Bab 7
by AM.assekop
10:54,Oct 30,2023
Jika mereka berdua pulang dengan menggunakan kereta kuda seperti pada saat pergi, mereka hanya butuh waktu sekitar lima sampai tujuh hari. Sayangnya, tiga tahun lalu kuda tersebut mati meskipun Brockley sangat sering memacunya. Sementara perjalanan dengan berjalan kaki bisa saja menempuh waktu sampai dua puluh hari, bahkan lebih dari itu.
Mengingat sosok Paman Herbert, lantas Brockley pun berkata dengan bijak. “Semenjak menghilangkan prasangka baik terhadap manusia, saat itulah aku mengerti arti kehidupan. Selama ini aku terjebak dalam kebaikan yang keliru. Orang yang aku anggap baik, sebenarnya tidak sepenuhnya baik.”
Karena sepakat, Riley hanya menganggukkan kepala dengan tersenyum tipis. Tidak disangka hanya dengan satu kejadian saja, Brockley bisa mengambil pelajaran berharga dari situ. Riley terpukau akan kalimat yang baru saja terucap itu.
Kemudian Brockley menegaskan pandangannya dan melanjutkan dengan nada yang tegas dan menggetarkan, “Selagi dia berasal dari tanah, dia tetap cenderung bersikap baik atau buruk. Oleh karena itu, jika kau mencari orang yang sangat tulus, berarti kau sudah gila.”
Riley terpana dalam diam. Tak disangka bayi yang dulu dalam pelukannya kini bisa sebijak itu. Padahal, Brockley tidak bertemu manusia selain dari dirinya, Herbert, Yara, dan Lothar selama hidup. Namun, Brockley seakan melampaui akan banyak hal di dunia ini.
“Untuk menumbuhkan ketulusan, mulailah dari diri sendiri. Jangan pernah membohongi diri sendiri, sebab jika sudah membohongi diri sendiri, tentu kita akan lebih enteng untuk membohongi orang lain, sebab semua kehohongan pasti akan mengikis ketulusan,” pungkas Brockley sambil menghela napas panjang.
Riley Royse tersenyum kagum. Entah dari mana Brockley mendapatkan semua kalimat bijak itu. Yang pasti, meskipun saat ini Brockley sudah jauh lebih cerdas dan dewasa, namun bagi Riley, Brockley tetaplah anak yang harus selalu dia jaga sampai tiba kembali di rumah.
Di pundak Brockley cukup banyak barang-barang yang mereka bawa. Dia juga menenteng satu kantong yang berisi makanan. Namun, dia tetap kuat dan tidak kenal lelah meskipun memaksakan diri untuk membawa semuanya.
Brockley begitu tampan dan mirip wajah ayahnya. Riley lantas terkenang dengan sosok Avraam. “Sebelas dua belas dengan ayahmu. Badan juga sama. Aku tidak bisa membedakan antara kau dan ayahmu sewaktu muda.”
Brockley menyugar rambutnya yang panjang ke belakang hingga belahan di tengahnya kian tampak. “Apakah rambut kami juga sama?” tanyanya.
“Ya, sama persis. Ketika kau baru saja lahir, dia sangat senang menyambutnya. Beliau terpaksa mengasingkanmu karena khawatir orang Kerajaan Omra menang perang lalu berbuat brutal di desa sehingga keselamatanmu terancam. Ada banyak warga desa yang pergi untuk menyelamatkan diri, terutama anak laki-laki, seperti dirimu.”
Brockley mengangguk penuh arti. “Jika aku mirip dengan mendiang ayahku, apa kau mirip dengan ibuku?” tanyanya sambil menyunggingkan senyum halus di salah satu sudut bibirnya.
Agak lama Riley berpikir. Meskipun sama-sama cantik seperti wajah perempuan Italia, dia menjawab dengan rendah hati, “Ibumu sangat cantik seperti bidadari. Tidak seperti aku. Lihatlah, wajahku hitam dan kusam.”
Memang benar, tapi tidak sepenuhnya benar, sebab Riley tidak mendapatkan perawatan wajah dan tubuh seperti wanita umumnya di desa, seperti Megan. Jadi wajar kalau kecantikan Riley sedikit berkurang. Akan tetapi, sebenarnya perempuan berkulit putih itu mempunyai pesona luar biasa di usianya yang sangat dewasa ini.
Brockley menyadarinya.
“Kakak adalah perempuan tercantik setelah ibu!” seru Brockley lalu melirik ke samping.
Mendapat pujian itu, Riley jadi tersenyum malu. Pipinya yang kecoklatan perlahan memerah. “Kau aneh, Brockley. Kau kan belum pernah bertemu ibumu.”
“Barusan Kakak sendiri yang bilang kalau ibuku sangat cantik seperti bidadari.”
Riley tak bisa berkelit. Tapi dia mencobanya. “Masih banyak perempuan lain di dunia ini, Brockley.”
“Tidak ada yang seperti Ibu, Kak Riley dan Bibi Yara. Kalian bertiga adalah wanita tercantik dan terbaik.”
Jika lelaki ini masih kecil atau remaja, Riley pasti sudah mencubit dan menciuminya karena gemasnya, namun Brockley sudah sangat besar, bahkan Riley agak ngeri kalau menyentuh lengan besar dan berotot itu.
Ketika Riley melihat Brockley latihan pedang beberapa waktu lalu, dia sangat ngeri dengan kekuatan yang dimiliki oleh Brockley. Dia bahkan mengakui bahwa Brockley jauh lebih kuat dari pada Herbert maupun Avraam. Riley merasa aman jika bepergian seperti ini bersama Brockley. Tubuh yang kekar dan wajah yang garang itu bisa membuat mental lawan menjadi ciut.
“Sekarang kau sudah banyak tahu akan banyak hal.”
Brockley menggeleng keras. “Masih banyak hal belum aku ketahui. Justru, aku merasa sangat bodoh. Dua pertanyaan yang pernah aku tanyakan dulu itu saja belum aku ketahui. Tentang tujuan kita hidup dan apa itu cinta.”
“Sudah aku beri tahu kapan kau akan mengerti itu.”
“Pertanyaan pertama aku belum mengerti. Pertanyaan kedua aku perlahan mulai mengerti.”
Riley terkesiap dan mengerutkan kening. “Bagaimana bisa?”
“Belum ada orang yang menjelaskannya secara langsung padaku, tetapi aku bisa merasakannya.”
Omongan itu membuat Riley menjadi berpikir keras. Apakah Brockley pernah keluar hutan sebelumnya lalu bertemu dengan gadis? Apakah lantaran sering membaca puisi cinta, kemudian Brockley lantas berfantasi dan membayangkan memiliki seorang kekasih?
Berbagai macam tudingan pun bertebaran di dalam kepala Riley. Semua asumsi itu tetap tak bisa memuaskan hatinya yang begitu diselimuti rasa penasaran yang besar. Namun, dia juga berat ketika harus memaksakan diri untuk bertanya lebih jauh.
Jika dulu dia blak-blakan dan tidak ada rasa malu bahkan harus menggendong Brockley di punggungnya, namun sekarang dia merasa sangat canggung, parahnya untuk menyenggol lengan Brockley saja, dia malu rasanya. Dia mengatur napasnya yang tersengal.
Hening beberapa saat.
Suara burung dan gemerusuk dedaunan yang tertiup angin terdengar halus, menghapus diamnya mereka.
Tiba-tiba, mereka berdua serempak saling melirikkan mata, hingga pandangan mereka bertemu sama-sama dari arah samping.
Hanya seperkian detik waktu saling pandangan itu hingga akhirnya mereka saling melengos satu sama lain.
Hening kembali.
Riley berjalan menunduk, makin lama, dia makin canggung. Seberapa matang dan dewasanya seorang perempuan, jika sudah berhadapan dengan permasalahan hati, ekspresi dan wajahnya pasti bakal berubah. Perempuan penyabar itu menggigit bibir sambil menghela napas pendek.
Sementara Brockley pun sama. Dulu, dia termasuk lelaki yang suka terang-terangan, apa adanya, dan kadang suja juga bercanda. Namun, sekarang dia agak canggung. Entah kenapa. Tapi dengan segera mungkin dia melepaskan kecanggungan itu supaya suasana tidak sekering tanah yang mereka pijak.
“Kak Riley, ada beberapa hal yang akan aku ceritakan padamu. Pertama, soal mimpi lalu keluar cairan dari kemaluanku, aku sudah melewatinya ketika aku berumur tiga belas tahun. Apa kau tahu aku bermimpi bertemu dengan siapa dalam mimpi itu?”
Mengingat sosok Paman Herbert, lantas Brockley pun berkata dengan bijak. “Semenjak menghilangkan prasangka baik terhadap manusia, saat itulah aku mengerti arti kehidupan. Selama ini aku terjebak dalam kebaikan yang keliru. Orang yang aku anggap baik, sebenarnya tidak sepenuhnya baik.”
Karena sepakat, Riley hanya menganggukkan kepala dengan tersenyum tipis. Tidak disangka hanya dengan satu kejadian saja, Brockley bisa mengambil pelajaran berharga dari situ. Riley terpukau akan kalimat yang baru saja terucap itu.
Kemudian Brockley menegaskan pandangannya dan melanjutkan dengan nada yang tegas dan menggetarkan, “Selagi dia berasal dari tanah, dia tetap cenderung bersikap baik atau buruk. Oleh karena itu, jika kau mencari orang yang sangat tulus, berarti kau sudah gila.”
Riley terpana dalam diam. Tak disangka bayi yang dulu dalam pelukannya kini bisa sebijak itu. Padahal, Brockley tidak bertemu manusia selain dari dirinya, Herbert, Yara, dan Lothar selama hidup. Namun, Brockley seakan melampaui akan banyak hal di dunia ini.
“Untuk menumbuhkan ketulusan, mulailah dari diri sendiri. Jangan pernah membohongi diri sendiri, sebab jika sudah membohongi diri sendiri, tentu kita akan lebih enteng untuk membohongi orang lain, sebab semua kehohongan pasti akan mengikis ketulusan,” pungkas Brockley sambil menghela napas panjang.
Riley Royse tersenyum kagum. Entah dari mana Brockley mendapatkan semua kalimat bijak itu. Yang pasti, meskipun saat ini Brockley sudah jauh lebih cerdas dan dewasa, namun bagi Riley, Brockley tetaplah anak yang harus selalu dia jaga sampai tiba kembali di rumah.
Di pundak Brockley cukup banyak barang-barang yang mereka bawa. Dia juga menenteng satu kantong yang berisi makanan. Namun, dia tetap kuat dan tidak kenal lelah meskipun memaksakan diri untuk membawa semuanya.
Brockley begitu tampan dan mirip wajah ayahnya. Riley lantas terkenang dengan sosok Avraam. “Sebelas dua belas dengan ayahmu. Badan juga sama. Aku tidak bisa membedakan antara kau dan ayahmu sewaktu muda.”
Brockley menyugar rambutnya yang panjang ke belakang hingga belahan di tengahnya kian tampak. “Apakah rambut kami juga sama?” tanyanya.
“Ya, sama persis. Ketika kau baru saja lahir, dia sangat senang menyambutnya. Beliau terpaksa mengasingkanmu karena khawatir orang Kerajaan Omra menang perang lalu berbuat brutal di desa sehingga keselamatanmu terancam. Ada banyak warga desa yang pergi untuk menyelamatkan diri, terutama anak laki-laki, seperti dirimu.”
Brockley mengangguk penuh arti. “Jika aku mirip dengan mendiang ayahku, apa kau mirip dengan ibuku?” tanyanya sambil menyunggingkan senyum halus di salah satu sudut bibirnya.
Agak lama Riley berpikir. Meskipun sama-sama cantik seperti wajah perempuan Italia, dia menjawab dengan rendah hati, “Ibumu sangat cantik seperti bidadari. Tidak seperti aku. Lihatlah, wajahku hitam dan kusam.”
Memang benar, tapi tidak sepenuhnya benar, sebab Riley tidak mendapatkan perawatan wajah dan tubuh seperti wanita umumnya di desa, seperti Megan. Jadi wajar kalau kecantikan Riley sedikit berkurang. Akan tetapi, sebenarnya perempuan berkulit putih itu mempunyai pesona luar biasa di usianya yang sangat dewasa ini.
Brockley menyadarinya.
“Kakak adalah perempuan tercantik setelah ibu!” seru Brockley lalu melirik ke samping.
Mendapat pujian itu, Riley jadi tersenyum malu. Pipinya yang kecoklatan perlahan memerah. “Kau aneh, Brockley. Kau kan belum pernah bertemu ibumu.”
“Barusan Kakak sendiri yang bilang kalau ibuku sangat cantik seperti bidadari.”
Riley tak bisa berkelit. Tapi dia mencobanya. “Masih banyak perempuan lain di dunia ini, Brockley.”
“Tidak ada yang seperti Ibu, Kak Riley dan Bibi Yara. Kalian bertiga adalah wanita tercantik dan terbaik.”
Jika lelaki ini masih kecil atau remaja, Riley pasti sudah mencubit dan menciuminya karena gemasnya, namun Brockley sudah sangat besar, bahkan Riley agak ngeri kalau menyentuh lengan besar dan berotot itu.
Ketika Riley melihat Brockley latihan pedang beberapa waktu lalu, dia sangat ngeri dengan kekuatan yang dimiliki oleh Brockley. Dia bahkan mengakui bahwa Brockley jauh lebih kuat dari pada Herbert maupun Avraam. Riley merasa aman jika bepergian seperti ini bersama Brockley. Tubuh yang kekar dan wajah yang garang itu bisa membuat mental lawan menjadi ciut.
“Sekarang kau sudah banyak tahu akan banyak hal.”
Brockley menggeleng keras. “Masih banyak hal belum aku ketahui. Justru, aku merasa sangat bodoh. Dua pertanyaan yang pernah aku tanyakan dulu itu saja belum aku ketahui. Tentang tujuan kita hidup dan apa itu cinta.”
“Sudah aku beri tahu kapan kau akan mengerti itu.”
“Pertanyaan pertama aku belum mengerti. Pertanyaan kedua aku perlahan mulai mengerti.”
Riley terkesiap dan mengerutkan kening. “Bagaimana bisa?”
“Belum ada orang yang menjelaskannya secara langsung padaku, tetapi aku bisa merasakannya.”
Omongan itu membuat Riley menjadi berpikir keras. Apakah Brockley pernah keluar hutan sebelumnya lalu bertemu dengan gadis? Apakah lantaran sering membaca puisi cinta, kemudian Brockley lantas berfantasi dan membayangkan memiliki seorang kekasih?
Berbagai macam tudingan pun bertebaran di dalam kepala Riley. Semua asumsi itu tetap tak bisa memuaskan hatinya yang begitu diselimuti rasa penasaran yang besar. Namun, dia juga berat ketika harus memaksakan diri untuk bertanya lebih jauh.
Jika dulu dia blak-blakan dan tidak ada rasa malu bahkan harus menggendong Brockley di punggungnya, namun sekarang dia merasa sangat canggung, parahnya untuk menyenggol lengan Brockley saja, dia malu rasanya. Dia mengatur napasnya yang tersengal.
Hening beberapa saat.
Suara burung dan gemerusuk dedaunan yang tertiup angin terdengar halus, menghapus diamnya mereka.
Tiba-tiba, mereka berdua serempak saling melirikkan mata, hingga pandangan mereka bertemu sama-sama dari arah samping.
Hanya seperkian detik waktu saling pandangan itu hingga akhirnya mereka saling melengos satu sama lain.
Hening kembali.
Riley berjalan menunduk, makin lama, dia makin canggung. Seberapa matang dan dewasanya seorang perempuan, jika sudah berhadapan dengan permasalahan hati, ekspresi dan wajahnya pasti bakal berubah. Perempuan penyabar itu menggigit bibir sambil menghela napas pendek.
Sementara Brockley pun sama. Dulu, dia termasuk lelaki yang suka terang-terangan, apa adanya, dan kadang suja juga bercanda. Namun, sekarang dia agak canggung. Entah kenapa. Tapi dengan segera mungkin dia melepaskan kecanggungan itu supaya suasana tidak sekering tanah yang mereka pijak.
“Kak Riley, ada beberapa hal yang akan aku ceritakan padamu. Pertama, soal mimpi lalu keluar cairan dari kemaluanku, aku sudah melewatinya ketika aku berumur tiga belas tahun. Apa kau tahu aku bermimpi bertemu dengan siapa dalam mimpi itu?”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved