Bab 10 Malam Indah Di Kota Jogja
by Secilia Abigail Hariono
18:43,Oct 19,2023
Malam Indah di kota Jogja
Gendhis sedikit terkejut, mewah sekali kamar hotel yang di peruntukan untuk dirinya. Apakah teman tidurnya merupakan pejabat kelas tinggi di pabrik. Kamar yang di tempati Gendhis di lengkapi dengan balkon dan bath up, mungkin yang sekamar dengannya manager pusat. Setelah mandi sebentar Gendhis segera menelpon Mas Dimas untuk menanyakan keberadaan orang yang sekamar dengannya. Dan dia menjawab tidak tahu. Notif hp- Gendhis berbunyi. Satu pesan dari Rio.
[Aku terjebak macet]
Dia melampirkan video sedang menyetir dan jalan sekitar malioboro yang macet. Video itu Gendhis forward ke Dimas. Tak lama dia membalas.
[Loh, pak Ustad kesana sama siapa? Sumpah itu deket hotelmu]
[Ya mana ku tau, kan biasa e sama sampean]
[Enggak, katanya aku suruh libur dlu. Wah awas lo, speechless aku sama kalian]
[Maksudnya?]
Belum sempat Gendhis melihat balasan pesan Dimas pintu kamar di ketuk. Setengah berlari Gendhis membukanya, Gendhis kira dia teman sekamarnya, ternyata lelaki yang Gendhis bahas dengan Dimas tadi sudah berdiri di hadapannya.
Dia tersenyum, memakai kaos oblong putih, jogger pants coklat, dan topi serta mencangklong tas.
“Assalamualaikum, boleh masuk?” tanya Rio tanpa Dosa.
Gendhis hanya mengangguk, bingung.
“Bentar, Mas Rio kok bisa sampai sini? Sama siapa? Sampean (kamu) nginep mana? Ada acara apa?” langsung Gendhis berondong Rio dengan banyak pertanyaan.
“Buatkan kopi manis dulu Mbak,” pinta Rio sambil menaruh ransel di sofa mini hotel.
Kemudian Rio berjalan ke balkon kamar lalu membuka pintunya. Gendhis membuatkan dua gelas kopi, pahit untuk dirinya dan manis untuk Rio. Tak sabar Gendhis ingin mewawancarai Rio.
"Ini kopinya," Gendhis menyodorkan gelas kopi.
Rio terlihat menyeruput kopinya dan memandang ke arah Gendhis. Tangannya mengarahkan ke kursi sampingnya.
"Duduklah sini," pinta Rio.
Gendhis duduk karena hanya itu kursi yang tersisa.
‘Apa kamu tak paham juga?” tanya Rio.
Dengan polos Gendhis menggeleng kepala karena memang bingung dengan sikap Rio.
“Aku kesini demi kamu, aku tahu setiap kamu ada trip ke Jogja selalu keluar dengan teman-temanmu kan? Mulai sekarang aku gak mau kamu kayak gitu, jadi dari pada kau keluar dengan temanmu, lebih baik aku yang ke sini dan menemanimu,” ujar Rio.
“Istrimu?” tanya Gendhis.
Gendhis masih menatap mata itu mencari jawaban atas semua sikapnya.
“Dia di rumah, aku sendiri ke sini! Bayangkan aku rela nyetir mobil sendiri kurang lebih 6 jam belum macetnya juga! Demi siapa? Kamu Gendhis,” ujar Rio.
“Oke, kalau menurutmu begitu! Kita bukan dua anak kecil ABG yang labil lagi, kita sudah sama- sama dewasa bukan? Boleh aku bertanya Mas?” tanya Gendhis yang tak sabar menunggu penjelasan Rio.
"Lihatlah senja di sini begitu cantik," puji Rio.
Pemandangan Jogja dari lantai lima hotel ini memang sangat cantik, namun nyatanya tak sanggup mengalihkan pikiran Gendhis. Dia hanya mengangguk tak menanggapi perkataan Rio.
“Kalau memang kamu mencintaiku dari dulu seperti ucapanmu, kenapa baru sekarang kau mengatakannya? Lalu kenapa kamu tak pernah menghubungiku setiap hari? Dan kenapa harus aku? Bagaimana jika istrimu tahu? Apa maksudmu sebenarnya Mas?” tanya Gendhis.
Dia menghela nafas panjang, bergantian menatap mata Gendhis. Ada sorot yang tak biasa terlihat di kedua dimata Rio.
“Perlu waktu lama untukku sampai bisa berbuat senekat ini Gendhis, banyak resiko yang aku pertaruhkan dengan tindakanku ini, kamu tahu bukan?” tanya Rio.
Gendhis mengangguk, mencoba menyelami jalan pikiran pria di hadapannya ini.
“Sejak pertama bertemu denganmu, apa kamu ingat di mana kita bertemu pertama kali?” tanya Rio.
Gendhis menggelengkan kepalanya perlahan. Sungguh meskipun dia berusaha mengingat nyatanya tetap saja dia tidak mengingatnya.
“Kita bertemu pertama di warung nasi Bu Wo, saat itu aku masih stay di Kota Madiun! Aku bersama Mas Dani EO dan kamu datang bersama kekasihmu cina itu, aku bahkan masih ingat betul kamu memakai kaos putih, rambut hitam terurai, dan memakai rok jeans pendek," ujar Rio.
"Bahkan aku ingat case hpmu berwarna merah alay dengan taburan mutiara,” sambung Rio lagi sambil tertawa.
Gendhis sangat takjub dengan ingatan Rio, bahkan lelaki itu menjelaskan dengan detail semua.
“Sejak itu aku mulai jatuh hati padamu, senyum tulus mu saat mencoba bersalaman denganku tapi aku menolak! Bukannya malu malah kamu tertawa tanpa tersinggung, aku mengingat semua itu, semua hal tentangmu! Dua tahun ini aku mengamatimu tanpa kau sadari, lewat Dimas, Dani dan semua orang yang ada disekitar kita! Ternyata aku semakin mencintaimu lebih dalam tanpa aku sadari sendiri,” lanjut Rio.
“Kenapa aku? Apa alasanmu Mas? Kamu sudah berkeluarga, istri dan anak!” kata Gendhis.
"Jangan mempersulit keadaanku Mas, aku wanita yang mendahulukan perasaan dari pada logika," sambung Gendhis.
“Ya aku tau, bukankah aku berkata di awal bahwa sangat banyak resiko yang aku pertaruhkan untuk bisa di posisi ini bukan? Aku akan membawamu ke istri dan keluargaku saat kamu yakin, aku tau ibumu sudah mendesak mu menikah, tapi Samuel tak mau berpindah keyakinan bukan? Apa bedanya denganku? Kita satu keyakinan bedanya aku sudah beristri! Tapi perlu diingat aku bisa berpoligami dan itu di bolehkan serta halal dan sah di mata hukum mupun agama serta negara,” jelas Rio.
Lagi gendhis hanya bisa terdiam mendengar semua perkataan Rio. Gendhis merasakan kedua tangan milik Rio membingkai wajahnya, jantung Gendhis berdegub kencang.
“Beri aku kesempatan! Aku mohon Gendhis! Aku sudah melangkah sejauh ini," ucapnya.
Jarak mereka sudah dekat, Gendhis menatap mata itu. Lelaki yang dulu pernah di idamkannya menjadi seorang imam karena ke- sholehannya kini berada tepat di depan mukanya. Mata itu berkata tulus.
"Gendhis, aku akan membuktikan, aku tak menghubungimu bukan berarti aku tak mempedulikan dirimu! Aku selalu khawatir dan hanya berfikir langkah apa yang harus aku ambi! Mulai sekarang aku akan jauh lebih memperhatikanmu lagi, jangan kau pikirkan lagi istriku, semua akan ada waktunya! Dan aku tidak melarangmu berhubungan dengan Samuel! Lakukan dan selesaikanlah. Karena cinta kalian tidak akan ada ujungnya,” jelas Rio.
Tes tak terasa air mata Gendhis menetes.
"Tuhan aku tau jatuh cinta dengan orang yang berbeda agama itu salah, namun apakah berhubungan dengan suami orangpun tepat? Kenapa kau kirim dia disaat aku bimbang dengan hubunganku? Apakah ini jodoh atau malah ujian?" tanya Gendhis dalam hati.
Rio melepaskan tangannya dari kedua pipi Gendhis. Dia menghabiskan kopinya, kemudian dia berjalan mengambil ransel mengeluarkan baju dan berkata.
“Aku numpang mandi ya, gerah.”
“Mas tunggu, aku tak enak dengan teman sekamarku!” teriak Gendhis.
“Tenang aja, itu ideku! Kamu sendiri di kamar ini! Denganku sih kalo kamu mau!” jawab Rio sambil berlalu pergi ke kamar mandi.
Gendhis menikmati senja di balkon sendri. Dia menghabiskan kopi sambil terdiam merenung. "Tuhan bagaimanakah perasaan istrinya? Jangan hadirkan setan diantara kami Tuhan. Meskipun aku tahu laki-laki dan perempuan berduaan di kamar hotel tak mungkin setan absen. Waraskan pikiranku Tuhan, agar tak terlena bujuk dan rayuan lelaki suami orang," doa Gendhis dalam hati.
Selesai mandi Rio mengajak Gendhis keluar.
"Mandi, ganti baju dan berdandanlah! Kita jalan- jalan menikmati malam indah di kota Jogja, bagaimana?" tanya Rio.
"Aku sudah mandi, sebentar aku ganti baju ya!" pinta Gendhis.
Rio mengangguk, sambil menunggu Gendhis mandi dia menjalankan sholat magrib di kamar.
Mereka berjalan beriringan menuju salah satu tempat wedangan tak jauh dari alun-alun kidul.
“Aku suka rambut barumu, cantik! aku juga suka kamu memakai celana panjang dan kaos terlihat lebih seksi dan elegan,” puji Rio membuka obrolan.
“Kayak sugar baby ya?” tanya Gendhis.
Rio tersenyum dan mengangguk.
“Wajahmu khas, wajah-wajah penggoda Om-Om," sahut Rio.
"Iya kamu Om- nya," kata Gendhis.
"Ya kamu sugar baby- ku selamanya,” ucap Rio sambil mengacak rambut Gendhis.
Entah sejak kapan mereka saling nyaman dan menghilangkan rasa canggung. Mungkin orang akan merasa aneh melihat penampilan mereka, Rio yang tampak alim dan kalem bersanding dengan Gendhis yang terlihat bak selebgram.
"Mau balik hotel sekarang?" tanya Rio.
Gendhis melihat jam di tangannya. Pukul sebelas malam.
"Yuk Mas," ajak Gendhis.
Mereka berjalan kembali ke hotel. Tangan Rio menggandeng Gendhis. Perasaan hangat menjalar ke tubuh Gendhis.
"Aku akan memegang tanganmu seperti ini, selamanya," ucap Rio.
Gendhis tersenyum simpul. Mereka kembali ke kamar hotel, Gendhis memutuskan berganti pakaian di kamar mandi. Mengenakan piyama pendek berbahan satin warna merah. Dia mengaca di kamar madi.
"Biarlah nanti apa yang terjadi, entah setan atau kewarasanku yang mendominasi, andaikata kemungkinan terburuk terjadi malam ini semoga ini hanya cinta satu malam," doa Gendhis dalam hati.
Setelah berganti pakaian dan memakai skincare malam, Gendhis keluar kamar mandi. Gendhis tak melihat Rio di kamar, namun pintu balkon terbuka. Gendhis melihat Rio berdiri sambil menikmati pemandangan malam hari.
“Mau tidur sekarang?" tanya Rio.
"Aku besok kan masih harus bekerja Mas," jawab Gendhis pelan.
Rio berdiri kemudian menggandeng tangan Gendhis dan mengunci balkon. Gendhis merasakan pelukan hangat dari Rio, tinggi mereka yang hampir sama memudahkan mereka untuk saling menatap mata. Mereka mencoba mencari jawaban. Cinta atau nafsu?
"Apa yang kau inginkan Mas?" tanya Gendhis.
Rio menarik dagu Gendhis. Jarak mereka berdua tinggal beberapa senti.
"Aku ingin...."
BERSAMBUNG
Gendhis sedikit terkejut, mewah sekali kamar hotel yang di peruntukan untuk dirinya. Apakah teman tidurnya merupakan pejabat kelas tinggi di pabrik. Kamar yang di tempati Gendhis di lengkapi dengan balkon dan bath up, mungkin yang sekamar dengannya manager pusat. Setelah mandi sebentar Gendhis segera menelpon Mas Dimas untuk menanyakan keberadaan orang yang sekamar dengannya. Dan dia menjawab tidak tahu. Notif hp- Gendhis berbunyi. Satu pesan dari Rio.
[Aku terjebak macet]
Dia melampirkan video sedang menyetir dan jalan sekitar malioboro yang macet. Video itu Gendhis forward ke Dimas. Tak lama dia membalas.
[Loh, pak Ustad kesana sama siapa? Sumpah itu deket hotelmu]
[Ya mana ku tau, kan biasa e sama sampean]
[Enggak, katanya aku suruh libur dlu. Wah awas lo, speechless aku sama kalian]
[Maksudnya?]
Belum sempat Gendhis melihat balasan pesan Dimas pintu kamar di ketuk. Setengah berlari Gendhis membukanya, Gendhis kira dia teman sekamarnya, ternyata lelaki yang Gendhis bahas dengan Dimas tadi sudah berdiri di hadapannya.
Dia tersenyum, memakai kaos oblong putih, jogger pants coklat, dan topi serta mencangklong tas.
“Assalamualaikum, boleh masuk?” tanya Rio tanpa Dosa.
Gendhis hanya mengangguk, bingung.
“Bentar, Mas Rio kok bisa sampai sini? Sama siapa? Sampean (kamu) nginep mana? Ada acara apa?” langsung Gendhis berondong Rio dengan banyak pertanyaan.
“Buatkan kopi manis dulu Mbak,” pinta Rio sambil menaruh ransel di sofa mini hotel.
Kemudian Rio berjalan ke balkon kamar lalu membuka pintunya. Gendhis membuatkan dua gelas kopi, pahit untuk dirinya dan manis untuk Rio. Tak sabar Gendhis ingin mewawancarai Rio.
"Ini kopinya," Gendhis menyodorkan gelas kopi.
Rio terlihat menyeruput kopinya dan memandang ke arah Gendhis. Tangannya mengarahkan ke kursi sampingnya.
"Duduklah sini," pinta Rio.
Gendhis duduk karena hanya itu kursi yang tersisa.
‘Apa kamu tak paham juga?” tanya Rio.
Dengan polos Gendhis menggeleng kepala karena memang bingung dengan sikap Rio.
“Aku kesini demi kamu, aku tahu setiap kamu ada trip ke Jogja selalu keluar dengan teman-temanmu kan? Mulai sekarang aku gak mau kamu kayak gitu, jadi dari pada kau keluar dengan temanmu, lebih baik aku yang ke sini dan menemanimu,” ujar Rio.
“Istrimu?” tanya Gendhis.
Gendhis masih menatap mata itu mencari jawaban atas semua sikapnya.
“Dia di rumah, aku sendiri ke sini! Bayangkan aku rela nyetir mobil sendiri kurang lebih 6 jam belum macetnya juga! Demi siapa? Kamu Gendhis,” ujar Rio.
“Oke, kalau menurutmu begitu! Kita bukan dua anak kecil ABG yang labil lagi, kita sudah sama- sama dewasa bukan? Boleh aku bertanya Mas?” tanya Gendhis yang tak sabar menunggu penjelasan Rio.
"Lihatlah senja di sini begitu cantik," puji Rio.
Pemandangan Jogja dari lantai lima hotel ini memang sangat cantik, namun nyatanya tak sanggup mengalihkan pikiran Gendhis. Dia hanya mengangguk tak menanggapi perkataan Rio.
“Kalau memang kamu mencintaiku dari dulu seperti ucapanmu, kenapa baru sekarang kau mengatakannya? Lalu kenapa kamu tak pernah menghubungiku setiap hari? Dan kenapa harus aku? Bagaimana jika istrimu tahu? Apa maksudmu sebenarnya Mas?” tanya Gendhis.
Dia menghela nafas panjang, bergantian menatap mata Gendhis. Ada sorot yang tak biasa terlihat di kedua dimata Rio.
“Perlu waktu lama untukku sampai bisa berbuat senekat ini Gendhis, banyak resiko yang aku pertaruhkan dengan tindakanku ini, kamu tahu bukan?” tanya Rio.
Gendhis mengangguk, mencoba menyelami jalan pikiran pria di hadapannya ini.
“Sejak pertama bertemu denganmu, apa kamu ingat di mana kita bertemu pertama kali?” tanya Rio.
Gendhis menggelengkan kepalanya perlahan. Sungguh meskipun dia berusaha mengingat nyatanya tetap saja dia tidak mengingatnya.
“Kita bertemu pertama di warung nasi Bu Wo, saat itu aku masih stay di Kota Madiun! Aku bersama Mas Dani EO dan kamu datang bersama kekasihmu cina itu, aku bahkan masih ingat betul kamu memakai kaos putih, rambut hitam terurai, dan memakai rok jeans pendek," ujar Rio.
"Bahkan aku ingat case hpmu berwarna merah alay dengan taburan mutiara,” sambung Rio lagi sambil tertawa.
Gendhis sangat takjub dengan ingatan Rio, bahkan lelaki itu menjelaskan dengan detail semua.
“Sejak itu aku mulai jatuh hati padamu, senyum tulus mu saat mencoba bersalaman denganku tapi aku menolak! Bukannya malu malah kamu tertawa tanpa tersinggung, aku mengingat semua itu, semua hal tentangmu! Dua tahun ini aku mengamatimu tanpa kau sadari, lewat Dimas, Dani dan semua orang yang ada disekitar kita! Ternyata aku semakin mencintaimu lebih dalam tanpa aku sadari sendiri,” lanjut Rio.
“Kenapa aku? Apa alasanmu Mas? Kamu sudah berkeluarga, istri dan anak!” kata Gendhis.
"Jangan mempersulit keadaanku Mas, aku wanita yang mendahulukan perasaan dari pada logika," sambung Gendhis.
“Ya aku tau, bukankah aku berkata di awal bahwa sangat banyak resiko yang aku pertaruhkan untuk bisa di posisi ini bukan? Aku akan membawamu ke istri dan keluargaku saat kamu yakin, aku tau ibumu sudah mendesak mu menikah, tapi Samuel tak mau berpindah keyakinan bukan? Apa bedanya denganku? Kita satu keyakinan bedanya aku sudah beristri! Tapi perlu diingat aku bisa berpoligami dan itu di bolehkan serta halal dan sah di mata hukum mupun agama serta negara,” jelas Rio.
Lagi gendhis hanya bisa terdiam mendengar semua perkataan Rio. Gendhis merasakan kedua tangan milik Rio membingkai wajahnya, jantung Gendhis berdegub kencang.
“Beri aku kesempatan! Aku mohon Gendhis! Aku sudah melangkah sejauh ini," ucapnya.
Jarak mereka sudah dekat, Gendhis menatap mata itu. Lelaki yang dulu pernah di idamkannya menjadi seorang imam karena ke- sholehannya kini berada tepat di depan mukanya. Mata itu berkata tulus.
"Gendhis, aku akan membuktikan, aku tak menghubungimu bukan berarti aku tak mempedulikan dirimu! Aku selalu khawatir dan hanya berfikir langkah apa yang harus aku ambi! Mulai sekarang aku akan jauh lebih memperhatikanmu lagi, jangan kau pikirkan lagi istriku, semua akan ada waktunya! Dan aku tidak melarangmu berhubungan dengan Samuel! Lakukan dan selesaikanlah. Karena cinta kalian tidak akan ada ujungnya,” jelas Rio.
Tes tak terasa air mata Gendhis menetes.
"Tuhan aku tau jatuh cinta dengan orang yang berbeda agama itu salah, namun apakah berhubungan dengan suami orangpun tepat? Kenapa kau kirim dia disaat aku bimbang dengan hubunganku? Apakah ini jodoh atau malah ujian?" tanya Gendhis dalam hati.
Rio melepaskan tangannya dari kedua pipi Gendhis. Dia menghabiskan kopinya, kemudian dia berjalan mengambil ransel mengeluarkan baju dan berkata.
“Aku numpang mandi ya, gerah.”
“Mas tunggu, aku tak enak dengan teman sekamarku!” teriak Gendhis.
“Tenang aja, itu ideku! Kamu sendiri di kamar ini! Denganku sih kalo kamu mau!” jawab Rio sambil berlalu pergi ke kamar mandi.
Gendhis menikmati senja di balkon sendri. Dia menghabiskan kopi sambil terdiam merenung. "Tuhan bagaimanakah perasaan istrinya? Jangan hadirkan setan diantara kami Tuhan. Meskipun aku tahu laki-laki dan perempuan berduaan di kamar hotel tak mungkin setan absen. Waraskan pikiranku Tuhan, agar tak terlena bujuk dan rayuan lelaki suami orang," doa Gendhis dalam hati.
Selesai mandi Rio mengajak Gendhis keluar.
"Mandi, ganti baju dan berdandanlah! Kita jalan- jalan menikmati malam indah di kota Jogja, bagaimana?" tanya Rio.
"Aku sudah mandi, sebentar aku ganti baju ya!" pinta Gendhis.
Rio mengangguk, sambil menunggu Gendhis mandi dia menjalankan sholat magrib di kamar.
Mereka berjalan beriringan menuju salah satu tempat wedangan tak jauh dari alun-alun kidul.
“Aku suka rambut barumu, cantik! aku juga suka kamu memakai celana panjang dan kaos terlihat lebih seksi dan elegan,” puji Rio membuka obrolan.
“Kayak sugar baby ya?” tanya Gendhis.
Rio tersenyum dan mengangguk.
“Wajahmu khas, wajah-wajah penggoda Om-Om," sahut Rio.
"Iya kamu Om- nya," kata Gendhis.
"Ya kamu sugar baby- ku selamanya,” ucap Rio sambil mengacak rambut Gendhis.
Entah sejak kapan mereka saling nyaman dan menghilangkan rasa canggung. Mungkin orang akan merasa aneh melihat penampilan mereka, Rio yang tampak alim dan kalem bersanding dengan Gendhis yang terlihat bak selebgram.
"Mau balik hotel sekarang?" tanya Rio.
Gendhis melihat jam di tangannya. Pukul sebelas malam.
"Yuk Mas," ajak Gendhis.
Mereka berjalan kembali ke hotel. Tangan Rio menggandeng Gendhis. Perasaan hangat menjalar ke tubuh Gendhis.
"Aku akan memegang tanganmu seperti ini, selamanya," ucap Rio.
Gendhis tersenyum simpul. Mereka kembali ke kamar hotel, Gendhis memutuskan berganti pakaian di kamar mandi. Mengenakan piyama pendek berbahan satin warna merah. Dia mengaca di kamar madi.
"Biarlah nanti apa yang terjadi, entah setan atau kewarasanku yang mendominasi, andaikata kemungkinan terburuk terjadi malam ini semoga ini hanya cinta satu malam," doa Gendhis dalam hati.
Setelah berganti pakaian dan memakai skincare malam, Gendhis keluar kamar mandi. Gendhis tak melihat Rio di kamar, namun pintu balkon terbuka. Gendhis melihat Rio berdiri sambil menikmati pemandangan malam hari.
“Mau tidur sekarang?" tanya Rio.
"Aku besok kan masih harus bekerja Mas," jawab Gendhis pelan.
Rio berdiri kemudian menggandeng tangan Gendhis dan mengunci balkon. Gendhis merasakan pelukan hangat dari Rio, tinggi mereka yang hampir sama memudahkan mereka untuk saling menatap mata. Mereka mencoba mencari jawaban. Cinta atau nafsu?
"Apa yang kau inginkan Mas?" tanya Gendhis.
Rio menarik dagu Gendhis. Jarak mereka berdua tinggal beberapa senti.
"Aku ingin...."
BERSAMBUNG
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved