Bab 6 Pewaris Sebenarnya 5

by Kichi Ang 20:07,Aug 07,2023
Galand sedikit banyak tahu dan pernah mendengar kalau ibunya adalah wanita kedua ayah tirinya. Wanita yang katanya telah menyingkirkan istri sah sebelumnya. Tentu saja, dia tidak sepenuhnya percaya tentang hal itu, ibunya mungkin istri kedua tapi dia percaya keretakan Sudjarko Narendra dengan Amberly Hana sudah terjadi bahkan sebelum ibunya masuk ke dalam hidup pria itu.
Rinaldi Prasetya membenarkan posisi kacamata miliknya kemudian berusaha dengan susah payah mempertahankan wajah datarnya.
“Saham perusahaan yang berada di bawah kepemilikan Tuan Sudjarko Narendra akan dibagikan pada istri sah dan anak-anaknya. Baik anak bawaan maupun anak yang mewarisi garis keturunan Narendra. Untuk itu Almaira Narendra akan mendapatkan bagian sebesar 33% kepemilikan saham, sedangkan Gea Narendra dan Galand Aditya masing-masing akan memperoleh 12% kepemilikan saham ditambah dengan perkebunan di area Bogor untuk Galand dan Villa di Bandung untuk Gea Narendra. Ayunda Narendra akan diberi 2% jika dia mau ikut serta bertanggung jawab atas perusahaan dengan pengawasan dari kedua kakaknya, yaitu Almaira dan Galand. Terakhir, Gina Narendra berhak atas kepemilikan saham sebesar 1% dan semua dana yang ia terima akan di transfer ke rekening pribadi yang dikelola oleh yayasan hingga dia cukup umur. Biaya pendidikannya akan ditanggung hingga dia lulus universitas yang dia pilih dan bisa mandiri. Lalu untuk ….”
“Ini tidak masuk akal!”
Nyonya Gea memotong kalimat Rinaldi Prasetya. Dia menatap pengacara itu dengan tatapan marah dan kesal. Bahkan sekalipun dia dan Galand menggabungkan saham yang mereka dapat, Almaira tetap berada di atas angin. Sementara itu mustahil memaksa dewan direksi lain untuk menjual saham milik mereka karena keuntungan perusahaan yang dengan ajaib tidak terpengaruh meski media dengan heboh meliput berpulangnya Sudjarko Narendra.
Rinaldi Prasetya letak kaca matanya. dia sudah tahu ini akan terjadi sebelumnya. Bahkan almarhum Sudjarko Narendra sudah memprediksi kejadian ini sebelum beliau meninggal.
“Ini adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh almarhum. Saya sama sekali tidak bisa mengatakan kalau ini tidak masuk akal selama ini adalah keinginan almarhum Tuan besar,” ucapnya.
“Pada akhirnya darah lebih kental daripada air. Tante ingin anak Tante menguasai harta keluarga Narendra? Tentunya, Papaku juga pasti memiliki keinginan yang sama. Benar kan Tante?” ucap Maira dengan nada sinis. Dia seakan sengaja menyinggung Nyonya Gea dan juga Galand.
“Maira kau sudah keterlaluan!”
Nyonya Gea ingin memaki Maira tapi Galand lagi-lagi menahannya. Mengingatkannya kalau apa pun yang terjadi di ruangan itu kini akan terekam di kamera.
Sebagai gantinya Galand menatap Maira dengan tatapan yang sama sinisnya.
“Kau benar-benar keterlaluan dengan penilaian sepihakmu. Asal kau tahu, aku sama sekali tidak berminat pada apa yang menjadi harta keluarga Narendra, tapi aku jelas-jelas tidak memiliki keinginan untuk menyerahkan apa yang sudah menjadi hasil dari kerja kerasku selama ini. Ini bukan masalah siapa yang lebih berhak, tapi masalah kompetensi. Aku akan dengan senang hati bersaing secara sehat dan terbuka untuk menempati kursi CEO, yah…. setidaknya, hal itu tidak sekedar ditentukan hanya karena kau memiliki saham terbanyak. Para pemegang saham tidaklah sebodoh itu,” ucap Galand.
Maira mengalihkan tatapannya ke arah Galand. Sejak awal dia juga sudah menilai kalau Galand bukanlah seorang yang bisa dianggap remeh.
“Kau sudah bekerja keras selama ini untuk Papaku, sayang sekali meski sudah menjilat Papa-ku hingga ke liang lahat, kau hanya mendapatkan 12%,” ucap Maira. Dia sengaja memberi provokasi pada Galand.
Rahang Galand mengeras mendengar ucapan Maira, tapi dia menekan emosinya. Dia tidak ingin terjatuh pada permainan kata Maira yang cukup tajam itu.
Tapi Ayunda yang tidak terima kakaknya dan ibunya dihina kini menatap Maira tajam.
“Kau mungkin anak kandung Papa, tapi kau selama ini bahkan tidak diakui dan diusir keluar dari keluarga Narendra. Lalu kau bilang kau layak menjadi pewaris keluarga Narendra? Benar-benar tidak tahu malu!” ucap Ayunda.
Maira tertawa kecil. Dia sama sekali tidak tampak terpengaruh dengan kata-kata Ayunda.
“Hal itu bukan kalian yang menentukan. Mau bagaimana lagi, aku ini Narendra sejati,” ucap Maira.
Gina hanya diam melihat perdebatan yang terjadi antara mereka selama beberapa saat. Wajahnya terlihat sedih. Almarhum ayahnya pernah mengatakan hal ini kepadanya, kalau hubungan keluarga akan di uji oleh harta, kalau permusuhan akan semakin melebar karena kekuasaan, namun dia sama sekali tidak menyangka kalau ibunya, kedua kakak yang dia sayangi dan kakak perempuannya yang baru muncul akan menjadi musuh seperti ini. Sejujurnya dia senang memiliki seorang kakak perempuan lagi seperti Maira, meskipun terlihat galak, namun Maira jelas lebih cantik dan berkarisma dibanding Ayunda. Bukan berarti dia membandingkan Ayunda dengan Maira, karena dia juga sangat sayang pada Ayunda yang selama ini sudah menjadi kakak perempuan yang baik untuknya. Bagi Gina, Ayunda adalah kakak kesayangannya juga meski terkadang Ayunda bersikap acuh dan sedikit tidak peduli dibandingkan Galand. Dia ingin menyambut Maira dalam keluarga mereka. Setelah mereka kehilangan ayah mereka, yang berarti kehilangan satu anggota keluarga, bukankah bertambah satu anggota keluarga adalah hal yang baik? Sayang sepertinya ibunya, Galand, Ayunda dan bahkan Maira tidak memiliki pemikiran yang sama dengannya.
Rinaldi Prasetya menangkap perubahan wajah Gina.
“Ehm, Nona Gina. Ada yang ingin Nona katakan?” tanyanya.
Gina mengangkat wajahnya dan kini semua mata mendadak tertuju kepadanya, termasuk Maira. Dia tampak ragu sejenak namun kemudian dia tampaknya menetapkan pikirannya.
“Mama, kak Galand, kak Yunda. Bukankah tidak baik mengeroyok satu orang seperti ini? Tiga lawan satu bukan lawan yang seimbang,” ucap Gina kepada ibu dan kedua kakaknya yang duduk di depannya.
Dia kemudian beralih ke arah Maira dengan takut-takut. Jelas sekali dia butuh keberanian besar untuk sekedar menatap wajah Maira yang terlihat dingin itu.
“Kak Maira, bukankah kakak juga adalah kakakku? Aku tidak meragukan kakak sebagai keluarga Narendra. Malahan aku senang memiliki satu orang kakak lagi, terutama kakak perempuan. Ja … jadi bisakah kakak ti … tidak marah pada Mama dan Kakak-kakakku?” Gina malah menjadi semakin gagap saat pandangannya bertemu dengan Maira.
Maira menatap Gina sesaat.
“Adik kecil, bukan aku yang memulai. Kau tahu kan? Aku akan diam kalau yang lainnya diam. Papa pasti juga mengajarimu bukan? Harga diri seorang Narendra, lebih dari apa pun. Bahkan semut pun akan menggigit kalau di injak,” ucap Maira.
Gina menggigit bibirnya pelan. Kemudian dengan mata berkaca-kaca dia berpaling pada Ibu dan kedua kakaknya.
“Mama, Kakak. Aku tahu, isi pesan terakhir Papa tidak sesuai harapan semuanya. Tapi bisakah kita mendengarkan semuanya sampai selesai? Aku ingin mendengar pesan terakhir Papa sampai selesai,” ucap Gina.
Galand mengerutkan dahinya dan kemudian mengangguk pelan. Begitu juga dengan Nyonya Gea dan Ayunda.
Maira perlahan menyadari kalau Gina mungkin adalah titik lemah semua orang. Dia tidak menyangka kalau perpaduan ayahnya dan Nyonya Gea bisa menghasilkan anak dengan hati selembut ini. Sebenarnya sifat Gina yang seperti ini mirip siapa?
Rinaldi Prasetya, kembali menarik napas panjang. Syukurlah kali ini sepertinya dia akan bisa melanjutkan pembacaan wasiat sampai selesai tanpa ada interupsi lagi. Dia tidak menyangka semua orang akan mendengarkan keinginan seorang gadis muda yang bahkan belum lulus sekolah.



Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

64