Bab 6 Part 6
by Neng Gemoy
19:54,Dec 05,2023
Dua minggu ia hanya belajar dan belajar, sehingga ketika ulangan tiba, kepalanya seperti penuh dengan huruf dan angka. Satu demi satu ia menyelesaikan mata ulangan dengan sedikit kesulitan saja. Di akhir masa ulangan, kepalanya terasa kosong sekali. Ringan dan sejuk.
“Kamu kelihatan riang dan optimis…,” tiba-tiba Alma sudah berdiri di dekatnya, memeluk tas dan menuaskan senyum di mukanya yang tampak letih setelah seharian berkutat dengan kertas ulangan.
Kino membalas senyum Alma, dan tiba-tiba sadar bahwa cuma gadis ini yang tampaknya peduli akan perasaannya. Kino teringat, Alma pula yang dua minggu lalu -sebelum ulangan dimulai- bertanya kenapa wajahnya keruh.
Alma pula yang pernah menawarkan sebotol minuman dingin ketika ia sedang duduk sendirian di pinggir lapangan basket menunggu bel masuk setelah istirahat. Alma yang penuh perhatian!
“Lega rasanya setelah semua ulangan selesai,” ucap Kino sambil memandang Alma, dan menyadari betapa indah kedua bola mata gadis yang oleh Dodi dan Iwan selalu dipuji-puji setinggi langit. Alma tersenyum lagi, menembakkan seberkas perasaan yang belum jelas tertangkap oleh Kino.
“Pulang sama-sama?” kata Alma lembut, seperti mengajak, seperti menebak. Ah, Kino tak tega mengatakan “tidak”, maka ia cuma mengangguk dan mereka berjalan beriringan pulang. Kino menuntut sepedanya, Alma berjalan sambil tetap mendekap tas sekolahnya.
Sayup-sayup Kinomendengar Dodi berteriak “cihuiii..” dan Iwan memperdengarkan suitan nakalnya. Kino mengutuk dalam hati, dua monyet itu sungguh tak punya sopan. Tetapi ia tersenyum juga.
Mereka berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan yang dipagari pohon-pohon asam rindang, berbincang-bincang ringan tentang sekolah. Alma bertanya tentang rencana liburan, Kino mengatakan ia belum punya rencana.
Alma berbicara tentang rencana berkemah anak-anak kelas dua dan kelas tiga, Kino mengatakan dukungannya kepada rencana itu. Alma bertanya apakah Kino akan ikut berkemah, dan Kino menjawab “mungkin”. Alma lalu terdiam. Kino juga diam. Pohon-pohon asam juga diam. Angin juga diam.
Dalam diam Kino membandingkan Alma dengan Mba Rien. Betapa berbedanya! Alma tampak lembut, mungil, terkadang seperti sedang bersedih. Mba Rien selalu menggairahkan, tegas, dan penuh ide kegiatan.
Tetapi Alma sangat cantik, terutama jika mereka sedang berdua, dan jika ia sedang bertanya, “Ada apa?” dengan suaranya yang pelan dan matanya yang menatap bening. Di depan Mba Rien, Kino seperti murid di hadapan maha-guru dunia persilatan, mengikuti segala gerak-geriknya dengan seksama, mematuhi anjuran dan permintaannya.
Di depan Alma, sebaliknya, ia merasa perlu melingkarkan tangan di bahu yang tampak ringkih itu. Merasa perlu selalu jalan di sebelah kanan kalau beriringan. Merasa perlu menawarkan membawa alat-alat laboratorium setiap kali mereka selesai praktikum.
Mereka tiba di depan bioskop satu-satunya di kota itu. Mereka harus berpisah di sini, kecuali jika Kino ingin mengantar Alma sampai ke rumahnya. Alma memecah kesunyian di antara mereka, “Sampai jumpa lagi sehabis liburan,” katanya pelan, lalu mulai berbelok.
“Alma..,” tiba-tiba saja Kino sudah berucap, tapi ia sendiri lupa hendak bicara apa. Alma menghentikan langkah, berputar menghadap Kino yang juga sedang berdiri terpaku. Alma menunggu, wajahnya penuh harap. Ah, mengertikah Kino apa artinya “harap”?
“Aku ingin ikut berkemah…, tapi…,” Kino berucap penuh keraguan. Cepat sekali wajah Alma berubah mendengar ucapan Kino, dan bibirnya yang mungil susah-payah menyembunyikan senyum yang tiba-tiba menyeruak. Segumpal harapan tersekat di kerongkongnya.
“….. tapi aku tidak tahu harus mendaftar kepada siapa.” lanjut Kino setelah menelan ludah yang terasa pahit.
“Aku bendahara panitia,” sergah Alma cepat sekali, seperti memang sudah dipersiapkan sejak tadi tetapi ditahan-tahan, “Kamu bisa mendaftar kepadaku. Hari ini juga namamu sudah bisa kutulis sebagai peserta. Aku bisa menalangi uang pendaftarannya. Aku….,” Alma menghentikan ucapannya, sadar melihat Kino berdiri melongo memandang gadis di depannya bicara penuh semangat, seperti berbicara di depan pertemuan partai politik!
Alma merasa mukanya tersiram air hangat, dan ia segera menunduk menyembunyikan rasa malu yang menyerbu. Kino tiba-tiba ingin tertawa keras, tetapi ia bertahan sekuat tenaga, sehingga yang keluar cuma senyuman yang lebar.
“Kalau begitu,” ucap Kino sambil tetap menahan senyum, “Sampai jumpa di alun-alun sekolah Sabtu depan!”
Alma mengangkat muka, memperlihatkan wajahnya yang memerah tetapi juga bersinar riang sempurna. Matanya berbinar seperti bintang timur di pagi hari.
Mulutnya mengguratkan senyum amat manis, bahkan bagi Kino, bahkan di terik siang yang kering itu. “Sampai jumpa,” bisiknya, tetapi tentu Kino tak mendengar karena ia telah mulai melangkah lagi sambil melambaikan tangan.
Alma mengangkat tangan kananya, melambai pelan, dan akhirnya berbalik untuk berjalan ke arah rumahnya. Bumi terasa empuk, seperti kasur terbuat dari busa. Alma senang sekali hari itu. Senang-senang-senang sekali!
Bumi perkemahan adalah arena penuh suka-duka remaja. Pak Guru dan Bu Guru adalah sipir-sipir penjara, dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga adalah para pesakitan. Tetapi siapa yang peduli! Setelah letih didera ulangan dan ujian, bumi perkemahan adalah penjara yang dirindukan.
Di sini mereka bisa berteriak mengalahkan guntur di langit, bernyanyi tanpa not balok dan tanpa dirijen (yaitu Pak Sulih, guru seni yang terlalu tua itu!), serta tidur melewati batas waktu yang selalu ditetapkan secara sepihak oleh orangtua. Di sini pula menyebar cinta remaja, cinta monyet, puppy love, atau apa lah namanya!
Di perkemahan itu pula, Kino “menemukan” Alma, setelah sekian lama mereka berteman. Kino kini menyadari, Alma bukan gadis biasa, bukan semata-mata teman sekelas yang duduk di bangku kayu berwarna coklat tua itu.
Bukan seperti Tres, atau Sriani, atau Gina, atau Lisa. Karena Alma punya kelebihan dari semua mereka itu: Alma peduli padanya, peduli pada apa yang dirasakannya, dan peduli dengan ketulusan. Karena Alma tidak meminta, tetapi memberi. Alma tidak mengajak, tetapi mendampingi.
Pagi itu, dengan alasan menemani Alma mengambil air di sungai, Kino menarik gadis itu ke balik sebuah batu besar. Di situ, di antara gemersik air dingin dan kicauan burung yang terlambat bangun, Kino menciumnya.
Lembut dan penuh perasaan, ia mengulum bibir gadis yang kini memeluknya erat sekali. Alma memejamkan mata, merasakan angin seperti sutra menyelimuti tubuh mereka berdua, mendengar nyanyian merdu dari daun-daun yang berjatuhan.
Kino merengkuh tubuh yang terasa jauh lebih mungil itu (Alma cuma setinggi hidungnya), melumat bibirnya yang basah dan terasa manis. Ember terguling berkelontangan.
Sejak itu, Dodi dan Iwan mengubah sebuah lagu pop dengan teks gubahan mereka sendiri yang sangat gombal. Kino pusing sekali mendengar gubahan yang tidak karuan itu.
Bahasanya buruk, tidak puitis, dan jelas-jelas memproklamirkan percintaan Alma dengannya. Pusing sekali Kino dibuatnya, tetapi apa lah dayanya, cuma Dodi dan Iwan yang bisa menghiburnya dengan ketololan-ketololan seperti itu!
Enam hari menjelang masa sekolah, Alma menemani kedua orangtuanya ke ibukota, katanya hendak menjenguk kakek-neneknya. Inilah pertama kalinya Alma merasa perlu melaporkan kepergiaannya kepada Kino, karena sejak perkemahan dan ciuman pertama itu, Kino resmi menjadi kekasihnya.
Seorang kekasih harus tahu kemana pasangannya pergi, bukan? Maka Alma menulis surat pendek, di atas kertas merah jambu, dan dikirim lewat kurir istimewa bernama Dodi dengan pesan wanti-wanti, “Jangan dibuka sebelum tiba di tangan Kino!”
Kino tersenyum membaca surat itu, sementara Dodi memanjang-manjangkan leher ingin mengintip isinya. Dengan seksama, dilipatnya kertas merah muda itu, dan disimpannya di dompet. Kepada Dodi, ia bilang bahwa Alma pergi ke ibukota untuk menikah dengan pria pilihan orangtua mereka.
Dodi mencibir tak percaya, tapi Kino tak peduli apakah temannya percaya atau tidak. Mereka lalu bersiap-siap berenang ke sungai, dan mengajak Iwan ikut serta. Sepanjang sore, mereka berlomba-lomba menyebrangi sungai, dan Kino selalu menang. Kedua temannya terlalu ceking dan terlalu banyak bergadang.
Bersambung
“Kamu kelihatan riang dan optimis…,” tiba-tiba Alma sudah berdiri di dekatnya, memeluk tas dan menuaskan senyum di mukanya yang tampak letih setelah seharian berkutat dengan kertas ulangan.
Kino membalas senyum Alma, dan tiba-tiba sadar bahwa cuma gadis ini yang tampaknya peduli akan perasaannya. Kino teringat, Alma pula yang dua minggu lalu -sebelum ulangan dimulai- bertanya kenapa wajahnya keruh.
Alma pula yang pernah menawarkan sebotol minuman dingin ketika ia sedang duduk sendirian di pinggir lapangan basket menunggu bel masuk setelah istirahat. Alma yang penuh perhatian!
“Lega rasanya setelah semua ulangan selesai,” ucap Kino sambil memandang Alma, dan menyadari betapa indah kedua bola mata gadis yang oleh Dodi dan Iwan selalu dipuji-puji setinggi langit. Alma tersenyum lagi, menembakkan seberkas perasaan yang belum jelas tertangkap oleh Kino.
“Pulang sama-sama?” kata Alma lembut, seperti mengajak, seperti menebak. Ah, Kino tak tega mengatakan “tidak”, maka ia cuma mengangguk dan mereka berjalan beriringan pulang. Kino menuntut sepedanya, Alma berjalan sambil tetap mendekap tas sekolahnya.
Sayup-sayup Kinomendengar Dodi berteriak “cihuiii..” dan Iwan memperdengarkan suitan nakalnya. Kino mengutuk dalam hati, dua monyet itu sungguh tak punya sopan. Tetapi ia tersenyum juga.
Mereka berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan yang dipagari pohon-pohon asam rindang, berbincang-bincang ringan tentang sekolah. Alma bertanya tentang rencana liburan, Kino mengatakan ia belum punya rencana.
Alma berbicara tentang rencana berkemah anak-anak kelas dua dan kelas tiga, Kino mengatakan dukungannya kepada rencana itu. Alma bertanya apakah Kino akan ikut berkemah, dan Kino menjawab “mungkin”. Alma lalu terdiam. Kino juga diam. Pohon-pohon asam juga diam. Angin juga diam.
Dalam diam Kino membandingkan Alma dengan Mba Rien. Betapa berbedanya! Alma tampak lembut, mungil, terkadang seperti sedang bersedih. Mba Rien selalu menggairahkan, tegas, dan penuh ide kegiatan.
Tetapi Alma sangat cantik, terutama jika mereka sedang berdua, dan jika ia sedang bertanya, “Ada apa?” dengan suaranya yang pelan dan matanya yang menatap bening. Di depan Mba Rien, Kino seperti murid di hadapan maha-guru dunia persilatan, mengikuti segala gerak-geriknya dengan seksama, mematuhi anjuran dan permintaannya.
Di depan Alma, sebaliknya, ia merasa perlu melingkarkan tangan di bahu yang tampak ringkih itu. Merasa perlu selalu jalan di sebelah kanan kalau beriringan. Merasa perlu menawarkan membawa alat-alat laboratorium setiap kali mereka selesai praktikum.
Mereka tiba di depan bioskop satu-satunya di kota itu. Mereka harus berpisah di sini, kecuali jika Kino ingin mengantar Alma sampai ke rumahnya. Alma memecah kesunyian di antara mereka, “Sampai jumpa lagi sehabis liburan,” katanya pelan, lalu mulai berbelok.
“Alma..,” tiba-tiba saja Kino sudah berucap, tapi ia sendiri lupa hendak bicara apa. Alma menghentikan langkah, berputar menghadap Kino yang juga sedang berdiri terpaku. Alma menunggu, wajahnya penuh harap. Ah, mengertikah Kino apa artinya “harap”?
“Aku ingin ikut berkemah…, tapi…,” Kino berucap penuh keraguan. Cepat sekali wajah Alma berubah mendengar ucapan Kino, dan bibirnya yang mungil susah-payah menyembunyikan senyum yang tiba-tiba menyeruak. Segumpal harapan tersekat di kerongkongnya.
“….. tapi aku tidak tahu harus mendaftar kepada siapa.” lanjut Kino setelah menelan ludah yang terasa pahit.
“Aku bendahara panitia,” sergah Alma cepat sekali, seperti memang sudah dipersiapkan sejak tadi tetapi ditahan-tahan, “Kamu bisa mendaftar kepadaku. Hari ini juga namamu sudah bisa kutulis sebagai peserta. Aku bisa menalangi uang pendaftarannya. Aku….,” Alma menghentikan ucapannya, sadar melihat Kino berdiri melongo memandang gadis di depannya bicara penuh semangat, seperti berbicara di depan pertemuan partai politik!
Alma merasa mukanya tersiram air hangat, dan ia segera menunduk menyembunyikan rasa malu yang menyerbu. Kino tiba-tiba ingin tertawa keras, tetapi ia bertahan sekuat tenaga, sehingga yang keluar cuma senyuman yang lebar.
“Kalau begitu,” ucap Kino sambil tetap menahan senyum, “Sampai jumpa di alun-alun sekolah Sabtu depan!”
Alma mengangkat muka, memperlihatkan wajahnya yang memerah tetapi juga bersinar riang sempurna. Matanya berbinar seperti bintang timur di pagi hari.
Mulutnya mengguratkan senyum amat manis, bahkan bagi Kino, bahkan di terik siang yang kering itu. “Sampai jumpa,” bisiknya, tetapi tentu Kino tak mendengar karena ia telah mulai melangkah lagi sambil melambaikan tangan.
Alma mengangkat tangan kananya, melambai pelan, dan akhirnya berbalik untuk berjalan ke arah rumahnya. Bumi terasa empuk, seperti kasur terbuat dari busa. Alma senang sekali hari itu. Senang-senang-senang sekali!
Bumi perkemahan adalah arena penuh suka-duka remaja. Pak Guru dan Bu Guru adalah sipir-sipir penjara, dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga adalah para pesakitan. Tetapi siapa yang peduli! Setelah letih didera ulangan dan ujian, bumi perkemahan adalah penjara yang dirindukan.
Di sini mereka bisa berteriak mengalahkan guntur di langit, bernyanyi tanpa not balok dan tanpa dirijen (yaitu Pak Sulih, guru seni yang terlalu tua itu!), serta tidur melewati batas waktu yang selalu ditetapkan secara sepihak oleh orangtua. Di sini pula menyebar cinta remaja, cinta monyet, puppy love, atau apa lah namanya!
Di perkemahan itu pula, Kino “menemukan” Alma, setelah sekian lama mereka berteman. Kino kini menyadari, Alma bukan gadis biasa, bukan semata-mata teman sekelas yang duduk di bangku kayu berwarna coklat tua itu.
Bukan seperti Tres, atau Sriani, atau Gina, atau Lisa. Karena Alma punya kelebihan dari semua mereka itu: Alma peduli padanya, peduli pada apa yang dirasakannya, dan peduli dengan ketulusan. Karena Alma tidak meminta, tetapi memberi. Alma tidak mengajak, tetapi mendampingi.
Pagi itu, dengan alasan menemani Alma mengambil air di sungai, Kino menarik gadis itu ke balik sebuah batu besar. Di situ, di antara gemersik air dingin dan kicauan burung yang terlambat bangun, Kino menciumnya.
Lembut dan penuh perasaan, ia mengulum bibir gadis yang kini memeluknya erat sekali. Alma memejamkan mata, merasakan angin seperti sutra menyelimuti tubuh mereka berdua, mendengar nyanyian merdu dari daun-daun yang berjatuhan.
Kino merengkuh tubuh yang terasa jauh lebih mungil itu (Alma cuma setinggi hidungnya), melumat bibirnya yang basah dan terasa manis. Ember terguling berkelontangan.
Sejak itu, Dodi dan Iwan mengubah sebuah lagu pop dengan teks gubahan mereka sendiri yang sangat gombal. Kino pusing sekali mendengar gubahan yang tidak karuan itu.
Bahasanya buruk, tidak puitis, dan jelas-jelas memproklamirkan percintaan Alma dengannya. Pusing sekali Kino dibuatnya, tetapi apa lah dayanya, cuma Dodi dan Iwan yang bisa menghiburnya dengan ketololan-ketololan seperti itu!
Enam hari menjelang masa sekolah, Alma menemani kedua orangtuanya ke ibukota, katanya hendak menjenguk kakek-neneknya. Inilah pertama kalinya Alma merasa perlu melaporkan kepergiaannya kepada Kino, karena sejak perkemahan dan ciuman pertama itu, Kino resmi menjadi kekasihnya.
Seorang kekasih harus tahu kemana pasangannya pergi, bukan? Maka Alma menulis surat pendek, di atas kertas merah jambu, dan dikirim lewat kurir istimewa bernama Dodi dengan pesan wanti-wanti, “Jangan dibuka sebelum tiba di tangan Kino!”
Kino tersenyum membaca surat itu, sementara Dodi memanjang-manjangkan leher ingin mengintip isinya. Dengan seksama, dilipatnya kertas merah muda itu, dan disimpannya di dompet. Kepada Dodi, ia bilang bahwa Alma pergi ke ibukota untuk menikah dengan pria pilihan orangtua mereka.
Dodi mencibir tak percaya, tapi Kino tak peduli apakah temannya percaya atau tidak. Mereka lalu bersiap-siap berenang ke sungai, dan mengajak Iwan ikut serta. Sepanjang sore, mereka berlomba-lomba menyebrangi sungai, dan Kino selalu menang. Kedua temannya terlalu ceking dan terlalu banyak bergadang.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved