Bab 4: Bukan Orang Biasa

by Golden Buddha 18:19,Mar 12,2025
Patrick hampir saja memuntahkan darah. Cara pemerasan ini persis seperti yang biasa dia lakukan. Baru saja dia mengatakan bahwa mobil Porsche itu adalah simbol masa mudanya, sekarang malah diubah menjadi simbol cinta, bahkan sekaligus menjadi mak comblang.

Wajah Anderson berubah dingin. "Bilang saja, kamu mau memberikannya atau tidak?"

"Cepat, berikan! Aku akan memberikan itu kepadamu sekarang juga!"

Meskipun Patrick merasa sangat kesal, dia tidak berani membantah sedikit pun saat ini.

Anderson melepaskannya, lalu mengambil ponsel dari tangan Clara yang masih kebingungan dan membuka kode pembayaran. Tak lama kemudian, terdengar pemberitahuan bahwa uang dua miliar telah masuk.

"Pergi! Jangan macam-macam lagi. Kalau tidak, urusannya tidak akan sesederhana ini."

Begitu uang diterima, Anderson langsung menendang Patrick keluar.

Patrick sangat marah hingga tubuhnya gemetar. Tepat saat itu, dia melihat Binsen Lanz, kepala Departemen Medis Rumah Sakit, datang bersama tujuh atau delapan satpam yang bergegas mengejarnya.

Seketika, muncul rencana licik di benaknya. Dia langsung berteriak kepada Binsen, "Pak Binsen, aku dipukuli oleh dokter di rumah sakitmu! Kamu harus bertanggung jawab!"

Keluarga Clinz memiliki bisnis agen farmasi, dan Patrick sering datang ke rumah sakit untuk mendekati Clara. Karena itu, dia sudah lama mengenal Binsen.

Melihat kondisi Patrick yang mengenaskan, wajah Binsen menjadi lebih serius. "Apa yang terjadi?"

Patrick menunjuk ke arah Clara dan Anderson, lalu mulai memutarbalikkan fakta. "Dia menabrak mobilku, lalu menyuruh orang gila ini memukuliku. Mereka bilang bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak akan dihukum kalau membunuh seseorang. Mereka bahkan memeras uangku dua miliar!"

Mendengar itu, Binsen langsung naik pitam. "Pagi tadi kamu salah mendiagnosis pasien dan hampir menyebabkan kematian seseorang, bahkan mengirim orang yang masih hidup ke kamar mayat! Sekarang, kamu melanggar aturan dengan membawa keluarga pasien gangguan jiwa ke rumah sakit!"

"Hanya dengan dua kesalahan ini, kamu sudah tidak layak lagi menyandang lisensi medis! Kamu akan menghabiskan sisa hidupmu di penjara!"

"Sekarang kamu malah memukul orang di rumah sakit? Apa kamu tidak tahu hukum?"

Binsen langsung memberikan tuduhan besar kepada Clara dengan tegas.

Binsen terus menuduh dengan nada keras hingga menarik perhatian banyak orang di pintu masuk rumah sakit.

Mendengar tuduhannya, kerumunan pun mulai berbisik dan menunjuk-nunjuk.

"Mengirim orang hidup ke kamar mayat? Menabrak mobil demi pemerasan?"

"Apa benar itu dia bisa dipanggil seorang dokter? Dia lebih seperti preman yang berkedok dokter!"

Binsen semakin puas mendengar keributan itu.

Vincent adalah kakak iparnya. Begitu dia mendengar tentang kesalahan diagnosis Jovita dan insiden di kamar mayat, dia tahu bahwa dia harus bertindak keras dan membesar-besarkan masalah untuk menutupi kesalahan kakak iparnya.

Bagaimanapun, dia masih perlu mengandalkan koneksi Vincent di masa depan.

Patrick pun menambah minyak ke dalam api. "Pak Binsen, kita sudah lama saling kenal. Aku serahkan urusan ini padamu. Aku ada urusan sebentar, tapi saat aku kembali, kamu harus memberiku penjelasan yang memuaskan, mengerti?"

"Tenang saja, serahkan padaku!" jawab Binsen dengan yakin.

Patrick segera berbalik dan masuk ke dalam Porschenya.

Salah satu anak buahnya yang ikut masuk ke mobil berbisik, "Para satpam itu sudah tua dan lemah. Mereka tidak mungkin bisa mengalahkan orang itu, bukan?"

Patrick menyeringai sinis. "Apa kamu bodoh? Aku sengaja ingin dia membuat keributan besar dan memukuli dua satpam sampai babak belur!"

"Dengan begitu, Clara pasti akan berlutut memohon padaku!"

....

Begitu Patrick pergi, Binsen menatap Clara dengan penuh wibawa. "Bagaimana? Kalian mau pergi sendiri atau harus aku yang mengantar kalian?"

"Tahan mereka berdua! Tunggu sampai rapat rumah sakit dimulai, lalu hukum mereka tanpa ampun! Kalau perlu, panggil polisi!"

Kebetulan, kepala perawat poliklinik yang lewat mendengar hal itu. Dia memiliki hubungan baik dengan Clara dan tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Pak Binsen, apa ada salah paham di sini?"

"Semua orang tahu kalau Bu Clara adalah dokter yang baik. Mana mungkin dia melakukan kesalahan serendah itu?"

Binsen melambaikan tangannya dengan sikap berwibawa. "Lakukan saja tugasmu! Ini bukan urusanmu!"

"Meski seseorang punya keterampilan medis tinggi, kalau tidak punya etika, tetap saja tidak bisa dibiarkan! Dia mengirim orang yang masih hidup ke kamar mayat! Ini jelas malpraktik!"

Kepala perawat terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

"Kamu bohong! Saat aku bertugas pagi tadi, Vincent sudah lebih dulu menyatakan bahwa Jovita meninggal dunia!"

Clara marah dan langsung membantahnya di depan umum.

Binsen menatap Clara dengan tatapan penuh nafsu dan sedikit rasa puas.

Dulu, dia pernah menaruh hati padanya dan sempat memberi isyarat agar Clara mau bersama dengannya, tapi malah ditolak mentah-mentah.

Sekarang, gadis ini ada dalam genggamannya! Masih mau bersikap sok suci?

"Siapa yang bersalah, rumah sakit akan menyelidikinya!"

"Bawa mereka! Tempatkan mereka di ruang rapat dulu!"

Binsen tertawa dingin.

Melihat empat atau lima petugas keamanan mulai mengepung, Anderson berkata dengan tenang, "Setahuku, Departemen Medis Rumah Sakit tidak punya wewenang menangkap orang, bukan?"

Binsen tertawa marah. Orang gila ini malah membahas aturan dengannya?

"Kamu siapa? Apa aku perlu menjelaskan wewenangku kepadamu?"

"Seseorang yang berani melecehkan mayat di kamar mayat masih berani bicara? Tanya saja orang-orang di sini, pantas atau tidak kalau aku menangkap orang sepertimu?"

Mendengar kata-kata "melecehkan mayat", kerumunan pun gempar! Ini sudah keterlaluan!

Bukan hanya menunjuk-nunjuk, beberapa orang bahkan mulai berteriak agar Anderson segera ditangkap.

Clara mengerutkan kening dan melirik Anderson tajam. Bukannya membantu, dia malah menambah masalah! Kalau dia bicara sekarang, itu sama saja memberikan Binsen celah untuk menjebaknya.

Clara mengeluarkan ponselnya, hendak menelepon ayahnya untuk mencari bantuan. Paling tidak, dia harus mencegah Anderson ditahan atas tuduhan pelecehan mayat.

Namun, sebelum sempat menelepon, Binsen langsung menampar ponselnya hingga jatuh ke tanah.

"Cih! Mau cari jalur belakang? Percuma saja! Perempuan sepertimu hanya mengandalkan wajah cantik untuk bermain kekuasaan!"

Binsen meludah di depan Clara dengan ekspresi jijik.

Wajah Clara memerah karena marah, tubuhnya sampai gemetar.

Ekspresi Anderson langsung berubah dingin.

Selama tiga tahun ini, meskipun pernikahan mereka hanya sebatas nama, Clara tetap merawatnya dengan baik.

Melihatnya dipermalukan seperti ini, amarahnya pun memuncak.

"Minta maaf!" ujar Anderson dengan suara dingin.

Binsen mendengus dengan wajah penuh penghinaan.

"Plak!"

Anderson menampar wajah Binsen dua kali.

"Kamu berani menamparku?" Binsen begitu marah hingga urat di dahinya menegang. "Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang! Kalau tidak, jangan panggil aku Binsen Lanz!"

"Menamparmu? Bukankah tadi Patrick sudah bilang, kalau orang gila membunuh itu tidak melanggar hukum?"

Sambil berbicara, Anderson langsung mencengkeram leher Binsen. Dengan sedikit tekanan, wajah Binsen memerah, dan ketakutan mulai terlihat di matanya.

"Anderson, lepaskan!" Clara segera menarik lengan Anderson.

Namun, wajah Anderson tetap dingin, dan Binsen semakin sulit bernapas. Dia menendang dan mengayunkan tangannya, tapi tidak bisa melepaskan diri.

Melihat situasi itu, beberapa satpam segera bergegas maju.

Siapa sangka, hanya dengan satu tangan mencengkeram Binsen, Anderson mampu menghempaskan empat atau lima satpam sekaligus dengan tangan lainnya.

Kerumunan yang menyaksikan kejadian itu langsung berubah ekspresi. Orang gila bela diri ini benar-benar tidak bisa dianggap enteng!

"Minta maaf!" Anderson berkata dingin.

Binsen yang hampir kehabisan napas, buru-buru mengangguk. Barulah Anderson melepaskan cengkeramannya.

"Aku ... aku minta maaf!" Binsen dengan cepat tergagap meminta maaf, lalu langsung melarikan diri dari kerumunan.

Setelah cukup jauh, dia menoleh dan berteriak, "Tunggu saja pembalasanku!"

Anderson tertawa mengejek. "Coba saja. Aku ingin lihat apa yang bisa kamu lakukan."

Clara mengernyit. Anderson sebelumnya tidak pernah bertindak sekeras ini. Situasi sudah makin rumit, dan dia tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

Saat itu, dari luar kerumunan, Vincent dan Simon muncul, dikelilingi oleh beberapa pengawal.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

208