Bab 2 SATU - THE NORMAL LIFE OF A GIRL
by Veedrya
09:49,May 01,2021
Ida’s
Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Tubuhnya merosot di kamar mandi workstationnya. Dia dapat tamu bulanan nya. Dia dapat menstruasinya. Akhirnya. Dia nggak….
Dia menggeleng, mengenyahkan pikiran itu. Dia tidak ingin mengingat kejadian tiga minggu lalu. Ya, kejadian saat Hafid yang mabuk nyasar ke apartemennya dan… memperkosanya. Dia tertawa lirih. Bahkan Hafid nggak ingat kejadian itu! Jadi seharusnya dia berpesta sekarang karena nggak aka nada jejak yang ditinggalkannya. Tapi apa ini? Kenapa dia merasa sakit dan… kecewa?
Teror seakan mengikutinya kemanapun sejak saat itu. Was - was jika kemungkinan yang paling buruk terjadi. Pagi itu, dia beruntung karena dia terbangun lebih dulu dari Hafid. Dia segera membersihkan diri dan langsung keluar menuju apotik di gedung seberang untuk membeli morning after pil. Dia tau perihal pil kecil itu dari teman - teman metropolitannya. Siapa yang sangka akhirnya dia sendiri bisa menjajal keampuhan pil itu.
Dengan menahan malu, akhirnya terbeli juga pil itu. Dia sekalian mampir ke gerobak soto di pinggir jalan dalam perjalanan pulang. Seinginnya dia mendepak Hafid saat itu juga dari apartemennya, ajaran dari kecil untuk selalu memuliakan tamu masih melekat dalam dirinya.
Dia selalu was - was saat keluar masuk gedung apartemennya sejak saat itu. Takut jika mendadak dia berpapasan dengan Hafid. Dan hari ini, flek di pakaian dalamnya mengangkat seluruh bebannya. Yah, sebagian. Setidaknya, dia tidak harus menabung dosa dan kebingungan lagi seandainya dia hamil. Apa yang harus dia katakan pada Mami? Pada Hafid?
“Ida?” Safira, tandem bisnisnya mengetuk pintu toilet. “Lo nggak papa? Diare yak?!” Dia bertanya dengan suara masih kencang, membuatnya misuh - misuh lirih. Mulut Safira emang blong nggak ada filternya kayak knalpot si pitung!
“Gue lagi dapet, sabar dulu.” Jawabnya nggak terlalu kencang, tapi nggak lirih juga. Cuma biar Safira denger dari balik pintu.
“Oooo. Uda bawa pembalut belom?”
Nah kan? Duh tolong! TOA nya dikecilin! Kamar mandi workshop mereka hanya berada di cerukan kecil workshop mereka yang hanya berupa ruko 4 x 6. Otomatis jika ada pelanggan yang sedang konsultasi dengan para desainernya atau pembeli yang sedang melihat - lihat showroom yang dipajang di depan, semua akan mendengar.
Ida keluar kamar mandi dengan geram. Dipindainya seluruh workshop, dan bersyukur saat tidak ada pelanggan yang sedang mampir.
“TOA lo itu, tolong! Kalo ada pelanggan bisa kabur tau!”
“Justru karena nggak ada pelanggan gue teriak - teriak.” dia ngeles mulus kayak Marc Marques. Tiga pegawainya tertawa geli.
Safi, begitu dia biasa dipanggil di workshop. Teman kuliah Ida di desain teknik tata busana dan pernak pernik perhiasan di institut seni swasta kecil yang tidak terkenal di Jakarta selatan, sekaligus tandem dan partner bisnisnya. Memang dikenal lawak dan santai, tidak galak dan judes seperti Ida.
“Eh, lupa kaaan gue. Bokap tadi telpon. Dia minta lo telpon balik.”
***
Dia baru sampai di apartemennya jam delapan malam. Apartemen mungil satu kamar yang dulu waktu kuliah diberikan oleh Papinya, beserta semua kebutuhan dasar dan uang jajannya selama kuliah. Oke, sampai sekarang. Intinya, dia bisa ikut merasakan kekayaan Papinya yang nominalnya masih misterius itu selama dia menurut padanya. Salah satunya, adalah kuliah di Jakarta dan tinggal di apartemen satu kamar ini, sehingga Maminya tidak dapat ikut serta.
Licik!
Tapi dia juga sama. Dia mendenguskan tawa kesalnya. Mungkin peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya memang benar adanya. Seperti Papinya yang culas menjauhkannya dari Mami, dia pun akan mengikuti arus dan berusaha mendapatkan sebanyak mungkin dari Papinya. Dia tidak mau munafik. Dia butuh. Mami butuh! Mami Uang Papi, dalam jumlah yang amat banyak.
Dia sengaja mandi dulu, lalu memasukkan pakaian kotornya ke mesin cuci dan menyetelnya, mengangkati jemurannya hari ini yang sudah mengering. Melipatnya dan menaruhnya dalam keranjang setrikaan. Setelah tidak memiliki alasan untuk menunda lagi, barulah dia meraih ponselnya, dan mendial nomor Papinya.
Empat…. Lima…. Bibirnya tersenyum saat dering di seberang terus terdengar tanpa ada tanda - tanda diangkat. Yah, yang penting Safi sudah menyampaikan padanya dan dia sudah berusaha menelpon kembali, walaupun tidak….
“Halo.”
Senyumnya menghilang. Ini bahkan lebih buruk dari yang terburuk. Bukan Papi yang mengangkat telponnya, tapi ‘wanita itu’.
“Papi gue mana?”
“Farida? Sebentar ya, Papi kamu masih bacain cerita buat adik-adikmu.”
Ida mendengus. “Gue nggak punya adek. Gue tutup.”
“Eh, sebentar, ini…”
“Ida.” Tangannya urung menurunkan ponsel dari telinganya. “Bicara yang sopan sama Mamamu.”
Ini lagi! Ida geram. Entah kenapa, sosok ‘wanita itu’ tidak pernah menjadi sesuatu yang bagus untuknya. Dulu, Ida selalu merasa kalau dia selalu berusaha terlalu keras mencari muka di depan Mami Papinya. Dan sekarang, dia seolah menjadi pesakitan di istananya karena Ida. Whatta great artist!
Ida memilih diam. Tidak menjawab dan tidak membantah. Lebih baik begitu. Kalau dituruti, akan panjang ceritanya. Dan dia sudah terlalu capek untuk meladeni amarah Papinya yang nggak berdasar.
“Tadi siang kenapa telpon Papi yang angkat temen kamu?”
“Emang Safi nggak bilang Ida kemana, Pi?” Dia bertanya balik. Malas meladeni otoriter Papinya.
“Kenapa nggak langsung telpon balik?”
“Lagi ramai pembeli, Pi. Nggak sempet.”
“Papi sudah kirim uang bulanan kamu. Gunakan untuk keperluan kamu. Jangan digunakan buat hal - hal yang nggak penting.”
“Mami bukan termasuk hal yang nggak penting kan, Pi?”Dia keceplosan.
“Pakai untuk keperluanmu! Atau Papi nggak akan kirim lagi selanjutnya.”
Dia mendesah dalam hati. Sejak bercerai, Papi dan Maminya memang tidak akur. Papi memang masih menafkahinya, membayari uang sekolahnya dan mencukupi kebutuhannya. Hanya sebatas cukup. Dia tidak membiarkan Ida berfoya - foya, atau bahkan menghabiskan uangnya untuk mengurusi Maminya.
That’s why she called him Licik!
“Pi, Ida mau beli mobil boleh?” Dia tidak kepikiran hal lain yang lebih cerdik daripada itu untuk saat ini. Yang penting baginya, bagaimana bulan ini dia bisa mengumpulkan uang sebesar tiga puluh juta. Lagi.
“Nanti Papi carikan dari sini. Kalo udah dapet biar dianter ke apartemen.”
“Nggak boleh milih sendiri? Papi transfer aja kaya biasanya, Pi. Atau kartu kredit yang Papi kasih boleh dipake?”
“Boleh dipake untuk keperluan kamu. Mobil Papi yang pilihin.”
“Ya udah. Ida mau istirahat dulu, Pi. Bye.” Dia bahkan tidak repot - repot mengucap salam dan menunggu sambungan dimatikan oleh orang di seberang sana.
Dia menjatuhkan tubuh kurusnya ke atas ranjang. Capek. Bingung. Itu yang dia rasakan sekarang. Dia mengecek lagi kalender yang sudah ditandainya. Akhir bulan tinggal hitungan hari. Tidak sampai seminggu lagi. Dari mana dia bisa dapat uang segitu banyak dalam tempo yang sesingkat - singkatnya?
Ngepet? Dia mendengus. Jual diri? Dia udah nggak perawan! Thanks to Hafid bego itu! Jadi escort? Dia lagi dapet tamu! Nggak wik - wik sama dengan nggak dapet duit.
Mulutnya tertawa keras, hingga terbungkuk - bungkuk, tapi matanya mengeluarkan bulir beningnya dengan deras. Hidupnya terlalu lucu dan terlalu mengenaskan untuk di tertawakan saja tanpa ditangisi juga.
Tring!
Dia meraih ponsel di samping kepalanya. Bibirnya melengkungkan senyum, sementara tangannya mengusap sisa lelehan basah di sudut matanya
NisyaAhmad: Hari ini Icha salah kostum lagi, dong hahahaha
Dia mengirim foto seorang gadis dengan rambut panjang yang dikuncir dua model cepol, memakai dres kotak-kotak merah.
IchaAryani: Nggak salah kostum yaaaa >_<
IchaAryani: Cuma terlalu niat T_T
Ida tertawa membacanya. Sahabat - sahabatnya. Orang - orang penting dalam hidupnya. Sebelum sempat dia membalas, satu orang lagi yang selalu dia abaikan keberadannya di group sudah membalas.
Al-Hafid: Hahaha selalu gitu ya, kalau nggak yg lain yg terlalu niat, lo yang niat sendiran, Cha.
IchaAryani: Nyesel langsung ketemu Nisya. Aturan tadi aku pulang ganti dulu T_T
Ida bingung. Biasanya, dia membalas seperti antara dia dan Hafid tidak pernah terjadi apa-apa. Bahwa hubungan mereka semua sudah kembali seperti dulu. Baik - baik saja.
FaridaZein: Cantik, kok.
FaridaZein: Kalo Nisya rese, sini sama gue aja
IchaAryani: Idaaaa >_<
Al-Hafid: Ato sama gue hahahahaha
Ida tidak membalas lagi. Dia meletakkan ponselnya di meja sebelah ranjangnya dan tertegun. Apa dirinya akan baik - baik saja setelah ini?
Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Tubuhnya merosot di kamar mandi workstationnya. Dia dapat tamu bulanan nya. Dia dapat menstruasinya. Akhirnya. Dia nggak….
Dia menggeleng, mengenyahkan pikiran itu. Dia tidak ingin mengingat kejadian tiga minggu lalu. Ya, kejadian saat Hafid yang mabuk nyasar ke apartemennya dan… memperkosanya. Dia tertawa lirih. Bahkan Hafid nggak ingat kejadian itu! Jadi seharusnya dia berpesta sekarang karena nggak aka nada jejak yang ditinggalkannya. Tapi apa ini? Kenapa dia merasa sakit dan… kecewa?
Teror seakan mengikutinya kemanapun sejak saat itu. Was - was jika kemungkinan yang paling buruk terjadi. Pagi itu, dia beruntung karena dia terbangun lebih dulu dari Hafid. Dia segera membersihkan diri dan langsung keluar menuju apotik di gedung seberang untuk membeli morning after pil. Dia tau perihal pil kecil itu dari teman - teman metropolitannya. Siapa yang sangka akhirnya dia sendiri bisa menjajal keampuhan pil itu.
Dengan menahan malu, akhirnya terbeli juga pil itu. Dia sekalian mampir ke gerobak soto di pinggir jalan dalam perjalanan pulang. Seinginnya dia mendepak Hafid saat itu juga dari apartemennya, ajaran dari kecil untuk selalu memuliakan tamu masih melekat dalam dirinya.
Dia selalu was - was saat keluar masuk gedung apartemennya sejak saat itu. Takut jika mendadak dia berpapasan dengan Hafid. Dan hari ini, flek di pakaian dalamnya mengangkat seluruh bebannya. Yah, sebagian. Setidaknya, dia tidak harus menabung dosa dan kebingungan lagi seandainya dia hamil. Apa yang harus dia katakan pada Mami? Pada Hafid?
“Ida?” Safira, tandem bisnisnya mengetuk pintu toilet. “Lo nggak papa? Diare yak?!” Dia bertanya dengan suara masih kencang, membuatnya misuh - misuh lirih. Mulut Safira emang blong nggak ada filternya kayak knalpot si pitung!
“Gue lagi dapet, sabar dulu.” Jawabnya nggak terlalu kencang, tapi nggak lirih juga. Cuma biar Safira denger dari balik pintu.
“Oooo. Uda bawa pembalut belom?”
Nah kan? Duh tolong! TOA nya dikecilin! Kamar mandi workshop mereka hanya berada di cerukan kecil workshop mereka yang hanya berupa ruko 4 x 6. Otomatis jika ada pelanggan yang sedang konsultasi dengan para desainernya atau pembeli yang sedang melihat - lihat showroom yang dipajang di depan, semua akan mendengar.
Ida keluar kamar mandi dengan geram. Dipindainya seluruh workshop, dan bersyukur saat tidak ada pelanggan yang sedang mampir.
“TOA lo itu, tolong! Kalo ada pelanggan bisa kabur tau!”
“Justru karena nggak ada pelanggan gue teriak - teriak.” dia ngeles mulus kayak Marc Marques. Tiga pegawainya tertawa geli.
Safi, begitu dia biasa dipanggil di workshop. Teman kuliah Ida di desain teknik tata busana dan pernak pernik perhiasan di institut seni swasta kecil yang tidak terkenal di Jakarta selatan, sekaligus tandem dan partner bisnisnya. Memang dikenal lawak dan santai, tidak galak dan judes seperti Ida.
“Eh, lupa kaaan gue. Bokap tadi telpon. Dia minta lo telpon balik.”
***
Dia baru sampai di apartemennya jam delapan malam. Apartemen mungil satu kamar yang dulu waktu kuliah diberikan oleh Papinya, beserta semua kebutuhan dasar dan uang jajannya selama kuliah. Oke, sampai sekarang. Intinya, dia bisa ikut merasakan kekayaan Papinya yang nominalnya masih misterius itu selama dia menurut padanya. Salah satunya, adalah kuliah di Jakarta dan tinggal di apartemen satu kamar ini, sehingga Maminya tidak dapat ikut serta.
Licik!
Tapi dia juga sama. Dia mendenguskan tawa kesalnya. Mungkin peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya memang benar adanya. Seperti Papinya yang culas menjauhkannya dari Mami, dia pun akan mengikuti arus dan berusaha mendapatkan sebanyak mungkin dari Papinya. Dia tidak mau munafik. Dia butuh. Mami butuh! Mami Uang Papi, dalam jumlah yang amat banyak.
Dia sengaja mandi dulu, lalu memasukkan pakaian kotornya ke mesin cuci dan menyetelnya, mengangkati jemurannya hari ini yang sudah mengering. Melipatnya dan menaruhnya dalam keranjang setrikaan. Setelah tidak memiliki alasan untuk menunda lagi, barulah dia meraih ponselnya, dan mendial nomor Papinya.
Empat…. Lima…. Bibirnya tersenyum saat dering di seberang terus terdengar tanpa ada tanda - tanda diangkat. Yah, yang penting Safi sudah menyampaikan padanya dan dia sudah berusaha menelpon kembali, walaupun tidak….
“Halo.”
Senyumnya menghilang. Ini bahkan lebih buruk dari yang terburuk. Bukan Papi yang mengangkat telponnya, tapi ‘wanita itu’.
“Papi gue mana?”
“Farida? Sebentar ya, Papi kamu masih bacain cerita buat adik-adikmu.”
Ida mendengus. “Gue nggak punya adek. Gue tutup.”
“Eh, sebentar, ini…”
“Ida.” Tangannya urung menurunkan ponsel dari telinganya. “Bicara yang sopan sama Mamamu.”
Ini lagi! Ida geram. Entah kenapa, sosok ‘wanita itu’ tidak pernah menjadi sesuatu yang bagus untuknya. Dulu, Ida selalu merasa kalau dia selalu berusaha terlalu keras mencari muka di depan Mami Papinya. Dan sekarang, dia seolah menjadi pesakitan di istananya karena Ida. Whatta great artist!
Ida memilih diam. Tidak menjawab dan tidak membantah. Lebih baik begitu. Kalau dituruti, akan panjang ceritanya. Dan dia sudah terlalu capek untuk meladeni amarah Papinya yang nggak berdasar.
“Tadi siang kenapa telpon Papi yang angkat temen kamu?”
“Emang Safi nggak bilang Ida kemana, Pi?” Dia bertanya balik. Malas meladeni otoriter Papinya.
“Kenapa nggak langsung telpon balik?”
“Lagi ramai pembeli, Pi. Nggak sempet.”
“Papi sudah kirim uang bulanan kamu. Gunakan untuk keperluan kamu. Jangan digunakan buat hal - hal yang nggak penting.”
“Mami bukan termasuk hal yang nggak penting kan, Pi?”Dia keceplosan.
“Pakai untuk keperluanmu! Atau Papi nggak akan kirim lagi selanjutnya.”
Dia mendesah dalam hati. Sejak bercerai, Papi dan Maminya memang tidak akur. Papi memang masih menafkahinya, membayari uang sekolahnya dan mencukupi kebutuhannya. Hanya sebatas cukup. Dia tidak membiarkan Ida berfoya - foya, atau bahkan menghabiskan uangnya untuk mengurusi Maminya.
That’s why she called him Licik!
“Pi, Ida mau beli mobil boleh?” Dia tidak kepikiran hal lain yang lebih cerdik daripada itu untuk saat ini. Yang penting baginya, bagaimana bulan ini dia bisa mengumpulkan uang sebesar tiga puluh juta. Lagi.
“Nanti Papi carikan dari sini. Kalo udah dapet biar dianter ke apartemen.”
“Nggak boleh milih sendiri? Papi transfer aja kaya biasanya, Pi. Atau kartu kredit yang Papi kasih boleh dipake?”
“Boleh dipake untuk keperluan kamu. Mobil Papi yang pilihin.”
“Ya udah. Ida mau istirahat dulu, Pi. Bye.” Dia bahkan tidak repot - repot mengucap salam dan menunggu sambungan dimatikan oleh orang di seberang sana.
Dia menjatuhkan tubuh kurusnya ke atas ranjang. Capek. Bingung. Itu yang dia rasakan sekarang. Dia mengecek lagi kalender yang sudah ditandainya. Akhir bulan tinggal hitungan hari. Tidak sampai seminggu lagi. Dari mana dia bisa dapat uang segitu banyak dalam tempo yang sesingkat - singkatnya?
Ngepet? Dia mendengus. Jual diri? Dia udah nggak perawan! Thanks to Hafid bego itu! Jadi escort? Dia lagi dapet tamu! Nggak wik - wik sama dengan nggak dapet duit.
Mulutnya tertawa keras, hingga terbungkuk - bungkuk, tapi matanya mengeluarkan bulir beningnya dengan deras. Hidupnya terlalu lucu dan terlalu mengenaskan untuk di tertawakan saja tanpa ditangisi juga.
Tring!
Dia meraih ponsel di samping kepalanya. Bibirnya melengkungkan senyum, sementara tangannya mengusap sisa lelehan basah di sudut matanya
NisyaAhmad: Hari ini Icha salah kostum lagi, dong hahahaha
Dia mengirim foto seorang gadis dengan rambut panjang yang dikuncir dua model cepol, memakai dres kotak-kotak merah.
IchaAryani: Nggak salah kostum yaaaa >_<
IchaAryani: Cuma terlalu niat T_T
Ida tertawa membacanya. Sahabat - sahabatnya. Orang - orang penting dalam hidupnya. Sebelum sempat dia membalas, satu orang lagi yang selalu dia abaikan keberadannya di group sudah membalas.
Al-Hafid: Hahaha selalu gitu ya, kalau nggak yg lain yg terlalu niat, lo yang niat sendiran, Cha.
IchaAryani: Nyesel langsung ketemu Nisya. Aturan tadi aku pulang ganti dulu T_T
Ida bingung. Biasanya, dia membalas seperti antara dia dan Hafid tidak pernah terjadi apa-apa. Bahwa hubungan mereka semua sudah kembali seperti dulu. Baik - baik saja.
FaridaZein: Cantik, kok.
FaridaZein: Kalo Nisya rese, sini sama gue aja
IchaAryani: Idaaaa >_<
Al-Hafid: Ato sama gue hahahahaha
Ida tidak membalas lagi. Dia meletakkan ponselnya di meja sebelah ranjangnya dan tertegun. Apa dirinya akan baik - baik saja setelah ini?
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved