Bab 2 Part 2. Bayangan Misterius
by Neng Gemoy
20:19,Dec 05,2023
Berbekal tanaman obat yang sudah disiapkan, Zhi Ruo lantas membawanya ke pasar. Dengan keranjang di punggungnya, gadis itu menyusuri jalanan setapak hingga sampai di pemukiman warga. Rupanya, dia sangat dikenali oleh warga sekitar. Buktinya, dia selalu disapa oleh orang-orang yang dijumpainya.
"Zhi Ruo, bagaimana keadaan ibumu? Apa dia baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya saat melihatnya melintas di depan rumah.
"Iya, Bibi, ibuku baik-baik saja. Ibu menitip salam buat Bibi." Zhi Ruo berhenti sejenak untuk menjawab sapaannya.
"Syukurlah. Ayo, singgah dulu sebentar! Kamu pasti lelah karena baru turun gunung."
"Terima kasih, Bi, tapi aku harus segera pergi. Ibu pasti sudah menunggu karena aku harus membeli keperluan dapur. Aku pergi, ya, Bi," jawab Zhi Ruo sambil melambaikan tangan dan meninggalkan rumah itu.
"Zhi Ruo!" panggil seseorang.
Zhi Ruo lantas berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Dia tampak tersenyum saat melihat seorang pemuda yang kini berlari ke arahnya.
"Kenapa kamu baru turun? Aku sudah menunggumu dari tadi."
Pemuda itu lantas mengambil keranjang yang tergantung di punggung Zhi Ruo dan menggantung keranjang itu di punggungnya.
"Kenapa? Apa kamu sudah merindukanku?" Zhi Ruo tampak tersenyum pada pemuda itu.
"Ah, walau aku bilang rindu, kamu tetap tidak akan merindukanku," jawab pemuda itu seraya tersenyum kecut.
"Sudahlah, Yuen. Bukankah, kita adalah sahabat? Ayo, sebaiknya kita cepat!" Zhi Ruo lalu menarik tangannya dan berlari menuju kerumunan orang-orang yang memadati pasar.
Di depan sebuah kedai obat, mereka berhenti. Seorang lelaki paruh baya menyapa mereka, "Zhi Ruo, kenapa kamu baru datang? Cepatlah, mana tanaman obat yang Paman pesan waktu itu?"
Zhi Ruo lantas mengeluarkan tanaman obat yang sudah dipisahkan sesuai jenis dan meletakkannya di atas meja. "Ini Paman. Ternyata, aku sangat beruntung karena bisa menemukan tanaman obat yang cukup langka. Apakah Paman akan membayarku sekarang?"
Tatapan mata Zhi Ruo tampak berbinar saat melihat lelaki paruh baya itu mengeluarkan sekantong uang dan menyerahkan kantong itu padanya.
"Itu hasilmu hari ini. Paman sangat puas karena kamu selalu memenuhi permintaan Paman. Lain kali, bawa yang banyak agar kamu bisa mendapatkan bayaran lebih."
"Tenang saja, Paman. Sahabatku ini pasti bisa membawa tanaman obat buat Paman." Yuen tersenyum sambil menepuk bahu Zhi Ruo dengan bangga.
Setelah mendapat bayaran, mereka lantas menuju kedai yang menjual daging dan aneka rempah. Rasanya sudah lama Zhi Ruo dan ibunya tidak menyantap daging.
Dengan ditemani Yuen, Zhi Ruo lantas membeli daging dan memberikan separuh untuk sahabatnya itu.
"Apa perlu kamu memberikannya padaku? Zhi Ruo, bawa pulang saja dan masak buat ibumu."
"Ambil saja, ini hadiahku untukmu. Selama ini, kamu sudah sering membantuku. Ayo, kita pulang!"
Walau enggan, Yuen terpaksa menerimanya. Sambil bercanda, mereka menyusuri jalanan pasar hingga tiba-tiba suara ringkikan kuda terdengar.
Terlihat beberapa pemuda yang menunggangi kuda berlari dengan kencang memecah kerumunan orang-orang di tengah jalan. Sontak, Zhi Ruo terkejut saat melihat mereka berlari ke arahnya. Yuen yang menyadari itu lantas menarik tangannya hingga mereka terjatuh ke sisi jalan.
"Hei, apa kalian tidak punya mata?" Zhi Ruo yang tidak terima lantas berdiri dan berteriak ke arah para penunggang kuda itu.
Mendengar teriakannya, salah satu penunggang kuda lalu berhenti. Dia melihat ke arah Zhi Ruo yang sedang mengibaskan hanfunya yang kotor karena terkena tanah.
"Kenapa? Apa kalian pikir jalan ini punya kalian? Kalau ada orang yang terluka karena kalian, apa kalian akan bertanggung jawab?" Zhi Ruo menatap salah satu penunggang kuda yang kini berjalan ke arahnya.
Melihat pemuda itu, orang-orang lalu meninggalkan mereka. Pemuda dengan wajah yang terlihat datar tanpa ekspresi itu melirik ke arah Zhi Ruo. Dia tersenyum kecut sambil meraih dagu gadis itu dan diarahkan di dekat wajahnya.
"Gadis sepertimu cukup berani untuk menentangku. Apa kamu tahu siapa aku?" tanya pemuda itu dengan tatapan yang tajam.
Dengan kesal, Zhi Ruo mengempas tangan pemuda itu dan mengambil daging yang terjatuh di tanah. Dia begitu kesal karena daging untuk ibunya telah kotor terkena tanah. Dia lantas memandangi pemuda yang masih menatapnya itu.
"Aku tidak peduli siapa dirimu, tapi kamu tidak pantas berbuat seenaknya seperti ini. Dilihat dari pakaianmu, aku yakin kamu pasti salah satu orang yang terpandang, tapi sayang sikapmu itu seperti orang tak punya adab!"
Ucapan Zhi Ruo terdengar menghina hingga membuat beberapa lelaki yang bersama pemuda itu turun dari atas kuda dan mendekatinya dengan tatapan penuh amarah.
"Dasar wanita jalang! Apa kamu tahu dengan siapa kamu bicara?"
"Aku tak peduli karena aku memang tak mau peduli. Untung saja aku tidak terluka. Jika tadi aku sampai terluka, aku akan menuntut kalian!" Zhi Ruo terlihat kesal. Yuen lantas menarik tangannya untuk pergi dari tempat itu.
"Maaf, Tuan. Tolong maafkan teman saya. Dia tidak tahu dengan siapa dia bicara. Sekali lagi, maafkan kami, Tuan." Yuen menunduk meminta maaf dan menarik tangan Zhi Ruo untuk pergi dari tempat itu. Walau masih kesal, Zhi Ruo akhirnya mengikuti Yuen dan pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat tingkah seorang gadis yang berani padanya, membuat lelaki itu menatap Zhi Ruo yang mulai menjauh. Dia tersenyum sinis dengan tatapan mata yang liar.
"Tuan muda, gadis itu sepertinya tidak tahu siapa Anda. Apa tidak sebaiknya kita beri dia pelajaran?" tanya seorang lelaki sambil menundukan wajahnya di depan pemuda yang dipanggilnya tuan muda itu.
"Cari tahu siapa dia. Setelah itu, bawa dia padaku!" Pemuda itu lantas kembali naik ke atas punggung kuda dan pergi meninggalkan tempat itu.
Walau sudah sampai di rumah, Zhi Ruo masih terlihat kesal. Dia terus mengumpat saat sedang membersihkan daging yang terkena tanah. Mulutnya tak berhenti mengoceh karena mengingat pemuda yang hampir menabraknya tadi.
"Zhi Ruo, apa kamu tahu siapa yang kamu marahi tadi? Dia itu adalah tuan muda dari keluarga Zu. Dia itu anak seorang bangsawan dan kamu tahu siapa ayahnya? Ayahnya adalah Perdana Menteri Zu Qi yang sangat dekat dengan raja. Yang aku dengar, tuan muda itu juga sangat dekat dengan pangeran. Jadi, jangan membuat orang-orang seperti mereka kesal pada kita karena kita bisa saja mati dibunuh oleh mereka." Yuen mencoba menjelaskan panjang lebar, tetapi sama sekali tidak digubris oleh gadis itu.
Zhi Ruo tidak ingin menanggapi. Dia tahu dirinya tetap akan disalahkan karena sudah berani melawan orang yang terpandang. Walau Yuen menasihatinya, dia hanya mengangguk dan mempertebal telinga. Ocehan sahabatnya sama sekali tidak dipedulikan dan dia tidak ingin membantah apa yang diucapkan sahabatnya itu.
"Iya, aku dengar. Siapa suruh mereka menerobos jalanan seperti itu. Ah, sudahlah, jangan bahas mereka lagi. Ayo, sebaiknya kita makan!"
Zhi Ruo meletakkan beberapa piring yang sudah terisi lauk pauk dan daging yang sudah dimasaknya. Melihat makanan di atas meja membuat Yuen segera duduk dan menatap makanan hasil olahan sahabatnya itu.
"Bibi, tidakkah Bibi berpikir kalau Zhi Ruo sudah pantas untuk berumah tangga? Lihat saja hasil masakannya. Wah, pasti suaminya kelak akan bahagia karena dimanjakan dengan masakannya ini."
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum dan membelai lembut puncak kepala Zhi Ruo sambil duduk di dekat putrinya itu.
"Kenapa harus aku? Kamu sendiri saja belum menikah. Yuen, jangan pernah berpikir kalau aku akan menikah denganmu." Zhi Ruo mendengus seraya mengerucutkan bibirnya. Melihat ekspresinya itu, Yuen tersenyum kecut.
"Iya, iya, aku tahu. Mana mungkin aku akan menikah denganmu. Lagi pula, wajahku terlalu tampan dan aku tidak suka dengan gadis pemarah sepertimu."
Mendengar ucapannya, Zhi Ruo lantas menarik piring-piring dari atas meja seakan-akan melarang pemuda itu menyentuh masakannya.
"Bibi, lihat sikap anakmu itu! Bagaimana dia bisa menikah jika sikapnya seperti itu? Bibi, bantu aku. Ayolah, aku sudah lapar!"
Yuen berusaha mengambil piring-piring itu, tetapi Zhi Ruo menutupi dengan tubuhnya sambil menjulurkan lidahnya tanda mengejek.
Candaan demi candaan terdengar dari dalam rumah hingga menimbulkan gelak tawa. Keakraban yang terjalin sejak kecil membuat mereka layaknya saudara.
Yuen adalah pemuda sederhana yang ditinggal mati sang ayah saat berperang. Dia telah menjadi sahabat Zhi Ruo sejak mereka masih kecil. Kehidupan sederhana dan sama-sama kehilangan ayah di medan perang membuat keduanya akrab.
Wajah pemuda itu cukup tampan. Tubuhnya kekar karena setiap hari harus bekerja keras mencari nafkah untuk satu-satunya keluarganya, yaitu ibunya.
Warna kulitnya begitu eksotis karena setiap hari harus berjibaku di bawah sinar matahari. Walau begitu, tidak sedikit gadis-gadis di desanya yang mengagumi kegigihannya itu.
Bagi Yuen, Zhi Ruo tak hanya sahabat, tetapi juga adik yang wajib dijaga dan dilindungi. Baginya, Zhi Ruo adalah wanita spesial karena diam-diam dia begitu menyukai gadis manis pemilik lesung pipi itu.
Baginya, Zhi Ruo tak hanya cantik, tetapi sangat menggemaskan. Tawa, canda, dan senyumnya begitu membuai pemuda sederhana itu. Walau diam-diam rasa itu muncul di hatinya, tetapi Yuen lebih memilih untuk memendamnya. Biarlah takdir yang akan menentukan nasibnya. Asalkan, dia bisa selalu bersama gadis yang dicintainya itu.
Hari menjelang malam ketika Yuen meminta undur diri. Pemuda itu pulang tidak dengan tangan kosong. Sambil tersenyum, dia melihat bekal yang dibawa olehnya.
Zhi Ruo tak hanya cantik, tetapi juga baik hati. Dan itulah yang membuat Yuen mencintainya dalam diam.
Saat malam hari, suasana di rumah Zhi Ruo terlihat tenang. Walau suara jangkrik dan lolongan anjing sering terdengar, tetapi sama sekali tidak mengganggunya. Bahkan, suara-suara itu dijadikan lagu pengantar tidur baginya.
Di saat ibunya sudah terlelap, Zhi Ruo masih terjaga. Dengan telaten, dia menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk naik ke gunung di keesokan harinya.
Keranjang, sangkur, dan juga bekal tak luput dia siapkan. Semua itu dia lakukan untuk bisa mencukupi kebutuhannya bersama sang ibu. Dia harus tetap naik ke gunung untuk mencari tanaman obat dan juga ubi-ubian untuk kelanjutan hidup mereka.
Setelah selesai menyiapkan semuanya serta membersihkan rumah, Zhi Ruo lantas berbaring di samping ibunya. Dia tersenyum saat melihat ibunya yang terlihat damai dalam tidur lelapnya.
"Ibu, aku menyayangimu. Aku akan membahagiakanmu dan selalu ada untukmu." Zhi Ruo membelai lembut wajah keriput sang ibu dan mengecup dahinya.
Zhi Ruo kini menatap langit-langit kamar seraya menghitung lubang-lubang di atas atap. Hawa dingin perlahan masuk dari lubang-lubang itu hingga membuatnya menyelimuti diri dan sang ibu di sampingnya.
Saat matanya akan terpejam, seketika dia terkejut. Samar-samar, dia mendengar suara orang berjalan di belakang rumahnya. Walau penasaran, dia tidak ingin beranjak.
Di saat malam seperti itu, dia takut untuk keluar rumah. Walau demi apa pun, dia tidak akan pernah beranjak. Sambil menutup telinganya, dia memaksakan diri untuk tidur. Tak butuh waktu lama, dia kini sudah terbuai dalam mimpi.
Di luar sana, tampak dua orang lelaki berjalan mengendap dan berusaha masuk ke rumah. Mereka punya niat yang buruk pada Zhi Ruo. Mereka begitu berani karena di rumah itu hanya ada Zhi Ruo dan ibunya yang sudah renta. Mereka ingin membalas perlakuan Zhi Ruo yang dianggap telah menghina mereka.
Zhi Ruo ternyata telah menolak pengakuan cinta dari salah seorang di antara mereka. Mereka ingin menodainya dan itu bukan hal yang sulit karena lokasi rumahnya yang jauh dari desa. Otomatis, tidak ada orang yang akan mengetahui perbuatan mereka.
Itulah yang mereka pikirkan saat ini, tetapi ianyatanya mereka harus berpikir seribu kali saat melihat sesosok bayangan hitam yang kini berdiri di depan mereka.
Sontak, mereka terkejut hingga lari terbirit-birit dan jatuh berkali-kali karena dikejar bayangan hitam itu. Bayangan hitam dengan suara serak dan mata yang memerah sekelebat terbang di atas mereka hingga bayangan hitam itu menghilang saat keduanya telah menjauh dari rumah Zhi Ruo.
"Ah, manusia-manusia jahat seperti mereka memang pantas untuk mati. Andai saja aku tidak terikat dengan janji itu, aku pasti sudah menghabisi manusia-manusia seperti mereka!"
Wajah yang terlihat samar itu menampakkan rasa kesalnya dengan menghantam sebatang pohon hingga roboh. Dengan seberkas cahaya yang keluar dari tangannya, pohon itu seketika tumbang tanpa cela dalam sekali tebasan.
Bayangan hitam itu lantas menghilang dalam sekejap. Yang terlihat hanya batang pohon yang teronggok di atas tanah hingga membuat Zhi Ruo terkejut saat pagi hari disuguhkan dengan pemandangan yang tentu saja mencengangkan baginya.
To Be Continued...
"Zhi Ruo, bagaimana keadaan ibumu? Apa dia baik-baik saja?" tanya seorang wanita paruh baya saat melihatnya melintas di depan rumah.
"Iya, Bibi, ibuku baik-baik saja. Ibu menitip salam buat Bibi." Zhi Ruo berhenti sejenak untuk menjawab sapaannya.
"Syukurlah. Ayo, singgah dulu sebentar! Kamu pasti lelah karena baru turun gunung."
"Terima kasih, Bi, tapi aku harus segera pergi. Ibu pasti sudah menunggu karena aku harus membeli keperluan dapur. Aku pergi, ya, Bi," jawab Zhi Ruo sambil melambaikan tangan dan meninggalkan rumah itu.
"Zhi Ruo!" panggil seseorang.
Zhi Ruo lantas berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Dia tampak tersenyum saat melihat seorang pemuda yang kini berlari ke arahnya.
"Kenapa kamu baru turun? Aku sudah menunggumu dari tadi."
Pemuda itu lantas mengambil keranjang yang tergantung di punggung Zhi Ruo dan menggantung keranjang itu di punggungnya.
"Kenapa? Apa kamu sudah merindukanku?" Zhi Ruo tampak tersenyum pada pemuda itu.
"Ah, walau aku bilang rindu, kamu tetap tidak akan merindukanku," jawab pemuda itu seraya tersenyum kecut.
"Sudahlah, Yuen. Bukankah, kita adalah sahabat? Ayo, sebaiknya kita cepat!" Zhi Ruo lalu menarik tangannya dan berlari menuju kerumunan orang-orang yang memadati pasar.
Di depan sebuah kedai obat, mereka berhenti. Seorang lelaki paruh baya menyapa mereka, "Zhi Ruo, kenapa kamu baru datang? Cepatlah, mana tanaman obat yang Paman pesan waktu itu?"
Zhi Ruo lantas mengeluarkan tanaman obat yang sudah dipisahkan sesuai jenis dan meletakkannya di atas meja. "Ini Paman. Ternyata, aku sangat beruntung karena bisa menemukan tanaman obat yang cukup langka. Apakah Paman akan membayarku sekarang?"
Tatapan mata Zhi Ruo tampak berbinar saat melihat lelaki paruh baya itu mengeluarkan sekantong uang dan menyerahkan kantong itu padanya.
"Itu hasilmu hari ini. Paman sangat puas karena kamu selalu memenuhi permintaan Paman. Lain kali, bawa yang banyak agar kamu bisa mendapatkan bayaran lebih."
"Tenang saja, Paman. Sahabatku ini pasti bisa membawa tanaman obat buat Paman." Yuen tersenyum sambil menepuk bahu Zhi Ruo dengan bangga.
Setelah mendapat bayaran, mereka lantas menuju kedai yang menjual daging dan aneka rempah. Rasanya sudah lama Zhi Ruo dan ibunya tidak menyantap daging.
Dengan ditemani Yuen, Zhi Ruo lantas membeli daging dan memberikan separuh untuk sahabatnya itu.
"Apa perlu kamu memberikannya padaku? Zhi Ruo, bawa pulang saja dan masak buat ibumu."
"Ambil saja, ini hadiahku untukmu. Selama ini, kamu sudah sering membantuku. Ayo, kita pulang!"
Walau enggan, Yuen terpaksa menerimanya. Sambil bercanda, mereka menyusuri jalanan pasar hingga tiba-tiba suara ringkikan kuda terdengar.
Terlihat beberapa pemuda yang menunggangi kuda berlari dengan kencang memecah kerumunan orang-orang di tengah jalan. Sontak, Zhi Ruo terkejut saat melihat mereka berlari ke arahnya. Yuen yang menyadari itu lantas menarik tangannya hingga mereka terjatuh ke sisi jalan.
"Hei, apa kalian tidak punya mata?" Zhi Ruo yang tidak terima lantas berdiri dan berteriak ke arah para penunggang kuda itu.
Mendengar teriakannya, salah satu penunggang kuda lalu berhenti. Dia melihat ke arah Zhi Ruo yang sedang mengibaskan hanfunya yang kotor karena terkena tanah.
"Kenapa? Apa kalian pikir jalan ini punya kalian? Kalau ada orang yang terluka karena kalian, apa kalian akan bertanggung jawab?" Zhi Ruo menatap salah satu penunggang kuda yang kini berjalan ke arahnya.
Melihat pemuda itu, orang-orang lalu meninggalkan mereka. Pemuda dengan wajah yang terlihat datar tanpa ekspresi itu melirik ke arah Zhi Ruo. Dia tersenyum kecut sambil meraih dagu gadis itu dan diarahkan di dekat wajahnya.
"Gadis sepertimu cukup berani untuk menentangku. Apa kamu tahu siapa aku?" tanya pemuda itu dengan tatapan yang tajam.
Dengan kesal, Zhi Ruo mengempas tangan pemuda itu dan mengambil daging yang terjatuh di tanah. Dia begitu kesal karena daging untuk ibunya telah kotor terkena tanah. Dia lantas memandangi pemuda yang masih menatapnya itu.
"Aku tidak peduli siapa dirimu, tapi kamu tidak pantas berbuat seenaknya seperti ini. Dilihat dari pakaianmu, aku yakin kamu pasti salah satu orang yang terpandang, tapi sayang sikapmu itu seperti orang tak punya adab!"
Ucapan Zhi Ruo terdengar menghina hingga membuat beberapa lelaki yang bersama pemuda itu turun dari atas kuda dan mendekatinya dengan tatapan penuh amarah.
"Dasar wanita jalang! Apa kamu tahu dengan siapa kamu bicara?"
"Aku tak peduli karena aku memang tak mau peduli. Untung saja aku tidak terluka. Jika tadi aku sampai terluka, aku akan menuntut kalian!" Zhi Ruo terlihat kesal. Yuen lantas menarik tangannya untuk pergi dari tempat itu.
"Maaf, Tuan. Tolong maafkan teman saya. Dia tidak tahu dengan siapa dia bicara. Sekali lagi, maafkan kami, Tuan." Yuen menunduk meminta maaf dan menarik tangan Zhi Ruo untuk pergi dari tempat itu. Walau masih kesal, Zhi Ruo akhirnya mengikuti Yuen dan pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat tingkah seorang gadis yang berani padanya, membuat lelaki itu menatap Zhi Ruo yang mulai menjauh. Dia tersenyum sinis dengan tatapan mata yang liar.
"Tuan muda, gadis itu sepertinya tidak tahu siapa Anda. Apa tidak sebaiknya kita beri dia pelajaran?" tanya seorang lelaki sambil menundukan wajahnya di depan pemuda yang dipanggilnya tuan muda itu.
"Cari tahu siapa dia. Setelah itu, bawa dia padaku!" Pemuda itu lantas kembali naik ke atas punggung kuda dan pergi meninggalkan tempat itu.
Walau sudah sampai di rumah, Zhi Ruo masih terlihat kesal. Dia terus mengumpat saat sedang membersihkan daging yang terkena tanah. Mulutnya tak berhenti mengoceh karena mengingat pemuda yang hampir menabraknya tadi.
"Zhi Ruo, apa kamu tahu siapa yang kamu marahi tadi? Dia itu adalah tuan muda dari keluarga Zu. Dia itu anak seorang bangsawan dan kamu tahu siapa ayahnya? Ayahnya adalah Perdana Menteri Zu Qi yang sangat dekat dengan raja. Yang aku dengar, tuan muda itu juga sangat dekat dengan pangeran. Jadi, jangan membuat orang-orang seperti mereka kesal pada kita karena kita bisa saja mati dibunuh oleh mereka." Yuen mencoba menjelaskan panjang lebar, tetapi sama sekali tidak digubris oleh gadis itu.
Zhi Ruo tidak ingin menanggapi. Dia tahu dirinya tetap akan disalahkan karena sudah berani melawan orang yang terpandang. Walau Yuen menasihatinya, dia hanya mengangguk dan mempertebal telinga. Ocehan sahabatnya sama sekali tidak dipedulikan dan dia tidak ingin membantah apa yang diucapkan sahabatnya itu.
"Iya, aku dengar. Siapa suruh mereka menerobos jalanan seperti itu. Ah, sudahlah, jangan bahas mereka lagi. Ayo, sebaiknya kita makan!"
Zhi Ruo meletakkan beberapa piring yang sudah terisi lauk pauk dan daging yang sudah dimasaknya. Melihat makanan di atas meja membuat Yuen segera duduk dan menatap makanan hasil olahan sahabatnya itu.
"Bibi, tidakkah Bibi berpikir kalau Zhi Ruo sudah pantas untuk berumah tangga? Lihat saja hasil masakannya. Wah, pasti suaminya kelak akan bahagia karena dimanjakan dengan masakannya ini."
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum dan membelai lembut puncak kepala Zhi Ruo sambil duduk di dekat putrinya itu.
"Kenapa harus aku? Kamu sendiri saja belum menikah. Yuen, jangan pernah berpikir kalau aku akan menikah denganmu." Zhi Ruo mendengus seraya mengerucutkan bibirnya. Melihat ekspresinya itu, Yuen tersenyum kecut.
"Iya, iya, aku tahu. Mana mungkin aku akan menikah denganmu. Lagi pula, wajahku terlalu tampan dan aku tidak suka dengan gadis pemarah sepertimu."
Mendengar ucapannya, Zhi Ruo lantas menarik piring-piring dari atas meja seakan-akan melarang pemuda itu menyentuh masakannya.
"Bibi, lihat sikap anakmu itu! Bagaimana dia bisa menikah jika sikapnya seperti itu? Bibi, bantu aku. Ayolah, aku sudah lapar!"
Yuen berusaha mengambil piring-piring itu, tetapi Zhi Ruo menutupi dengan tubuhnya sambil menjulurkan lidahnya tanda mengejek.
Candaan demi candaan terdengar dari dalam rumah hingga menimbulkan gelak tawa. Keakraban yang terjalin sejak kecil membuat mereka layaknya saudara.
Yuen adalah pemuda sederhana yang ditinggal mati sang ayah saat berperang. Dia telah menjadi sahabat Zhi Ruo sejak mereka masih kecil. Kehidupan sederhana dan sama-sama kehilangan ayah di medan perang membuat keduanya akrab.
Wajah pemuda itu cukup tampan. Tubuhnya kekar karena setiap hari harus bekerja keras mencari nafkah untuk satu-satunya keluarganya, yaitu ibunya.
Warna kulitnya begitu eksotis karena setiap hari harus berjibaku di bawah sinar matahari. Walau begitu, tidak sedikit gadis-gadis di desanya yang mengagumi kegigihannya itu.
Bagi Yuen, Zhi Ruo tak hanya sahabat, tetapi juga adik yang wajib dijaga dan dilindungi. Baginya, Zhi Ruo adalah wanita spesial karena diam-diam dia begitu menyukai gadis manis pemilik lesung pipi itu.
Baginya, Zhi Ruo tak hanya cantik, tetapi sangat menggemaskan. Tawa, canda, dan senyumnya begitu membuai pemuda sederhana itu. Walau diam-diam rasa itu muncul di hatinya, tetapi Yuen lebih memilih untuk memendamnya. Biarlah takdir yang akan menentukan nasibnya. Asalkan, dia bisa selalu bersama gadis yang dicintainya itu.
Hari menjelang malam ketika Yuen meminta undur diri. Pemuda itu pulang tidak dengan tangan kosong. Sambil tersenyum, dia melihat bekal yang dibawa olehnya.
Zhi Ruo tak hanya cantik, tetapi juga baik hati. Dan itulah yang membuat Yuen mencintainya dalam diam.
Saat malam hari, suasana di rumah Zhi Ruo terlihat tenang. Walau suara jangkrik dan lolongan anjing sering terdengar, tetapi sama sekali tidak mengganggunya. Bahkan, suara-suara itu dijadikan lagu pengantar tidur baginya.
Di saat ibunya sudah terlelap, Zhi Ruo masih terjaga. Dengan telaten, dia menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk naik ke gunung di keesokan harinya.
Keranjang, sangkur, dan juga bekal tak luput dia siapkan. Semua itu dia lakukan untuk bisa mencukupi kebutuhannya bersama sang ibu. Dia harus tetap naik ke gunung untuk mencari tanaman obat dan juga ubi-ubian untuk kelanjutan hidup mereka.
Setelah selesai menyiapkan semuanya serta membersihkan rumah, Zhi Ruo lantas berbaring di samping ibunya. Dia tersenyum saat melihat ibunya yang terlihat damai dalam tidur lelapnya.
"Ibu, aku menyayangimu. Aku akan membahagiakanmu dan selalu ada untukmu." Zhi Ruo membelai lembut wajah keriput sang ibu dan mengecup dahinya.
Zhi Ruo kini menatap langit-langit kamar seraya menghitung lubang-lubang di atas atap. Hawa dingin perlahan masuk dari lubang-lubang itu hingga membuatnya menyelimuti diri dan sang ibu di sampingnya.
Saat matanya akan terpejam, seketika dia terkejut. Samar-samar, dia mendengar suara orang berjalan di belakang rumahnya. Walau penasaran, dia tidak ingin beranjak.
Di saat malam seperti itu, dia takut untuk keluar rumah. Walau demi apa pun, dia tidak akan pernah beranjak. Sambil menutup telinganya, dia memaksakan diri untuk tidur. Tak butuh waktu lama, dia kini sudah terbuai dalam mimpi.
Di luar sana, tampak dua orang lelaki berjalan mengendap dan berusaha masuk ke rumah. Mereka punya niat yang buruk pada Zhi Ruo. Mereka begitu berani karena di rumah itu hanya ada Zhi Ruo dan ibunya yang sudah renta. Mereka ingin membalas perlakuan Zhi Ruo yang dianggap telah menghina mereka.
Zhi Ruo ternyata telah menolak pengakuan cinta dari salah seorang di antara mereka. Mereka ingin menodainya dan itu bukan hal yang sulit karena lokasi rumahnya yang jauh dari desa. Otomatis, tidak ada orang yang akan mengetahui perbuatan mereka.
Itulah yang mereka pikirkan saat ini, tetapi ianyatanya mereka harus berpikir seribu kali saat melihat sesosok bayangan hitam yang kini berdiri di depan mereka.
Sontak, mereka terkejut hingga lari terbirit-birit dan jatuh berkali-kali karena dikejar bayangan hitam itu. Bayangan hitam dengan suara serak dan mata yang memerah sekelebat terbang di atas mereka hingga bayangan hitam itu menghilang saat keduanya telah menjauh dari rumah Zhi Ruo.
"Ah, manusia-manusia jahat seperti mereka memang pantas untuk mati. Andai saja aku tidak terikat dengan janji itu, aku pasti sudah menghabisi manusia-manusia seperti mereka!"
Wajah yang terlihat samar itu menampakkan rasa kesalnya dengan menghantam sebatang pohon hingga roboh. Dengan seberkas cahaya yang keluar dari tangannya, pohon itu seketika tumbang tanpa cela dalam sekali tebasan.
Bayangan hitam itu lantas menghilang dalam sekejap. Yang terlihat hanya batang pohon yang teronggok di atas tanah hingga membuat Zhi Ruo terkejut saat pagi hari disuguhkan dengan pemandangan yang tentu saja mencengangkan baginya.
To Be Continued...
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved