Bab 10
by AM.assekop
10:55,Oct 30,2023
Butuh waktu perjalanan selama setengah hari untuk bisa sampai di pasar. Selama dalam perjalanan, ada banyak hal yang mereka bahas. Untuk menghilangkan bayang-bayang dua mayat barusan, Brockley coba menghibur Riley yang masih saja keringat dingin tubuhnya.
“Aku harap di pasar nanti ada yang menjual sayap. Hm, dalam karya penyair ternama, katanya bidadari itu bersayap.” Kemudian dia memperhatikan sekujur tubuh Riley dengan mimik wajah yang menghibur. “Riley, mana sayapmu? Apa transaparan?” Brockley mengerutkan alisnya sambil menyunggingkan senyum halus.
Wajah yang tegang itu lambat laun mulai mendatar, tanpa ekspresi. Ketika Brokley terus mencecar dengan berbagai gombalan, akhirnya senyum manis pun terbit dari wajah manis Riley. Tapi dia malu memperlihatkan senyumnya. Terpaksa dia membuang pandangannya ke arah pepohonan rimbun. Tanpa berkata apa-apa.
Deg!
Brockley berusaha bijak. “Kepahitan hidup mengajarkan kita akan banyak hal. Akan tetapi, kenikmatan hidup akan mengajarkan kita tentang pahitnya kehidupan.”
Riley terkesima.
Selama hampir dua puluh tahun ini Brockley hanya belajar dari tiga orang saja, dan selebihnya banyak belajar dari buku. Kendati demikian, dia berpikir sudah layaknya seperti filsuf Yunani Kuno. Statement sederhana darinya begitu mendalam.
Brockley tersenyum tipis dan melanjutkan, “Tidak bisa dijelaskan dengan detail karena ketika kita tahu apa makna omongan tersebut, berarti kita sudah cukup mengerti apa arti kehidupan.”
Semakin lama, Riley semakin takjub dibuatnya. ‘Apakah dia anak kecil yang aku ajarkan membaca dan berhitung waktu itu?’ Riley menghela napas pendek seraya terus melangkahkan kakinya.
Ketika hari hampir gelap, mereka pun tiba di pasar. Sebagian besar toko telah tutup. Dengan cepat mereka berlarian ke toko yang masih buka, khawatir nanti tokonya akan tutup pula.
“Kita beli roti kering saja yang banyak!” cetus Brockley sambil terus melangkah panjang di jalanan pasar yang lumayan lengang.
“Kita juga perlu susu dan buah,” timpal Riley.
Mereka berdua pun berindah dari satu toko ke toko lain. Setelah cukup lama berbelanja yang menghabiskan uang dua puluh keping perak, akhirnya mereka bermaksud keluar dari pasar tersebut.
Namun, belum juga berada di gerbang pasar, tiba-tiba Brockley melihat ada dua orang yang sedang dizalimi. Seorang pria payuh baya yang sangat kurus dan anaknya yang kakinya pincang sedang dimaki oleh tiga orang penjaga pasar.
“Jangan urusi mereka kalau kita tetap mau meneruskan perjalanan, Brockley!”
Tidak bisa, Brockley tidak bisa bergeming saja di saat melihat orang ada orang lemah yang disakiti. Dia banyak belajar tentang kemanusiaan dan etika dari para cerdas cendikia. Jika dia tidak mengamalkan ilmunya, untuk apa dia belajar?
“Ilmu bukan sekadar teoritis, tapi harus praktis,” ujar Brockley sambil meletakkan barang bawaan dan belanja mereka barusan di atas batu. “Riley, kau tunggulah di sini saja.”
Meskipun Riley mencegahnya, Brockley tetap pada pendiriannya.
“Bapak dan anaknya itu kenapa?” tanya Brockley sambil memisahkan mereka agar tidak terus diganggu oleh tiga lelaki itu.
Lelaki berkumis tersenyum remeh. “Anak muda, kami baru kali ini melihatmu. Kau sangat asing. Kalau urusanmu di pasar ini sudah selesai, silakan kau pergi!”
Temannya menunjuk-nunjuk pengemis itu. “Kau lelaki kurus kering! Walaupun orang satu pasar ini memberimu makan, kau tidak akan pernah gemuk.”
Si kumis menendang kaki anak kecil itu.
Bugh!
“Dasar anak cacat!” Kemudian dia memperagakan cara berjalan anak kecil itu, dengan sengaja membuat jalannya terseok-seok seperti orang cacat.
Mereka bertiga tertawa. “HAHAHA.”
Satu orang lagi sedang duduk bersandar seperti bos. Dan memang dialah bos yang menjaga keamanan pasar ini. Mereka bertiga sudah cukup sering menyuruh bapak anak itu untuk tidak mengemis di sekitar pasar tapi masih saja berkeliaran.
Si bos duduk dengan gagahnya tanpa berkata apa-apa.
“Mending kalian mati saja!”
“Daripada hidup susah seperti ini!” sembur si kumis.
Brockley beringas. Hatinya terusik. Dia benci terhadap orang yang lemah dan bodoh, namun dia jauh lebih benci terhadap orang zalim yang angkuh. Dia tidak suka dengan sebuah kezaliman. Maka dari itu, sesuai dengan apa yang dia pelajari selama ini, bahwa sudah seyogyanya kezaliman harus ditumpaskan.
“Jangan usik dua orang ini!” dengus Brockley murka. “Kalau kalian tidak mau memberi mereka uang, ya sudah. Apa urusannya dengan kalian? Lagi pula, apa mereka mencuri?”
Si bos berdiri dan berkata dengan lantang, “Mereka berdua ini sampah tidak berguna. Mereka hanya merusak pemandangan. Cukup! Kami tidak ada urusan denganmu, Anak muda. Pergilah dari sini! Kami hanya memberi mereka pelajaran berharga.”
Tidak seperti pada scene sebelumnya, kali ini Brockley tidak akan main fisik apalagi sampai memisahkan kepala orang dari badannya. Namun, kali ini dia hanya akan memberikan ceramah kepada mereka semua, baik kepada pelaku maupun kepada korban.
Sebelumnya, dia menyeret bapak dan anak itu menjauh dari para penjaga pasar, lalu memberi mereka uang lima keping perak, nominal yang sangat besar. Kemudian dia berkata bijak:
“Jangan pernah mengharap rasa kasihan dari orang lain karena sebagian besar mereka tidak pedulii, dan sebagian keci lagi malah mencemooh. Apa kalian marah ketika dicacimaki kurus dan cacat?”
Dua orang itu mengangguk berbarengan.
“Ingatlah, kita tidak akan bisa mencegah dan mengubah omongan manusia. Jika mereka mencemooh bajumu yang robek, ubahlah bajumu dengan yang tidak robek, karena yang salah adalah bajumu. Namun, sebagaimana pun kita memperbagus diri, kita pasti akan selalu ada celah di mata manusia. Mereka akan mencari kekurangan dan titik lemah kita, lalu mencemoohnya. Oleh karena itu, berhenti menganggap semua manusia itu baik dan berhentilah mengharapkan rasa belas kasih dari siapa pun.”
Setelah menyerahkan lima keping perak itu, dia berkata lagi sebelum beranjak, “Jadikan itu modal usaha. Belilah sesuatu lalu berdaganglah di pasar!”
Brockley melangkah cepat ke para penjaga keamanan lalu memberikan mereka uang lima keping perak juga. “Aku tahunya mereka akan aman selamanya di sini. Mulai besok, mereka adalah pedagang, bukan pengemis.”
Si bos terperanjat. “Anak muda, kalau kau memberikan uang sebanyak ini pada kami secara cuma-cuma, berarti kau adalah orang kaya. Maafkan kami kalau kami salah.” Lelaki berbadan besar itu agak menundukkan kepalanya.
Tidak akan ada perkelahian kali ini. Lagi pula, anggaplah ini sedekah setelah barusan mengalahkan dua penjahat barusan.
Sebelum meninggalkan mereka, Brockley berkata dengan bijak, “Cuek adalah simpati yang paling kecil. Lebih baik kalian tidak peduli daripada harus menghina dan menertawakan mereka. Empati yang terbesar adalah ketulusan dari hati kalian dengan cara membantu mereka dan tidak pula menyakiti perasaan mereka.”
Sebuah wejangan di ujung senja.
Matahari semakin menukik ke bumi bagian barat.
Hingga temaram malam kian menyergap.
“Aku harap di pasar nanti ada yang menjual sayap. Hm, dalam karya penyair ternama, katanya bidadari itu bersayap.” Kemudian dia memperhatikan sekujur tubuh Riley dengan mimik wajah yang menghibur. “Riley, mana sayapmu? Apa transaparan?” Brockley mengerutkan alisnya sambil menyunggingkan senyum halus.
Wajah yang tegang itu lambat laun mulai mendatar, tanpa ekspresi. Ketika Brokley terus mencecar dengan berbagai gombalan, akhirnya senyum manis pun terbit dari wajah manis Riley. Tapi dia malu memperlihatkan senyumnya. Terpaksa dia membuang pandangannya ke arah pepohonan rimbun. Tanpa berkata apa-apa.
Deg!
Brockley berusaha bijak. “Kepahitan hidup mengajarkan kita akan banyak hal. Akan tetapi, kenikmatan hidup akan mengajarkan kita tentang pahitnya kehidupan.”
Riley terkesima.
Selama hampir dua puluh tahun ini Brockley hanya belajar dari tiga orang saja, dan selebihnya banyak belajar dari buku. Kendati demikian, dia berpikir sudah layaknya seperti filsuf Yunani Kuno. Statement sederhana darinya begitu mendalam.
Brockley tersenyum tipis dan melanjutkan, “Tidak bisa dijelaskan dengan detail karena ketika kita tahu apa makna omongan tersebut, berarti kita sudah cukup mengerti apa arti kehidupan.”
Semakin lama, Riley semakin takjub dibuatnya. ‘Apakah dia anak kecil yang aku ajarkan membaca dan berhitung waktu itu?’ Riley menghela napas pendek seraya terus melangkahkan kakinya.
Ketika hari hampir gelap, mereka pun tiba di pasar. Sebagian besar toko telah tutup. Dengan cepat mereka berlarian ke toko yang masih buka, khawatir nanti tokonya akan tutup pula.
“Kita beli roti kering saja yang banyak!” cetus Brockley sambil terus melangkah panjang di jalanan pasar yang lumayan lengang.
“Kita juga perlu susu dan buah,” timpal Riley.
Mereka berdua pun berindah dari satu toko ke toko lain. Setelah cukup lama berbelanja yang menghabiskan uang dua puluh keping perak, akhirnya mereka bermaksud keluar dari pasar tersebut.
Namun, belum juga berada di gerbang pasar, tiba-tiba Brockley melihat ada dua orang yang sedang dizalimi. Seorang pria payuh baya yang sangat kurus dan anaknya yang kakinya pincang sedang dimaki oleh tiga orang penjaga pasar.
“Jangan urusi mereka kalau kita tetap mau meneruskan perjalanan, Brockley!”
Tidak bisa, Brockley tidak bisa bergeming saja di saat melihat orang ada orang lemah yang disakiti. Dia banyak belajar tentang kemanusiaan dan etika dari para cerdas cendikia. Jika dia tidak mengamalkan ilmunya, untuk apa dia belajar?
“Ilmu bukan sekadar teoritis, tapi harus praktis,” ujar Brockley sambil meletakkan barang bawaan dan belanja mereka barusan di atas batu. “Riley, kau tunggulah di sini saja.”
Meskipun Riley mencegahnya, Brockley tetap pada pendiriannya.
“Bapak dan anaknya itu kenapa?” tanya Brockley sambil memisahkan mereka agar tidak terus diganggu oleh tiga lelaki itu.
Lelaki berkumis tersenyum remeh. “Anak muda, kami baru kali ini melihatmu. Kau sangat asing. Kalau urusanmu di pasar ini sudah selesai, silakan kau pergi!”
Temannya menunjuk-nunjuk pengemis itu. “Kau lelaki kurus kering! Walaupun orang satu pasar ini memberimu makan, kau tidak akan pernah gemuk.”
Si kumis menendang kaki anak kecil itu.
Bugh!
“Dasar anak cacat!” Kemudian dia memperagakan cara berjalan anak kecil itu, dengan sengaja membuat jalannya terseok-seok seperti orang cacat.
Mereka bertiga tertawa. “HAHAHA.”
Satu orang lagi sedang duduk bersandar seperti bos. Dan memang dialah bos yang menjaga keamanan pasar ini. Mereka bertiga sudah cukup sering menyuruh bapak anak itu untuk tidak mengemis di sekitar pasar tapi masih saja berkeliaran.
Si bos duduk dengan gagahnya tanpa berkata apa-apa.
“Mending kalian mati saja!”
“Daripada hidup susah seperti ini!” sembur si kumis.
Brockley beringas. Hatinya terusik. Dia benci terhadap orang yang lemah dan bodoh, namun dia jauh lebih benci terhadap orang zalim yang angkuh. Dia tidak suka dengan sebuah kezaliman. Maka dari itu, sesuai dengan apa yang dia pelajari selama ini, bahwa sudah seyogyanya kezaliman harus ditumpaskan.
“Jangan usik dua orang ini!” dengus Brockley murka. “Kalau kalian tidak mau memberi mereka uang, ya sudah. Apa urusannya dengan kalian? Lagi pula, apa mereka mencuri?”
Si bos berdiri dan berkata dengan lantang, “Mereka berdua ini sampah tidak berguna. Mereka hanya merusak pemandangan. Cukup! Kami tidak ada urusan denganmu, Anak muda. Pergilah dari sini! Kami hanya memberi mereka pelajaran berharga.”
Tidak seperti pada scene sebelumnya, kali ini Brockley tidak akan main fisik apalagi sampai memisahkan kepala orang dari badannya. Namun, kali ini dia hanya akan memberikan ceramah kepada mereka semua, baik kepada pelaku maupun kepada korban.
Sebelumnya, dia menyeret bapak dan anak itu menjauh dari para penjaga pasar, lalu memberi mereka uang lima keping perak, nominal yang sangat besar. Kemudian dia berkata bijak:
“Jangan pernah mengharap rasa kasihan dari orang lain karena sebagian besar mereka tidak pedulii, dan sebagian keci lagi malah mencemooh. Apa kalian marah ketika dicacimaki kurus dan cacat?”
Dua orang itu mengangguk berbarengan.
“Ingatlah, kita tidak akan bisa mencegah dan mengubah omongan manusia. Jika mereka mencemooh bajumu yang robek, ubahlah bajumu dengan yang tidak robek, karena yang salah adalah bajumu. Namun, sebagaimana pun kita memperbagus diri, kita pasti akan selalu ada celah di mata manusia. Mereka akan mencari kekurangan dan titik lemah kita, lalu mencemoohnya. Oleh karena itu, berhenti menganggap semua manusia itu baik dan berhentilah mengharapkan rasa belas kasih dari siapa pun.”
Setelah menyerahkan lima keping perak itu, dia berkata lagi sebelum beranjak, “Jadikan itu modal usaha. Belilah sesuatu lalu berdaganglah di pasar!”
Brockley melangkah cepat ke para penjaga keamanan lalu memberikan mereka uang lima keping perak juga. “Aku tahunya mereka akan aman selamanya di sini. Mulai besok, mereka adalah pedagang, bukan pengemis.”
Si bos terperanjat. “Anak muda, kalau kau memberikan uang sebanyak ini pada kami secara cuma-cuma, berarti kau adalah orang kaya. Maafkan kami kalau kami salah.” Lelaki berbadan besar itu agak menundukkan kepalanya.
Tidak akan ada perkelahian kali ini. Lagi pula, anggaplah ini sedekah setelah barusan mengalahkan dua penjahat barusan.
Sebelum meninggalkan mereka, Brockley berkata dengan bijak, “Cuek adalah simpati yang paling kecil. Lebih baik kalian tidak peduli daripada harus menghina dan menertawakan mereka. Empati yang terbesar adalah ketulusan dari hati kalian dengan cara membantu mereka dan tidak pula menyakiti perasaan mereka.”
Sebuah wejangan di ujung senja.
Matahari semakin menukik ke bumi bagian barat.
Hingga temaram malam kian menyergap.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved