Bab 6
by AM.assekop
10:53,Oct 30,2023
Riley yang masih syok dan ketakutan tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, dia sangat menghormati Herbert layaknya dia menghormati Avraam. Dia juga menyayangi Brockley layaknya menyayangi anak kandungnya sendiri. Namun, dia tidak bisa membela siapa pun kali ini. Dia pasrah.
Di luar rumah, sekitar pekarangan, Brockley sudah bersiap. Dia menatap pamannya dan berkata sebelum bertarung. “Apa alasan Paman tidak mau memulangkanku?”
Meski belum sembuh total seratus persen, Herbert menggagahkan diri. “Benar kau mau tahu apa alasannya, keponakanku?”
“Katakan saja padaku, Paman!” sergah Brockley dengan raut wajah penasaran.
Herbert menarik napas dalam-dalam, bagaimana pun, dia sangat sayang sama Brockley. “Saat kau berumur lima belas tahun, aku mendapatkan info bahwa ayahmu telah meninggal karena diracuni oleh pengkhianat kerajaan. Ya, ayahmu pernah menjadi raja. Sejak itu, ibumu diangkat menjadi Ratu menggantikan posisi ayahmu. Dua tahun lalu, adikmu bernama Grock Leofwine dinobatkan menjadi Raja Glory 2.”
Mendengar semua kesaksian itu, Brockley lemas badannya dan jatuh di atas tumpuan lututnya. Kepalanya tertunduk dan pandangannya terhunjam ke tanah yang kering.
Dia berkata dengan sedih. “Kenapa Paman merahasiakan semuanya padaku? Kenapa Paman tidak memulangkanku sejak dulu?”
“Karena aku khawatir, Brockley. Aku khawatir terjadi apa-apa padamu. Kalau kau pulang saat berumur belasan tahun, siapa yang bisa menjamin nyawamu, sementara ayahmu saja bisa mati lantaran orang-orang di sana? Lingkungan Kerajaan sangat kejam dan menakutkan. Aku khawatir kau bakal dibunuh juga oleh para pengkhianat. Jika kau pulang ketika kau sudah sangat dewasa, kau bisa mengatasi semua masalah di sana.”
Mata Brockley berkaca-kaca. “Seharusnya aku sudah pulang!”
“Untuk menjadi Pangeran, lalu menjadi Raja?”
“Tidak! Aku tidak pernah terpikir untuk menjadi Pangeran dan Raja! Aku mau bertemu dan keluargaku, Paman!”
Sikap terlalu khawatir dari Herbert ternyata telah memenjarakan seorang Brockley. Meski maksud dan tujuannya baik, ternyata tidak sebaik itu. Dia terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang dikarenakan rasa sayang berlebih, padahal cara seperti itu kurang tepat. Seharusnya Brockley sudah pulang sejak dulu.
Kasihan Brockley, Sang Pangeran Terbuang.....
Ketika terbayang situasi di Kerajaan dan kondisi di tubuh keluarganya, keinginan untuk bertarung kali ini menjadi pupus, apalagi dia barusan tahu bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Rasanya, tubuh Brockley makin ambruk karena hati yang hancur.
“Seharusnya aku bertemu ayahku!” jerit Brockley menumpahkan kepedihan di jiwanya. Dia tak kuat menahan air mata yang berderai jatuh membasahi bumi. Isak tangisnya pecah. Ingin marah, tapi sudah tak kuasa, karena Brockley sekarang adalah Brockley yang sudah dewasa.
Herbert berjalan pelan mendekat dan berkata dengan nada yang rendah. “Maafkan Paman. Semua demi kebaikanmu, Brockley. Sekarang, jika kau mau pulang ke desa, Paman persilakan. Usia, sikap, ilmu, dan keterampilanmu dalam militer sudah cukup untuk menjadikanmu sebagai sosok penting bagi kerajaan. Pulanglah dan temani adikmu di kerajaan!” Herbert terharu, penuh akan penyesalan.
Karena perasaan di relung hatinya bercampur aduk, Brockley tidak tahu harus mengatakan dan melakukan apa terhadap pamannya. Di satu sisi, dia sangat berterima kasih, di sisi yang lain dia juga kesal dan marah karena merasa terbuang dan terpenjarakan.
Hanya saja, kedewasaannya melebihi segalanya.
Dua puluh tahun lalu Herbert melihat bayi kecil itu menangis, sekarang bayi itu sudah menjadi lelaki yang besar dan gagah, juga menangis. Jika waktu itu dia menangis dalam pelukan ayahnya, sekarang dia menangis karena kehilangan ayahnya.
Brockley mengangkat tubuhnya dan menegakkan dadanya, lalu berkata dengan agak terbata karena diiringi isak tangis. “Aku akan pulang bersama Kak Riley. Aku khawatir dia akan mendapatkan perlakuan tidak senonoh lagi, oleh siapa pun.”
Brockley masuk ke dalam rumah papan itu, lalu mengemasi barang-barangnya. “Kak Riley, kita langsung pulang siang hari ini juga.”
Sebuah senyum manis pun terbit dari bibir tipis milik perempuan cantik itu. “Kakak akan mengikuti apa katamu.”
Lothar yang sedari tadi menunggu kehadiran Brockley pun memutuskan untuk pulang saja karena Brockley tak kunjung datang. Sesampainya di rumah, dia heran melihat Brockley dan Riley sedang sibuk mengemasi pakaian dan barang-barang.
“Kalian mau ke mana?” tanyanya sambil mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya.
Melihat kehadiran sepupu dan sahabat dekatnya itu, Brockley berdiri dan langsung memeluknya. “Kami akan pulang ke desa. Apa kau tahu nama desa kita adalah Gloriston? Rajanya sekarang adalah adikku, Kak Lothar!”
“Hah? Kau bercanda, Brock?” Kening Lothar makin berkerut.
“Silakan nanti kau tanyakan sendiri pada ayahmu! Aku harap kau segera menyusul sama ayahmu.”
“Apa kau akan menjadi Jenderal Perang?” Lothar tersenyum sangat lebar.
“Seperti itulah impianku.” Bagaimana pun, Brockley tidak lupa daratan. “Ayahmu yang mengajariku dan ayahmu juga yang menginginkannya. Aku akan buktikan pada ayahmu bahwa aku adalah muridnya yang berbakat dan berbakti.”
Meski tadi sempat emosi parah, Brockley teringat bahwa selama dua puluh tahun ini pamannya sangat berjasa padanya. Dia tidak mau mengecewakan pamannya apa pun alasannya. Dia juga bakal membuktikan bahwa dia memang pantas menjadi seorang pemimpin perang.
Lothar merengkuhnya lagi. “Adikku, jangan lupakan aku. Ingat, jatahku adalah komandan atau penasehat!”
Brockley mengulas senyum haru dan bahagia. “Aku tidak bakal melupakanmu, Kak Lothar. Persiapkan dirimu dan aku akan menunggumu di sana!”
Tidak bisa menahan kesedihannya, Herbert lantas masuk kembali ke dalam rumah lalu mengambil karung yang berisi uang. Selama ini, dia sangat berhemat, bahkan dia menyempatkan diri menjual kayu bakar di pasar setiap pekan untuk keperluan makan mereka semua.
“Masih ada lima keping emas dan delapan puluh keping perak. Jika kalian melewati pasar, kalian bisa berbelanja untuk keperluan perjalanan kalian.” Kemudian Herbert juga memberikan pisau, parang, pedang, serta busur dan anak panah. “Untuk berjaga-jaga kalau terjadi apa-apa. Tapi, mudah-mudahan kalian bisa sampai dalam keadaan sehat dan selamat.”
Terakhir, Herbert mengusap-usap kepala Brockley dengan penuh kasih sayang. “Semoga kau menjadi pemimpin perang yang tangguh, anakku!”
Brockley pun tak bisa untuk menahan kesedihannya, dengan berusaha berlapang dada, dia melepaskan semuanya, dengan keikhlasan.
Sinar mentari terpancar di sela-sela dahan, ranting dan dedaunan. Gemerisiknya menjadi salam perpisahaan di antara mereka. Brockley dan Riley membalik badan dan melambaikan tangannya kepada dua lelaki yang berdiri di depan rumah, sambil tersenyum haru, menepiskan rindu.
Tadi Herbert menyampaikan maaf yang besar kepada Riley atas sikap tak sopannya dan perempuan itu memaafkan serta berupaya melupakannya. Setelah itu, Riley dengan sangat terang-terangan mengatakan bahwa lelaki yang dia cintai selama ini tinggal bersama mereka dan telah dia kenal selama dua puluh tahun. “Namanya adalah Brockley Leofric, anak dari Raja Avraam!”
Di luar rumah, sekitar pekarangan, Brockley sudah bersiap. Dia menatap pamannya dan berkata sebelum bertarung. “Apa alasan Paman tidak mau memulangkanku?”
Meski belum sembuh total seratus persen, Herbert menggagahkan diri. “Benar kau mau tahu apa alasannya, keponakanku?”
“Katakan saja padaku, Paman!” sergah Brockley dengan raut wajah penasaran.
Herbert menarik napas dalam-dalam, bagaimana pun, dia sangat sayang sama Brockley. “Saat kau berumur lima belas tahun, aku mendapatkan info bahwa ayahmu telah meninggal karena diracuni oleh pengkhianat kerajaan. Ya, ayahmu pernah menjadi raja. Sejak itu, ibumu diangkat menjadi Ratu menggantikan posisi ayahmu. Dua tahun lalu, adikmu bernama Grock Leofwine dinobatkan menjadi Raja Glory 2.”
Mendengar semua kesaksian itu, Brockley lemas badannya dan jatuh di atas tumpuan lututnya. Kepalanya tertunduk dan pandangannya terhunjam ke tanah yang kering.
Dia berkata dengan sedih. “Kenapa Paman merahasiakan semuanya padaku? Kenapa Paman tidak memulangkanku sejak dulu?”
“Karena aku khawatir, Brockley. Aku khawatir terjadi apa-apa padamu. Kalau kau pulang saat berumur belasan tahun, siapa yang bisa menjamin nyawamu, sementara ayahmu saja bisa mati lantaran orang-orang di sana? Lingkungan Kerajaan sangat kejam dan menakutkan. Aku khawatir kau bakal dibunuh juga oleh para pengkhianat. Jika kau pulang ketika kau sudah sangat dewasa, kau bisa mengatasi semua masalah di sana.”
Mata Brockley berkaca-kaca. “Seharusnya aku sudah pulang!”
“Untuk menjadi Pangeran, lalu menjadi Raja?”
“Tidak! Aku tidak pernah terpikir untuk menjadi Pangeran dan Raja! Aku mau bertemu dan keluargaku, Paman!”
Sikap terlalu khawatir dari Herbert ternyata telah memenjarakan seorang Brockley. Meski maksud dan tujuannya baik, ternyata tidak sebaik itu. Dia terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang dikarenakan rasa sayang berlebih, padahal cara seperti itu kurang tepat. Seharusnya Brockley sudah pulang sejak dulu.
Kasihan Brockley, Sang Pangeran Terbuang.....
Ketika terbayang situasi di Kerajaan dan kondisi di tubuh keluarganya, keinginan untuk bertarung kali ini menjadi pupus, apalagi dia barusan tahu bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Rasanya, tubuh Brockley makin ambruk karena hati yang hancur.
“Seharusnya aku bertemu ayahku!” jerit Brockley menumpahkan kepedihan di jiwanya. Dia tak kuat menahan air mata yang berderai jatuh membasahi bumi. Isak tangisnya pecah. Ingin marah, tapi sudah tak kuasa, karena Brockley sekarang adalah Brockley yang sudah dewasa.
Herbert berjalan pelan mendekat dan berkata dengan nada yang rendah. “Maafkan Paman. Semua demi kebaikanmu, Brockley. Sekarang, jika kau mau pulang ke desa, Paman persilakan. Usia, sikap, ilmu, dan keterampilanmu dalam militer sudah cukup untuk menjadikanmu sebagai sosok penting bagi kerajaan. Pulanglah dan temani adikmu di kerajaan!” Herbert terharu, penuh akan penyesalan.
Karena perasaan di relung hatinya bercampur aduk, Brockley tidak tahu harus mengatakan dan melakukan apa terhadap pamannya. Di satu sisi, dia sangat berterima kasih, di sisi yang lain dia juga kesal dan marah karena merasa terbuang dan terpenjarakan.
Hanya saja, kedewasaannya melebihi segalanya.
Dua puluh tahun lalu Herbert melihat bayi kecil itu menangis, sekarang bayi itu sudah menjadi lelaki yang besar dan gagah, juga menangis. Jika waktu itu dia menangis dalam pelukan ayahnya, sekarang dia menangis karena kehilangan ayahnya.
Brockley mengangkat tubuhnya dan menegakkan dadanya, lalu berkata dengan agak terbata karena diiringi isak tangis. “Aku akan pulang bersama Kak Riley. Aku khawatir dia akan mendapatkan perlakuan tidak senonoh lagi, oleh siapa pun.”
Brockley masuk ke dalam rumah papan itu, lalu mengemasi barang-barangnya. “Kak Riley, kita langsung pulang siang hari ini juga.”
Sebuah senyum manis pun terbit dari bibir tipis milik perempuan cantik itu. “Kakak akan mengikuti apa katamu.”
Lothar yang sedari tadi menunggu kehadiran Brockley pun memutuskan untuk pulang saja karena Brockley tak kunjung datang. Sesampainya di rumah, dia heran melihat Brockley dan Riley sedang sibuk mengemasi pakaian dan barang-barang.
“Kalian mau ke mana?” tanyanya sambil mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya.
Melihat kehadiran sepupu dan sahabat dekatnya itu, Brockley berdiri dan langsung memeluknya. “Kami akan pulang ke desa. Apa kau tahu nama desa kita adalah Gloriston? Rajanya sekarang adalah adikku, Kak Lothar!”
“Hah? Kau bercanda, Brock?” Kening Lothar makin berkerut.
“Silakan nanti kau tanyakan sendiri pada ayahmu! Aku harap kau segera menyusul sama ayahmu.”
“Apa kau akan menjadi Jenderal Perang?” Lothar tersenyum sangat lebar.
“Seperti itulah impianku.” Bagaimana pun, Brockley tidak lupa daratan. “Ayahmu yang mengajariku dan ayahmu juga yang menginginkannya. Aku akan buktikan pada ayahmu bahwa aku adalah muridnya yang berbakat dan berbakti.”
Meski tadi sempat emosi parah, Brockley teringat bahwa selama dua puluh tahun ini pamannya sangat berjasa padanya. Dia tidak mau mengecewakan pamannya apa pun alasannya. Dia juga bakal membuktikan bahwa dia memang pantas menjadi seorang pemimpin perang.
Lothar merengkuhnya lagi. “Adikku, jangan lupakan aku. Ingat, jatahku adalah komandan atau penasehat!”
Brockley mengulas senyum haru dan bahagia. “Aku tidak bakal melupakanmu, Kak Lothar. Persiapkan dirimu dan aku akan menunggumu di sana!”
Tidak bisa menahan kesedihannya, Herbert lantas masuk kembali ke dalam rumah lalu mengambil karung yang berisi uang. Selama ini, dia sangat berhemat, bahkan dia menyempatkan diri menjual kayu bakar di pasar setiap pekan untuk keperluan makan mereka semua.
“Masih ada lima keping emas dan delapan puluh keping perak. Jika kalian melewati pasar, kalian bisa berbelanja untuk keperluan perjalanan kalian.” Kemudian Herbert juga memberikan pisau, parang, pedang, serta busur dan anak panah. “Untuk berjaga-jaga kalau terjadi apa-apa. Tapi, mudah-mudahan kalian bisa sampai dalam keadaan sehat dan selamat.”
Terakhir, Herbert mengusap-usap kepala Brockley dengan penuh kasih sayang. “Semoga kau menjadi pemimpin perang yang tangguh, anakku!”
Brockley pun tak bisa untuk menahan kesedihannya, dengan berusaha berlapang dada, dia melepaskan semuanya, dengan keikhlasan.
Sinar mentari terpancar di sela-sela dahan, ranting dan dedaunan. Gemerisiknya menjadi salam perpisahaan di antara mereka. Brockley dan Riley membalik badan dan melambaikan tangannya kepada dua lelaki yang berdiri di depan rumah, sambil tersenyum haru, menepiskan rindu.
Tadi Herbert menyampaikan maaf yang besar kepada Riley atas sikap tak sopannya dan perempuan itu memaafkan serta berupaya melupakannya. Setelah itu, Riley dengan sangat terang-terangan mengatakan bahwa lelaki yang dia cintai selama ini tinggal bersama mereka dan telah dia kenal selama dua puluh tahun. “Namanya adalah Brockley Leofric, anak dari Raja Avraam!”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved