Bab 7 Part 7

by Neng Gemoy 19:54,Dec 05,2023
Sepulangnya dari berenang, ketika Dodi dan Iwan telah terpisah darinya, Kino bertemu Niken.
“Hai…, apa kabar!” sergah wanita teman Mba Rien itu.
“Kabar baik,” ucap Kino pendek. Sebetulnya ia ingin melanjutkan dengan pertanyaan tentang Mba Rien, tetapi Kino ragu apakah hal itu patut ditanyakan kepada Mba Niken.
“Tidak pernah ke sanggar lagi?” tanya Niken, entah kenapa Kino merasa wanita ini sedang menggodanya.
“Mmmm …. bukankah latihan tari belum dimulai lagi, dan Susi belum perlu datang lagi?” jawab Kino.
Niken tertawa kecil, “Maksudku, …. koq tidak pernah ngobrol dengan Mba Rien lagi, dia kan sudah datang!”
Kino menelan ludah. Oh, Mba Rien telah pulang. Cepat sekali rasanya waktu berlalu, pikirnya dalam hati. Lalu, entah kenapa ia akhirnya berjalan beriringan dengan Niken ke arah sanggar. Niken berceloteh entah tentang apa, Kino tak begitu memperhatikan, karena kepalanya sibuk menjawab berbagai persoalan yang tiba-tiba muncul.
Sesampai di sanggar, Niken berkata bahwa ia hendak ke belakang dulu, dan bahwa Mba Rien ada di ruang latihan. Kino menggumamkan terimakasih, menjawab sekenannya, lalu berjalan ke arah ruang latihan. Langkahnya terasa berat, tetapi kaki-kakinya seperti digerakkan oleh mesin yang tak bisa dikendalikannya sendiri.
“Hei!!! Kino!…apa kabar?” suara Mba Rien yang lepas-nyaring terdengar begitu Kino muncul di pintu ruang latihan. Kino terpaku sejenak, matanya menyesuaikan diri dengan keremangan ruang latihan. Akhirnya ia melihat Mba Rien, sedang menggelar tikar-tikar bersama seorang wanita lain yang tak dikenal Kino.
Rien mendekat dengan cepat. Duh, kenapa ia jadi rindu kepada remaja ini? sergahnya dalam hati, tetapi ia tak mempedulikan perasaannya. Dipeluknya Kino sebelum pemuda ini sepenuhnya sadar apa yang terjadi, lalu dikecupnya cepat pipinya.
Kemudian dilepasnya pelukan secepat ia mencium pipinya, dan diberondongnya Kino dengan serentetan pertanyaan.
Kino tergagap-gagap menjawab pertanyaan tentang ulangan, tentang liburan, tentang orangtuanya, tentang Susi, tentang …. entah tentang apa lagi. Banyak sekali yang tak bisa dijawabnya. Mba Rien tampak bersemangat sekali, dan Kino baru belakangan menyadari bahwa rambut wanita ini telah berubah pendek.
Tetapi perubahan itu justru menambahkan kecantikan baru, karena lehernya yang jenjang dan mulus itu semakin terpampang indah, dan matanya yang bersinar itu semakin tampil. Kino tiba-tiba merasa ingin melingkarkan tangannya di leher yang menggairahkan itu!
Setelah mencencar dengan pertanyaan dan menyeret Kino untuk membantunya menggelar tikar-tikar, akhirnya Mba Rien mengajak Kino ke tempat kostnya. Kino hendak membantah, karena hari sudah mulai gelap. Tetapi, sebagaimana biasanya, ia tak pernah bisa menolak inisiatif Mba Rien. Lagipula ini malam Minggu dan sekolah belum lagi mulai.
Kino tadi sore telah mengatakan akan bermalam minggu bersama teman-teman, dan ayah-ibu telah mengijinkannya pulang paling lambat pukul 11. Maka akhirnya Kino bertandang ke tempat kost Mba Rien.
Di tempat kost Mba Rien, tampak Mbar Laras sedang berbincang dengan seorang pria berwajah tampan dan berpakaian rapi, mungkin pacarnya. Kino mengangguk sopan, dan Mba Laras mencubit pahanya sambil mengomel, mengatakan bahwa Kino tidak adil karena hanya datang kalau ada Mba Rien.
Pria yang sedang bersama Mba Laras bertanya, siapa si Kino itu (usil juga dia!) dan segera dijawab bahwa Kino adalah adik bungsu Rien. Pria itu menggumamkan, “Oooo..” yang entah mengandung curiga atau percaya. Kino tiba-tiba sebal kepada pria yang -harus diakuinya- berwajah tampan dan berbaju cukup bagus untuk ukuran kota kecil.
Mba Rien mengajak Kino masuk ke kamarnya, dan Kino tentu menurut saja karena Mba Laras juga mengusirnya dari ruang tamu (“mengganggu pembicaraaan,” katanya).
Di kamar, Mba Rien mengeluarkan sebungkus kue bolu oleh-oleh dari kakaknya, dan Kino bersuka-cita melahap pengganan lezat kegemarannya itu. Mba Rien terus bercerita tentang kakaknya, tentang anak kakaknya, tentang kota yang terkenal dengan bolunya, dan sebagainya, dan seterusnya.
Kino, seperti biasa, cuma mendengar dengan seksama. Tetapi mata Kino tak lekang dari Mba Rien yang bergerak lincah mengimbangi keramaian ceritanya. Ia seperti burung gelatik di pagi hari, pikir Kino. Menggairahkan pula, dengan dada yang terlonjak-lonjak seperti itu, dengan mulut yang basah seperti itu, dengan pinggul yang bergoyang seperti itu.
Lalu terdengar Laras berteriak dari kamar tamu, mengatakan bahwa ia dan teman prianya akan keluar untuk menonton. Mba Rien keluar sebentar dan berbicara dengan pria teman Laras itu, lalu terdengar pintu depan ditutup, dan Mba Rien kembali ke kamar.
Kino sedang berdiri membuka-buka album foto di meja kerja Mba Rien yang dipenuhi majalah-majalah dan buku tentang tari-menari. Cantik sekali Mba Rien dalam foto-foto penampilannya.
Ia memang penari yang kata orang penuh bakat, dan sudah pernah diajak tur keliling Indonesia oleh seorang sutradara tari dari ibukota. Kino juga pernah mendengar bahwa Mba Rien diajak tur ke luar negeri, tetapi entah kapan realisasinya.
Kino tersentak ketika merasakan nafas Mba Rien di tengkuknya. Tanpa terdengar, Mba Rien telah berdiri di belakang Kino, dekat sekali. Dengan ringan ia menjelaskan foto-foto di album itu, tetapi Kino tak bisa sepenuhnya mengerti.
Betapa tidak! Tubuh Mba Rien menempel di tubuhnya. Nafasnya harum memenuhi udara. Dadanya yang kenyal menekan punggung Kino, membuat pemuda ini tiba-tiba bersyukur bahwa Mba Laras dan teman prianya pergi ke luar rumah!
Lalu, entah kekuatan apa yang datang ke Kino, tiba-tiba ia sudah berbalik dan memeluk Mba Rien. Bukan itu saja, Kino bahkan tiba-tiba sudah mengulum bibir basah yang bernafas harum menggairahkan itu. Rien tergagap, kedua tangannya siap mendorong dada Kino.
Tetapi dengan tiba-tiba pula tangan itu kehilangan daya, dan berhenti di dada Kino, bukan mendorong melainkan menempel saja. Lalu, ketika Kino terus melumat bibirnya, Rien tak kuasa mencegah kedua tangannya merengkuh tubuh pemuda itu.
Kedua payudaranya terhenyak di dada Kino, membuat Kino semakin bergairah menciumi wanita yang selalu menggairahkan birahinya ini.
Rien mengerang mendapat perlakuan Kino yang penuh nafsu itu. Matanya terpejam penuh penyerahan, juga ketika pelan-pelan mereka bergeser ke arah dipan.
Tangan Rien meremas punggung Kino, dan bahkan lalu menekan tengkuk pemuda itu, mendorong Kino untuk berbuat lebih bergairah lagi. Dan Kino pun menyambut ajakan seperti itu dengan sepenuh hati. Entah bagaimana awalnya, kedua tangannya kini meremas-remas payudara Rien, menyebabkan wanita itu terengah-engah.
Puting-puting susunya terasa menegang mendapat perlakuan Kino yang sebetulnya agak kasar itu. Terasa gatal pula, karena Rien tergesek-gesek beha nilonnya. Kehangatan tiba-tiba menjalari tubuhnya, ke arah bawah, ke antara dua pahanya yang kini menempel erat di paha Kino.
Keduanya lalu terjerembab di dipan yang berderit menahan beban yang lebih berat dari biasanya. Kino menindih Rien dan masih menghujaninya dengan ciuman. Rok Rien yang pendek telah tersingkap, memperlihatkan seluruh pahanya, dan celana dalam krem tipis yang berenda-renda.
Sejenak Kino melihat pemandangan itu, menyebabkan ia semakin bergairah menciumi Mba Rien-nya. Tetapi cuma itulah yang bisa dikerjakan Kino selama ini, meremas payudara (sebagaimana Mba Rien mengajarinya di pantai) dan menciumi bibirnya (seperti “peristiwa kenari” sore itu). Tidak lebih dari itu yang bisa dikerjakan pemuda tak berpengalaman ini!
Adalah Rien yang kemudian tak merasa cukup diciumi dan diremas-remas seperti itu. Tubuhnya minta lebih dari itu, dan Rien ingin mendapatkannya dari Kino, pemuda yang semakin lama semakin disukainya ini.
Ia tahu, ini adalah sebuah permintaan yang berbahaya dan harus diperlakukan hati-hati. Tetapi pancaran birahi dari pemuda yang sekarang mendekapnya ini begitu kuat, mengundang Rien untuk hanyut lebih jauh lagi, berenang lebih dalam lagi. Sanggupkah ia menolaknya?
Dengan tangan kanannya yang bebas, Rien tiba-tiba sudah menuntun tangan kanan Kino, membawanya ke bawah. Tangan pemuda itu tampak lemas tak berdaya, mengikuti saja. Sambil mengerangkan sesuatu yang tak jelas, Rien menelusupkan tangan Kino dan tangannya ke balik celana dalamnya.
Kino merasakan telapak tangannya mengusap rambut-rambut halus dan bukit kecil yang hangat di balik nilon tipis itu. Ah, apa yang harus kulakukan? pikirnya risau. Tetapi Kino diam saja, karena tangan Mba Rien kini mengajak tangannya berputar-putar mengusap.
Hangat sekali di bawah sana, jauh lebih hangat daripada kedua payudaranya, ucap Kino dalam hati. Apalagi kemudian tangannya didorong lebih ke bawah. Tidak hanya ada hangat di sana, tetapi juga agak basah. Gerakannya masih mengusap-usap, menuruti saja gerakan tangan Mba Rien yang kini tampak semakin terengah-engah.
Tiba-tiba Mba Rien melepaskan bibirnya dari pagutan Kino, membuat pemuda ini agak terperanjat. Apalagi kemudian Mba Rien bangkit, membuat Kino khawatir telah melakukan suatu kesalahan fatal. Tetapi ternyata tidak. Ternyata Mba Rien bangkit untuk melepas celana dalamnya, dengan sebuah gerakan cepat yang menakjubkan.
Kino terkesima melihat Mba Rien kini menggeletak di sampingnya, dengan rok tersingkap sepenuhnya, dan dengan kewanitaan yang terpampang jelas, menampakkan segitiga hitam rambut-rambut halus yang sedikit membukit, dan sepasang bibir yang membasah. Kino menelan ludah berkali-kali. Pemandangan itu sungguh berada di luar batas khayalnya selama ini. Jauh di luar batas!
Wajah Mba Rien tampak serius dengan sinar yang menggairahkan, pikir Kino sambil mencari jawab di mata wanita itu. Ia sungguh bingung, tak tahu harus berbuat apa. Mba Rien tersenyum, lalu berbisik, “Kino.. Mba ingin kamu melakukan sesuatu malam ini. Mau?”
Kino mengangguk bisu. Apa lagi yang bisa dilakukannya selain itu? Ia melihat Mba Rien tersenyum seperti biasanya, penuh dengan bujukan agar ia percaya saja kepadanya. Ia diam saja, ketika tangan Mba Rien menuntun tangannya kembali ke bawah, ke segitiga yang tampak menggoda dan mengundang itu.
Ia diam saja ketika dengan sabar Mba Rien memintanya menjulurkan jari tengahnya. Ia diam saja ketika Mba Rien, dengan tangan kirinya, menguak bibir-bibir di bawah sana, memperlihatkan dinding halus yang tampak licin-basah dan agak berdenyut berwarna merah muda itu.
“Oh, Kino… tolong gosok-gosokkan jari tengahmu di sana….,” tiba-tiba Mba Rien mendesah penuh dengan permohonan.
Kino terenyuh mendengar baru kali ini Mba Rien memohon. Cepat-cepat ia memenuhi permintaannya, dan dengan rasa kagum mulai menelusuri celah bibir dan dinding halus yang basah itu dengan jari tengahnya. Perlahan ia menelusur ke bawah, ujung jarinya terasa menyentuh sebuah liang liat yang agak sempit.
Perlahan ia naik kembali, terus ke atas karena tangan Mba Rien menariknya sampai hampir keluar dari lepitan bibir-bibir yang tampaknya menebal itu. Ujung jari Kino kini merasakan sebuah tonjolan kecil di balik selaput kulit yang agak tebal. Mba Rien tampak memejamkan mata erat-erat ketika Kino mengurut-urut tonjolan itu seperti yang diminta Mba Rien.
“Terus, Kino… teruskan, ohhhhhh..,” Mba Rien seperti merengek-rengek dengan wajah yang semakin memerah dan mulut membuka menghembuskan nafas memburu. Kino memenuhi permintaannya, menggosok dan mengurut dengan jari tengahnya lebih cepat lagi.
Mudah sekali melakukannya, karena jarinya licin dipenuhi cairan kental bening yang ia tak tahu apa namanya. Mudah sekali jari tangannya melesak ke liang kenyal kecil di bawah sana, karena liang itu seperti membuka dengan sendirinya, dan seperti hendak menyedot masuk jarinya.
Gerakan-gerakan tangan Kino semakin teratur; naik…, turun…. berputar,… naik … turun…. melesak sedikit. Demikan seterusnya, sementara Mba Rien kini menggelinjang, mengerang-erang seperti orang mengejan, dan melentingkan badannya seakan punggungnya tertusuk duri.
“Oooooh, Kino… lebih cepat lagi …. Kino, ahhhh…,” Mba Rien kini seperti orang mau menangis dan memohon-dengan-sangat kepada Kino.
Sungguh membuat iba Kino, tetapi sungguh menggairahkan pula permintaan itu. Maka Kino bergerak secepat mungkin, sekeras mungkin, sekuat mungkin. Tangannya terasa pegal, tetapi ia tak peduli, ia harus lebih cepat lagi dan lebih kuat lagi menggosok.
Harus lebih kuat lagi memutar sambil menekan kalau perlu, karena setiap putaran dan tekanan tampaknya membuat Mba Rien semakin keenakan. Rasanya seperti sedang menimba sumur dengan satu tangan, peluh telah membasahi dahi Kino, tetapi untuk wanita ini rasanya masuk sumur pun rela!
Tiba-tiba Mba Rien mengejang, dan untuk beberapa detik Kino menyangka perempuan ini sedang menghadapi maut. Kaget, ia tarik tangannya, tetapi Mba Rien memprotes…”Ah, jangan Kino….jangan berhenti!” sambil menarik tangan Kino untuk kembali ke bawah sana.
Cepat-cepat Kino memenuhi permintaan itu, dan menggosok-mengurut kembali sekuat tenaga. Satu kali, dua kali, tiga kali …. lima kali… akhirnya Mba Rien seperti berteriak tertahan.
Tubuhnya menggeliat lalu melenting seperti busur panah, lalu terjerembab kembali ke kasur dan berguncang-guncang seperti sedang diserang batuk hebat. Tetapi bukan batuk yang keluar dari mulutnya, melainkan erangan-erangan dan rintihan-rintihan. Kino takut sekali melihatnya!
“Ohhhhhh…, Kino!” ucap Mba Rien seperti orang menahan tangis, memeluk leher pemuda itu, meraihnya ke pelukan tubuhnya yang masih turun-naik dengan nafas memburu. Kino terdiam menempelkan kepalanya di dada Mba Rien, mendengar jantungnya bagai berdentum-dentum, keras sekali.
“Kino …. maafkan Mba Rien !” tiba-tiba terdengar wanita itu berucap. Kino hendak mengangkat kepalanya, tetapi tertahan oleh tangan yang memeluk erat lehernya.
Lalu ia merasakan air hangat mengalir di dahinya. Mba Rien menangis!
Ada apa gerangan? Apa yang salah? Cepat-cepat Kino melepaskan diri dari pelukan, dan memandang heran. Mba Rien memang menangis, matanya penuh air mata, tetapi mulutnya tersenyum manis.
“Kenapa?” tanya Kino dengan sejuta keheranan.
Mba Rien menggelengkan kepalanya pelan-pelan, tangannya lembut mengusap wajah Kino, lalu juga mengusap rambutnya yang agak menutupi dahi. Dia berbisik, “Aku telah menguak sebuah rahasia penting untukmu …..”
Kino diam dan masih mengernyitkan dahi. Mba Rien berkata lagi, masih dengan berbisik, “Itu tadi orgasme pertamaku di tangan kamu, Kino…”
Orgasme. Rahasia penting. Kino menghela nafas panjang. Ia menguakkan kepadaku rahasia terpenting seorang wanita.
Mba Rien membawakan kepadaku dunia yang kini justru penuh misteri untuk dikuakkan, pikir Kino dengan dada dipenuhi aneka perasaan: bangga bahwa ia dipilih oleh wanita menggairahkan ini, takjub karena ternyata orgasme itu begitu indah sekaligus menakutkan, terharu karena melihat wanita ini harus berjuang melawan dirinya sendiri sampai menangis!
Dengan cepat dipeluknya Mba Rien, diciuminya leher wanita yang harum itu. Oh, terima kasih untuk kunci rahasia itu Mba Rien. Terima kasih banyak!!
Bersambung...

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

189