Bab 1: Penyelamatan Sang Putri

by Golden Buddha 18:19,Mar 12,2025
Di Kamar Mayat Rumah Sakit Umum Pertama Lexington.

Anderson meletakkan tangannya di dada mayat seorang wanita sambil menekannya perlahan.

"Takdirmu belum berakhir. Hari ini kamu bertemu denganku untuk menerima pengetahuanku dan kesadaranmu telah kembali!"

"Kamu telah kehilangan dua dari tiga jiwa dan empat dari tujuh rohmu. Kamu sedang melawan Raja Neraka. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menyelamatkanmu selain aku!"

Pria itu tampak berusia dua puluhan, dengan alis tebal dan mata besar yang menunjukkan ketegasan.

Namun, saat ini, dia bergumam pada dirinya sendiri sambil melakukan sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Suasana menjadi ganjil dan menyeramkan.

Saat Anderson bergerak, tiba-tiba mayat wanita itu duduk tegak, lalu mendadak jatuh kembali.

Dua perawat yang baru saja membawa masuk mayat itu terkejut melihat pemandangan tersebut. Mereka langsung berteriak dan berlari keluar.

"ada orang datang!"

"Satpam, Dokter, ada yang mati di kamar mayat!"

"Bu Clara, suamimu yang gila sedang menganggu mayat!"

Seseorang memanggil seorang dokter wanita.

Anderson tidak memperdulikan kegaduhan di luar. Dengan cepat, dia menekan bagian telinga dan ubun-ubun kepala mayat wanita tersebut menggunakan teknik jari yang aneh.

Kemudian, dia mulai menekan dada mayat tersebut lagi.

Tidak lama kemudian, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari pintu kamar mayat.

Direktur Rumah Sakit bernama Vincent Malcolm datang dengan panik, diikuti beberapa dokter dan satpam.

"Brengsek, apa yang kamu lakukan? Lepaskan dia!" Vincent berteriak marah.

Anderson menoleh, tetapi tangannya tetap bergerak. "Aku sedang mengobatinya!"

Semuanya tampak kehabisan kata-kata.

Hampir semua dokter di rumah sakit mengenal pria ini, Anderson Chenal.

Suami idiot dari Clara Timothy, dokter tercantik di rumah sakit ini.

Banyak yang merasa simpati pada Clara. Seorang wanita secantik dia harus menikahi pria yang dianggap gila dan bodoh.

Namun kini, rasa simpati itu mencapai puncaknya.

Karena mayat yang ada di depannya adalah Jovita Sinclair, putri Keluarga Sinclair.

Keluarga Sinclair adalah keluarga terkaya di Lexington. Jovita tiba-tiba meninggal di rumah sakit pagi ini, dan keluarganya sedang mencari pertanggungjawaban. Kini, mayatnya malah dilecehkan. Situasi menjadi makin kacau.

Clara merasa pandangannya berputar. Hampir saja dia pingsan. Anderson benar-benar menimbulkan masalah besar kali ini.

Sejak mereka menikah, orang tuanya yang selalu mengurus Anderson.

Namun, karena mereka sedang ada urusan mendadak hari ini, mereka menitipkan pria itu kepadanya.

Tadi, saat dia sedang sibuk menangani pasien gawat darurat, dia menitipkan Anderson di pos perawat.

Siapa sangka, pria itu malah menyelinap ke kamar mayat dan melakukan hal mengerikan ini!

"Berhenti sekarang juga!" Vincent meraung sambil mencoba menarik Anderson menjauh.

Anderson mengernyit dan mendorong Vincent hingga tersungkur. "Kalau aku berhenti, dia benar-benar akan mati!"

Vincent terhuyung dan jatuh terduduk di lantai.

"Dasar gila!"

"Kamu pikir kamu ini dokter? kamu itu orang bodoh, sadar tidak sih?"

Dia lalu menoleh tajam ke arah Clara. "Kenapa kamu diam saja? Suruh suamimu yang sakit jiwa ini minggir! Atau kamu ingin Keluarga Sinclair menuntut kita semua?"

Clara akhirnya tersadar. "Anderson!"

Dia buru-buru maju untuk menarik tangan suaminya dari dada Jovita.

Namun, begitu telapak tangannya menyentuh dada Jovita, dia merasakan sesuatu yang membuatnya merinding. Detak jantung!

"Dia masih hidup!" Clara meraba lagi dengan hati-hati. Ekspresinya berubah drastis.

Vincent tertegun sesaat, lalu dengan cepat melepas stetoskopnya. Saat dia mendengar detak jantung itu sendiri, wajahnya langsung berubah. "Cepat! Dorong dia kembali ke ruang gawat darurat!"

"Aku belum selesai mengobatinya! Kalian tidak bisa membawanya pergi!" Anderson berusaha menghentikan mereka.

"Kamu tidak bisa menyembuhkannya!" Vincent tidak percaya seorang idiot bisa mengobati orang. Dia hanya menganggap ini kesalahan diagnosis.

Mengira orang hidup sebagai mayat dan membawanya ke kamar mayat adalah kesalahan medis yang besar.

Tim medis segera mendorong Jovita pergi dengan tergesa-gesa.

Kini, hanya Clara dan Anderson yang tersisa di kamar mayat.

"Kenapa kamu datang ke sini?" Clara bertanya dengan nada penuh amarah.

"Aku ingin mengobatinya."

Anderson menjawab dengan ekspresi serius. Clara hampir meledak marah.

Clara mengepalkan tangan, berusaha menahan emosinya. Memarahi pria yang dianggap sakit jiwa tidak ada gunanya.

Bagaimanapun, ini tetap salahnya karena tidak menjaganya dengan baik.

Dia menarik napas panjang. "Ayo kita lihat keadaan Jovita dulu. Setelah itu, aku akan mengambil cuti dan mengantarmu pulang!"

Anderson berdeham kecil. "Aku sudah sembuh! Aku bisa pulang sendiri!"

Clara membelalakkan mata, tak percaya.

"Kamu ... kamu sembuh?"

Anderson mengangguk. "Baru saja, pikiranku tiba-tiba jernih, dan aku mengingat semuanya!"

"Kalau kamu sudah sembuh, kenapa malah masuk ke kamar mayat?" Clara memandangnya dengan curiga. Anderson memang rutin minum obat, dan ada kemungkinan dia bisa sembuh.

"Aku sudah bilang tiga kali, aku datang untuk mengobati orang!"

Clara terdiam. Rasanya di sini yang bodoh adalah dia. Kenapa dia percaya kata-kata orang gila?

Mana ada orang normal yang datang ke kamar mayat untuk mengobati pasien? Lagi pula, sebelum sakit, Anderson juga bukan dokter.

Anderson kemudian menatap Clara lekat-lekat.

Cantik!

Alisnya seperti lukisan, matanya sebening bintang yang berkilauan dengan kecerdasan.

Bahkan, dengan jas putih yang menutupi tubuhnya, lekuk tubuhnya tetap terlihat sempurna.

Menikahi wanita seperti ini bukanlah kerugian!

Clara menghela napas, malas berdebat lebih lanjut, lalu menarik Anderson menuju ruang gawat darurat.

Begitu mereka sampai di depan pintu, mereka melihat Vincent keluar dengan wajah cerah, berbicara dengan seorang perawat.

Namun, begitu melihat Clara, senyum di wajahnya lenyap. Dengan suara dingin, dia berkata, "Kamu diskors!"

"Ha?" Clara mengernyit dan menatapnya tajam.

"Jovita pura-pura mati, tapi salah didiagnosis lalu dikirim ke kamar mayat. Ini kesalahan medis! Harus ada yang bertanggung jawab! Dan kamu adalah dokter jaga di IGD pagi ini!" kata Vincent tegas.

Wajah Clara merah padam karena marah. "Jovita sejak awal dirawat olehmu! Kamu sendiri yang mengeluarkan surat kematiannya! Apa hubungannya denganku?"

Vincent tersenyum sinis dan menunjuk Anderson. "Kalau begitu, aku akan memberi tahu Keluarga Sinclair bahwa suamimu telah melecehkan mayatnya!"

Clara langsung pucat.

Keluarga Sinclair adalah keluarga terkaya di Lexington, sedangkan Jovita adalah putri kesayangan mereka. Jika mereka tahu tentang kejadian ini, bisa dipastikan Anderson akan hancur!

"Kamu tahu sendiri apa yang akan terjadi jika Keluarga Sinclair mengetahui bahwa Jovita dilecehkan olehnya!"

Vincent mengancam dengan tatapan penuh kemenangan.

"Jovita masih hidup, bukan?" tanya Clara setelah terdiam sejenak.

"Tentu saja. Kalau tidak, kamu pikir Anderson masih bisa keluar dari rumah sakit ini?"

Clara gemetar karena marah. Bukan hanya dia, bahkan Anderson kini sepenuhnya mengerti.

Kejadian ini adalah kesalahan Vincent! Keluarga Sinclair sudah diberi tahu, dan masalah ini tak bisa ditutupi. Seseorang harus dijadikan kambing hitam.

Dan orang itu adalah Clara!

Sebaliknya, Vincent, si pelaku kesalahan diagnosis, justru akan menjadi pahlawan di mata Keluarga Sinclair!

Anderson tertawa kecil. "Kalau tidak tahu malu adalah keterampilan, kamu pasti juaranya!"

Vincent melirik Anderson dan malas meladeni percakapan dengannya. Sebagai Direktur Rumah Sakit, untuk apa dia repot-repot berurusan dengan orang yang mengalami gangguan mental?

"Kamu begitu yakin bisa menyelamatkan Jovita?" Anderson tersenyum meremehkan.

"Apa maksudmu?" Vincent merasa sangat tidak senang. Orang yang dikatakan mengalami gangguan mental ini justru terlihat terlalu normal.

Anderson mendengus. "Maksudku sudah jelas! Dengan kemampuanmu, kamu masih jauh dari bisa menjadikan istriku sebagai kambing hitam!"

Wajah Vincent memerah karena marah dan hampir meledak emosi.

Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari ruang gawat darurat. Seorang perawat keluar dengan panik, mendorong pintu dengan tergesa-gesa.

"Pak Vincent, ini gawat! Kondisi Jovita kembali kritis."

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

208