Bab 6 Sepiring Nasi Pecel Di Bawah Bintang

by Secilia Abigail Hariono 18:29,Oct 19,2023
Sepiring Nasi Pecel di Bawah Bintang




“Assalamualaikum, kamu dimana Mbak?” tanya Rio.

“Di kos temen ini Mas, kenapa?” tanya balik Gendhis.

“Kos nya di deket alun-alun Reog ya? Aku lihat sepertinya mobilmu terparkir di depan,” jawab Rio.

“Iya mas, bener! Kok sampean tau?” tanya Gendhis heran.

“Oke, tunggu ya lima menit! Mobilmu titipkan sana dulu! Assalamualaikum,” perintah Rio sambil mematikan telpon sepihak.

"Siapa Ndis?" tanya Rosi.

"Oh, Bosku yang travel itu loh, Pak Ustad alim Rio Gunawan," jawab Gendhis.

"Megapa dia tiba- tiba menyuruhku menunggunya ya? Dia sampai tahu lo Ros kalau aku sedang berada di kosmu, bahkan dia menyuruhku menitipkan mobilku di sini," cerita Gendhis.

"SIKAAAATTTT BOS SLEBEW!!!!"seru Rosi.

Gendhis memukulkan tas selempang yang di bawanya ke tubuh Rosi.

"Au sakit! Hahahaha! EMang kalau jodoh gak kemana, walaupun dia punya istri karena dia alim maka aku rela menjadi yang kedua saja! Hahahaha!" Rosi tertawa puas meledek sahabatnya.

Bukannya tanpa sebab, sebenarnya Rosi kasihan dengan kisah dan nasib percintaan Gendhis, sudahlah cinta mereka berbeda Tuhan yang tak pernah menemui kejelasan. Sekarang di tambah tanpa restu kedua orang tua, baik pihak Gendhis maupun pihak Samuel.

"Hahahaha! Makanya mulut di jaga! Masak iya aku suruh jadi bini ke dua? Kayak burung lelaki punya dia saja! Hahahaha," gelak Gendhis.

Rosi mengelus lengannya.

"Aku kerja dulu, dah di telpon Mami, kalau mau titip mobil taruh depan ya! Biar gak menghalangi jalan anak kos yang masuk, lagian kau belum jelas pulang jam berapa! Jangan- jangan kau akan di bungkusnya!" Sindir Rosi.

Gendhis mengangguk paham.

"Bungkus? Kau kira aku penyetan lele main bungkus sembarangan!" jawab Gendhis sewot

Rosi tertawa terbahk- bahak.

"Yuk berangkat, ada yang tertinggal?" tanya Rosi.

"Tidak, semua sudah," jawab Gendhis.

Gendhis keluar berjalan beriringan dengan Rosi yang akan pergi bekerja.

"Kau tak apa menunggu dia sendiri di sini? Tunggu sana di kamarku!" kata Rosi khawatir.

"Tak usah, aku di sini saja, paling sebentar lagi," tolak Gendhis.

"Ku temani ya, aku takut kau di ganggu para lelaki yang sudah mabuk itu," tawar Rosi.

"Tak apa pergilah Ros, kau harus kerja! Semangat ya! Aku bisa jaga diri baik- baik!" seru Gendhis.

Rosi melambaikan tangannya ke Gendhis. Club itu hanya berada dua ratus meter dari Kos Rosi. Gendhis menunggu Rio sendiri di depan kos sahabatnya.

Sejuta pikiran memenuhi benak Gendhis. Kenapa tiba-tiba Rio mengajak dia bertemu, aneh sekali rasanya. Padahal selama ini mereka tak pernah berhubungan, jangankan menelpon bertukar pesan di WA atau chat saja tak pernah. Lalu tiba- tiba Rio menelponnya mengajaknya bertemu. Apakah dia memang tipikal leaki seperti itu, datang dan pergii semaunya.

"Memangnya dia pikir hati ini seperti warung kopi? Yang datang dan pergi semaunya! Huh!" gerutu Gendhis kesal sendiri.

'Tin...' suara klakson mobil Pajero milik Rio mengagetkan Gendhis. Dia berjalan ke arah mobil Rio, terlihat Rio datang sendiri tanpa Dimas sahabat setianya. Gendhis membuka pintu barisan penumpang ke dua. Dia tak berani lancang duduk di depan bersama Rio tanpa di suruh. Agak sungkan jika duduk di samping Rio.

“Duduklah di depan, di sampingku sini!” perintah Rio dengan lirih.

Gendhis menutup pintu itu dan mengikuti kemauan Rio. Dia duduk di samping lelaki itu.

“Tumben Mas? Njenengan (kamu) kok disini? Ada perlu pentingkah?” tanya Gendhis sambil menarik baju agar sedikit menutupi paha yang terpampang nyata.

"Bodohnya aku! Mana pakai baju mengumbar aurat kemana- mana lagi, duhhh gimana ya kalau Mas Rio ilfil melihat pakaianku seperti ini," kata Gendhis dalam hati.

“Enggak! Aku hanya rindu kamu!" ucap Rio.

"Hah? Apa?" Gendhis terlonjak kaget mendengar perkataan yang baru saja Rio ucapkan.

"Aku tak akan mengulanginya lagi," ujar Rio santai.

Gendhis terdiam, apa dia tadi tak salah dengar ya. Benarkah Rio mengatakan Rindu padanya? atau memang telinganya yang salah?

"Sekarang aku pindah di kota ini untuk sementara waktu, ibuku sakit butuh pendampingan khusus, apalagi aku anak tunggal kan! Jadi untuk sementara aku pindah di rumah ibuku...” Rio menjelaskan tanpa di minta.

Gendhis hanya diam tak menanggapi. Mobil melaju pelan membawaku ke arah jalan anyar (jalan baru). Mereka berhenti disalah satu warung pinggir jalan, Rio lalu turun tanpa mematikan mesin mobil. Tak lama dia datang kembali ke mobil dan mendekati pintu Gendhis.

“Makanlah, ini nasi pecel paling enak di sini! Dan ini air mineralnya, aku tahu kau tak suka minum manis, kau hanya minum air putih dan kopi pahit, jika sekarang kau meminum kopi pahit aku takut kau tak bisa tidur! Jadi minumlah air putih saja,” ujar Rio sambil menyodorkan nasi pecel pincuk dan sebotol air mineral untuk Gendhis.

Gendhis menerimanya, dia masih diam mematung tanpa menyentuh nasi pecel itu. Dia hanya memperhatikan tingkah Rio dari dalam mobil. Rio kemudian kembali ke warung tersebut dan membawa nasi pecel serta segelas teh hangat untuk dirinya sendiri.

'Tok...to...' Rio memberikan kode untuk membukakan pintu mobil untuknya. Karena kedua tangannya memegang makanan. Gendhis segera menaruh air mineral di laci dushboard mobil dan membuka pintunya.

"Terimakasih," kata Rio.

Rio memasuki mobil dan membuka moon roof mobil lalu mematikan mesinnya. Mereka makan nasi pecel berdua di dalam mobil dibawah bintang malam.

“Enak?” tanya Rio.

“Lumayan, tapi kurang pedes Mas! Kalo di Madiun pas malem ada yang enak! Namanya pecel Mak’e buka-nya tapi setengah dua pagi, anak-anak pernah ku ajak ke sana pas aku dapet tips banyak event dinas kemarin, sayang sampean saja yang tak ada! Kapan- kapan deh kita coba makan kesana, aku traktir,” kata Gendhis.

Rio hanya tersenyum tak menanggapi.

“Minggu depan kamu berangkat ya, ke jogja event nya perusahaan rokok! Ada 4 bus, kamu khusus bus petingginya, nanti sama mas Iim, Rosa, sama Guruh, bagaimana?" tanya Rio.

Gendhis hanya menjawab dengan anggukan.

“Mas, maaf nih ya sebelumnya, sampean (kamu) gak takut istri tau? Keluar sama aku malem-malem gini! Kalo aku mah bebas aja belum menikah, tapi sampean kan sudah menikah bahkan Mas Aam bilang sudah punya anak, bukankah tak baik keluar malam sendiri menjemput wanita seperti aku? Aku takut orang yang melihat kita akan ssalah paham, apalagi jika yang melihat mengenalmu! Apa kau tak papa? Kau tak risih? Kau tak keberatan?” tanya Gendhis hati- hati takut menyinggung perasaan Rio.

Rio menghela nafas.

"Sebenarnya aku...."



BERSAMBUNG

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

174