Bab 8

by AM.assekop 10:54,Oct 30,2023
“Siapa orangnya?” Riley dengan cepat bertanya karena saking penasaran.
“Bukan Bibi Yara. Sementara perempuan yang aku kenal hanya dua orang.”
Riley menyetop jalannya. Dia terpaku dalam diam, dipaksa berpikir sendiri padahal dia pun tahu siapa orangnya. Namun, dia tak merespons.
Melihat Riley berhenti, Brockley pun turut berhenti. Dia membalik badannya lalu berkata, “Ada apa Kak Riley?”
Riley menunduk malu sambil menggeleng pelan. “Tidak ada apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanan.”
Melihat ekspresi canggung di wajah Riley, Brockley tak mau membuat perempuan itu terus terkurung dalam suasan hati yang menggelisahkan. Brockley mulai paham bagaimana cara mengubah suasana yang tegang agar menjadi cair. Jangan sampai perjalanan panjang ini tampak membosankan.
“Kau adalah perempuannya, Kak Riley.”
Untuk menepis kegelisahannya, Riley pun memaksakan diri memanggil Brockley dengan panggilan berbeda, “Nak, kau tidak boleh bercanda!”
Tiba-tiba Brockley berhenti dan tercenung. “Kapan terakhir kau memanggilku Anak? Semenjak aku kecil, remaja hingga dewasa, kau selalu memanggilku Adik atau Brockley.”
“Karena aku menganggapmu sebagai anak.”
Brockley menggeleng sambil tersenyum miring. “Tapi aku lebih suka memanggilmu dengan sebutan Kakak. Kata Paman Herbert, Kak Riley adalah adik angkatnya ibuku. Seharusnya aku memanggilmu Bibi, tapi kau duluan yang memanggilku Adik.”
Riley tak bisa berkelit. Dia pun tidak berani membohongi dirinya sendiri, karena dia belajar dari perkataan Brockley barusan, jika mau menjadi orang yang tulus maka belajarlah untuk tidak membohongi diri sendiri. Hatinya tersentuh.
“Baiklah. Sebenarnya kau kuanggap sebagai anakku sendiri karena aku sangat menyayangimu, akan tetapi aku lebih suka kalau aku menganggapmu sebagai adik supaya kita bisa jauh lebih dekat.”
Bruk!
Brockley menurunkan semua barang bawaan mereka, lalu berdiri memaku di hadapan Riley dan menatap manik matanya lekat-lekat. Tanpa perasaan canggung, Brockley pun memegang kedua pundak Riley dengan kelembutan.
Makin malu, Riley tak berani menatap mata tajam itu. Dia menghunjamkan pandangannya ke tanah dan dedaunan kering. Bahkan, dia pun tak berani untuk menarik napas karena semakin lama, wajah Brockley semakin dekat dengan wajahnya.
“Sewaktu aku bayi, kau boleh menganggapku sebagai anak. Sewaktu aku kecil dan remaja, kau boleh menanggapku sebagai adik.”
Diam beberapa detik......
Brockley masih meluruskan pandangannya. “Sekarang ketika aku dewasa, aku tidak mau dianggap sebagai anak maupun adik.”
Seketika badan Riley menjadi sangat lemas dan menggigil karen diterpa kebingungan. Bibirnya bergetar dan keluar keringat dingin di dahinya. Matanya berkaca-kaca, seakan mau menumpahkan sesuatu tapi tahu apa yang mesti ditumpahkan.
“Ketika aku bermimpi di waktu aku berumur empat belas tahun dan perempuan itu adalah dirimu, saat itulah aku merasakan kenikmatan, seolah aku sudah mengerti apa arti cinta, dan juga arti dari kehidupan. Cinta dan kehidupan saling melengkapi. Tanpa cinta, kehidupan ini akan terasa hampa. Kita ditakdirkan melewati jalan bersama-sama. Ini adalah jalan kehidupan dan ini adalah jalan ... cinta.....” Brockley mencengkeram kuat bahu Riley hingga baju Riley agak remuk.
Riley tak bisa berkata apa pun, sebab semua puisi cinta yang dibuatnya selama tinggal di hutan ini adalah untuk seorang lelaki bernama Brockley Leofric. Hatinya tidak bisa berbohong bahwa dia sudah memiliki ketertarikan dengan Brockley sejak Brockley masih sangat kecil, sejak itulah dia tidak lagi mau menganggapnya anak.
Namun, tidak berterus terang, bukan berarti membohongi diri sendiri.....
Karena, layaknya perempuan, berat untuk mengatakannya kepada lelaki yang sangat dicintainya.....
“Riley, aku sudah berumur dua puluh dan kau berumur tiga puluh lima. Kau bisa menjadi seperti ibuku atau pun kakakku, tapi aku lebih suka jika kau menjadi kekasihku. Puisi ‘Dia’ itu adalah dirimu Riyle Royse. Kau adalah Bidadari dari hatiku, dan aku harap kau akan masuk ke dalam hati sebagai seorang istri.”
Tidak kuat, Riley jatuh dan bersimpuh di hadapan Brockley. Air matanya terus mengalir.
Brockley jongkok di hadapan Riley yang tengah tertunduk. Setelah Brockley memegang dagunya dan menaikkannya sedikit ke atas, barulah Riley mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri melihat mata Brockley.
“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanya Riley gugup dengan suara yang begitu lirih dan lembut.
Brockley menatap serius dan berkata dengan sungguh-sungguh. “Karena aku cinta padamu.”
Saat itu juga Riley memejamkan mata dan kembali menundukkan kepalanya, bahunya layu, dan badannya mau ambruk.
Tapi, Brockley segera menahannya lalu menegakkannya kembali. “Aku ulangi. Karena aku cinta padamu, Riley Royse. Dulu aku bisa menganggapmu sebagai ibu dan kakak, tapi ketika aku dewasa dan sudah paham apa arti cinta sebenarnya, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Sebab jika kita tidak bisa untuk jujur sama diri sendiri, maka sulit bagi kita untuk jujur kepada orang lain. Lagi-lagi ini semua tentang ketulusan. Aku tidak perlu menanyakan apa arti cinta kepada siapa pun karena aku sudah bisa merasakannya. Rupanya, cinta itu sebuah anugerah yang nikmat.”
“Kenapa bisa?” tanya Riley dengan suara terbata karena masih saja gugup.
Brockley mengelus pipi halus Riley sebelum berkata, “Lebih dari lima puluh puisi cintamu telah menggugah hatiku hingga aku bisa benar-benar meresapinya. Semua makna di dalamnya, itulah arti cinta, dan aku lebih merasakannya ketika berdua bersamamu. Kau adalah bentuk dari cinta dan puisi itu. Jadi, aku tidak perlu menanyakan arti cinta kepada siapa pun, karena aku sudah belajar dari puisi, dan kau, Riley.”
Riley menyeka air matanya yang membasahi pipi. Kali ini, dia pun mau belajar menjadi seorang perempuan yang tulus, sesuai tadi apa kata Brockley, tidak perlu membohongi diri sendiri jika mau menumbuhkan ketulusan.
Riley menguatkan dirinya. “Aku juga cinta sama kau, Brockley. Saat sekarang, aku tidak bisa lagi menganggapmu sebagai anak atau pun adik. Tapi aku lebih senang jika menjadikanmu sebagai pendamping.”
Kendati pun demikian, Riley masih butuh keyakinan dan kepastian apakah cinta di antara mereka bisa terajut, lalu ke depannya mereka berdua mampu menjalani hari-hari sebagai sepasang kekasih.
Mendengar kalimat itu, Brockley terkesiap dan terpana asmara. “Betulakah semua puisimu itu untukku?”
Hanya anggukan kecil yang dilihat oleh Brockley.
Pipi Riley makin memerah.
“Sempat aku menduganya bahwa lelaki itu adalah aku. Tapi aku harus langsung memastikannya darimu, Riley. Jujur, aku bangga dan bahagia begitu tahu kalau aku adalah lelaki yang kau cintai dan kau impikan selama ini.”
Ciutan burung dan desau angin terdengar berbarengan dengan helaan napas mereka yang beradu.
Dalam hitungan detik kemudian, Brockley menciumi bibir Riley cukup lama, seraya memeluk erat, dan merasakan kehangatan indahnya kasih sayang.
Sementara Riley pun juga menikmatinya, baru kali ini dia mendapatkan ciuman dan pelukan mesra dari sepanjang hidupnya, dan lelaki itu adalah orang yang sangat dicintainya.
Ketika momen bahagia itu berlangsung dengan nikmat, tiba-tiba terdengar suara hantaman parang ke dahan dan ranting.
Srrkk!
Srrkk!
Salah satu dari dua orang itu berteriak, “Serahkan harta kalian!”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

79