Bab 10 SIDANG MEDIASI

by Rara Qumaira 08:53,Aug 10,2023
"Aku masih di jalan, sayang. Ini mau pulang. Ada apa? Kenapa kamu panik gitu?" jawab Rachel.

"Sayang … tolong … perut aku sakit banget!" ujar Rachel.

"Sayang … kamu tenang dulu, oke? Sebentar lagi aku sampai!"

Akbar mengemudikan mobilnya dengan kencang. Beruntungnya, lalu lintas sedang lancar. Tak sampai setengah jam, dia sudah sampai di depan rumah.

"Sayang! Rachel! Kamu dimana?" teriak Akbar.

Bi Murni tergopoh-gopoh berlari ke depan.

"Maaf, Pak Akbar. Saya tadi sedang di belakang. Tidak mendengar Ibu memanggil saya." Bi Murni memberi penjelasan.

"Dimana Ibu sekarang?" tanya Akbar.

"Di kamarnya, Pak!"

Akbar segera berlari ke kamar.
"Sayang … kamu gak papa?" tanya Akbar panik.

"Sakit! Perutku sakit sekali!" teriak Rachel.

"Sepertinya Ibu mau melahirkan, Pak!" ujar Bi Murni.

"Benarkah? Sayang … tenang, ya!"

"Pak, kita harus membawa Ibu ke rumah sakit sekarang," ujar Bi Murni.


"Baiklah! Saya akan membawanya ke mobil sekarang! Bibi ikut, ya!" jawab Akbar.

"Iya, Pak! Saya akan menyiapkan perlengkapan bayinya dulu."

Bersama, mereka segera membawa Rachel ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Rachel langsung dibawa ke ruang bersalin.

Akbar menunggu di luar dengan panik.
"Maaf, Pak. Apa bapak tidak menghubungi Ibu Bapak?" tanya bi Murni.

"Benar juga. Kenapa aku tidak kepikiran dari tadi!"

Akbar segera menghubungi Ibunya.
"Halo, Akbar! Ada apa kamu menghubungi Ibu?" ujar Ibunya.

"Bu, Rachel mau melahirkan di rumah sakit Mega Husada. Bisakah Ibu datang kesini?" tanya Akbar.

"Baiklah! ibu kesana sekarang!"

"Terimakasih, Bu!"

Satu jam kemudian, Ibunya sudah tiba.
"Bagaimana bayinya? Sudah lahir?" tanya Ibunya.

"Belum, Bu. Masih di ruang operasi."

"Operasi? Kenapa harus operasi? Kenapa gak melahirkan normal saja?" omel Ibunya.

"Sudahlah, Bu. Yang penting Ibu dan bayinya selamat," ujar Akbar.

"Bi, sebaiknya bibi pulang saja, ya! Saya disini biar ditemani Ibu. Akan saya pesankan taksi."

"Gak usah, Pak. Bibi naik ojek saja."

"O … ya sudah. Ini ongkosnya."
"Iya, Pak! Terimakasih! Kalau begitu, saya permisi!"

Akbar masih duduk di ruang tunggu ditemani Ibunya.
Oek … oek ….
Terdengar suara tangisan dari ruang bayi.
Akbar menghela napas lega.

"Keluarga Ibu Rachel?" Terdengar suara perawat memanggil.

"Iya, Sus. Saya suaminya."

"Alhamdulillah, adeknya sudah lahir. Bayinya perempuan. Silahkan diadzani dulu," ujar perawat tersebut sembari menyerahkan bayinya ke gendongan
Akbar.

Akbar menggendong bayi tersebut dengan terharu. Anak yang dia tunggu selama lima tahun, kini ada dihadapannya. Dia tak mampu membendung air matanya.

Akbar mengadzani bayinya dengan berurai air mata.
"Bar, boleh Ibu menggendongnya?" tanya Ibunya setelah Akbar selesai mengadzani bayinya.

"Maaf, Bu. Kalau mau menggendong, nanti, ya. Kalau sudah di ruang perawatan. Sekarang, adeknya harus dibersihkan dulu," ujar perawat tersebut.

"Iya, Sus!" jawab Akbar sembari menyerahkan kembali bayinya kepada perawat.

"Ibu sabar dulu, ya! Setelah di ruang perawatan, Ibu bisa menggendong sepuasnya," ujar Akbar menenangkan Ibunya.

Ibunya hanya bisa menunduk lesu.

Dua jam kemudian, Rachel sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Akbar sedang menyuapinya, sementara bayinya masih di ruang bayi.

"Kenapa harus operasi, sih, Chel? Perempuan melahirkan operasi itu bukan perempuan sempurna. Manja," omel Ibu mertuanya.

"Bu, sudahlah! Gak usah dibahas! Ini sudah jadi kesepakatan kami!" sahut Akbar.

Ibu Akbar mencebik kesal.
"Udah, sayang! Kamu istirahat saja! Pasti capek!" ujar Akbar kepada istrinya.

"Tapi, jangan ditinggal ya?" ujar Rachel manja.

"Gak. Aku akan nemenin kamu disini. Udah, tidur sana!" ujar Akbar sembari menyelimuti Rachel.

****************************************

Pagi-pagi sekali,bi Murni sudah kembali ke rumah sakit. Kedatangannya bersamaan dengan perawat membawa bayinya.

"Selamat pagi, Bu Rachel!" sapa perawat tersebut.

"Selamat pagi, Sus!" jawab Rachel.

"Wah … ini cucu nenek! Sini, sus, biar saya gendong!" ujar Ibu Akbar.

"Sebentar saja, ya, Bu! Adeknya harus belajar menyusu sama Ibunya!"
Perawat tersebut menyerahkan bayi itu kepada Ibu Akbar.

Ibu Akbar tampak senang sekali. Akbar tersenyum melihatnya.

"Sudah, ya, Bu! Adeknya biar menyusu dulu!" Perawat tersebut mengambil bayi tersebut dari gendongan ibu Akbar dan menyerahkan kepada Rachel.

Ibu Akbar tampak cemberut.
"Bar, anterin Ibu pulang! Rachel biar ditunggu bi Murni."

"Iya Bu. Sayang, aku pulang dulu, ya. Hari ini aku sedang ada urusan. Jadi,mungkin siang atau sore baru bisa kesini,” ujar Akbar kepada Rachel.

"Kamu lebih mentingin urusan kamu daripada anak kita," ujar Rachel.

"Bukan gitu, sayang! Memang, urusannya ini tidak bisa ditinggal! Nanti kalo sudah selesai, aku langsung kesini, oke?"

"Janji, ya?"

"Iya, sayang. Aku janji. Udah, ya. Aku pulang dulu. Bi, titip Ibu ya!"

"Iya, Pak!" sahut bi Murni.

************************************

"Kamu mau kemana pagi-pagi begini?" tanya Ibu Akbar.

"Aku mau menghadiri sidang perceraianku, Bu!" jawab Akbar.

"Kalian beneran mau cerai?"


"Kienan sudah mengajukan gugatan cerai, Bu. Kalo aku, mau mempertahankan pernikahan kami. Ternyata, Kienan beneran hamil, Bu."

"Tahu dari mana kamu?"

"Kemarin aku ke rumahnya, dan aku melihat kotak susu ibu hamil."

"Ya udah … usahakan jangan sampai cerai. Rachel itu pelit. Tidak seperti Kienan yang royal sama Ibu dan adikmu."

Akbar tak menanggapi. Dia memang berencana menggagalkan gugatan cerai Kienan. Kalau dia bisa mengambil hati Kienan, kemungkinan kasus penyalahgunaan dana perusahaan bisa dibatalkan. Dia harus bisa mengambil hati Kienan lagi.

Akbar terus melajukan mobilnya. Setelah selesai mengantar Ibunya, Akbar segera pulang untuk bersiap.

Tak butuh waktu lama, dia segera meluncur ke pengadilan agama. Sidang sebentar lagi dimulai. Akbar menunggu dengan gelisah.

Selang tak berapa lama, Kienan pun hadir bersama Pak Firman. Sidang segera dimulai. Mereka masuk ke ruang sidang bersama-sama.

Agenda hari ini adalah mediasi. Kienan tetap keukeuh dengan keinginannya. Akbar tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya. Hakim memutuskan mediasi selama satu bulan.

Setelah mereka keluar dari ruang persidangan, Ak
bar segera menemui Kienan.

"Kienan! Bisa bicara sebentar?" tanyanya.

"Ada apa lagi? Kalau ada yang mau dibicarakan, sampaikan saja pada pak Firman. Permisi!" ujar Kienan seraya melangkahkan kakinya.

"Sebentar saja!"

"Baik. Lima menit. Ada apa?"

"Tolong … pertimbangkan lagi gugatan cerai kamu. Demi anak kita. Anak yang sudah kita tunggu selama lima tahun."

"Aku rasa apa yang aku sampaikan kemarin sudah cukup. Dan, aku tidak akan berubah pikiran. Permisi!"

Kienan segera melangkahkan kakinya meninggalkan Akbar sendiri di pelataran parkir. Akbar mengacak rambutnya frustasi.

Meninggalkan pelataran parkir, Akbar segera menuju rumah sakit.

"Dari mana kamu tadi?" tanya rachel saat Akbar sudah memasuki ruang perawatan.

"Apa kamu yang menyembunyikannya?" tanya Akbar.

"Menyembunyikan apa?" tanya Rachel heran.

"Surat panggilan dari pengadilan agama."

"Maaf!" ujar Rachel.

"Kenapa?"

"Aku gak mau datang kamu datang, agar proses perceraiannya cepat selesai. Kenapa? Kamu tidak mau bercerai dengan Kienan?"

Akbar menyugar rambutnya.
"Bukan begitu. Hanya saja …."

"Kenapa?" tanya Rachel penasaran.

"Kienan melaporkan kasus penggelapan dana yang kulakukan di perusahaan ke polisi. Kalau seandainya aku bisa mendapatkan hatinya Kienan lagi, mungkin dia mau mencabut gugatannya."

"Katamu dulu … aman?"

"Iya. Karena kepala audit perusahaan ikut terlibat. Tapi sayang, Kienan menggunakan tim audit swasta. Dan, dia tidak bisa disuap."

"Terus, bagaimana?" tanya Rachel penasaran.

"Aku akan berusaha agar Kienan tidak jadi menceraikan aku."


"Lalu, aku?" tanya Rachel.

"Kamu tenang saja, ya! Aku tidak akan meninggalkan kamu. Kamu adalah cinta pertamaku. Dulu, aku sudah pernah kehilangan kamu. Sekarang, gak mungkin aku menyia-nyiakan kamu!"

"Lalu, bagaimana caranya kamu untuk mendapatkan hati Kienan?"

"Aku akan menggunakan anak kami sebagai senjata."

"Anak kalian? Dia beneran hamil?"

"Iya, sayang! Kamu sabar dulu, ya! Aku pasti akan menikahi kamu secara resmi. Tapi, tidak dalam waktu dekat. Aku harus bisa mendapatkan hati Kienan dulu!"

"Iya, sayang! Aku ngerti, kok!" jawab Rachel sembari tersenyum.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

61