Bab 8 WOW
by Secilia Abigail Hariono
18:39,Oct 19,2023
WOW
Gendhis membiarkan telpon itu. Dia tak ingin mengangkatnya karena sudah larut malam. Beberapa kali notif pesan masuk, entah dari siapa Gendhis mengabaikan. Gendhis hanya ingin tidur malam ini.
Tring satu pesan masuk
[Kenapa gak diangkat?]
[Kamu party ya?]
3x panggilan video tak terjawab dari Rio.
"Ah dia menghancurkan mood pagiku," ujar Gendhis lirih.
Gendhis mengetik pesan untuk Rio.
[Semalam aku capek, tidur]
Balas Gendhis singkat. Pagi hari ini Gendhis memiliki beberapa jadwal untuk bertemu dengan banyak orang. Pak Muhaimin atasan Gendhis sudah mewanti- wanti sejak kemarin jangan sampai proyek gagal.
Tanktop hitam, blazer, celana kerja, serta heels hitam, di lengkapi cluth berinisial nama menjadi pilihan busana Gendhis hari ini. Setelah sarapan dengan nasi pecel buatan ibunya, Gendhis berpamitan untuk berangkat kerja. Mengendari mobil perlahan sambil mendengarkan alunan lagu dari cakra khan.
"Masih terlalu pagi, apa lebih baik aku mampir ke showroom Samuel ya," gumam Gendhis sendiri.
Dia melirik jam di mobil masih menunjukkan pukul 09.00 WIB. Mobil melajukan pelan menuju showroom motor Samuel kekasihnya. Terlihat showroom itu baru saja buka. Hery karyawan setia Samuel sedang membersihkan ruangan. Mobil Gendhis parkir di depan showroom.
“Selamat pagi Mas Her, rajin amat!” sapa Gendhis.
Hery tersenyum tersipu malu. Gendhis sangat menyukai pekerjaan Hery, dia karyawan yang tidak terlalu banyak bicara tetapi sangat cekatan bekerja.
“Ko Sam belum datang mas Her?” tanya Gendhis.
“Paling sebentar lagi Mbak,” jawab Hery sambil menyapu lantai.
Gendhis menyeduh dua gelas kopi, kopi pahit untuk dirinya sendiri dan kopi susu untuk Hery. Dia meletakkan kopi di meja tamu.
“Minum dulu Mas, temani aku," tawar Gendhis.
Hery hanya mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Gendhis menelpon kekasihnya dua kali tapi tak diangkat. Perlahan Gendhis menikmati kopi pahit. Dia melihat sekeliling showroom. Mengenang perjuangannya dan Samuel merintis usaha ini dari minus sampai bisa memiliki ruko dan karyawan.
Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk memulai usaha, suka duka tertipu orang, uang hilang dan sebagainya sudah mereka rasakan. Mungkin semua orang melihat Gendhis sukses di usia ini, memiliki pekerjaan yang mapan, usaha berjalan lancar, dan kekasih hati. Namun sungguh Gendhis tak seberuntung itu dalam hal percintaan.
"Ah, mengapa aku jadi mellow begini," gumam Gendhis.
Menjalani hubungan selama lima tahun tak lantas membuat Gendhis dan Samuel melanjutkan hubungan ke pernikahan karena perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Sakit hati karena dia dan kekasih sama- sama kekeh mempertahankan keyakinannya masing- masing. Tak ada yang mau mengalah.
Ibaratnya sakit tetapi memaksa untuk tetap bisa bersama, mereka rela harus berjalan di atas puing-puing cinta berbeda Tuhan. Tak terasa kopi Gendhis habis, Dia bergegas pergi untuk menemui client di salah satu hotel pusat kota.
"Mas Hery aku lanjut jalan dulu ya, tak terasa sudah siang, lekas minum kopinya tak enak jika sudah dingin!" pesan Gendhis.
"Tak menunggu Koko dulu Mbak?" tanya Hery.
"Ah kelamaan Mas, aku sudah menelponnya dua kali tetapi belum di angkat! Mungkin dia masih sibuk," ujar Gendhis.
"Mari Mas Hery," pamit Gendhis.
Hery mengangguk lalu kembali ke pekerjaannya. Gendhis segera berangkat menuju kantor. Seharian berkutat dengan pekerjaan membuat Gendhis lupa dengan handphone, ternyata beberapa panggilan tak terjawab dari Samuel. Segera Gendhis menelpon balik.
"Hallo Ko," sapa Gendhis sesaat telp diangkat.
"Kau sibuk ya?" tanya Samuel langsung.
"Ya, lumayan karena kemaren sempet jadi TL ke Malang akhirnya ada beberapa pekerjaan yang terpaksa ku undur," jawab Gendhis.
"Sudah ku bilang, untuk apa sih kau masih ngoyo (bersikeras) menjadi TL, bukannya apa- apa kasihan badanmu jika kau terus menforsirnya bekerja," tegur Samuel.
"Iya Ko, mungkin setelah acara ke Jogja aku akan istirahat sejenak," jawab Gendhis.
"Kita makan malam bersama yuk!" ajak Samuel.
"Boleh, aku rindu makan di Mulgiyo," pinta Gendhis.
"Oke, nanti pulang jam berapa? Aku akan menjemputmu di rumah! Kita jalan- jalan naik Sportster ya!" ajak Samuel.
"Baiklah, habis magrib ya!" kata Gendhis.
'Tut' telpon di matikan. Mereka sepakat untuk makan malam Mulgiyo salah satu angkringan yang terletak di sudut kota ini. Gendhis segera berkemas dan bersiap untuk pulang.
"Siap?" tanya Samuel.
"Lets go!" Seru Gendhis.
Samuel datang menjemput dengan motor gedenya, mereka berboncengan membelah jalanan kota. Angkringan ini memiliki banyak kenangan bagi Gendhis dan Samuel, di sini mereka ulu sering makan nasi kucing seharga Rp. 2.500 dan gorengan lima ratus rupiah, meskipun gorengan itu banyak tepung dari pada isinya.
"Pak Mul, miciyu!" teriak Gendhis saat sampai di angkringan.
Mulgiyo pemilik angkringan menoleh.
"Weh Bos lama tak ke sini!" sapanya.
Gendhis segera turun dan memilih beberapa macam makanan serta gorengan. Mereka memilih duduk di bagian bawah angkringan menghadap ke bantaran sungai bengawan yang mengalir langsung ke Solo.
“Sibuk ya me?” tanya Samuel.
Meme adalah panggilan yang di berikan Samuel sejak dulu pada Gendhis.
“Tau sendirilah Ko gimana pak Huda kalau akhir tahun” kata Gendhis sambil menyeruput kopi pahit panas.
Entah sudah kopi ke berapa gelas yang Gendhis minum hari ini. Kopi pahit dan Gendhis adalah dua kesatuan yang tak bisa di pisahkan.
“Showroom aman Me, banyak barang baru! Share profit ku kirim besok ya,” ucap Samuel.
"Atur saja Ko gimana baiknya, aku tak terlalu mengerti," jawab Gendhis.
“Ko, besok weekend aku berangkat lagi ke Jogja trip sama bironya Mas Dimas,” pamit Gendhis
“Kamu gak capek ta? Gak usahlah ngoyo Me apa lo yang mau kamu cari? Eman badanmu” ujar Samuel.
“Lumayan lah Ko pikirku, dapet cuan buat jajan! Yuda juga perlu banyak duit buat kuliah tahun depan! Lagian kapan lagi jalan-jalan di bayar, mungkin nanti kalau Yuda sudah enak aku akan berhenti Ko,” jawab Gendhis.
"Bukankah di telpon kau mengatakan bahwa trip ke Jogja adalah TL terakhirmu?" tanya Samuel.
"Masih banyak butuh duit Ko," kata Gendhis sambil memeluk lengan Samuel.
Samuel mengelus kepala Gendhis. Mereka mengobrol banyak hal. Hanya bersama Samuel Gendhis bebas menceritakan semua masalah hidupnya. Mulai dari hutang, uang, keluarga dan sebagainya. Dia lelaki yang menemani Gendhis dari nol sampai bisa di titik ini.
Meskipun agama berbeda, mereka sepakat dan memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya. Pukul 22.00 WIB mereka memutuskan untuk pulang, Samuel mengantarkan ke rumah langsung.
"Aku tak bisa menginap, harus menjaga Mama," pamit Samuel.
"Its oke Ko, hati- hati ya," pesan Gendhis.
Gendhis melambaikan tangannya saat Samuel dan motornya pergi meninggalkan kompleks perumahan milik Gendhis.
Hari berganti, tak ada kejadian yang begitu berarti. Sampai hari jumat tiba. Sebuah pesan masuk di Hp Gendhis.
[Mbak nanti habis magrib bisa ke cafe WOW, kita akan meeting keberangkatan buat trip hari sabtu. Jangan lupa dandan ada Ustad Rio lo]
Gendhis tersenyum membaca pesan Dimas. Dimas memang orang kepercayaan Rio dari dulu. Gendhis lekas melakukan semua kerjaan, dia segera pulang ke rumah untuk mandi dan berdandan.
"Hari ini pake baju apa ya enaknya?" tanya Gendhis pada dirinya sendiri.
Dia memilih baju yang berada di deretan rak almari. Pilihannya jatuh pada celana levis panjang, kaos putih, wedges navy, jam tangan, tas selempang.
"Tema OOTD hari ini adalah casual," kata Gendhis sembari berputar di depan cermin.
Dia melihat kaca dan mengamati volume bulu matanya yang nampak kosong di beberapa bagian.
"Ah sepertinya aku membutuhkan re- touch bulu mata," ujar Gendhis.
Dia mengoleskan cream pelembab ke wajah, tak lupa lipstik warna nude gradasi pink agar kesan bibir ombre tipis.
"Sempurna," ucap Gendhis.
Dia mengambil kunci mobil dan pergi ke cafe WOW. Tampak beberapa orang sedang menikmati alunan music live di dalam cafe. Gendhis mencari keberadaan Dimas. Mata Gendhis melihat sosok Rio yang sedang sibuk memberikan arahan kepada anak-anak yang bekerja di biro nya.
“Selamat malam semua,” sapa Gendhis ramah.
“Dasar ya Mbak Gendhis, udah tinggi hobi pakai sendal tinggi jiwa boncel ku meronta-ronta” sahut Rosa sembari memeluk Gendhis.
Memang Gendhis memiliki tinggi 163 cm di tambah wedges 5 cm dengan berat 58 kg membuat terlihat sedikit berisi.
"Duh kangen nih lama gak ketemu," sapa Gendhis.
Mereka memang cukup lama tak melihat bertemu. Gendhis dan Rosa beberapa kali terlibat trip bersama.
"Berpelukan begitu jadi pengen," seloroh Dimas.
"Immmmm, peyukin Mas Dimas Dong!" perintah Gendhis.
Grrrr, semua tertawa mendengar seloroh Gendhis.
Mereka melakukan meeting sampai malam. Malam itu Rio terlihat seperti biasa. Diam dan dingin walaupun beberapa kali Gendhis dan Rio saling bertatap tapi dia seolah acuh.
"Sebenarnya yang selalu bersamaku siapa sih? Mengapa orang ini bisa memiliki dua kepribadian yang berbeda? Apa jangan- jangan dia memang berkepribadian ganda? Atau memiliki kembaran?' tanya Gendhis dalam hati.
Tiba-tiba kaki Gendhis seperti di sentuh sesuatu. Dia sedikit terlonjak dan spontan melihat di bawah meja.
"Astaga!" pekik Gendhis dalam hati.
Apa yang sebenarnya terjadi?
BERSAMBUNG
Gendhis membiarkan telpon itu. Dia tak ingin mengangkatnya karena sudah larut malam. Beberapa kali notif pesan masuk, entah dari siapa Gendhis mengabaikan. Gendhis hanya ingin tidur malam ini.
Tring satu pesan masuk
[Kenapa gak diangkat?]
[Kamu party ya?]
3x panggilan video tak terjawab dari Rio.
"Ah dia menghancurkan mood pagiku," ujar Gendhis lirih.
Gendhis mengetik pesan untuk Rio.
[Semalam aku capek, tidur]
Balas Gendhis singkat. Pagi hari ini Gendhis memiliki beberapa jadwal untuk bertemu dengan banyak orang. Pak Muhaimin atasan Gendhis sudah mewanti- wanti sejak kemarin jangan sampai proyek gagal.
Tanktop hitam, blazer, celana kerja, serta heels hitam, di lengkapi cluth berinisial nama menjadi pilihan busana Gendhis hari ini. Setelah sarapan dengan nasi pecel buatan ibunya, Gendhis berpamitan untuk berangkat kerja. Mengendari mobil perlahan sambil mendengarkan alunan lagu dari cakra khan.
"Masih terlalu pagi, apa lebih baik aku mampir ke showroom Samuel ya," gumam Gendhis sendiri.
Dia melirik jam di mobil masih menunjukkan pukul 09.00 WIB. Mobil melajukan pelan menuju showroom motor Samuel kekasihnya. Terlihat showroom itu baru saja buka. Hery karyawan setia Samuel sedang membersihkan ruangan. Mobil Gendhis parkir di depan showroom.
“Selamat pagi Mas Her, rajin amat!” sapa Gendhis.
Hery tersenyum tersipu malu. Gendhis sangat menyukai pekerjaan Hery, dia karyawan yang tidak terlalu banyak bicara tetapi sangat cekatan bekerja.
“Ko Sam belum datang mas Her?” tanya Gendhis.
“Paling sebentar lagi Mbak,” jawab Hery sambil menyapu lantai.
Gendhis menyeduh dua gelas kopi, kopi pahit untuk dirinya sendiri dan kopi susu untuk Hery. Dia meletakkan kopi di meja tamu.
“Minum dulu Mas, temani aku," tawar Gendhis.
Hery hanya mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Gendhis menelpon kekasihnya dua kali tapi tak diangkat. Perlahan Gendhis menikmati kopi pahit. Dia melihat sekeliling showroom. Mengenang perjuangannya dan Samuel merintis usaha ini dari minus sampai bisa memiliki ruko dan karyawan.
Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk memulai usaha, suka duka tertipu orang, uang hilang dan sebagainya sudah mereka rasakan. Mungkin semua orang melihat Gendhis sukses di usia ini, memiliki pekerjaan yang mapan, usaha berjalan lancar, dan kekasih hati. Namun sungguh Gendhis tak seberuntung itu dalam hal percintaan.
"Ah, mengapa aku jadi mellow begini," gumam Gendhis.
Menjalani hubungan selama lima tahun tak lantas membuat Gendhis dan Samuel melanjutkan hubungan ke pernikahan karena perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Sakit hati karena dia dan kekasih sama- sama kekeh mempertahankan keyakinannya masing- masing. Tak ada yang mau mengalah.
Ibaratnya sakit tetapi memaksa untuk tetap bisa bersama, mereka rela harus berjalan di atas puing-puing cinta berbeda Tuhan. Tak terasa kopi Gendhis habis, Dia bergegas pergi untuk menemui client di salah satu hotel pusat kota.
"Mas Hery aku lanjut jalan dulu ya, tak terasa sudah siang, lekas minum kopinya tak enak jika sudah dingin!" pesan Gendhis.
"Tak menunggu Koko dulu Mbak?" tanya Hery.
"Ah kelamaan Mas, aku sudah menelponnya dua kali tetapi belum di angkat! Mungkin dia masih sibuk," ujar Gendhis.
"Mari Mas Hery," pamit Gendhis.
Hery mengangguk lalu kembali ke pekerjaannya. Gendhis segera berangkat menuju kantor. Seharian berkutat dengan pekerjaan membuat Gendhis lupa dengan handphone, ternyata beberapa panggilan tak terjawab dari Samuel. Segera Gendhis menelpon balik.
"Hallo Ko," sapa Gendhis sesaat telp diangkat.
"Kau sibuk ya?" tanya Samuel langsung.
"Ya, lumayan karena kemaren sempet jadi TL ke Malang akhirnya ada beberapa pekerjaan yang terpaksa ku undur," jawab Gendhis.
"Sudah ku bilang, untuk apa sih kau masih ngoyo (bersikeras) menjadi TL, bukannya apa- apa kasihan badanmu jika kau terus menforsirnya bekerja," tegur Samuel.
"Iya Ko, mungkin setelah acara ke Jogja aku akan istirahat sejenak," jawab Gendhis.
"Kita makan malam bersama yuk!" ajak Samuel.
"Boleh, aku rindu makan di Mulgiyo," pinta Gendhis.
"Oke, nanti pulang jam berapa? Aku akan menjemputmu di rumah! Kita jalan- jalan naik Sportster ya!" ajak Samuel.
"Baiklah, habis magrib ya!" kata Gendhis.
'Tut' telpon di matikan. Mereka sepakat untuk makan malam Mulgiyo salah satu angkringan yang terletak di sudut kota ini. Gendhis segera berkemas dan bersiap untuk pulang.
"Siap?" tanya Samuel.
"Lets go!" Seru Gendhis.
Samuel datang menjemput dengan motor gedenya, mereka berboncengan membelah jalanan kota. Angkringan ini memiliki banyak kenangan bagi Gendhis dan Samuel, di sini mereka ulu sering makan nasi kucing seharga Rp. 2.500 dan gorengan lima ratus rupiah, meskipun gorengan itu banyak tepung dari pada isinya.
"Pak Mul, miciyu!" teriak Gendhis saat sampai di angkringan.
Mulgiyo pemilik angkringan menoleh.
"Weh Bos lama tak ke sini!" sapanya.
Gendhis segera turun dan memilih beberapa macam makanan serta gorengan. Mereka memilih duduk di bagian bawah angkringan menghadap ke bantaran sungai bengawan yang mengalir langsung ke Solo.
“Sibuk ya me?” tanya Samuel.
Meme adalah panggilan yang di berikan Samuel sejak dulu pada Gendhis.
“Tau sendirilah Ko gimana pak Huda kalau akhir tahun” kata Gendhis sambil menyeruput kopi pahit panas.
Entah sudah kopi ke berapa gelas yang Gendhis minum hari ini. Kopi pahit dan Gendhis adalah dua kesatuan yang tak bisa di pisahkan.
“Showroom aman Me, banyak barang baru! Share profit ku kirim besok ya,” ucap Samuel.
"Atur saja Ko gimana baiknya, aku tak terlalu mengerti," jawab Gendhis.
“Ko, besok weekend aku berangkat lagi ke Jogja trip sama bironya Mas Dimas,” pamit Gendhis
“Kamu gak capek ta? Gak usahlah ngoyo Me apa lo yang mau kamu cari? Eman badanmu” ujar Samuel.
“Lumayan lah Ko pikirku, dapet cuan buat jajan! Yuda juga perlu banyak duit buat kuliah tahun depan! Lagian kapan lagi jalan-jalan di bayar, mungkin nanti kalau Yuda sudah enak aku akan berhenti Ko,” jawab Gendhis.
"Bukankah di telpon kau mengatakan bahwa trip ke Jogja adalah TL terakhirmu?" tanya Samuel.
"Masih banyak butuh duit Ko," kata Gendhis sambil memeluk lengan Samuel.
Samuel mengelus kepala Gendhis. Mereka mengobrol banyak hal. Hanya bersama Samuel Gendhis bebas menceritakan semua masalah hidupnya. Mulai dari hutang, uang, keluarga dan sebagainya. Dia lelaki yang menemani Gendhis dari nol sampai bisa di titik ini.
Meskipun agama berbeda, mereka sepakat dan memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya. Pukul 22.00 WIB mereka memutuskan untuk pulang, Samuel mengantarkan ke rumah langsung.
"Aku tak bisa menginap, harus menjaga Mama," pamit Samuel.
"Its oke Ko, hati- hati ya," pesan Gendhis.
Gendhis melambaikan tangannya saat Samuel dan motornya pergi meninggalkan kompleks perumahan milik Gendhis.
Hari berganti, tak ada kejadian yang begitu berarti. Sampai hari jumat tiba. Sebuah pesan masuk di Hp Gendhis.
[Mbak nanti habis magrib bisa ke cafe WOW, kita akan meeting keberangkatan buat trip hari sabtu. Jangan lupa dandan ada Ustad Rio lo]
Gendhis tersenyum membaca pesan Dimas. Dimas memang orang kepercayaan Rio dari dulu. Gendhis lekas melakukan semua kerjaan, dia segera pulang ke rumah untuk mandi dan berdandan.
"Hari ini pake baju apa ya enaknya?" tanya Gendhis pada dirinya sendiri.
Dia memilih baju yang berada di deretan rak almari. Pilihannya jatuh pada celana levis panjang, kaos putih, wedges navy, jam tangan, tas selempang.
"Tema OOTD hari ini adalah casual," kata Gendhis sembari berputar di depan cermin.
Dia melihat kaca dan mengamati volume bulu matanya yang nampak kosong di beberapa bagian.
"Ah sepertinya aku membutuhkan re- touch bulu mata," ujar Gendhis.
Dia mengoleskan cream pelembab ke wajah, tak lupa lipstik warna nude gradasi pink agar kesan bibir ombre tipis.
"Sempurna," ucap Gendhis.
Dia mengambil kunci mobil dan pergi ke cafe WOW. Tampak beberapa orang sedang menikmati alunan music live di dalam cafe. Gendhis mencari keberadaan Dimas. Mata Gendhis melihat sosok Rio yang sedang sibuk memberikan arahan kepada anak-anak yang bekerja di biro nya.
“Selamat malam semua,” sapa Gendhis ramah.
“Dasar ya Mbak Gendhis, udah tinggi hobi pakai sendal tinggi jiwa boncel ku meronta-ronta” sahut Rosa sembari memeluk Gendhis.
Memang Gendhis memiliki tinggi 163 cm di tambah wedges 5 cm dengan berat 58 kg membuat terlihat sedikit berisi.
"Duh kangen nih lama gak ketemu," sapa Gendhis.
Mereka memang cukup lama tak melihat bertemu. Gendhis dan Rosa beberapa kali terlibat trip bersama.
"Berpelukan begitu jadi pengen," seloroh Dimas.
"Immmmm, peyukin Mas Dimas Dong!" perintah Gendhis.
Grrrr, semua tertawa mendengar seloroh Gendhis.
Mereka melakukan meeting sampai malam. Malam itu Rio terlihat seperti biasa. Diam dan dingin walaupun beberapa kali Gendhis dan Rio saling bertatap tapi dia seolah acuh.
"Sebenarnya yang selalu bersamaku siapa sih? Mengapa orang ini bisa memiliki dua kepribadian yang berbeda? Apa jangan- jangan dia memang berkepribadian ganda? Atau memiliki kembaran?' tanya Gendhis dalam hati.
Tiba-tiba kaki Gendhis seperti di sentuh sesuatu. Dia sedikit terlonjak dan spontan melihat di bawah meja.
"Astaga!" pekik Gendhis dalam hati.
Apa yang sebenarnya terjadi?
BERSAMBUNG
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved