Bab 4 TIGA - THE UNEXPECTED MEETING

by Veedrya 09:54,May 01,2021
Hafid’s
Been a long and hard day buat dia. Dia nyaris menyeret dirinya sendiri untuk pulang, dan butuh perjuangan lebih lagi untuk berjalan dari parkir basement menuju lift, yang padahal tidak jauh, hanya sekitar lima puluh meter.
Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang dikenalinya berdiri mematung di depan eskalator. Ngapain dia? Kenapa nggak masuk coba? Itu pintu lift udah kebuka, dodol!
Yah, dan sosok itu tetap berdiri disana, saat pintu lift kembali tertutup. Sekarang dia harus menunggu beberapa saat lagi untuk memanggil lift kembali turun. Dia mendengus sebal. Buang - buang waktu berharganya untuk tidur lebih cepat malam ini.
Dia sengaja menolak semua ajakan temannya untuk ke kelab malam demi bisa rebahan di empuknya pulau kapuk dan buaian alam mimpi. Sebenarnya itu hanya tambahan. Tempo hari dia sudah pernah ikut dan walaupun sudah mencoba menjaga diri, dia tetap saja kecolongan dan akhirnya mabuk. The worst is, he woke up in someone else’s apartment and he can’t remember what he did last night! Dan orang yang rumahnya dia masuki malam itu ada beberapa langkah di depannya.
Dia agak heran karena Ida tetap mematung saat dia berhenti di sebelahnya. Sebenarnya Hafid ingin mengacuhkannya saja, tapi dia penasaran. Dan dia kaget saat menemukan mata sembab dan kosong itu menatap lurus ke depan. Sepanjang sejarahnya mengenal Ida, dia tidak pernah melihat sosoknya serapuh ini. Ya Ampun, bahkan kombinasi Ida dan rapuh sudah sangat menggelikan untuk sekedar dibayangkan. Tapi ini? He witnessed this phenomena himself!
Dia memencet tombol untuk memanggil lift. Ida masih tidak bergerak di sampingnya. Bahkan, sepertinya dia juga tidak menyadari keberadaan Hafid sama sekali.
“Lo mau nunggu pintu lift buka tutup berapa kali?” Sebenarnya dia sudah menahan diri untuk tidak mencampuri urusan apapun yang sedang Ida pikirkan. Tapi melihat ekspresinya yang kosong dan rapuh, lalu kekagetannya saat mendengar suara Hafid yang padahal pelan, dia tahu, setidaknya hari dia melakukan hal benar.
“Eh, iya. Ikut masuk.” Dia menjawab gugup, menghindari mata mereka bertemu.
Hafid semakin curiga. Tujuh tahun nggak ketemu, orang bisa berubah se drastis ini? Ini Ida kan? Bukan Icha?
Ida masuk ke dalam lift dan langsung menuju pojokan belakang. Bahkan nggak terpikir olehnya untuk memencet tombol lantainya terlebih dulu.
“Lantai berapa?” Ida terlonjak lagi. Hafid ingat apartemen Ida berada di lantai enam, tapi dia tetap ingin memastikan.
“Sorry. Let me.” Dia maju dan memencet lantai enam. Lengan mereka sempat bersinggungan, membuat Ida berjengit seolah terbakar, sebelum dia kembali meringkuk di pojokan lift.
Kenapa sih, dia?
Hafid hanya mendengus membiarkannya saja, bahkan saat lift terbuka di lantai enam dan Ida buru - buru keluar, dia hanya memandanginya saja, dan melanjutkan perjalanannya ke lantai sembilan.
Sudah hampir tiga tahun dia di jakarta selatan, tapi dia baru pindah ke apartemen ini enam bulan lalu. Ya, rumah pertama yang dia beli dengan uang hasil tabungannya sendiri. Dia langsung menyambar kesempatan saat iklan apartemen dua kamar di gedung ini diiklankan. Bukan bangunan baru, tapi sejak berdiri lima tahun lalu, unit yang ditempatinya belum pernah ditinggali oleh pemilik sebelumnya.
Kondisinya masih bagus, lokasinya strategis, walaupun jaraknya ke kantor tidak sedekat saat masih kost dulu, tapi fasilitas disini amat memadai. Di antaranya, parkir basement yang luas untuk mobil dinasnya. Karena dulu saat masih kos, mobilnya tidak leluasa parkir dan terpaksa sering parkir di ujung gang.
Hanya Azra, sahabatnya yang tahu tentang kepindahannya ini. Dia juga beberapa kali main ke apartemen. Tapi Azra juga belum tau kalau dia satu gedung dengan Ida. dia agak sulit mendeskripsikan hubungannya dengan Ida. Lagipula, Azra lebih sering di Singapura karena kantornya memang disana. Dia hanya beberapa kali saja pulang ke rumah Jakarta saat harus menyambangi Mama dan adik perempuannya.
Mereka berlima, dia, Azra, Icha, Nisya dan Ida adalah sahabat baik semasa SMP. Bahkan sampai sekarang, kecuali Azra yang memisahkan diri, karena konflik kepentingan yang masih kekeh di rahasiakan darinya dan yang lain, dengan Icha. Dia dan Ida pernah pacaran hampir empat tahun, sebelum akhirnya mereka putus tidak dengan baik - baik sebelum kuliah. Tapi selain itu, mereka tetap berkomunikasi walaupun seringnya dia mengabaikan Ida dan Ida mengabaikannya. Baik di group chat maupun saat meet up lebaran.
Dia selesai mandi, dan langsung merebahkan tubuhnya ke ranjang. Tak butuh waktu lama baginya untuk terlelap. Dan mimpi aneh itu datang lagi. Mimpi yang sudah lebih dari sebulan ini terputar dalam tidurnya seperti default dvd mimpinya.
Dalam mimpi itu, dia melihat dirinya mencium seorang gadis dengan keras dalam. Mereka berdua bergerumul diatas sofa hitam tanggung dengan tangan saling meraba dan bibir saling bertaut. Lebih tepatnya dia yang seakan tak sabar untuk menjelajahi setiap inci tubuh putih dan polos itu. Desahan mereka bersahut-sahutan. Seakan dia memang pernah mengalaminya sebelumnya, ada perasaan nikmat dan bahagia yang dirasakannya saat tubuh mereka bersatu seiring jeritan parau perempuan di bawahnya. Kenikmatan yang intens dan terus meningkat yang membuat nafasnya tersengal dan akhirnya terbangun, dengan keadaan basah di selangkangannya.
“Sh*t! Mimpi itu lagi! Capek keramas gue!”
Yap, mimpi yang membuatnya harus keramas setiap pagi.
***
Hari ini dia tugas keluar untuk audit salah satu kantor cabang pembantu. Jadwal auditnya jam sepuluh pagi, dan karena tujuannya lebih dekat dari apartemennya daripada dari kantor, dia akan berangkat langsung dari sini.
Untung saja Bosnya tidak mempersulit ijinnya. Bosnya terkenal galak dan agak kaku, tapi tidak padanya. Hampir setiap pengajuannya selalu di acc dan sukses. Tentu saja dibarengi dengan kinerjanya yang memang memuaskan. Dia berusaha untuk mempertahankan kinerjanya agar benefit yang selama ini dia dapatkan tidak hilang. Dan tentu saja iming-iming promosi. Tahun depan, dia berencana untuk mendapatkan promosi. Goalnya adalah senior investiator.
Sebagai salah satu karyawan di bank milik BUMN, tentunya dia harus serius memikirkan karirnya karena berkejaran dengan umur. Dia sudah melihat banyak temannya tersisih karena gagal di promosi dan akhirnya harus hengkang karena umurnya yang terus bertambah.
Dia sedang menikmati sarapan pagi seadanya khas pria bujangan saat teringat mimpinya semalam. Serius. Nggak tahu kenapa akhir-akhir ini dia suka memimpikan hal yang sama. Dan selalu di akhir tidurnya, karena saat dia terbangun, dia akan menemukan celananya basah dan harus mandi wajib.
“Kayak ABG aja mimpi basah tiap hari.” Dia mendengus jengkel.
Dia berusaha mengingat detail dalam mimpinya. Cewek kurus berambut panjang. Tapi nggak terlalu kurus karena dia punya aset yang pas di tangannya. Suaranya terdengar familiar, walaupun yang dia ucapkan lebih banyak desahan dan namanya. Dan jenis suara yang membuat cowok ogah berhenti beraksi saat itu terdengar.
“Shit!” Bahkan memikirkannya saja membuat dirinya merasa sesak dan tidak nyaman. Karena kesibukan yang menyita, dia menganggap mimpi tersebut sebagai angin lalu. Baru hari ini dia bisa mengingat, walaupun tidak jelas, tapi dia mengingat alurnya.
Tunggu!
“Dia manggil gue, berarti dia bukan cewek yang ketemu di kelab, dong!” Hatinya sedikit lega. Seandainya benar itu dirinya, setidaknya, dia lebih mudah mencari gadis itu jika dia mengenalnya. Iya, kan?
Dia mempertimbangkan teman kantornya. Hmmm… rata-rata mereka kurus, tapi bukan kurus bak model seperti lekuk tubuh yang diingatnya dalam mimpinya. Dan lagi, nggak mungkin teman satu divisi karena di divisinya rata-rata berjenis kelamin cowok! Dan dia nggak pernah akrab sama anak front office.
Teman non kantor? Hmm, susah nih. Dia cuma punya segelintir teman cewek yang bukan teman kantor sejak disini. Dia pernah pacaran satu kali dengan seorang cewek sejak dia di Jakarta. Tapi dari bayangan aja tau itu nggak mungkin dia. Apalagi cewek itu sekarang, kabarnya sudah menikah dan ikut suaminya ke luar jawa.
Dia menggeleng. Memaksa kepalanya untuk bekerja lebih keras mengingat detailnya. Selain tubuh dan suara…
“Shit! Shit!” Dia memijat kepalanya jengah. Dia kenapa, sih? Nggak ada yang godain, nggak lagi nonton bokep, nggak lagi fantasizing cewek yang dia kenal, cuma bayangin sosok cewek dalam mimpinya dan suaranya aja, dia udah kelojotan kaya gini! “Tahan, bro! Kita kudu kerjasama pecahin kasus mimpi - mimpi ini. Kemungkinan sih cuma imajinasi gue aja, tapi kalo beneran, kita kudu tanggung jawab, bro! Dosa!” Dia menunduk. Berbicara pada organ yang menggembung keras di balik celananya.
Oh, mereka bergerumul di atas sofa hitam! Tapi sofanya bukan hitam. Sofanya coklat crem. Berarti bukan di sini? Lalu dimana? Nggak seperti di hotel, sih. Tapi masa dia main ke rumah cewek, sih? Dia? Hohoho agak susah dipercaya. Dia jarang main ke rumah cewek kecuali sahabat - sahabatnya dan beberapa teman kantornya yang biasa menebeng.
“Aarrgh!” Dia mengacak rambutnya gemas. Ngapain coba dia mikir sampe gini? Siapa tahu itu emang mimpi doang! Bikin gila mikirin hal nggak penting. Dia terlonjak saat melihat jam di ponselnya. “Gile! Uda mau jam sembilan aje!”
Dia bergegas ganti baju dan bersiap bekerja. Mengenyahkan semua ingatan mimpinya ke deretan belakang list yang harus dia ingat.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

132