Bab 7 Pewaris Sebenarnya 6
by Kichi Ang
20:12,Aug 07,2023
#
Rinaldi Prasetya menarik napas panjang sebelum dia melanjutkan apa yang sudah diamanatkan oleh almarhum Sudjarko Narendra kepadanya. Dia tahu, hal yang terakhir ini adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang.
“Untuk rumah yang sekarang menjadi rumah utama keluarga Narendra yang bernilai total 210 milliar, kepemilikkannya akan dibagi kepada istri dan semua anak-anak sama rata,” ucap Rinaldi Prasetya.
Nyonya Gea dan Ayunda tampak menarik napas lega, Galand tidak menunjukkan reaksi apa-apa sementara Gina kembali menunduk, tidak berani menatap ibu dan semua kakaknya.
Maira tersenyum tipis.
“Benar-benar tipikal Papa sekali. Rumah yang dibangun untuk Mama-ku diberikan pada orang asing?” Kali ini Maira melayangkan pandangannya langsung ke-arah ayah dari kekasihnya itu.
“Om tahu kan alasan aku ada di tempat ini? Aku ingin mengubah rumah itu menjadi kuburan untuk Mama,” ucap Maira lagi. Kedua tangannya terkepal. Dia jelas ingin mendapatkan rumah yang menjadi obsesi almarhum ibunya itu. Rumah yang membuat ibunya begitu tersiksa karena tidak terima harus menyingkir dari rumah yang seharusnya adalah hadiah dari suaminya itu.
“Nona… anda harus mendengarkan isi wasiat Tuan sampai selesai sebelum Anda memutuskan semuanya,” ucap Rinaldi Prasetya.
Maira menatap penuh dendam ke-arah Nyonya Gea. Dia tidak menyembunyikan kebenciannya pada wanita paruh baya itu.
Di sisi lain, Galand tidak terima ibunya diperlakukan seperti seorang wanita yang sudah merebut suami orang lain padahal dia jelas tahu kalau ibunya dan Sudjarko Narendra menikah setelah pria itu bercerai dari istrinya, ibu kandung Maira.
“Kuburan seharga 210 milliar, benar-benar kesombongan seorang Narendra kurasa,” ucap Galand tajam. Nada suaranya merendah tapi efek dari kalimatnya jelas membuat Maira mengalihkan pandangan ke arahnya.
Mereka saling menatap dengan sorot merendahkan satu sama lain.
“Ehem…..” Rinaldi Prasetya kembali berdehem memecah ketegangan. Dia harus melakukan itu atau pembacaan surat wasiat ini tidak akan pernah selesai sampai kapanpun.
“Saya akan melanjutkan…. adalah wasiat penting dari almarhum dan juga penentu segalanya,” ucapnya.
Suasana kembali hening.
“Pemilik rumah adalah Nyonya Gea, Nona Maira, Nona Gina, Tuan Galand, Nona Ayunda, semua mendapat bagian sama rata dan juga hak yang sama untuk tinggal di rumah itu selama dua tahun. Dalam artian, semua yang ingin mendapatkan hak atas rumah itu harus tinggal bersama di rumah tersebut. Rumah tidak boleh dijual hingga masa dua tahun habis dan siapapun yang pertama kali meninggalkan rumah apapun alasannya akan kehilangan semua haknya, baik hak kepemilikkan rumah itu, maupun saham dan aset yang sudah dibagi sebelumnya. Ini adalah wasiat terakhir dari Tuan Sudjarko Narendra.” Rinaldi Prasetya menarik napas lega begitu dia selesai menyampaikan isi dari wasiat itu. Dia berpura-pura tidak perduli pada berbagai reaksi yang sekarang ditunjukkan oleh semua orang yang hadir di ruangan itu kecuali Gina yang tampaknya sama-sama merasa lega begitu surat wasiat itu selesai dibacakan.
Gina satu-satunya yang tidak merasa keberatan dengan seluruh isi surat wasiat sang ayah, sementara Maira yang menampilkan senyuman tipis jelas memiliki rencana di otaknya untuk membuat semua orang meninggalkan rumah itu.
Bahkan Rinaldi Prasetya sendiri-pun tidak bisa membayangkan bagaimana jika rumah termahal di Indonesia itu benar-benar berhasil dirubah oleh Maira menjadi kuburan ibunya, tapi di sisi lain dia juga tahu kalau Maira benar-benar akan melakukannya jika semua orang pada akhirnya menyerah pada kekacauan yang akan diciptakan oleh Maira. Lebih tepatnya, dia tahu kalau kedua kubu akan mencoba mengacaukan satu sama lain di rumah itu.
“Tante Gea, sudah menerima barang-barangku bukan? Aku yakin Tante akan meletakkannya di gudang,” sindir Maira.
Nyonya Gea menarik napas panjang. Dia tahu mulai sekarang dia harus belajar bersabar pada anak tirinya ini jika dia tidak mau di usir keluar dari rumah itu.
“Aku tidak sejahat yang kau pikirkan Maira, rumah itu adalah rumahmu juga, kau bisa menempati ruang tamu,” ucap Nyonya Gea. Dia menatap Maira dengan tatapan lurus.
Maira tersenyum.
“Pemilik rumah yang ditempatkan di ruang tamu? Benar-benar pemikiran yang menakjubkan.” Maira tersenyum.
“Cukup semuanya. Kita memiliki hak yang sama atas rumah itu. Kalau kau tidak suka ruang tamu, kau bisa memilih kamarmu sendiri. Ada begitu banyak kamar di rumah yang bahkan akan tetap cukup sekalipun kau membawa satu tim sepakbola menginap,” ucap Galand menengahi.
“Aku bukan tipe orang seperti Tante Gea yang membawa serta anak-anak dari orang lain ke dalam rumah keluarga Narendra dan menempatinya,” balas Maira ringan. Dia jelas-jelas tengah memancing Galand.
Rahang Galand mengeras menatap Maira, tapi gadis itu malah tersenyum mengejek.
“Kau boleh menghina aku dan adik-adikku, tapi berhentilah menghina Mama,” ucap Galand.
“Kalau aku tidak mau?” tantang Maira.
Galand mengepalkan tangannya. Dia baru akan membalas Maira tapi Rinaldi Prasetya sekali lagi memotong diantara keduanya.
“Saya merasa harus mengingatkan kalau ini saatnya kotak dibuka dan ditanda-tangani. Selain itu, ada hal yang sangat pribadi untuk kalian masing-masing di dalam lapisan kedua kotak itu jadi saya sangat menyarankan kalau bagian itu dibuka di rumah,” ucapnya.
Semua orang kini membuka lapisan pertama kotak itu dan semuanya tampak tercengang saat mereka membuka kotaknya masing-masing. Sudjarko Narendra menyelipkan sebuah foto dirinya dan semua orang di dalam ruangan itu yang dibingkai berukuran kartu pos, cukup untuk menjadi pajangan meja atau rak.
Itu adalah sebuah foto keluarga, menandakan betapa dia sangat menghargai keluarganya.
Di sisi lain, Maira mendapati foto kedua orang tuanya dengan dirinya yang masih kecil. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya masih menyimpan foto keluarga itu. Dia bahkan sudah tidak memilikinya sama sekali ketika almarhum ibunya membakar semua yang berhubungan dengan ayahnya itu. Untuk sesaat Maira merasakan matanya memanas namun dia menekan kuat-kuat air matanya.
“Cantik sekali, itu … mamanya kak Maira dan Kakak ya?”
Pertanyaan Gina yang mengintip dari sampingnya membuat Maira sontak membalik foto itu dengan suara keras, membuat semua orang kini menengok ke arahnya.
“Ini foto yang sudah lama hilang, tidak kusangka Papa masih menyimpannya. Hanya foto usang tidak berguna… kukira Papa akan memberiku kejutan yang lebih menyenangkan, sayang sekali, harapanku pada kejutan yang almarhum Papa persiapkan terlalu tinggi,” ucap Maira. Dia menggeser foto itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menandatangani semua dokumen yang dibutuhkan.
Galand mengamati dalam diam sikap dan reaksi Maira saat itu. Di matanya, Maira benar-benar wanita dingin yang tidak memiliki perasaan. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa ayah tirinya memiliki anak perempuan seperti Maira yang sama sekali tidak bisa menghargai kenangan yang dia tinggalkan khusus untuk anaknya itu.
Rinaldi Prasetya menarik napas panjang sebelum dia melanjutkan apa yang sudah diamanatkan oleh almarhum Sudjarko Narendra kepadanya. Dia tahu, hal yang terakhir ini adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang.
“Untuk rumah yang sekarang menjadi rumah utama keluarga Narendra yang bernilai total 210 milliar, kepemilikkannya akan dibagi kepada istri dan semua anak-anak sama rata,” ucap Rinaldi Prasetya.
Nyonya Gea dan Ayunda tampak menarik napas lega, Galand tidak menunjukkan reaksi apa-apa sementara Gina kembali menunduk, tidak berani menatap ibu dan semua kakaknya.
Maira tersenyum tipis.
“Benar-benar tipikal Papa sekali. Rumah yang dibangun untuk Mama-ku diberikan pada orang asing?” Kali ini Maira melayangkan pandangannya langsung ke-arah ayah dari kekasihnya itu.
“Om tahu kan alasan aku ada di tempat ini? Aku ingin mengubah rumah itu menjadi kuburan untuk Mama,” ucap Maira lagi. Kedua tangannya terkepal. Dia jelas ingin mendapatkan rumah yang menjadi obsesi almarhum ibunya itu. Rumah yang membuat ibunya begitu tersiksa karena tidak terima harus menyingkir dari rumah yang seharusnya adalah hadiah dari suaminya itu.
“Nona… anda harus mendengarkan isi wasiat Tuan sampai selesai sebelum Anda memutuskan semuanya,” ucap Rinaldi Prasetya.
Maira menatap penuh dendam ke-arah Nyonya Gea. Dia tidak menyembunyikan kebenciannya pada wanita paruh baya itu.
Di sisi lain, Galand tidak terima ibunya diperlakukan seperti seorang wanita yang sudah merebut suami orang lain padahal dia jelas tahu kalau ibunya dan Sudjarko Narendra menikah setelah pria itu bercerai dari istrinya, ibu kandung Maira.
“Kuburan seharga 210 milliar, benar-benar kesombongan seorang Narendra kurasa,” ucap Galand tajam. Nada suaranya merendah tapi efek dari kalimatnya jelas membuat Maira mengalihkan pandangan ke arahnya.
Mereka saling menatap dengan sorot merendahkan satu sama lain.
“Ehem…..” Rinaldi Prasetya kembali berdehem memecah ketegangan. Dia harus melakukan itu atau pembacaan surat wasiat ini tidak akan pernah selesai sampai kapanpun.
“Saya akan melanjutkan…. adalah wasiat penting dari almarhum dan juga penentu segalanya,” ucapnya.
Suasana kembali hening.
“Pemilik rumah adalah Nyonya Gea, Nona Maira, Nona Gina, Tuan Galand, Nona Ayunda, semua mendapat bagian sama rata dan juga hak yang sama untuk tinggal di rumah itu selama dua tahun. Dalam artian, semua yang ingin mendapatkan hak atas rumah itu harus tinggal bersama di rumah tersebut. Rumah tidak boleh dijual hingga masa dua tahun habis dan siapapun yang pertama kali meninggalkan rumah apapun alasannya akan kehilangan semua haknya, baik hak kepemilikkan rumah itu, maupun saham dan aset yang sudah dibagi sebelumnya. Ini adalah wasiat terakhir dari Tuan Sudjarko Narendra.” Rinaldi Prasetya menarik napas lega begitu dia selesai menyampaikan isi dari wasiat itu. Dia berpura-pura tidak perduli pada berbagai reaksi yang sekarang ditunjukkan oleh semua orang yang hadir di ruangan itu kecuali Gina yang tampaknya sama-sama merasa lega begitu surat wasiat itu selesai dibacakan.
Gina satu-satunya yang tidak merasa keberatan dengan seluruh isi surat wasiat sang ayah, sementara Maira yang menampilkan senyuman tipis jelas memiliki rencana di otaknya untuk membuat semua orang meninggalkan rumah itu.
Bahkan Rinaldi Prasetya sendiri-pun tidak bisa membayangkan bagaimana jika rumah termahal di Indonesia itu benar-benar berhasil dirubah oleh Maira menjadi kuburan ibunya, tapi di sisi lain dia juga tahu kalau Maira benar-benar akan melakukannya jika semua orang pada akhirnya menyerah pada kekacauan yang akan diciptakan oleh Maira. Lebih tepatnya, dia tahu kalau kedua kubu akan mencoba mengacaukan satu sama lain di rumah itu.
“Tante Gea, sudah menerima barang-barangku bukan? Aku yakin Tante akan meletakkannya di gudang,” sindir Maira.
Nyonya Gea menarik napas panjang. Dia tahu mulai sekarang dia harus belajar bersabar pada anak tirinya ini jika dia tidak mau di usir keluar dari rumah itu.
“Aku tidak sejahat yang kau pikirkan Maira, rumah itu adalah rumahmu juga, kau bisa menempati ruang tamu,” ucap Nyonya Gea. Dia menatap Maira dengan tatapan lurus.
Maira tersenyum.
“Pemilik rumah yang ditempatkan di ruang tamu? Benar-benar pemikiran yang menakjubkan.” Maira tersenyum.
“Cukup semuanya. Kita memiliki hak yang sama atas rumah itu. Kalau kau tidak suka ruang tamu, kau bisa memilih kamarmu sendiri. Ada begitu banyak kamar di rumah yang bahkan akan tetap cukup sekalipun kau membawa satu tim sepakbola menginap,” ucap Galand menengahi.
“Aku bukan tipe orang seperti Tante Gea yang membawa serta anak-anak dari orang lain ke dalam rumah keluarga Narendra dan menempatinya,” balas Maira ringan. Dia jelas-jelas tengah memancing Galand.
Rahang Galand mengeras menatap Maira, tapi gadis itu malah tersenyum mengejek.
“Kau boleh menghina aku dan adik-adikku, tapi berhentilah menghina Mama,” ucap Galand.
“Kalau aku tidak mau?” tantang Maira.
Galand mengepalkan tangannya. Dia baru akan membalas Maira tapi Rinaldi Prasetya sekali lagi memotong diantara keduanya.
“Saya merasa harus mengingatkan kalau ini saatnya kotak dibuka dan ditanda-tangani. Selain itu, ada hal yang sangat pribadi untuk kalian masing-masing di dalam lapisan kedua kotak itu jadi saya sangat menyarankan kalau bagian itu dibuka di rumah,” ucapnya.
Semua orang kini membuka lapisan pertama kotak itu dan semuanya tampak tercengang saat mereka membuka kotaknya masing-masing. Sudjarko Narendra menyelipkan sebuah foto dirinya dan semua orang di dalam ruangan itu yang dibingkai berukuran kartu pos, cukup untuk menjadi pajangan meja atau rak.
Itu adalah sebuah foto keluarga, menandakan betapa dia sangat menghargai keluarganya.
Di sisi lain, Maira mendapati foto kedua orang tuanya dengan dirinya yang masih kecil. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya masih menyimpan foto keluarga itu. Dia bahkan sudah tidak memilikinya sama sekali ketika almarhum ibunya membakar semua yang berhubungan dengan ayahnya itu. Untuk sesaat Maira merasakan matanya memanas namun dia menekan kuat-kuat air matanya.
“Cantik sekali, itu … mamanya kak Maira dan Kakak ya?”
Pertanyaan Gina yang mengintip dari sampingnya membuat Maira sontak membalik foto itu dengan suara keras, membuat semua orang kini menengok ke arahnya.
“Ini foto yang sudah lama hilang, tidak kusangka Papa masih menyimpannya. Hanya foto usang tidak berguna… kukira Papa akan memberiku kejutan yang lebih menyenangkan, sayang sekali, harapanku pada kejutan yang almarhum Papa persiapkan terlalu tinggi,” ucap Maira. Dia menggeser foto itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menandatangani semua dokumen yang dibutuhkan.
Galand mengamati dalam diam sikap dan reaksi Maira saat itu. Di matanya, Maira benar-benar wanita dingin yang tidak memiliki perasaan. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa ayah tirinya memiliki anak perempuan seperti Maira yang sama sekali tidak bisa menghargai kenangan yang dia tinggalkan khusus untuk anaknya itu.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved