dan dia merasakan lelaki itu menatapnya dalam-dalam.
"Aku haus. Buatkan aku es!" titah El pada Sereia.
"Kau masih memilki dua tangan yang menganggur. Dan wanita di meja nomor empat mengatakan padaku supaya kau yang membawakan minuman pesanan mereka!" kata Sereia tanpa melihat El sama sekali.
El tidak menanggapi apa-apa tapi tetap memperhatikan Sereia dan Sereia menyadari itu sehingga dia merasa tidak nyaman.
“Haha. Seperti tidak pernah tidur bersama saja.”
Kalimat singkat disertai tawa kecil itu seketika membuat Sereia langsung menghentikan apa yang sedang ia lakukan.
El mengambil pesanan minuman meja nomor 4 dan meninggalkan Sereia yang mematung.
Sereia terlihat sadar kembali dan menghela nafas kasar. Biasanya dia bekerja dengan semangat tapi hari ini baru setengah hari saja rasanya sudah sangat melelahkan. Jika ke depannya seperti ini terus, dia curiga tidak akan sanggup.
"Aku sudah memberikan apa yang dia inginkan dan dia juga sudah membayarku. Urusan kita selesai sampai disitu," batin Sereia.
"Seharusnya," bisik Sereia.
Sejak saat itu, El tidak pernah berkomunikasi dengan Sereia. Jika ada pekerjaan yang mengharuskan mereka bicara, mereka lebih memilih diam. Pemilik rumah makan tersebut kerap memperhatikan keduanya diam-diam.
Sereia melihat ke jam tangannya. Pukul tiga sore. Sudah waktunya untuk pulang. Setelah beres-beres, dia pun pergi ke ruang ganti untuk melepaskan celemeknya. Setelah itu, dia keluar dan bertemu dengan bosnya yang sedang mengobrol dengan El. Dia tidak bermaksud memotong obrolan mereka tapi dia ingin pulang lebih dulu daripada El.
"Bu, aku pulang sekarang."
Pemilik rumah makan itu menatap Sereia tapi tidak dengan El.
"Baiklah. El, bagaimana kalau kamu mengantarkan Sereia pula-"
"Tidak perlu!" potong Sereia pada ucapan majikannya. "Aku bisa pulang sendiri."
"Tetapi El bilang arah pulang kalian sama."
"Ya tetapi aku tidak ingin mengantarkan perempuan yang menolak untuk kuantarkan. Sudah biarkan saja bos," sahut El.
Sereia berlalu begitu saja karena tidak mau berurusan dengan El lebih lama lagi. Pada saat yang sama, sebuah motor berhenti di depan rumah makan. Dia adalah Raden, teman kerja Sereia yang bertugas sore sampai malam. Dia turun dari motornya dengan senyum di bibirnya.
"Mau pulang kah?" tanya Raden.
"Ya," jawab Sereia.
Raden berusia dua tahun lebih tua dari Sereia. Dia adalah keponakannya pemilik rumah makan ini. Saat kedua mata lelaki itu beralih ke dalam, matanya langsung menyipit sementara bibirnya berhenti tersenyum.
Raden bertanya-tanya siapa yang sedang mengobrol dengan budhe nya? Mengapa lelaki itu mengenakan celemek yang sama dengan dia dan Sereia?
Raden mendekat ke arah mereka. "Siapa budhe?"
"Salam kenal. Aku Elias. Pekerja baru disini," kata El ramah sembari mengulurkan tangan kanannya mengajak Raden bersalaman. Dia enggan melakukan ini jika majikannya tidak memberitahunya bahwa Raden adalah keponakannya.
"Pekerja baru?" ulang Raden. Dia tidak menerima uluran tangan El tetapi justru beralih menatap budhenya seolah-olah meminta jawaban atas apa yang ia dengar baru saja.
"Karena alasan tertentu dia mendaftar bekerja disini dan aku menerimanya," jawab wanita itu.
"Alasan tertentu seperti apa?" tanya Raden melirik El.
El bangkit dari kursinya kemudian menjauh sekitar dua meter dari tempat Raden dan majikannya kemudian melepaskan celemeknya. Dia merasa Raden tidak menyukainya dan memberikan kesan yang buruk sehingga dia sudah tidak memiliki keinginan untuk bersalaman dengannya apalagi menjalin hubungan yang baik dengannya. Dilihat dari gerak-geriknya tadi ketika menyapa Sereia sudah bisa ditebak.
"Seperti-"
"Seperti mendekati Sereia?" potong Raden.
El tersenyum ketika mendengarnya. Dia bertanya-tanya apakah Raden pernah tidur dengan Sereia sama sepertinya kemudian merasakan ada sesuatu yang mengganggunya?
"Aku benci perasaan ini tapi memikirkan ada orang yang juga merasakan apa yang kurasakan membuatku tidak rela," batin El.
El justru terlihat begitu santai. Beberapa pelanggan wanita seakan memakan waktunya. El pun tanpa merasa bersalah melayani mereka dengan senyuman di wajahnya yang tampan. Sesekali Sereia menatapnya bengis.
"Kau terlalu bar-bar," ketus El saat berada di dapur yang sama dengan Sereia.
El awalnya berpikir kalau rumah makan ini tidak begitu ramai karena sejak tadi dia tidak melihat banyak orang. Karena sepi makanya dia berpikir dia tidak akan diterima karena pasti Sereia saja sudah cukup. Tapi semakin siang semakin banyak yang datang.
Sereia tidak mengatakan apapun dan keluar dari dapur begitu saja. Raut wajah El yang semula biasa saja langsung berubah menjadi dingin. Ini pertama kalinya ada wanita yang tidak tertarik padanya. Semakin kesini Sereia semakin mengabaikannya seolah-olah mereka tidak pernah tidur bersama.
"Mbak, mas-mas yang tadi mana ya?"
Seorang wanita kira-kira berusia 30 tahun bertanya pada Sereia saat wanita itu menaruh makanan mereka di meja. Sereia tahu yang dimaksud oleh wanita ini pasti El. Dia terdiam selama beberapa saat.
"Mas yang mana mbak?" tanya Sereia ramah.
"Pelayan yang satunya. Nanti untuk minumannya tolong dia yang bawakan ya mbak!"
"...Baik mbak."
"Kuharap dia tidak memberikan banyak masalah lagi padaku," batin Sereia.
Dia yang dimaksud adalah El. Tepat saat Sereia berbalik, El muncul dari dalam dapur sambil membawa dua nampan masing-masing di kedua tangannya. Bibirnya tidak berhenti tersenyum. Sereia semakin jengkel karena merasa dengan senyuman itu, El menarik perhatian para wanitanya.
Sereia tidak tahu dia bisa bertahan bekerja bersama El untuk ke depannya atau tidak. Bahkan saat ini di ingin sekali pulang.
"Dia bekerja disini untuk mencari uang untuk menggenapi uang untuk bertunangan. Semoga setelah apa yang menjadi tujuannya tercapai, dia tidak lagi bekerja disini," batin Sereia.
Meskipun begitu, Sereia tidak yakin kalau El akan berhenti bekerja disini sehingga dia berencana mencari pekerjaan lain. Meskipun jika dia mendapatkannya sangat disayangkan karena dia sudah merasa nyaman disini dan sudah mengenal majikannya dengan baik begitu juga sebaliknya. Namun, demi tidak dekat El, apapun akan dia tempuh.
Sereia membuatkan minuman untuk para pelanggan.
Ketika El lewat di dekatnya, Sereia menoleh sekilas pada lelaki itu begitu juga dengan El. Seperti biasa, setiap kali mereka bertatapan, selain menunjukkan tatapan kebencian, lelaki itu akan menyeringai. Dan dia baru saja melakukannya.
"Aku sangat lelah," ucap El pada bu bos yang sedang memasak.
"Sebentar lagi waktunya istirahat!"
"Tidak sopan sekali dia mengeluh seperti itu ke majikanku," batin Sereia.
"Apakah aku boleh minum?" tanya El.
"Tentu saja. Ambil saja!"
Sereia mulai panik dan mengerjakan apa yang sedang ia kerjakan buru-buru. Namun, terlambat. El dalam waktu singkat sudah berdiri di dekatnya dan dia merasakan lelaki itu menatapnya dalam-dalam.
"Aku haus. Buatkan aku es!" titah El pada Sereia.
"Kau masih memilki dua tangan yang menganggur. Dan wanita di meja nomor empat mengatakan padaku supaya kau yang membawakan minuman pesanan mereka!" kata Sereia tanpa melihat El sama sekali.
El tidak menanggapi apa-apa tapi tetap memperhatikan Sereia dan Sereia menyadari itu sehingga dia merasa tidak nyaman.
“Haha. Seperti tidak pernah tidur bersama saja.”
Kalimat singkat disertai tawa kecil itu seketika membuat Sereia langsung menghentikan apa yang sedang ia lakukan.
El mengambil pesanan minuman meja nomor 4 dan meninggalkan Sereia yang mematung.
Sereia terlihat sadar kembali dan menghela nafas kasar. Biasanya dia bekerja dengan semangat tapi hari ini baru setengah hari saja rasanya sudah sangat melelahkan. Jika ke depannya seperti ini terus, dia curiga tidak akan sanggup.
"Aku sudah memberikan apa yang dia inginkan dan dia juga sudah membayarku. Urusan kita selesai sampai disitu," batin Sereia.
"Seharusnya," bisik Sereia.
Sejak saat itu, El tidak pernah berkomunikasi dengan Sereia. Jika ada pekerjaan yang mengharuskan mereka bicara, mereka lebih memilih diam. Pemilik rumah makan tersebut kerap memperhatikan keduanya diam-diam.
Sereia melihat ke jam tangannya. Pukul tiga sore. Sudah waktunya untuk pulang. Setelah beres-beres, dia pun pergi ke ruang ganti untuk melepaskan celemeknya. Setelah itu, dia keluar dan bertemu dengan bosnya yang sedang mengobrol dengan El. Dia tidak bermaksud memotong obrolan mereka tapi dia ingin pulang lebih dulu daripada El.
"Bu, aku pulang sekarang."
Pemilik rumah makan itu menatap Sereia tapi tidak dengan El.
"Baiklah. El, bagaimana kalau kamu mengantarkan Sereia pula-"
"Tidak perlu!" potong Sereia pada ucapan majikannya. "Aku bisa pulang sendiri."
"Tetapi El bilang arah pulang kalian sama."
"Ya tetapi aku tidak ingin mengantarkan perempuan yang menolak untuk kuantarkan. Sudah biarkan saja bos," sahut El.
Sereia berlalu begitu saja karena tidak mau berurusan dengan El lebih lama lagi. Pada saat yang sama, sebuah motor berhenti di depan rumah makan. Dia adalah Raden, teman kerja Sereia yang bertugas sore sampai malam. Dia turun dari motornya dengan senyum di bibirnya.
"Mau pulang kah?" tanya Raden.
"Ya," jawab Sereia.
Raden berusia dua tahun lebih tua dari Sereia. Dia adalah keponakannya pemilik rumah makan ini. Saat kedua mata lelaki itu beralih ke dalam, matanya langsung menyipit sementara bibirnya berhenti tersenyum.
Raden bertanya-tanya siapa yang sedang mengobrol dengan budhe nya? Mengapa lelaki itu mengenakan celemek yang sama dengan dia dan Sereia?
Raden mendekat ke arah mereka. "Siapa budhe?"
"Salam kenal. Aku Elias. Pekerja baru disini," kata El ramah sembari mengulurkan tangan kanannya mengajak Raden bersalaman. Dia enggan melakukan ini jika majikannya tidak memberitahunya bahwa Raden adalah keponakannya.
"Pekerja baru?" ulang Raden. Dia tidak menerima uluran tangan El tetapi justru beralih menatap budhenya seolah-olah meminta jawaban atas apa yang ia dengar baru saja.
"Karena alasan tertentu dia mendaftar bekerja disini dan aku menerimanya," jawab wanita itu.
"Alasan tertentu seperti apa?" tanya Raden melirik El.
El bangkit dari kursinya kemudian menjauh sekitar dua meter dari tempat Raden dan majikannya kemudian melepaskan celemeknya. Dia merasa Raden tidak menyukainya dan memberikan kesan yang buruk sehingga dia sudah tidak memiliki keinginan untuk bersalaman dengannya apalagi menjalin hubungan yang baik dengannya. Dilihat dari gerak-geriknya tadi ketika menyapa Sereia sudah bisa ditebak.
"Seperti-"
"Seperti mendekati Sereia?" potong Raden.
El tersenyum ketika mendengarnya. Dia bertanya-tanya apakah Raden pernah tidur dengan Sereia sama sepertinya kemudian merasakan ada sesuatu yang mengganggunya?
"Aku benci perasaan ini tapi memikirkan ada orang yang juga merasakan apa yang kurasakan membuatku tidak rela," batin El.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved