Bab 5 EMPAT - SO IT WASN'T A DREAM?!

by Veedrya 09:58,May 01,2021
Hafid's

Manajer kantor cabang yang sekarang diauditnya sungguh menguras stock sabarnya. Datanya tidak lengkap, dan jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan selalu setengah - setengah. Pekerjaannya menumpuk menjelang akhir tahun seperti ini! Dan dia punya banyak deadline! Tokek tua di depannya ini malah mengulur waktu berharganya dan membuatnya harus kembali lagi kesini besok!
“Tolong besok disiapkan semua berkas yang saya minta. Kita dikejar waktu, saya dan tim tidak bisa mulai audit jika data yang anda kumpulkan tidak ada yang valid seperti ini. Saya permisi.” Dia mengemasi bawaannya dan keluar dari kantor tersebut. Tangannya sibuk mengutak utik ponselnya. “Halo, Pak. Tim belum bisa kesini besok, dan data belum bisa saya upload karena belum lengkap.” Jeda. Dia mendengarkan sambil menerobos gerimis masuk ke mobilnya. “Sudah, Pak. Saya sudah email seperti yang saya cc ke Bapak. Saya juga menelpon kemarin siang untuk mengingatkan dan dia bilang semua oke.” Jeda lagi. Dia meletakkan tas dan map - map yang tadi dia bawa ke kursi belakang. “Iya, Pak. Tadi saya sudah usahakan untuk upload semua data yang saya dapat. Tapi masih ada yang kurang jadi harus nunggu…. Baik, Pak. Selamat malam.”
Dia melempar ponselnya ke dashboard mobil dan mengucek wajahnya. Gilak! Kampr*t banget sih, ini menejer. Bikin pusing aja! Karena ketahan sehari, pekerjaan timnya bisa kacau balau!
Dia meraih kembali ponselnya dan menelpon orang lain.
“Ming! Ah, menejer favorit lo kampret! Dia nggak serius prepare yang kita minta dong! Ke delay kerjaan. Belom, tim belom bisa kesini besok. Lo ikut gue besok nyamperin die, ye! Gue samperin, besok gue ngantor! Tapi pulang sendiri. Yodeh, ampe besok.”
Kruuukkk!
Dia ingat dirinya belum makan sejak siang tadi. Dan walaupun di rumah ada beberapa bahan makanan sederhana seperti beras, mie instan, pasta dan telur, hari ini dia sedang malas untuk masak. Tapi mengingat persediaan makanannya yang mengenaskan, mau tak mau dia harus mampir supermarket untuk persediaannya. Ah, ribet jadi bujangan. Gara - gara makannya yang tak teratur dan kadang tidak sehat, Bunda sering sekali menelponnya dan menyuruhnya segera menikah! Dia baru 25, tolong! Perjalanannya masih panjang, Bun!
Dia membelokkan mobilnya ke supermarket di dekat gedung apartemennya. Disana juga ada foodcourt. Dia bisa sekalian makan sebelum pulang. Dia memutari supermarket dengan cepat. Mengambil apa yang dia ingat dia butuhkan di rumah dan melewati selasar yang tidak dianggapnya penting. Dia capek! Mau langsung makan, pulang, mandi trus istirahat!
“Terimakasih, silakan datang berbelanja kembali.” Ucapan kasir dalam nada monoton itu diabaikannya begitu saja. Dia langsung menuju food court di depan, dekat parkiran. Langkahnya terhenti saat melihat cewek itu sibuk memasukkan belanjaannya kembali, dan menyentak kantong plastiknya saat sadar benda putih itu robek dan tidak bisa digunakan.
Kenapa akhir - akhir ini dia selalu ketemu cewek itu, sih?!
Dia nyaris mengabaikannya saat dilihatnya sosok mungil yang sedang berjongkok itu menundukkan kepalanya. Hafid sadar objek yang dipandanginya sedang menangis saat bahunya berguncang keras. Lah, mau ada ujan badai apa ya, liat cewek lampir model gitu nangis? Batinnya. Tapi kakinya tetap berjalan mendekat, antara tidak tega dan penasaran.
“Belanjaan lo berserakan, nih.” Bahu kurus itu tersentak kaget. Kepalanya mendongak, membuatnya melihat mata merah sembab itu lagi. Kali ini, dengan lelehan bening menuruninya. Melihatnya, entah kenapa hatinya merasa tercubit.
Sadar akan keadaannya, Ida buru - buru menunduk dan mengusap air matanya. Dia beranjak mengumpulkan belanjaannya ke dalam tote bag nya. Sebagian lainnya ditahannya di depan dada dengan kedua tangan, lalu buru - buru pergi dari situ.
“Hei.” Hafid menahan lengannya, membuat nafas Ida tersentak keras. Dia juga bingung kenapa tangannya reflek menahan kepergian Ida. “Bukannya ini motor lo? Mau kemana?”
“Bocor. Gue jalan aja. Deket ini.” Katanya pelan.
Benar. Ban belakang motor matic itu kempes parah. Tidak mungkin bisa dinaiki. Kemungkinan sudah bocor sejak dalam perjalanan kesini, tapi karena ditinggal lumayan lama, hampir semua udara sekarang meninggalkan rongga bulat hitam itu.
Jalan katanya? Masih lumayan jauh buat jalan, coy! Dan ini malam hari! Biasa di gang di antara gedung situ suka ada preman yang mangkal dan….
“Bareng gue aja.”
Ida menoleh kaget. Dia juga kaget dengan tawaran tiba - tibanya. Tapi baginya, omongan cowok nggak boleh mencla mencle.
“Yuk.” Tangan satunya menenteng kantong belanjaan dan tangan lainnya ‘menyeret’ Ida menuju mobilnya. “Kenapa?” Dia berbalik saat dirasakannya Ida berhenti.
“Gue jalan aja, nggak papa. Takut ngerepotin.”
Dia lupa kalau cewek ini kepalanya bahkan lebih keras dari batu. “Nurut sama gue. Hargai tawaran gue. Lo pulang sama gue.”
“Tapi…”
“No buts! Masuk.”
Perlu waktu lama hingga Hafid nyaris merasa menyesal menawari Ida tumpangan sebelum akhirnya dia naik dan duduk diam di kursi penumpang mobilnya. Dia menutup pintunya, berjalan ke belakang untuk menaruh belanjaannya dan memutari mobil untuk naik ke kursi kemudi.
“Nih, taro sini belanjaan lo.” Katanya memberikan plastik kresek pada Ida.
Ida menurut. Diambilnya plastik kresek tadi dan dimasukkannya barang-barang yang kini di pangkuannya ke dalam plastik tersebut. Setelahnya dia memakai sabuk pengamannya dan kembali diam, seperti tidak ingin menarik perhatian. Bahkan dia tidak melirik Hafid yang duduk di sebelahnya dan memperhatikan semua kelakuannya dari tadi.
Hafid menggeleng. Mengalah karena Ida tetap menatap lurus ke depan dan mengabaikannya. Dia mulai menjalankan mobilnya keluar dari parkiran, bergabung dengan pengguna jalan yang lain.
“Makan dulu mau? Gue laper banget belum makan dari siang.”
“Boleh langsung pulang? Gue masak sendiri aja.”
“Terus gue?”
Ida diam sesaat. “Lo boleh ikut makan kalau mau.”
Well, okay. “Oke, kita pulang.”
***
Ini kali kedua Hafid main ke apartemen Ida, kalau kunjungan pertamanya masih bisa dikategorikan main. Dia bahkan nggak inget sama sekali bagaimana dia bisa sampai sana dan apa yang dia lakukan disana malam itu.
Ida membuka pintu, gerakan tangannya seperti gugup. Dia mempersilahkan Hafid masuk saat pintunya terbuka. Dia berhenti sebentar menatap sofa hitam tanggungnya, lalu pamit…
Tunggu! Sofa hitam tanggung? Dia mencoba mengingat mimpinya tentang sofa hitam tanggung ini. Masa sih? Tatapannya memperhatikan Ida yang sibuk di dapur memunggunginya. Dia memakai kemeja longgar dengan hotpants setengah paha. Kalau diperhatikan, dia sekarang memang lebih kurus daripada saat terakhir kali mereka bertemu. Setengah tahun lalu, saat lebaran. Kemana mantan ceweknya yang montok itu?
“Ada yang mau dibantu?” Dia mendekat ke dapur.
“Ah!” Ida terlonjak, menjatuhkan lagi kresek yang dipegangnya, berisi buah-buahan, sayur dan tissue serta perlengkapan toilet.
Matanya membelalak saat menyadari Hafid ada di dekatnya. Seingat Hafid, Ida bukan cewek kagetan dan penakut. Malah, dia adalah kebalikan dari itu semua. Sekarang Hafid penasaran ada apa sebenarnya.
“Ada yang bisa gue bantu?”
“Duduk.” Dia menelan ludah. “Duduk aja. Gue masakin nasi goreng, bentar.” Suaranya agak gugup dan gemetar.
Okay, I'm really curious, but i don't wanna scare her, batinnya menurut. Dia mundur dan duduk di meja makan kecil di tengah dapurnya.
Ida bekerja dengan cekatan di dapur. Mengiris ini dan itu untuk topping nasi gorengnya, menyendok nasi dari rice cooker di pojok meja makan dan sreng sreng sreng, bau harum yang membuat perutnya semakin berontak demo, tercium di seluruh ruangan.
“Gue adanya cuma ini, nggak papa, ya.” Ida duduk di depannya dan mulai makan dalam diam.
Okay, nada bicaranya masih ketus dan arogan seperti Ida yang dulu, tapi tingkahnya sama sekali nggak mirip Ida yang dia kenal. Di tengah suapannya yang entah keberapa, karena nasi di piringnya kini nyaris tandas, dia memberanikan diri bertanya.
“Da?”
“Hmm?”
“Lo lagi ada masalah?” Dua kali dia melihat matanya sembab, dan barusan tadi dia melihat Ida, the most gahar girl in earth, nangis di parkiran gara-gara plastik belanjanya sobek. Walau alasan PMS sekalipun, nggak akan ada yang bisa dragging her down sampe ngeluarin air mata seperti itu. Setaunya.
“Huh? Nggak.”
“Lo… bener Ida, kan?”
“Maksud lo? Gue lagi kesurupan?”
Ini sih jawaban Ida, tapi, jawaban tanpa melotot dan terkesan enggan menatapnya itu malah membuatnya semakin ingin mengejar jawabannya. “Mungkin lo punya alter ego?”
“Sialan!”
“Gue baru tau kita satu gedung, ternyata. Padahal udah lumayan lama gue disini.” Dia mulai lagi basa basinya menggunakan strategi lain.
“Masuk akal. Kalo lo tau gue disini pasti nggak bakal lo mau tinggal di daerah sini.” Jawabnya sendu.
Itu…. bukan salah, tapi bukan juga benar. Dari awal dia ditugaskan di Jakarta, dia tau Ida ada disini. Tapi dia selalu optimis bahwa Jakarta itu luas dan penduduknya banyak. Jadi kemungkinan mereka akan bertemu secara nggak sengaja adalah minus sekian sekian persen.
Tapi kalau sudah ketemu seperti ini? Mau diabaikan? Kok rasanya ada yang nggak bener.
“Nggak gitu juga, sih.”
“Gitu juga nggak papa. I’m used to it, now.”
“Bulan lalu pas gue nyasar kesini,” Dia memperhatikan setiap gerakan Ida yang duduk di depannya. Makanya dia tahu saat gestur nya mendadak kaku dan matanya terlihat nanar. “Gue nggak ngapa-ngapain lo, kan?”
“Nggak.” Ida menjawab terlalu cepat. Wajahnya juga mendadak pias dan tangannya gemetaran. “Nggak ada apa-apa.”
“Gue cuma numpang tidur aja?”
“Iya.”
“Gue nggak…. Cium lo misalnya?”
Srek!!
Ida mendadak berdiri, membuat kursinya berderit nyaring. Dia mengambil piring bekas makan mereka dan membuang sisa makanan di keranjang sampah. Masih memunggungi Hafid, dia melanjutkan.
“Gue rasa lo udah kenyang. Lo boleh pergi. Gue juga mau istirahat.”
Bukannya pergi seperti yang diminta Ida, Hafid malah mendekat. Menumpukan lengannya ke depan, mengurung Ida dengan badannya dan wastafel di depan mereka. Nafas Ida yang memburu terdengar kencang di telinganya.
Dia bergerak menuruti instingnya, menurunkan tubuhnya dan menempelkannya di tubuh belakang Ida, membuat gadis itu tersentak.
“Lo mau apa?”
“Kenapa? Bukannya udah pernah kemaren dulu sekali?” Pancingnya.
Ida menoleh cepat ke arahnya dengan mata membelalak.
F*ck! That dream was real! It was her! He’ll be da*ned!

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

132