Bab 3 Pewaris Sebenarnya 2
by Kichi Ang
19:58,Aug 07,2023
#
Maira menarik napas pelan saat ia masuk ke dalam mobil yang kemudian disusul oleh Jeremy, tunangannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jeremy khawatir saat melihat kedua mata Maira tampak memerah. Entah kenapa hanya pertanyaan itu yang bisa ia pikirkan meskipun ia tahu kalau Maira jelas sedang tidak baik-baik saja.
"Aku tidak merasa lebih baik meskipun sudah mengacaukan pemakaman Papa." Miara berpaling ke arah jendela mobil dan menopang wajahnya dengan tangan.
"Tuan Narendra sendiri mengizinkanmu untuk melakukan apa yang kau lakukan hari ini, jadi tidak perlu merasa berdosa. Kau harus kuat kalau kau memang tidak ingin semua hakmu berpindah pada orang lain," ucap Jeremy.
"Untuk semua penderitaan dan rasa malu yang sudah aku lalui bersama almarhum mama di masa lalu....apakah semua ini sepadan?" tanya Maira yang seakan ditujukan pada dirinya sendiri.
Jeremy meraih tangan Maira dan kemudian menggenggamnya erat.
"Sepadan untuk masa depanmu Maira, karena memperoleh pengakuan sebagai anak almarhum Tuan besar saja tidak cukup untuk menghapus jejak penolakan kepada almarhum Nyonya Amber. Kalau kau ingin memenuhi janjimu pada Nyonya, kau harus lebih kuat dari ini....dan mungkin lebih kejam lagi. Karena tidak akan mudah menyingkirkan Galand dari kursi kepemimpinan, jika kau tidak bisa membuktikan diri, meski ada anggota dewan direksi yang mendukungmu, ingatlah kalau sebagian besar dewan direksi, tidak suka dengan kemunculanmu sebagai pewaris yang baru," ucap Jeremy mengingatkan.
Maira menarik napas panjang. Janji yang dikatakan Jeremy adalah satu-satunya alasan ia menerima tawaran almarhum ayahnya untuk kembali terlibat dengan keluarga Narendra.
Dulu, menjelang kematian ibunya, Maira pernah diminta berjanji untuk merebut kembali haknya sebagai anak kandung ayahnya dan tidak menyisakan sepeser-pun untuk sahabat ibunya yang sudah memfitnah sang ibu.
"Maira...dengarkan Mama, suatu hari kau harus kembali ke rumah itu dan rebut semua yang seharusnya menjadi hakmu. Jadilah kejam dan buat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan! Mama tidak rela dengan semua yang kita alami...Mama tidak hanya membenci kebodohan Papamu tapi mereka semua...Maira...berjanjilah...kau akan membuat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan....berjanjilah...hanya kaulah satu-satunya harapan Mama."
Kalimat ibunya kembali terngiang di telinga Maira dan membuatnya menahan napasnya untuk beberapa saat.
"Kau benar, ini bahkan belum separuh jalan. Aku...belum selesai. Ini baru saja dimulai. Aku harus menepati janjiku pada Mama...untuk membuat mereka keluar dari rumah dan perusahaan." Maira mengepalkan tangannya di atas pangkuannya penuh tekat.
Jeremy hanya bisa menatap Maira dengan tatapan simpati. Dia hanya bisa mendukung dan menemani Maira untuk memenuhi apa yang sudah seharusnya menjadi jalan Maira. Ia adalah satu-satunya orang selain ayahnya yang tahu bagaimana menderitanya Maira dan almarhum Nyonya Amber selama ini.
"Setelah kau selesai dengan semua ini, mari kita menikah Maira. Aku akan membuatmu bahagia dan melindungimu agar kau tidak perlu lagi menanggung semuanya sendiri," ucap Jeremy.
Maira tersenyum datar. Ia tahu Jeremy selama ini tulus kepadanya, pria itu selalu bersamanya sebelum apa yang sudah dilakukan ayahnya dulu, dan pria itu juga adalah orang yang tetap di sampingnya, mengunjunginya di luar negeri setiap kali ada kesempatan atau ketika liburan sekolah. Perlakuan seorang Jeremy Prasetya tidak pernah berubah kepadanya baik ketika ia masih menjadi Nona muda keluarga Narendra, atau ketika ia dibuang dari keluarga Narendra menjadi gadis tanpa ayah setelah perceraian kedua orang tuanya, sampai ia kembali diakui sebagai pewaris keluarga Narendra, tepat sebelum ayahnya meninggal dunia. Akan tetapi, jauh di dalam hati Maira, ia terlalu takut untuk mencari kepastian, apakah dirinya memang benar-benar memiliki perasaan yang sama dengan Jeremy, ataukah rasa takut kehilangan yang ia miliki terhadap pria itu hanya sebatas perasaan seorang adik kepada orang yang sudah ia anggap kakak.
"Maira?"
Panggilan Jeremy membuat Maira tersentak dari lamunannya.
"Ya....tentu saja. Mari menikah setelah semuanya selesai," ucap Maira pada akhirnya.
Senyuman terukir di wajah Jeremy, dengan lembut ia meraih Maira ke dalam pelukannya dan mengecup puncak kepalanya pelan.
Maira memejamkan matanya untuk sejenak. Ia menikmati perlakuan lembut Jeremy. Untuk saat ini, ia sama sekali tidak ingin berpikir tentang perasaan. Ia hanya tidak ingin orang yang ia anggap berarti jauh darinya.
Bahkan meski suatu saat ia menyadari kalau ia tidak mencintai Jeremy, ia akan tetap menikah dengan pria itu demi mempertahankan pria itu tetap disisinya. Karena bagi Maira, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang-orang yang berarti untuknya.
#
Nyonya Gea terduduk lemas di ruang keluarga usai pemakaman suaminya yang heboh tadi. Ia kesal karena harus menghindari pertanyaan banyak orang serta kolega suaminya setelah kemunculan Maira. Untunglah kesan yang ditinggalkan Maira dengan caranya berbicara di pemakaman tadi sama sekali tidaklah baik.
Ibu Maira, Amberly Hana adalah seorang yang sangat lembut dan halus baik dalam bersikap maupun berbicara. Dan meskipun Maira memiliki wajah yang sangat mirip dengan sang ibu, kenyataannya Maira sangat arogan dan sarkastis. Jadi Nyonya Gea berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau kemunculan Maira sama sekali bukan ancaman untuk posisi Galand.
Ada banyak pemegang saham dan dewan direksi yang akan memihak Galand sekalipun surat wasiat almarhum suaminya nanti tetap menunjuk Maira sebagai ahli waris dari jabatan dan sebagian harta yang ditinggalkan oleh sang suami.
Galand sudah sejak awal bekerja keras untuk keluarga dan Narendra Group. Bahkan separuh dari hidup putranya itu hanya untuk Narendra Group. Ini sama saja seperti membuang putranya setelah tidak dibutuhkan lagi dan Nyonya Gea tidak tega melihat kalau hal itu harus terjadi pada Galand.
"Mama..."
Nyonya Gea menoleh saat melihat Galand kini sudah berdiri di sampingnya.
"Oh kau....di mana kedua adikmu?" tanya Nyonya Gea.
"Gina masih di pemakaman, Mama tahu sendiri kan, dia adalah yang paling terpukul karena kepergian Papa, sedangkan Ayunda tampaknya langsung pergi setelah pemakaman selesai. Mama tahu sendiri bukan, Ayunda bukan seseorang yang bisa di atur," ucap Galand.
Nyonya Gea memijit pelipisnya kesal. Ayunda memang bukan tipe gadis manis yang penurut seperti Gina, karakternya sedikit keras dan selalu melakukan banyak hal sesuka hati meskipun selama ini tidak sampai mendatangkan masalah untuk keluarga mereka.
Galand bisa melihat kegelisahan ibunya, karena itu ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang kejadian di pemakaman tadi. Ia mendekat dan memijit pelan pundak ibunya.
"Mama jangan khawatir, Ayunda sudah dewasa, dia pasti tahu bagaimana caranya menjaga sikap di saat-saat seperti ini, apalagi Om baru saja meninggal," ucap Galand lembut.
Nyonya Gea menarik napas pelan.
"Mama bukannya ingin menyalahkan adikmu Galand, tapi kau paham kan? Terlebih dengan kejadian di pemakaman tadi, kita salah langkah akan menjadi sorotan orang dan itu bisa saja membahayakan posisimu di kantor. Kau harus menjadi CEO utama perusahaan, kau layak untuk posisi itu setelah selama ini kau mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk Narendra grup," ucap Nyonya Gea.
"Aku paham Mama, jangan khawatir. Aku tidak mungkin kalah dari anak bau kencur yang baru saja muncul," ucap Galand meyakinkan ibunya.
Nyonya Gea menarik napas panjang. Ya, memang benar. Galandnya jauh lebih paham dan mengerti tentang seluk beluk perusahaan, meskipun surat wasiat menunjuk Maira yang baru muncul sebagai pemilik saham utama, dia tidak akan bisa begitu saja menduduki posisi CEO, terlebih jika tidak bisa membuktikan kemampuannya lebih baik dan pantas dibandingkan dengan putranya, Galand.
"Kau benar...kau memang benar," ucap Nyonya Gea.
Galand tersenyum, wajah tampannya yang sama sekali tidak mirip dengan ibunya itu tampak menyiratkan rasa percaya diri yang tinggi.
"Mama...Om mungkin lupa kalau sejak awal, aku-lah yang memegang dan mengurus perusahaan. Itu buka sesuatu yang bisa begitu saja dikuasai oleh anak kemarin sore. Jadi, jangan khawatir," ucap Galand.
Nyonya Gea kembali memijit pelipisnya saat mendengar ucapan Galand.
"Tidak bisakah kau menyebut dirinya Papa? Semua orang tahu kalau kau adalah pewaris Narendra Group, bagaimana mungkin kau tidak pernah bisa memanggil ayahmu dengan panggilan yang seharusnya," ucap Nyonya Gea lagi.
Galand mendesah pelan. Sesungguhnya ini adalah topik yang paling malas untuk ia bahas bersama ibunya.
"Mama, aku bukan Ayunda yang bisa dengan mudah melupakan asalku dan kurasa Om Narendra tidak pernah keberatan dengan itu. Aku menghormati Om Narendra sebagai mentor, atasan, dan juga kepala keluarga ini hingga akhir hayat beliau, tapi aku tidak bisa sama sekali menganggap beliau sebagai Papaku karena aku tahu siapa Papa kandungku yang sebenarnya. Mungkin buat Mama, Papa bukan suami yang baik, tapi buatku, Papa adalah ayah yang terbaik...aku tidak bisa menggantinya begitu saja dengan orang lain." Galand berusaha membuat ibunya mengerti.
Semenjak perpisahan kedua orang tuanya, Galand dan Gina awalnya tinggal bersama dengan ayah kandungnya. Akan tetapi ketika Nyonya Gea menikah dengan Tuan Narendra dan ayah kandung mereka mengalami kecelakaan yang membuatnya harus duduk di kursi roda seumur hidup, mereka berdua dibawa kerumah itu dan menjadi anak keluarga Narendra.
Berbeda dengan Ayunda yang bisa dengan mudah menerima keadaan dan mengganti nama belakangnya dengan Narendra, Galand berbeda. Ia menolak nama belakangnya diubah dan bersikeras menggunakan nama belakang ayah kandungnya. Karena itulah, nama belakangnya berbeda dengan kedua adiknya.
"Kau sama keras kepalanya dengan orang itu," ucap Nyonya Gea sambil menggeleng kesal.
Galand hanya tertawa mendengar kalimat yang keluar dari bibir ibunya.
"Kenapa Mama tidak beristirahat di kamar saja, biar aku yang mengurus semuanya. Aku tahu bukan hanya Guna yang kesulitan menerima kenyataan kalau Om sudah tidak ada lagi bersama kita. Mama adalah yang paling merasa berduka saat ini," ucap Galand berusaha menghibur ibunya.
Nyonya Gea akhirnya mengangguk. Ia memang lelah secara mental dan fisik, terlebih dengan kemunculan Maira yang secara tiba-tiba di pemakaman tadi.
Tapi baru saja wanita paruh baya itu bangkit berdiri dari kursinya, ia harus mengurungkan langkahnya ke atas saat beberapa pembantu masuk dengan membawa koper-koper berukuran besar.
"Apa ini? Siapa yang menyuruh kalian membawa barang-barang ini masuk?" tanya Nyonya Gea kesal.
"Ampun Nyonya...kami cuma disuruh Tuan Prasetya untuk membawa koper-koper ini masuk. Katanya ini adalah milik Nona Narendra."
Salah satu pelayan itu mencoba menjelaskan dengan wajah takut.
Galand mendekati salah satu koper itu dan melihat inisial yang terukir pada gagang koper itu.
"A.N ? Almaira Narendra ...," ucap Galand.
"Apa sebenarnya keinginan anak itu?! Astaga Sudjarko...kenapa kau melakukan ini kepadaku!" Nyonya Gea tampak kesal. Rasa dukanya semakin tersudut oleh rasa kecewanya yang muncul pada almarhum suaminya itu.
Tapi Galand hanya tersenyum.
"Jangan khawatir Mama. Kalau seekor kelinci mencoba memasuki sarang harimau, dia pasti mengira kalau dirinya adalah seekor beruang. Ini benar-benar menarik," ucap Galand.
Maira menarik napas pelan saat ia masuk ke dalam mobil yang kemudian disusul oleh Jeremy, tunangannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jeremy khawatir saat melihat kedua mata Maira tampak memerah. Entah kenapa hanya pertanyaan itu yang bisa ia pikirkan meskipun ia tahu kalau Maira jelas sedang tidak baik-baik saja.
"Aku tidak merasa lebih baik meskipun sudah mengacaukan pemakaman Papa." Miara berpaling ke arah jendela mobil dan menopang wajahnya dengan tangan.
"Tuan Narendra sendiri mengizinkanmu untuk melakukan apa yang kau lakukan hari ini, jadi tidak perlu merasa berdosa. Kau harus kuat kalau kau memang tidak ingin semua hakmu berpindah pada orang lain," ucap Jeremy.
"Untuk semua penderitaan dan rasa malu yang sudah aku lalui bersama almarhum mama di masa lalu....apakah semua ini sepadan?" tanya Maira yang seakan ditujukan pada dirinya sendiri.
Jeremy meraih tangan Maira dan kemudian menggenggamnya erat.
"Sepadan untuk masa depanmu Maira, karena memperoleh pengakuan sebagai anak almarhum Tuan besar saja tidak cukup untuk menghapus jejak penolakan kepada almarhum Nyonya Amber. Kalau kau ingin memenuhi janjimu pada Nyonya, kau harus lebih kuat dari ini....dan mungkin lebih kejam lagi. Karena tidak akan mudah menyingkirkan Galand dari kursi kepemimpinan, jika kau tidak bisa membuktikan diri, meski ada anggota dewan direksi yang mendukungmu, ingatlah kalau sebagian besar dewan direksi, tidak suka dengan kemunculanmu sebagai pewaris yang baru," ucap Jeremy mengingatkan.
Maira menarik napas panjang. Janji yang dikatakan Jeremy adalah satu-satunya alasan ia menerima tawaran almarhum ayahnya untuk kembali terlibat dengan keluarga Narendra.
Dulu, menjelang kematian ibunya, Maira pernah diminta berjanji untuk merebut kembali haknya sebagai anak kandung ayahnya dan tidak menyisakan sepeser-pun untuk sahabat ibunya yang sudah memfitnah sang ibu.
"Maira...dengarkan Mama, suatu hari kau harus kembali ke rumah itu dan rebut semua yang seharusnya menjadi hakmu. Jadilah kejam dan buat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan! Mama tidak rela dengan semua yang kita alami...Mama tidak hanya membenci kebodohan Papamu tapi mereka semua...Maira...berjanjilah...kau akan membuat mereka merasakan apa yang sudah kita rasakan....berjanjilah...hanya kaulah satu-satunya harapan Mama."
Kalimat ibunya kembali terngiang di telinga Maira dan membuatnya menahan napasnya untuk beberapa saat.
"Kau benar, ini bahkan belum separuh jalan. Aku...belum selesai. Ini baru saja dimulai. Aku harus menepati janjiku pada Mama...untuk membuat mereka keluar dari rumah dan perusahaan." Maira mengepalkan tangannya di atas pangkuannya penuh tekat.
Jeremy hanya bisa menatap Maira dengan tatapan simpati. Dia hanya bisa mendukung dan menemani Maira untuk memenuhi apa yang sudah seharusnya menjadi jalan Maira. Ia adalah satu-satunya orang selain ayahnya yang tahu bagaimana menderitanya Maira dan almarhum Nyonya Amber selama ini.
"Setelah kau selesai dengan semua ini, mari kita menikah Maira. Aku akan membuatmu bahagia dan melindungimu agar kau tidak perlu lagi menanggung semuanya sendiri," ucap Jeremy.
Maira tersenyum datar. Ia tahu Jeremy selama ini tulus kepadanya, pria itu selalu bersamanya sebelum apa yang sudah dilakukan ayahnya dulu, dan pria itu juga adalah orang yang tetap di sampingnya, mengunjunginya di luar negeri setiap kali ada kesempatan atau ketika liburan sekolah. Perlakuan seorang Jeremy Prasetya tidak pernah berubah kepadanya baik ketika ia masih menjadi Nona muda keluarga Narendra, atau ketika ia dibuang dari keluarga Narendra menjadi gadis tanpa ayah setelah perceraian kedua orang tuanya, sampai ia kembali diakui sebagai pewaris keluarga Narendra, tepat sebelum ayahnya meninggal dunia. Akan tetapi, jauh di dalam hati Maira, ia terlalu takut untuk mencari kepastian, apakah dirinya memang benar-benar memiliki perasaan yang sama dengan Jeremy, ataukah rasa takut kehilangan yang ia miliki terhadap pria itu hanya sebatas perasaan seorang adik kepada orang yang sudah ia anggap kakak.
"Maira?"
Panggilan Jeremy membuat Maira tersentak dari lamunannya.
"Ya....tentu saja. Mari menikah setelah semuanya selesai," ucap Maira pada akhirnya.
Senyuman terukir di wajah Jeremy, dengan lembut ia meraih Maira ke dalam pelukannya dan mengecup puncak kepalanya pelan.
Maira memejamkan matanya untuk sejenak. Ia menikmati perlakuan lembut Jeremy. Untuk saat ini, ia sama sekali tidak ingin berpikir tentang perasaan. Ia hanya tidak ingin orang yang ia anggap berarti jauh darinya.
Bahkan meski suatu saat ia menyadari kalau ia tidak mencintai Jeremy, ia akan tetap menikah dengan pria itu demi mempertahankan pria itu tetap disisinya. Karena bagi Maira, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang-orang yang berarti untuknya.
#
Nyonya Gea terduduk lemas di ruang keluarga usai pemakaman suaminya yang heboh tadi. Ia kesal karena harus menghindari pertanyaan banyak orang serta kolega suaminya setelah kemunculan Maira. Untunglah kesan yang ditinggalkan Maira dengan caranya berbicara di pemakaman tadi sama sekali tidaklah baik.
Ibu Maira, Amberly Hana adalah seorang yang sangat lembut dan halus baik dalam bersikap maupun berbicara. Dan meskipun Maira memiliki wajah yang sangat mirip dengan sang ibu, kenyataannya Maira sangat arogan dan sarkastis. Jadi Nyonya Gea berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau kemunculan Maira sama sekali bukan ancaman untuk posisi Galand.
Ada banyak pemegang saham dan dewan direksi yang akan memihak Galand sekalipun surat wasiat almarhum suaminya nanti tetap menunjuk Maira sebagai ahli waris dari jabatan dan sebagian harta yang ditinggalkan oleh sang suami.
Galand sudah sejak awal bekerja keras untuk keluarga dan Narendra Group. Bahkan separuh dari hidup putranya itu hanya untuk Narendra Group. Ini sama saja seperti membuang putranya setelah tidak dibutuhkan lagi dan Nyonya Gea tidak tega melihat kalau hal itu harus terjadi pada Galand.
"Mama..."
Nyonya Gea menoleh saat melihat Galand kini sudah berdiri di sampingnya.
"Oh kau....di mana kedua adikmu?" tanya Nyonya Gea.
"Gina masih di pemakaman, Mama tahu sendiri kan, dia adalah yang paling terpukul karena kepergian Papa, sedangkan Ayunda tampaknya langsung pergi setelah pemakaman selesai. Mama tahu sendiri bukan, Ayunda bukan seseorang yang bisa di atur," ucap Galand.
Nyonya Gea memijit pelipisnya kesal. Ayunda memang bukan tipe gadis manis yang penurut seperti Gina, karakternya sedikit keras dan selalu melakukan banyak hal sesuka hati meskipun selama ini tidak sampai mendatangkan masalah untuk keluarga mereka.
Galand bisa melihat kegelisahan ibunya, karena itu ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk bertanya tentang kejadian di pemakaman tadi. Ia mendekat dan memijit pelan pundak ibunya.
"Mama jangan khawatir, Ayunda sudah dewasa, dia pasti tahu bagaimana caranya menjaga sikap di saat-saat seperti ini, apalagi Om baru saja meninggal," ucap Galand lembut.
Nyonya Gea menarik napas pelan.
"Mama bukannya ingin menyalahkan adikmu Galand, tapi kau paham kan? Terlebih dengan kejadian di pemakaman tadi, kita salah langkah akan menjadi sorotan orang dan itu bisa saja membahayakan posisimu di kantor. Kau harus menjadi CEO utama perusahaan, kau layak untuk posisi itu setelah selama ini kau mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk Narendra grup," ucap Nyonya Gea.
"Aku paham Mama, jangan khawatir. Aku tidak mungkin kalah dari anak bau kencur yang baru saja muncul," ucap Galand meyakinkan ibunya.
Nyonya Gea menarik napas panjang. Ya, memang benar. Galandnya jauh lebih paham dan mengerti tentang seluk beluk perusahaan, meskipun surat wasiat menunjuk Maira yang baru muncul sebagai pemilik saham utama, dia tidak akan bisa begitu saja menduduki posisi CEO, terlebih jika tidak bisa membuktikan kemampuannya lebih baik dan pantas dibandingkan dengan putranya, Galand.
"Kau benar...kau memang benar," ucap Nyonya Gea.
Galand tersenyum, wajah tampannya yang sama sekali tidak mirip dengan ibunya itu tampak menyiratkan rasa percaya diri yang tinggi.
"Mama...Om mungkin lupa kalau sejak awal, aku-lah yang memegang dan mengurus perusahaan. Itu buka sesuatu yang bisa begitu saja dikuasai oleh anak kemarin sore. Jadi, jangan khawatir," ucap Galand.
Nyonya Gea kembali memijit pelipisnya saat mendengar ucapan Galand.
"Tidak bisakah kau menyebut dirinya Papa? Semua orang tahu kalau kau adalah pewaris Narendra Group, bagaimana mungkin kau tidak pernah bisa memanggil ayahmu dengan panggilan yang seharusnya," ucap Nyonya Gea lagi.
Galand mendesah pelan. Sesungguhnya ini adalah topik yang paling malas untuk ia bahas bersama ibunya.
"Mama, aku bukan Ayunda yang bisa dengan mudah melupakan asalku dan kurasa Om Narendra tidak pernah keberatan dengan itu. Aku menghormati Om Narendra sebagai mentor, atasan, dan juga kepala keluarga ini hingga akhir hayat beliau, tapi aku tidak bisa sama sekali menganggap beliau sebagai Papaku karena aku tahu siapa Papa kandungku yang sebenarnya. Mungkin buat Mama, Papa bukan suami yang baik, tapi buatku, Papa adalah ayah yang terbaik...aku tidak bisa menggantinya begitu saja dengan orang lain." Galand berusaha membuat ibunya mengerti.
Semenjak perpisahan kedua orang tuanya, Galand dan Gina awalnya tinggal bersama dengan ayah kandungnya. Akan tetapi ketika Nyonya Gea menikah dengan Tuan Narendra dan ayah kandung mereka mengalami kecelakaan yang membuatnya harus duduk di kursi roda seumur hidup, mereka berdua dibawa kerumah itu dan menjadi anak keluarga Narendra.
Berbeda dengan Ayunda yang bisa dengan mudah menerima keadaan dan mengganti nama belakangnya dengan Narendra, Galand berbeda. Ia menolak nama belakangnya diubah dan bersikeras menggunakan nama belakang ayah kandungnya. Karena itulah, nama belakangnya berbeda dengan kedua adiknya.
"Kau sama keras kepalanya dengan orang itu," ucap Nyonya Gea sambil menggeleng kesal.
Galand hanya tertawa mendengar kalimat yang keluar dari bibir ibunya.
"Kenapa Mama tidak beristirahat di kamar saja, biar aku yang mengurus semuanya. Aku tahu bukan hanya Guna yang kesulitan menerima kenyataan kalau Om sudah tidak ada lagi bersama kita. Mama adalah yang paling merasa berduka saat ini," ucap Galand berusaha menghibur ibunya.
Nyonya Gea akhirnya mengangguk. Ia memang lelah secara mental dan fisik, terlebih dengan kemunculan Maira yang secara tiba-tiba di pemakaman tadi.
Tapi baru saja wanita paruh baya itu bangkit berdiri dari kursinya, ia harus mengurungkan langkahnya ke atas saat beberapa pembantu masuk dengan membawa koper-koper berukuran besar.
"Apa ini? Siapa yang menyuruh kalian membawa barang-barang ini masuk?" tanya Nyonya Gea kesal.
"Ampun Nyonya...kami cuma disuruh Tuan Prasetya untuk membawa koper-koper ini masuk. Katanya ini adalah milik Nona Narendra."
Salah satu pelayan itu mencoba menjelaskan dengan wajah takut.
Galand mendekati salah satu koper itu dan melihat inisial yang terukir pada gagang koper itu.
"A.N ? Almaira Narendra ...," ucap Galand.
"Apa sebenarnya keinginan anak itu?! Astaga Sudjarko...kenapa kau melakukan ini kepadaku!" Nyonya Gea tampak kesal. Rasa dukanya semakin tersudut oleh rasa kecewanya yang muncul pada almarhum suaminya itu.
Tapi Galand hanya tersenyum.
"Jangan khawatir Mama. Kalau seekor kelinci mencoba memasuki sarang harimau, dia pasti mengira kalau dirinya adalah seekor beruang. Ini benar-benar menarik," ucap Galand.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved