Bab 14 Bagian 14
by Irma W
00:00,Aug 07,2021
Meski tahu kalau Stela Wen adalah istri sah Alex, tetap saja Emma merasa cemburu. Hatinya terasa sakit saat memergoki Alex tengah memeluk Stela. Karena merasa jengkel, selama perjalanan Emma terus memasang wajah cemberut.
“Sudahlah, jangan cemberut begitu,” kata Alex. “Kau kelihatan jelek kalau begitu.”
Emma menoleh cepat sambil menajamkan pandangan. “Oh, jadi maksudmu Stela yang cantik.”
“Bukan begitu. Maksudku, kau juga cantik, tapi jangan memasang wajah masam begitu.”
“Kau akan segera menikahiku, tapi kau masih tetap saja tergoda olehnya,” sungut Emma.
“Kata siapa?” tepis Alex. “Kalau aku tertarik padanya, aku tidak mungkin setiap malam bersamamu.”
Emma terdiam membebarkan kalimat Alex. Memang, hampir setiap malam Emma selalu ditemani Alex sebelum menjelang tidur. Akhir-akhir ini Alex pulang hanya untuk mandi, tidur dan makan saja. Sebagai sosok suami, harus Alex tahu kalau Stela juga menginginkan sebuah sentuhan.
Semua perdebatan berakhir setelah sampai di depan gedung apartemen yang dihuni Emma. Emma lantas turun sesaat setelah mengecup bibir Alex dengan mesra.
“Datang setelah pulang kerja,” kata Emma.
Alex mengangguk.
Mobil Alex kemudian berputar—berbalik arah—menuju ke kantornya. Di dalam perjalanan, Alex masih terngiang-ngiang dengan tampilan Stela yang begitu cantik. Sudah lama Alex tidak melihat Stela berdandan begitu feminim. Lalu, kenapa tiba-tiba berdandan begitu? Apa dia memang sengaja? Alex sedang menebak-nebak.
Sampai dikantor, Alex bergegas menuju ruang meeting. Hari ini sebenarnya ada pertemuan dengan salah satu pengusaha muda dari Diamond Grup. Salah satu perusahaan yang berdiri dalam bidang peralatan rumah tangga dan berbagai interior semacamnya.
Banyak perusahaan atau pabrik olah yang sangat menginginkan kerja sama dengan Diamond Grup. Selain periklanannya yang luas, sudah bisa dipastikan barang akan laku jual.
Alex sudah duduk bersama dengan para pengusaha lain yang hendak menawarkan produknya.
“Memang kau punya apa untuk ditawarkan?” seseorang yang duduk di dekat ketua terlihat mencibir sinis dalam hati.
Satu jam berlalu, meeting pun sudah usai. Hasil dari pertemuan ini memutuskan belum bisa memilih salah satu produk dari mereka-mereka. Bukan ditolak, tapi hanya diberi kesempatan untuk memperbaiki barang yang mereka tawarkan.
“Kau mau kemana, Peter?” tanya Paula saat Peter terlihat buru-buru menuju elevator.
Menunggu pintu terbuka, Peter menoleh ke arah Paula. “Hanya cari angin.”
Peter sudah masuk ke dalam lift. Seperti sudah tahu kemana arah tujuan Peter, Paula hanya mendecih dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Di mana wanita itu saat ini?” tanya Peter pada seseorang di balik ponselnya.
Peter memutuskan sambungan dan kembali melajukan mobilnya saat sudah mendapat jawaban.
Dari dalam mobil, Peter sudah bisa melihat sosok Stela di luar sana. Wanita itu sedang duduk termenung di sebuah taman yang lumayan ramai pengunjung. Ada beberapa anak muda yang berseliweran, dan juga ada beberapa orang tua yang sedang menjaga putranya bermain.
Saat sudah keluar dari mobil, Peter tidak langsung menghampiri Stela Wen. Ia berdiri—bersandar—pada dan mobil dengan kedua tangan terlipat. Diam-diam setiap ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman, saat melihat Stela Wen sedang tertawa kecil mengamati anak kecil yang sedang berlarian bersama beberapa teman-teman.
“Dia memang cantik,” gumam Peter. “Dan sepertinya hari ini ada yang berbeda.” Peter mengamati tampilan Stela yang tidak seperti biasanya.
Merasa penasaran, Peter pun mendekat.
“Kenapa tampilanmu berubah?”
“Eh,”
Stela terkejut saat suara berat Peter tiba-tiba terdengar. “Kau?” kata Stela kemudian.
Tanpa permisi, Peter duduk begitu saja di samping Stela. “Sedang apa kau di sini?”
Stela Wen menaikkan satu alisnya lalu bergeser. “Aku yang tanya, sedang apa kau di sini?”
Peter angkat bahu. “Tidak ada. Hanya ingin menemani seseorang.”
“Apa maksudmu?” Stela menoleh.
“Tidak ada,” sahut Peter singkat. “Oh iya, kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Kenapa tampilanmu berubah hari ini?”
Stela Wen melengos. “Bukan urusanmu.”
Peter menghela napas lalu bersandar pada kursi taman. Ia memejamkan mata sesaat dan menghirup udara segar.
“Aku sudah tahu karena apa,” kata Peter masih sambil memejamkan mata.
“Cih! Aku tidak peduli.” Stela meraih tas selempangnya lalu beranjak pergi.
Di belang Stela, Peter ternyata sudah ikut berdiri dan mengikuti langkah Stela.
“Berhenti mengikutiku!” hardik Stela.
“Siapa juga yang mengikutimu, aku sedang berjalan menuju mobilku,” sahut Peter santai.
Merasa jengkel dan dipermainkan, Stela lantas berdecak dan putar haluan. Namun, baru satu langkah berbalik, Peter sudah lebih dulu menarik lengan Stela.
“Ikut aku!” ajak Peter.
“Lepaskan!” Stela Wen menepis. “Kenapa kau selalu muncul di manapun aku ada?”
“Jangan banyak tanya, cepat masuk!” Peter membuka pintu mobil lalu mendorong tubuh Stela supaya segera masuk.
Meski beberapa kali berdecak dan menepis, pada akhirnya Stela pun duduk di jok mobil. Wajahnya merengut dan kedua tangan sudah terlipat di depan dada. Peter segera memutari mobil dan ikut masuk.
“Pasang sabuknya,” perintah Peter.
Stela menurut saja.
Setelah sabuk pengaman terpasang, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang.
“Berhentilah mengikutiku!” hardik Stela.
“Kau tidak ingat kalau punya hutang padaku?”
Stela Wen mendecih saat melihat kedua alis Peter bergerak naik turun. Pria ini sepertinya memang sengaja mengerjai dengan alasan hutang budi.
“Macam banci!” batin Stela kesal.
“Apa yang harus aku lakukan supaya hutangku segera lunas?” tanya Stela malas.
Peter tertawa kecil. “Santai saja, besok kau juga akan tahu. Kita nikmati dulu kedekatan kita supaya saat drama dimulai bisa terlihat nyata.”
Stela Wen menoleh tajam. “Apa maksudmu?”
“Tidak ada.”
Mobil pun berhenti di sebuah restoran sederhana.
“Ayo turun!” pinta Peter.
Stela mendengkus kesal. Ia bahkan sempat menghentakkan satu kakinya di dalam mobil.
“Masalahku sudah rumit, kenapa juga harus ada dia?” batin Stela.
Stela Wen akhirnya turun dari mobil. Ia menyibakkan rambut panjangnya yang semula menjuntai ke pundak. Sambil menyapu ke sekeliling, Stela merapikan bajunya yang sedikit tersingkap.
“Kau sudah cantik,” bisik Peter tiba-tiba.
Stela spontan menarik badan dan mendelik. “Jauh-jauh dariku!”
Sejujurnya pujian singkat itu membuat pipi Stela sempat memerah. Sebatas pujian yang mungkin tak sengaja, tapi kedengarannya sangat nyata.
“Ayo masuk!” Peter meraih tangan Stela.
“Peter!” Saat Stela hendak menepis, dari kejauhan seseorang tiba-tiba memanggilnya dengan lantang.
Peter segera berdecak sebal sementara Stela hanya terdiam mengamati seorang wanita cantik yang sedang berlari mendekat.
“Hai, Baby,” sapa Lizy sambil melirik sinis ke arah Stela.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Peter malas.
“Mau belanja. Saat melihatmu, aku jadi langsung ke sini.” ujar Lizy.
“Untuk apa?” Peter menggandeng lengan Stela Wen dengan kuat. “Aku mau makan siang dengan kekasihku. Jadi, aku harap kau tidak mengganggu.”
“Ke-kekasihmu?” pekik Lizy tak percaya.
Peter mengangguk sambil memamerkan tangan yang saling bergandengan. Stela Wen yang ingin menepis, tidak bisa karena Peter menggenggam terlalu kuat dan sudah mengkode supaya nurut saja.
***
“Sudahlah, jangan cemberut begitu,” kata Alex. “Kau kelihatan jelek kalau begitu.”
Emma menoleh cepat sambil menajamkan pandangan. “Oh, jadi maksudmu Stela yang cantik.”
“Bukan begitu. Maksudku, kau juga cantik, tapi jangan memasang wajah masam begitu.”
“Kau akan segera menikahiku, tapi kau masih tetap saja tergoda olehnya,” sungut Emma.
“Kata siapa?” tepis Alex. “Kalau aku tertarik padanya, aku tidak mungkin setiap malam bersamamu.”
Emma terdiam membebarkan kalimat Alex. Memang, hampir setiap malam Emma selalu ditemani Alex sebelum menjelang tidur. Akhir-akhir ini Alex pulang hanya untuk mandi, tidur dan makan saja. Sebagai sosok suami, harus Alex tahu kalau Stela juga menginginkan sebuah sentuhan.
Semua perdebatan berakhir setelah sampai di depan gedung apartemen yang dihuni Emma. Emma lantas turun sesaat setelah mengecup bibir Alex dengan mesra.
“Datang setelah pulang kerja,” kata Emma.
Alex mengangguk.
Mobil Alex kemudian berputar—berbalik arah—menuju ke kantornya. Di dalam perjalanan, Alex masih terngiang-ngiang dengan tampilan Stela yang begitu cantik. Sudah lama Alex tidak melihat Stela berdandan begitu feminim. Lalu, kenapa tiba-tiba berdandan begitu? Apa dia memang sengaja? Alex sedang menebak-nebak.
Sampai dikantor, Alex bergegas menuju ruang meeting. Hari ini sebenarnya ada pertemuan dengan salah satu pengusaha muda dari Diamond Grup. Salah satu perusahaan yang berdiri dalam bidang peralatan rumah tangga dan berbagai interior semacamnya.
Banyak perusahaan atau pabrik olah yang sangat menginginkan kerja sama dengan Diamond Grup. Selain periklanannya yang luas, sudah bisa dipastikan barang akan laku jual.
Alex sudah duduk bersama dengan para pengusaha lain yang hendak menawarkan produknya.
“Memang kau punya apa untuk ditawarkan?” seseorang yang duduk di dekat ketua terlihat mencibir sinis dalam hati.
Satu jam berlalu, meeting pun sudah usai. Hasil dari pertemuan ini memutuskan belum bisa memilih salah satu produk dari mereka-mereka. Bukan ditolak, tapi hanya diberi kesempatan untuk memperbaiki barang yang mereka tawarkan.
“Kau mau kemana, Peter?” tanya Paula saat Peter terlihat buru-buru menuju elevator.
Menunggu pintu terbuka, Peter menoleh ke arah Paula. “Hanya cari angin.”
Peter sudah masuk ke dalam lift. Seperti sudah tahu kemana arah tujuan Peter, Paula hanya mendecih dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Di mana wanita itu saat ini?” tanya Peter pada seseorang di balik ponselnya.
Peter memutuskan sambungan dan kembali melajukan mobilnya saat sudah mendapat jawaban.
Dari dalam mobil, Peter sudah bisa melihat sosok Stela di luar sana. Wanita itu sedang duduk termenung di sebuah taman yang lumayan ramai pengunjung. Ada beberapa anak muda yang berseliweran, dan juga ada beberapa orang tua yang sedang menjaga putranya bermain.
Saat sudah keluar dari mobil, Peter tidak langsung menghampiri Stela Wen. Ia berdiri—bersandar—pada dan mobil dengan kedua tangan terlipat. Diam-diam setiap ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman, saat melihat Stela Wen sedang tertawa kecil mengamati anak kecil yang sedang berlarian bersama beberapa teman-teman.
“Dia memang cantik,” gumam Peter. “Dan sepertinya hari ini ada yang berbeda.” Peter mengamati tampilan Stela yang tidak seperti biasanya.
Merasa penasaran, Peter pun mendekat.
“Kenapa tampilanmu berubah?”
“Eh,”
Stela terkejut saat suara berat Peter tiba-tiba terdengar. “Kau?” kata Stela kemudian.
Tanpa permisi, Peter duduk begitu saja di samping Stela. “Sedang apa kau di sini?”
Stela Wen menaikkan satu alisnya lalu bergeser. “Aku yang tanya, sedang apa kau di sini?”
Peter angkat bahu. “Tidak ada. Hanya ingin menemani seseorang.”
“Apa maksudmu?” Stela menoleh.
“Tidak ada,” sahut Peter singkat. “Oh iya, kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Kenapa tampilanmu berubah hari ini?”
Stela Wen melengos. “Bukan urusanmu.”
Peter menghela napas lalu bersandar pada kursi taman. Ia memejamkan mata sesaat dan menghirup udara segar.
“Aku sudah tahu karena apa,” kata Peter masih sambil memejamkan mata.
“Cih! Aku tidak peduli.” Stela meraih tas selempangnya lalu beranjak pergi.
Di belang Stela, Peter ternyata sudah ikut berdiri dan mengikuti langkah Stela.
“Berhenti mengikutiku!” hardik Stela.
“Siapa juga yang mengikutimu, aku sedang berjalan menuju mobilku,” sahut Peter santai.
Merasa jengkel dan dipermainkan, Stela lantas berdecak dan putar haluan. Namun, baru satu langkah berbalik, Peter sudah lebih dulu menarik lengan Stela.
“Ikut aku!” ajak Peter.
“Lepaskan!” Stela Wen menepis. “Kenapa kau selalu muncul di manapun aku ada?”
“Jangan banyak tanya, cepat masuk!” Peter membuka pintu mobil lalu mendorong tubuh Stela supaya segera masuk.
Meski beberapa kali berdecak dan menepis, pada akhirnya Stela pun duduk di jok mobil. Wajahnya merengut dan kedua tangan sudah terlipat di depan dada. Peter segera memutari mobil dan ikut masuk.
“Pasang sabuknya,” perintah Peter.
Stela menurut saja.
Setelah sabuk pengaman terpasang, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang.
“Berhentilah mengikutiku!” hardik Stela.
“Kau tidak ingat kalau punya hutang padaku?”
Stela Wen mendecih saat melihat kedua alis Peter bergerak naik turun. Pria ini sepertinya memang sengaja mengerjai dengan alasan hutang budi.
“Macam banci!” batin Stela kesal.
“Apa yang harus aku lakukan supaya hutangku segera lunas?” tanya Stela malas.
Peter tertawa kecil. “Santai saja, besok kau juga akan tahu. Kita nikmati dulu kedekatan kita supaya saat drama dimulai bisa terlihat nyata.”
Stela Wen menoleh tajam. “Apa maksudmu?”
“Tidak ada.”
Mobil pun berhenti di sebuah restoran sederhana.
“Ayo turun!” pinta Peter.
Stela mendengkus kesal. Ia bahkan sempat menghentakkan satu kakinya di dalam mobil.
“Masalahku sudah rumit, kenapa juga harus ada dia?” batin Stela.
Stela Wen akhirnya turun dari mobil. Ia menyibakkan rambut panjangnya yang semula menjuntai ke pundak. Sambil menyapu ke sekeliling, Stela merapikan bajunya yang sedikit tersingkap.
“Kau sudah cantik,” bisik Peter tiba-tiba.
Stela spontan menarik badan dan mendelik. “Jauh-jauh dariku!”
Sejujurnya pujian singkat itu membuat pipi Stela sempat memerah. Sebatas pujian yang mungkin tak sengaja, tapi kedengarannya sangat nyata.
“Ayo masuk!” Peter meraih tangan Stela.
“Peter!” Saat Stela hendak menepis, dari kejauhan seseorang tiba-tiba memanggilnya dengan lantang.
Peter segera berdecak sebal sementara Stela hanya terdiam mengamati seorang wanita cantik yang sedang berlari mendekat.
“Hai, Baby,” sapa Lizy sambil melirik sinis ke arah Stela.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Peter malas.
“Mau belanja. Saat melihatmu, aku jadi langsung ke sini.” ujar Lizy.
“Untuk apa?” Peter menggandeng lengan Stela Wen dengan kuat. “Aku mau makan siang dengan kekasihku. Jadi, aku harap kau tidak mengganggu.”
“Ke-kekasihmu?” pekik Lizy tak percaya.
Peter mengangguk sambil memamerkan tangan yang saling bergandengan. Stela Wen yang ingin menepis, tidak bisa karena Peter menggenggam terlalu kuat dan sudah mengkode supaya nurut saja.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved