Bab 8 SUAP

by Rara Qumaira 08:51,Aug 10,2023
Pintu ruangan Kienan diketuk. Mereka berdua menoleh. Tampak Annisa disana.
"Selamat siang, pak Nizam! Maaf, jadi merepotkan Anda!" sapa Annisa.
"Gak papa! Kebetulan saja saya di lokasi kejadian," jawab Pak Nizam.
"Selamat siang, Bu Kienan! Bagaimana keadaan Ibu?" sapa Annisa.

Kienan tersenyum.
"Maaf, Pak Nizam! Bu Kienan biar saya yang menemani. Sebentar lagi keluarganya juga akan datang. Terimakasih atas bantuannya tadi!" ucap Annisa.

"Baiklah! Kalau begitu, saya permisi! Selamat siang, Bu Kienan! Semoga cepat sehat kembali!"

"Terimakasih, Pak Nizam!"

Pak Nizam meninggalkan kamar Kienan. Kini, tinggal mereka berdua.

"Tadi, saya sudah menghubungi Bi Asih. Sebentar lagi beliau akan kesini menemani Ibu dan membawa barang Ibu."

"Terimakasih, Nis! Maaf, merepotkan kamu!"

"Sudah menjadi tugas saya, Bu!"

***************************************
Di rumahnya, Rachel menerima surat panggilan sidang pertama perceraian Akbar dan Kienan. Dia segera menyembunyikan surat tersebut. Dia tidak ingin Akbar menghadiri sidang tersebut dan menghambat proses perceraian mereka.

Hari ini jadwal sidang pertama. Karena kondisi kesehatannya, Kienan belum bisa hadir. Dia hanya diwakili oleh pengacaranya.

Sementara Akbar, dia pun juga tidak hadir. Dia tidak tahu-menahu mengenai jadwal sidang hari ini.

Tok ...tok … tok ….
Pintu kamar rawat inap Kienan diketuk. Bi Asih segera membukanya. Tampak pak Firman disana.

"Selamat sore, Bi!"

"Selamat sore, Pak! Mari, masuk!"

Kienan tampak sedang duduk di brankarnya. Pak Firman segera duduk di kursi dekat brankar. Sementara bi Asih, duduk di sofa.

"Selamat sore, Bu Kienan!" sapanya.

"Selamat sore, Pak Firman!" jawab Kienan.

"Bu Kienan sudah tampak lebih sehat?"

"Alhamdulillah, Pak Firman. Bagaimana sidangnya, Pak Firman? Maaf, saya tidak bisa hadir."

Gak papa, Bu! Kondisinya memang seperti ini! Tadi, pak Akbar pun juga tidak hadir."

"Benarkah?"

"Iya, Bu! Jika pak Akbar tidak pernah hadir dalam sidang, ini akan lebih untuk kita, Bu!" Pak Firman memberi penjelasan.

"Semoga dia benar-benar tidak pernah hadir, Pak! Jadi, putusan sidang keluar segera keluar!"

"Iya, Bu! Semoga saja! Baiklah, Bu! Saya kesini hanya ingin melaporkan hal itu! Kalau begitu, saya permisi! Selamat sore, Bu!"

"Selamat sore, Pak!"

Sementara itu, Pak Nizam berniat menjenguk Kienan. Hari ini pekerjaannya begitu banyak sehingga dia sampai melupakan makan siangnya.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan, dia segera meluncur ke rumah sakit. Sebelum ke rumah sakit, dia membeli parcel buah untuk oleh-oleh, kemudian mampir untuk makan siang yang terlambat.

Saat sedang menikmati makanannya, seseorang menghampirinya.

"Selamat sore, Pak Nizam!" sapanya

"Selamat sore!" Pak Nizam mendongakkan kepalanya. Tampak, seraut wajah asing di depannya.

"Boleh saya duduk?" tanyanya lagi.

"Apa saya mengenal Anda?" Pak Nizam balik bertanya.

Pria tersebut tersenyum, lalu duduk tepat di hadapan Pak Nizam.

"Perkenalkan, saya Akbar, suami dari ibu Kienan," pria tersebut mengenalkan diri sembari mengulurkan tangannya.

Pak Nizam menyambut uluran tangan tersebut.

"Oh … maaf! Saya tidak tahu. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Pak Nizam ramah.

"Saya dengar, Anda yang menangani audit di perusahaan ibu Kienan. Apa itu betul?"

"Betul, Pak! Ada apa, ya?"

"Apa anda sudah menemukan bukti-bukti dan mengarah kepada seseorang?"

"Maaf, untuk masalah itu, saya harus laporan langsung kepada Bu Kienan."

"Bagaimana kalau kita bekerja sama?" ujar Akbar.

"Maksudnya?" tanya Pak Nizam.

Akbar menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Pak Akbar.

"Apa ini?" tanya pak Nizam tak mengerti.

"Bukalah!"

Pak Nizam membuka amplop tersebut. Disana, tampak segepok uang.

"Ini maksudnya apa?" tanya Pak Nizam.


"Itu lima puluh juta. Saya akan memberi lebih, asal pak Nizam bisa mengarahkan tersangkanya adalah pak Wisnu dan Pak Rama."

"Anda menyuap saya?"

"Tidak. Ini bukan suap. Ini hanya ucapan terima kasih karena Anda mau bekerja sama dengan saya," ucap Akbar sembari tersenyum.

"Maaf, saya tidak berminat," ucap pak Nizam sembari menyerahkan amplop itu kembali kepada Akbar.

"Kenapa? Kurang? Berapa yang Bapak minta? Pasti akan saya berikan," ucap Akbar penuh percaya diri.

"Dengan menyuap saya, itu sama saja Anda sudah membuka kedok Anda sendiri. Kasihan sekali Bu Kienan memiliki suami selicik Anda," ucap pak Nizam, lalu bangkit dan meninggalkan Akbar.

"Jangan buru-buru mengambil keputusan. Pikirkan dulu tawaran saya! Lain kali, saya akan menemui Anda lagi!"

Pak Nizam tidak menggubris ucapan Akbar. Dia terus melangkahkan kakinya dan segera menuju rumah sakit.

Ketika pak Nizam akan mengetuk pintu kamar rawat inap Kienan, tiba-tiba pak Firman membuka pintu dari dalam.

"Selamat sore, Pak Firman!" sapa Pak Nizam.

"Selamat sore, Pak Nizam! Mau jenguk Bu Kienan?" tanya pak Firman.

"Iya, Pak!"

"Langsung masuk saja, Pak Nizam! Saya permisi dulu!"

"Iya, Pak Firman! Terimakasih!"

Pak Nizam melangkah masuk.
"Selamat sore, Bu Kienan!" sapanya.

"Selamat sore,Pak Nizam! Jadi ngrepotin, nih!" ujar Kienan.

"Gak papa, Bu! Bagaimana keadaan Ibu?"

"Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terimakasih sudah mau menjenguk saya."

"Bu Kienan sama siapa?"

"Bi Asih, tadi masih keluar sebentar membeli makanan."

"Bu Kienan tidak punya keluarga?" tanya Pak Nizam penasaran.

"Gak ada, Pak. Orang tua saya sudah meninggal. Saya juga anak tunggal."

"Maaf, Bu."

"Gak papa, Pak! Memang sudah jalannya begini!"

Kienan mengulas senyuman. Mereka sama-sama terdiam. Suasana menjadi kikuk.

"Bagaimana perkembangan penyidikan, Pak?" tanya Kienan memecah keheningan.

"Tolong beri saya waktu seminggu lagi, Bu! Bukti-bukti kecurangan sudah ada, hanya perlu yang lebih kuat lagi untuk menjerat tersangkanya."

Kienan mengangguk-angguk mengerti.
"Apa menurut Bapak, aset saya bisa kembali?"

"Tentu, Bu! Begitu mereka menjadi tersangka, maka semua aset akan dibekukan sampai penyidikan selesai." Pak Nizam memberi penjelasan.

"Semoga semuanya berjalan lancar, ya, Pak!"

"Iya,Bu. Amin."

"Apa Ibu sudah melaporkan kasus tabrak lari ini?"

"Belum. Yang penting saya dan calon bayi saya selamat. Itu saja."

"Sebaiknya Ibu melapor. Saya siap menjadi saksi. Sepertinya, mobil itu memang mengincar Ibu."

"Benarkah?" tanya Kienan tak percaya.

"Iya, Bu. Saya melihat mobil itu berhenti. Tapi, saat ibu akan menyeberang, dia malah tancap gas. Apa Ibu punya musuh?"

"Saya rasa tidak, Pak! Satu-satunya masalah saya sekarang, ya yang Bapak tangani itu. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan tersangka, Pak?"

"Bisa jadi, Bu. Tapi, kita tidak bisa menuduh tanpa bukti. Biar pihak kepolisian yang bertindak."

Kienan mengangguk setuju.

******************************************
Dua hari kemudian, Kienan sudah diizinkan pulang. Hanya saja, karena kondisi kandungannya masih lemah, dia harus bedrest. Semua pekerjaan dihandel dari rumah. Dia meminta Annisa mengantarkan berkas-berkasnya ke rumah.

Satu Minggu berlalu dan ini hari pertama Kienan masuk kantor.
"Bagaimana kantor, Nis?"

"Alhamdulillah … masih bisa saya handel, Bu. Tapi, saya senang, akhirnya Ibu bisa ngantor lagi."

"Iya, Nis. Saya juga bosan di rumah terus. Ada meeting gak, hari ini?"

"Sementara gak ada, Bu. Saya belum menjadwalkan meeting untuk Ibu. Nunggu kondisi Ibu benar-benar pulih Hanya saja, lusa ada pertemuan dengan investor dari Singapura. Orangnya minta harus bertemu langsung dengan Ibu."

"Gak papa. Kamu atur saja jadwalnya."

"Ibu yakin?" tanya Annisa berusaha meyakinkan.

"Yakinlah! Saya sudah sehat, kok! Pak Nizam gak ke kantor?"

"Ekhm … cie … Bu Kienan nanyain pak Nizam," goda Annisa.

"Nisa!" ujar Kienan sembari melototkan matanya.

"Maaf, Bu! Keceplosan!" ujar Annisa sambil cengengesan.

"Iya, Bu! Kemarin pak Nizam datang bersama pihak kepolisian untuk olah TKP dan mengecek rekaman CCTV di sekitar tempat kejadian."

"Trus, bagaimana hasilnya?"

"Kata pak Nizam, disana nampak mobil tersebut parkir cukup lama sebelum mencoba menabrak Ibu. Semua sedang ditangani pihak kepolisian. Mereka yakin, ini percobaan pembunuhan. Semoga pelakunya segera ketemu."

"Iya. Saya juga penasaran, siapa yang bisa begitu jahat sama saya."

Tok … tok … tok ….
Annisa bergegas membuka pintu.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

61