Bab 11 Si Cantik Yang Jahat 3
by Kichi Ang
20:18,Aug 07,2023
#
Maira kecil menatap ibunya yang tampak melamun menatap siaran TV. Saat ia mendekat, barulah ia sadar kalau siaran TV itu sedang memberitakan skandal ayahnya bersama wanita lain.
Maira bergegas mengganti channel TV. Ia tidak mengerti kenapa ibunya terus menerus menonton berita tentang ayahnya yang tidak perduli lagi pada mereka.
“Mama… aku ingin menonton siaran kartun,” ucap Maira dengan gugup. Ia takut dimarahi karena sudah lancing mengganti siaran TV dengan tiba-tiba.
Maira berbalik dan menatap ibunya yang sekarang menunduk dengan tangan menutupi wajah. Kini terdengar isak tangis ibunya dan Maira hanya bisa berdiri diam tanpa tahu harus berbuat apa.
“Maira…. Mama harus bagaimana? Apa yang harus Mama lakukan agar Papamu kembali? Mama mau mati rasanya….”
Maira kecil hanya bisa berdiri dalam diam mendengarkan setiap keluhan dan tangisan ibunya sampai ia sendiri juga merasakan rasa sakit yang sama karena rasa tidak berdaya. Ia tidak tahu bagaimana caranya membantu ibunya. Ia juga merindukan ayahnya tapi sepertinya ayahnya tidak merindukan dirinya dan ibunya sama sekali.
Perlahan Amberly Hana menarik anaknya mendekat dan menatapnya lekat-lekat.
“Kenapa kau harus mirip denganku… Maira? Kalau kau mirip dengan Papamu…. Tidak… tidak… kau masih memiliki mata yang sama dengannya… kenapa dia tidak percaya? Seandainya kau sepenuhnya mirip dengannya…. Dia tidak akan pernah meragukanmu! Maira kenapa kau tidak mirip dengan Papamu? Kenapa kau tidak lebih mirip dengan Papamu?!”
Kali ini Amberly mengguncang-guncangkan tubuh mungil Maira. Tangannya memegang bahu ringkih Maira dengan semakin erat hingga Maira meringis kesakitan.
“Sa…sakit Mama…,” rintih Maira. Ia mulai menangis. Bukan hanya karena rasa sakit di bahunya yang saat ini dicengkram sang ibu tapi karena ketakutan dengan ekspresi ibunya yang menggelap.
Ibunya seakan kehilangan dirinya sendiri saat itu dan Maira semakin takut kalau ibunya akan benar-benar menghilang karenanya.
#
Maira tersentak bangun dari tidurnya dengan tiba-tiba. Peluh membasahi wajahnya dan napasnya terengah-engah.
Ia tampak termenung untuk sesaat dan kemudian menyadari kalau ia tertidur begitu saja masih dengan pakaian yang sama dengan yang dikenakannya sebelumnya.
Maira melihat jam dinding sudah menunjukkan jam enam pagi.
“Kenapa aku harus kembali memimpikan masa lalu seperti itu? Menyebalkan…,” keluhnya pada diri sendiri.
Dengan perlahan Maira bergerak turun dari tempat tidur dan bersiap untuk membersihkan tubuhnya. Ia sudah melewatkan makan malam karena tertidur dan tentu saja ia tidak akan melewatkan sarapan yang sudah pasti akan menjadi sedikit panas untuk penghuni rumah ini dengan kehadirannya.
Membayangkan hal itu membuat sebuah senyuman jahat tersungging di sudut bibir Maira. Ia merasa sangat tidak sabar untuk memberikan ketidaknyamanan di sarapan pagi kali ini.
Mood Maira yang tadinya sempat memburuk karena mimpi masa kecilnya kini mulai sirna saat menyadari betapa Nyonya Gea dan anak-anaknya pasti sangat tidak mengharapkan kehadirannya di meja makan dan merusak pagi mereka.
Maira melangkah ke kamar mandi, mengabaikan keadaan kamarnya yang masih berantakan karena ia belum sempat membereskan barang-barangnya sejak datang kemarin.
Di sisi lain, Galand melewati kamar Maira saat akan menuju ke ruang makan di bawah. Ia berdiri sejenak di depan pintu kamar Maira dan menatap pintu kamar itu tajam.
Kamar ini sampai kemarin adalah kamar dari adiknya Ayunda tapi sekarang kamar tersebut ditempati oleh orang lain. Dan orang lain itu adalah saudara tirinya yang juga akan menjadi rivalnya untuk posisi CEO di kantor.
Galand terpaku beberapa saat di depan pintu kamar itu, seakan tampak seperti tengah memikirkan sesuatu.
Ketika Gina yang kamarnya terletak tidak jauh dari kamar Maira keluar untuk sarapan, ia sedikit kaget melihat Galand berdiri di depan kamar Maira namun pada akhirnya gadis muda itu memutuskan untuk mendekati kakaknya.
“Kak…. sedang apa?” tanya Gina.
Galand mengalihkan pandangan pada adik bungsunya itu.
“Aku hanya penasaran kapan wanita jahat ini akan keluar dari dalam kamar,” ucap Galand.
Gina melihat hidung Galand yang diperban dan sedikit bengkak.
“Jangan-jangan Kakak ingin balas dendam pada Kak Maira?” tebak Gina.
Galand menaikkan sebelah alisnya melihat sambil menatap Gina.
“Memangnya kau pikir aku akan mematahkan hidungnya juga?” Galand balik bertanya.
Gina mengangguk jujur.
“Kakak kan marah sekali pada Kak Maira semalam, bahkan Kak Galand mengancam akan mematahkan rahang kak Maira,” balas Gina.
Galand menarik napas panjang.
“Gina apa kau pernah melihat aku, kakakmu ini menyakiti perempuan?” tanya Galand.
Gina tahu, Galand bukan tipe pria yang pernah bersikap kasar pada dirinya, Ibu mereka dan juga Ayunda, tapi ia tidak tahu dengan orang lain. Bagaimanapun ia banyak mendengar rumor tentang betapa kakak laki-lakinya itu tidak hanya disegani tapi juga ditakuti banyak orang.
Melihat adik perempuannya yang hanya terdiam, Galand sedikit merasa bersalah karena semalam telah menunjukkan sisi arogannya di hadapan adik bungsunya itu dan semua ini karena wanita jahat pembuat masalah itu. Semua karena kemunculan Maira.
“Sudahlah, kau akan terlambat ke sekolah, ayo turun sarapan. Maira akan turun untuk sarapan kalau memang dia ingin meski kalau boleh jujur, aku berharap dia tetap diam di kamarnya dengan tenang daripada kembali membuat masalah dengan Mama dan Ayunda,” ucap Galand.
“Kalau Kakak, Mama dan Kak Ayunda tidak menanggapi Kak Maira, kurasa suatu saat Kak Maira akan menerima kalau kita juga keluarganya,” ucap Gina dengan wajah polos.
Galand hanya bisa menarik napas panjang mendengar pemikiran Gina yang terlalu naif. Bagaimanapun semua orang kecuali Gina tahu kalau Maira tidak datang untuk sekedar menjadi sebuah keluarga bersama mereka. Si jahat itu datang untuk membuat kekacauan dan kalau bisa mengusir mereka semua ke jalanan tanpa belas kasihan.
“Lebih baik kita turun sekarang untuk sarapan. Mama pasti sudah menunggu,” ucap Galand akhirnya.
Galand tahu kalau Gina tidak akan bisa mengerti sekalipun ia menjelaskan tentang niat Maira yang ingin mengacaukan keluarga mereka, jadi lebih baik kalau ia bisa segera mengajak adik bungsunya itu untuk turun sarapan serta melupakan pembahasan tentang sebuah keluarga bahagia bersama Maira, wanita iblis yang sudah membuat hidungnya cedera semalam.
Gina mengangguk patuh pada Galand. Ia mengekor di belakang Galand menuju ke ruang makan.
#
Maira menatap penampilannya di cermin yang terlihat anggun sekaligus mengintimidasi, ia bahkan sengaja mengenakan lipstick dengan warna menyala untuk membuatnya terlihat semakin dominan.
Hari ini adalah hari perdana Maira diperkenalkan sebagai salah satu kandidat CEO selain Galand. Posisi yang sampai saat ini masih kosong karena Galand sendiri secara teknis hanya menjadi wakil CEO untuk menggantikan almarhum Sudjarko Narendra.
Dengan senyum di wajahnya, Maira melangkah masuk menuju ruang makan dan menyadari kalau semua anggota keluarga sudah berkumpul untuk sarapan.
“Kak Maira, selamat pagi,” sapa Gina begitu melihat sosok Maira.
Maira menatap Gina sejenak sebelum memilih tempat duduk di seberang Gina yang duduk di samping Ayunda, tepat bersebelahan dengan Galand. Ia seakan mengabaikan Gina.
Galand melirik Maira dengan senyuman sinis, diam-diam mengagumi keberanian Maira yang memilih tempat duduk disampingnya setelah semalam membuatnya cedera.
“Apa kau tidak pernah di ajarkan untuk membalas saat orang lain menyapamu?” tanya Galand. Ia sedikit kesal saat melihat bagaimana Maira mengabaikan Gina padahal di rumah ini justru hanya Gina-lah yang tetap bersikap baik padanya. Selain itu, kenyataannya Gina memiliki hubungan darah dengan Maira.
“Adik kecil, apa kau tidak pernah di ajarkan untuk tidak menyapa orang yang jelas-jelas tidak menyukaimu?” tanya Maira pada Gina. Kali ini ia mengabaikan Galand.
Gina mengigit bibirnya pelan, jelas ia paham kalau Maira sedang mengatakan kalau ia bahkan tidak menyukai dirinya.
“Tidak apa. Aku menyukai Kak Maira, sama seperti aku menyukai Kak Ayunda dan Kak Galand. Kakak tidak harus menyukaiku. Aku menghormati perasaan Kak Maira,” ucap Gina.
Maira sedikit tertegun dengan sikap yang ditunjukkan Gina.
“Baiklah. Kalau begitu aku juga tidak punya pilihan selain menghormati sikapmu. Tampaknya kau punya kepribadian yang cukup baik. Yang paling penting, kau tidak merengek dan tantrum seperti seseorang. Anak kecil yang tantrum bisa dimengerti, tapi orang dewasa yang tantrum rasanya cukup mengganggu,” ucap Maira. Ia melirik Ayunda penuh makna.
Ayunda berusaha keras mengabaikan Maira yang jelas-jelas ingin memancingnya juga pagi ini. Galand sudah memberi isyarat kepadanya sejak tadi untuk tidak terpancing dengan apapun yang akan dilakukan oleh Maira.
“Gina, memang terlalu baik. Aku masih tidak percaya kalian sama-sama anak Om Sudjarko karena kau sama sekali tidak terlihat memiliki kepribadian yang baik,” singgung Galand.
Maira kecil menatap ibunya yang tampak melamun menatap siaran TV. Saat ia mendekat, barulah ia sadar kalau siaran TV itu sedang memberitakan skandal ayahnya bersama wanita lain.
Maira bergegas mengganti channel TV. Ia tidak mengerti kenapa ibunya terus menerus menonton berita tentang ayahnya yang tidak perduli lagi pada mereka.
“Mama… aku ingin menonton siaran kartun,” ucap Maira dengan gugup. Ia takut dimarahi karena sudah lancing mengganti siaran TV dengan tiba-tiba.
Maira berbalik dan menatap ibunya yang sekarang menunduk dengan tangan menutupi wajah. Kini terdengar isak tangis ibunya dan Maira hanya bisa berdiri diam tanpa tahu harus berbuat apa.
“Maira…. Mama harus bagaimana? Apa yang harus Mama lakukan agar Papamu kembali? Mama mau mati rasanya….”
Maira kecil hanya bisa berdiri dalam diam mendengarkan setiap keluhan dan tangisan ibunya sampai ia sendiri juga merasakan rasa sakit yang sama karena rasa tidak berdaya. Ia tidak tahu bagaimana caranya membantu ibunya. Ia juga merindukan ayahnya tapi sepertinya ayahnya tidak merindukan dirinya dan ibunya sama sekali.
Perlahan Amberly Hana menarik anaknya mendekat dan menatapnya lekat-lekat.
“Kenapa kau harus mirip denganku… Maira? Kalau kau mirip dengan Papamu…. Tidak… tidak… kau masih memiliki mata yang sama dengannya… kenapa dia tidak percaya? Seandainya kau sepenuhnya mirip dengannya…. Dia tidak akan pernah meragukanmu! Maira kenapa kau tidak mirip dengan Papamu? Kenapa kau tidak lebih mirip dengan Papamu?!”
Kali ini Amberly mengguncang-guncangkan tubuh mungil Maira. Tangannya memegang bahu ringkih Maira dengan semakin erat hingga Maira meringis kesakitan.
“Sa…sakit Mama…,” rintih Maira. Ia mulai menangis. Bukan hanya karena rasa sakit di bahunya yang saat ini dicengkram sang ibu tapi karena ketakutan dengan ekspresi ibunya yang menggelap.
Ibunya seakan kehilangan dirinya sendiri saat itu dan Maira semakin takut kalau ibunya akan benar-benar menghilang karenanya.
#
Maira tersentak bangun dari tidurnya dengan tiba-tiba. Peluh membasahi wajahnya dan napasnya terengah-engah.
Ia tampak termenung untuk sesaat dan kemudian menyadari kalau ia tertidur begitu saja masih dengan pakaian yang sama dengan yang dikenakannya sebelumnya.
Maira melihat jam dinding sudah menunjukkan jam enam pagi.
“Kenapa aku harus kembali memimpikan masa lalu seperti itu? Menyebalkan…,” keluhnya pada diri sendiri.
Dengan perlahan Maira bergerak turun dari tempat tidur dan bersiap untuk membersihkan tubuhnya. Ia sudah melewatkan makan malam karena tertidur dan tentu saja ia tidak akan melewatkan sarapan yang sudah pasti akan menjadi sedikit panas untuk penghuni rumah ini dengan kehadirannya.
Membayangkan hal itu membuat sebuah senyuman jahat tersungging di sudut bibir Maira. Ia merasa sangat tidak sabar untuk memberikan ketidaknyamanan di sarapan pagi kali ini.
Mood Maira yang tadinya sempat memburuk karena mimpi masa kecilnya kini mulai sirna saat menyadari betapa Nyonya Gea dan anak-anaknya pasti sangat tidak mengharapkan kehadirannya di meja makan dan merusak pagi mereka.
Maira melangkah ke kamar mandi, mengabaikan keadaan kamarnya yang masih berantakan karena ia belum sempat membereskan barang-barangnya sejak datang kemarin.
Di sisi lain, Galand melewati kamar Maira saat akan menuju ke ruang makan di bawah. Ia berdiri sejenak di depan pintu kamar Maira dan menatap pintu kamar itu tajam.
Kamar ini sampai kemarin adalah kamar dari adiknya Ayunda tapi sekarang kamar tersebut ditempati oleh orang lain. Dan orang lain itu adalah saudara tirinya yang juga akan menjadi rivalnya untuk posisi CEO di kantor.
Galand terpaku beberapa saat di depan pintu kamar itu, seakan tampak seperti tengah memikirkan sesuatu.
Ketika Gina yang kamarnya terletak tidak jauh dari kamar Maira keluar untuk sarapan, ia sedikit kaget melihat Galand berdiri di depan kamar Maira namun pada akhirnya gadis muda itu memutuskan untuk mendekati kakaknya.
“Kak…. sedang apa?” tanya Gina.
Galand mengalihkan pandangan pada adik bungsunya itu.
“Aku hanya penasaran kapan wanita jahat ini akan keluar dari dalam kamar,” ucap Galand.
Gina melihat hidung Galand yang diperban dan sedikit bengkak.
“Jangan-jangan Kakak ingin balas dendam pada Kak Maira?” tebak Gina.
Galand menaikkan sebelah alisnya melihat sambil menatap Gina.
“Memangnya kau pikir aku akan mematahkan hidungnya juga?” Galand balik bertanya.
Gina mengangguk jujur.
“Kakak kan marah sekali pada Kak Maira semalam, bahkan Kak Galand mengancam akan mematahkan rahang kak Maira,” balas Gina.
Galand menarik napas panjang.
“Gina apa kau pernah melihat aku, kakakmu ini menyakiti perempuan?” tanya Galand.
Gina tahu, Galand bukan tipe pria yang pernah bersikap kasar pada dirinya, Ibu mereka dan juga Ayunda, tapi ia tidak tahu dengan orang lain. Bagaimanapun ia banyak mendengar rumor tentang betapa kakak laki-lakinya itu tidak hanya disegani tapi juga ditakuti banyak orang.
Melihat adik perempuannya yang hanya terdiam, Galand sedikit merasa bersalah karena semalam telah menunjukkan sisi arogannya di hadapan adik bungsunya itu dan semua ini karena wanita jahat pembuat masalah itu. Semua karena kemunculan Maira.
“Sudahlah, kau akan terlambat ke sekolah, ayo turun sarapan. Maira akan turun untuk sarapan kalau memang dia ingin meski kalau boleh jujur, aku berharap dia tetap diam di kamarnya dengan tenang daripada kembali membuat masalah dengan Mama dan Ayunda,” ucap Galand.
“Kalau Kakak, Mama dan Kak Ayunda tidak menanggapi Kak Maira, kurasa suatu saat Kak Maira akan menerima kalau kita juga keluarganya,” ucap Gina dengan wajah polos.
Galand hanya bisa menarik napas panjang mendengar pemikiran Gina yang terlalu naif. Bagaimanapun semua orang kecuali Gina tahu kalau Maira tidak datang untuk sekedar menjadi sebuah keluarga bersama mereka. Si jahat itu datang untuk membuat kekacauan dan kalau bisa mengusir mereka semua ke jalanan tanpa belas kasihan.
“Lebih baik kita turun sekarang untuk sarapan. Mama pasti sudah menunggu,” ucap Galand akhirnya.
Galand tahu kalau Gina tidak akan bisa mengerti sekalipun ia menjelaskan tentang niat Maira yang ingin mengacaukan keluarga mereka, jadi lebih baik kalau ia bisa segera mengajak adik bungsunya itu untuk turun sarapan serta melupakan pembahasan tentang sebuah keluarga bahagia bersama Maira, wanita iblis yang sudah membuat hidungnya cedera semalam.
Gina mengangguk patuh pada Galand. Ia mengekor di belakang Galand menuju ke ruang makan.
#
Maira menatap penampilannya di cermin yang terlihat anggun sekaligus mengintimidasi, ia bahkan sengaja mengenakan lipstick dengan warna menyala untuk membuatnya terlihat semakin dominan.
Hari ini adalah hari perdana Maira diperkenalkan sebagai salah satu kandidat CEO selain Galand. Posisi yang sampai saat ini masih kosong karena Galand sendiri secara teknis hanya menjadi wakil CEO untuk menggantikan almarhum Sudjarko Narendra.
Dengan senyum di wajahnya, Maira melangkah masuk menuju ruang makan dan menyadari kalau semua anggota keluarga sudah berkumpul untuk sarapan.
“Kak Maira, selamat pagi,” sapa Gina begitu melihat sosok Maira.
Maira menatap Gina sejenak sebelum memilih tempat duduk di seberang Gina yang duduk di samping Ayunda, tepat bersebelahan dengan Galand. Ia seakan mengabaikan Gina.
Galand melirik Maira dengan senyuman sinis, diam-diam mengagumi keberanian Maira yang memilih tempat duduk disampingnya setelah semalam membuatnya cedera.
“Apa kau tidak pernah di ajarkan untuk membalas saat orang lain menyapamu?” tanya Galand. Ia sedikit kesal saat melihat bagaimana Maira mengabaikan Gina padahal di rumah ini justru hanya Gina-lah yang tetap bersikap baik padanya. Selain itu, kenyataannya Gina memiliki hubungan darah dengan Maira.
“Adik kecil, apa kau tidak pernah di ajarkan untuk tidak menyapa orang yang jelas-jelas tidak menyukaimu?” tanya Maira pada Gina. Kali ini ia mengabaikan Galand.
Gina mengigit bibirnya pelan, jelas ia paham kalau Maira sedang mengatakan kalau ia bahkan tidak menyukai dirinya.
“Tidak apa. Aku menyukai Kak Maira, sama seperti aku menyukai Kak Ayunda dan Kak Galand. Kakak tidak harus menyukaiku. Aku menghormati perasaan Kak Maira,” ucap Gina.
Maira sedikit tertegun dengan sikap yang ditunjukkan Gina.
“Baiklah. Kalau begitu aku juga tidak punya pilihan selain menghormati sikapmu. Tampaknya kau punya kepribadian yang cukup baik. Yang paling penting, kau tidak merengek dan tantrum seperti seseorang. Anak kecil yang tantrum bisa dimengerti, tapi orang dewasa yang tantrum rasanya cukup mengganggu,” ucap Maira. Ia melirik Ayunda penuh makna.
Ayunda berusaha keras mengabaikan Maira yang jelas-jelas ingin memancingnya juga pagi ini. Galand sudah memberi isyarat kepadanya sejak tadi untuk tidak terpancing dengan apapun yang akan dilakukan oleh Maira.
“Gina, memang terlalu baik. Aku masih tidak percaya kalian sama-sama anak Om Sudjarko karena kau sama sekali tidak terlihat memiliki kepribadian yang baik,” singgung Galand.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved